Rabu, 19 Desember 2012

In My Dream

Diposting oleh Popo... The Kite Runner di 08.52

coba-coba bikin Fan Fiction lagi... In My Dream,         

Aaaaaah, aku benar-benar benci sekolah. Kenapa sih aku harus sekolah?? Aku bisa belajar di mana saja. Tidak harus di sekolah kan? Sebenarnya apa sih yang ada di pikiran eomma dan appa ku? Kenapa mereka mengirimku ke sekolah asrama? Tidak cukup apa aku harus ke sekolah setiap hari? Kenapa harus di asrama juga? Benar-benar sangat menyiksa. Aku jadi benar-benar terkekang sekarang. Apa yang harus ku lakukan.
Aku tengah berkemas saat ini. Besok sudah mulai pembukaan tahun ajaran baru. Dan baru saja aku bertengkar dengan appa ku. Dia benar-benar jahat. Kenapa mengirimku ke asrama? Memangnya kenapa kalau aku di rumah? Huh, menyusahkan saja.
Tok! Tok!
Pintu dibuka dan eomma ku masuk. Dia membawakanku makan malam. Aku memang tidak sempat makan tadi. Aku terlanjur bertengkar dengan appa sebelum aku makan.
“Eomma bawakan makan malam, kau harus makan,” kata eomma sambil meletakkan makan malam di meja belajarku.
“Eomma… Bisakah kau bujuk appa untuk tidak mengirimku ke asrama? Ini tidak adil, kenapa eonnie boleh sekolah di sekolah biasa, sedangkan aku harus di asrama, appa benar-benar tidak adil!”
“Ji Hyun-aa, kau harus mengerti sikap appa mu, kalau dia sudah membuat keputusan, tidak ada yang bisa mengubahnya, terimalah kalau kau harus masuk asrama,”
“Wae?? Ini tidak adil eomma,” aku duduk di sebelah eomma.
“Ji Hyun-aa, nado mola sseo yo, wae appa mu mengirimmu ke asrama, dia tidak mengatakan apapun pada eomma, ini sungguh aneh,”
“Georom, ini tidak adil! Kalau aku masuk asrama, seharusnya eonnie juga masuk asrama, appa menyebalkan!”
Aku menghempaskan diriku ke tempat tidur. Aku tidak ingin berkemas. Aku tidak ingin pergi ke asrama. Apa yang bisa ku lakukan di sana? Aku tidak akan bisa melakukan apa-apa di sana, aku bahkan tidak bisa melihat konser Lee Dong Hae, pujaanku. Menyebalkan. Appa, miwo ya!
Aku tidak ingin terbangun pagi ini. Kenapa aku harus bangun? Itu berarti aku harus pergi ke asrama menyebalkan itu. Sesorang mengetuk pintu kamarku.
“Ya! Ji Hyun-aa, ierona! Kau harus segera bersiap ke sekolah barumu,” itu eonnie ku. Dia sanga cerewet. Kenapa ada yeoja seperti dia di dunia ini?
Aku menarik selimutku hingga menutupi kepalaku.
“YA! Pallee ierona, kajja!” dia mulai menarik selimutku.
“Aku tidak mau,”
“Kau mau tidur sampai kapan? Kau bisa telambat, cepatlah, appa neun gidarida yo, kajja,” sekarang dia menarik tanganku.
Aku terbangun dengan sangat malas. Harusnya sekarang aku sudah berangkat ke sekolah baruku bersama Sulli dan Henry, tapi kenapa aku malah berurusan dengan kakakku yang menyebalkan ini?? Aku sudah berdiri sekarang. Dia mendorongku ke kamar mandi. Selama aku mandi entah apa yang dia lakukan di dalam kamarku. Aku selesai mandi dan semua keperluanku sudah tersedia.
“Pallee, kau akan terlambat,”
Eonnie membantuku bersiap-siap. Dia memang sangat menyebalkan dan cerewet sekali, tapi dia juga kakak yang sangat baik. Aku tidak akan pernah bisa tanpanya. Apa jadinya aku di asrama tanpanya?
“Eonni..”
“Ne?”
“Aku akan sangat merindukanmu kelak, apa kau akan rindu padaku?”
Eonnie yang sedang menyisir rambutku berhenti dan duduk di sebelahku. Dia memukul jidatku pelan.
“Ya, babo ya? Kau satu-satunya dongsaeng yang kupunya, bagaimana bisa aku tidak kehilanganmu saat kau pergi? Aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan tanpamu di rumah? Eomma pasti akan lebih sering memarahiku,”
“Eonnie, aku tidak ingin masuk asrama,”
“Kau sudah mengatakan itu ribuan kali, aku hampir muntah mendengarnya, sudahlah, kata-kata appa tidak akan pernah bisa dibantah, kau baik-baiklah disana, sering-seringlah menelfonku, kau harus menjaga kesehatan, jangan sampai kau sakit, araji?” kakak ku kembali menyisir rambutku. Gerakannya agak gemetar. Aku tahu eonnie menahan tangis.
Akupun sebenarnya sangat ingin menangis. Tapi aku tidak mau menangis di hadapan eonnie.
“Eonnie, bantu aku memakai jasku ya,”
Eonnie hanya menganguk sambil tersenyum.
Aku sudah sampai di depan sekolah baruku. Kenapa aku merasa seperti mau mask penjara. Aku tidak ingin selangkahpun masuk ke sekolah itu. Aku menggigit bibirku. Aku tidak ingin berpisah dengan keluargaku, kenapa appa tidak mau mengerti itu? Aku melihat beberapa siswa membawa koper sepertiku.
“Ji Hyun-aa, masuklah,” appa memberikan koperku padaku.
Aku mengangguk pelan.
“Ku harus jaga kesehatanmu, jangan sampai kau sakit, kau juga harus belajar dengan benar, kau tidak boleh malas, kau dengar itu?” eomma mulai cerewet padaku.
Aku kembali mengangguk pelan.
“Ingat selalu pesan eomma, kau harus jadi anak baik, kau jangan sampai membuat masalah, telepon kami sesekali, jangan buat kami khawatir, kau mengerti kan?”
“Eomma,” aku memeluk eomma, aku sudah tidak bisa menahan air mataku lagi. Aku menangis terisak dalam pelukan eomma. Aku tidak pernah membayangkan akan berpisah dengan keluargaku. Sampai beberapa saat kau memeluk eomma.
“Sudah, kau masuklah, kau akan terlambat,” kata appa.
“Ne,”
Aku menyeret koperku dan mulai memasuki sekolah. Aku menoleh sekali lagi dan akhirnya aku masuk ke sekolah. Sekolah ini besar sekali. Aku harus kemana?
“Kau murid baru juga?” seorang joeya mengahmpiriku.
“Ne, kau?”
“Ne, aku juga murid baru, Soo Eun Hye imnida,”
“Nan Shin Ji Hyun imnida, kemana kita akan pergi?”
“Kita harus ke kamar kita, upacara pembukaan akan diadakan jam 1, kita harus bersiap-siap, kau tahu dimana kamarmu?”
“Ani, molasseoyo, noe arayo?
“Georom, taerawa!”
Aku mengikutinya. Aku tidak tahu apa-apa soal sekolah ini. Yang aku tahu sekolah ini luas sekali, karena pada saat aku sampai di kamarku, kakiku rasanya mau patah. Kenapa sejauh ini? Bagaimana kalo nanti aku terlambat? Aku ternyata sekamar dengan Eun Hye. Dalam satu ruangan ini berisi empat murid. Dua murid lainnya telah membereskan tempat tidur mereka. Aku sedikit canggung dengan situasi seperti ini. Aku tidak pernah berhasil dalam pertemuan pertama dengan orang lain. Eonnie lah yang selalu membantuku berkenalan dengan orang baru. Tiba-tiba saja aku merindukannya.
“Nan Hong See Na imnida, dan dia Kang Yu Mi, kalian siapa?”
“Oh, nan Shin Ji Hyun, banggapseumnida,” aku memperkenalkan diri.
“Nan Soo eun Hye, mohon bantuannya,”
“Ne,” kata See Na.
Aku mulai membereskan tempat tidurku. Tempat tidurku dekat jendela. Dari jendela itu aku bisa melihat hampir keseluruhan sekolah. Sekolah ini benar-benar besar. Apa aku harus berjalan kaki setiap hari? Bisa-bisa aku lumpuh seketika. Aku mulai mengeluarkan barang-barangku. Aku mengambil beberapa buku dan kuletakkan di atas meja. Tepat dibawah buku ada beberapa bingkai foto, selain foto keluargaku, ada juga fotoku bersama Sulli dan Henry. Mereka sahabatku sejak kami di SD. Saat tahu aku akan berpisah dengan mereka, aku menjadi sangat sedih. Mereka sekarang pasti sekelas lagi. Beruntung sekali mereka. Tiba-tiba ponselku bordering.
“Yoboseyo?”
“Ya, Ji Hyun-aa, kau sedang apa?”
“Sulli-aa, aku senang sekali kau menelfonku, aku baru saja sampai di asrama, kau bersama Henry?”
“Tentu saja, kami satu sekolah, sayang kami tidak sekelas, lebih disayangkan lagi kau tidak bersama kami, aku rindu padamu Ji Hyun-aa,”
“Nado, aku benar-benar ingin bersama kalian sekarang, kau tahu bagaimana perasaanku sekarang? Aku ingin sekali menggelitik appa atas apa yang dia lakukan padaku,”
“Ne, paman benar-benar kelewatan, seharusnya dia memasukkanmu ke sekolah yang sama dengan kami, paman mikir apa sih?”
“Jongmal molla, aku merasa aneh di tempat ini, apa yang bisa kulakukan di sini tanpamu?”
“Keluarlah di akhir pecan, kita jalan-jalan di akhir pekan, ne?”
“Geureyo, aku harus pergi sebentar lagi upacara pembukaan, kututup teleponnya,”
“Ne, jalgaji,”
“Nodo,”
Aku menutup telepon dan mengganti bajuku dengan seragam. Aulanya jauh sekali dari kamarku. Sepertinya aku harus naik bis untuk bisa kesana. Kenapa sekolah ini besar sekali? Dan kenapa aku bisa masuk kesini? Aku masih belum bisa menerima ini semua. Apa yang bisa kulakukan di sekolah ini? Daebak, aulanya besar sekali, sepertinya aula ini bisa menampung semua orang di Seoul.
Tidak seorangpun yang ku kenal di sini. Aku duduk di bagian belakang. Dari sini cukup untuk tidak terlihat. Beberapa saat kemudian murid laki-laki memasuki ruangan. Kenapa ada alai-laki kupikir ini adalah sekolah untuk perempuan. Lalu apa bedanya dengan sekolah biasa? Dan kenapa kami harus masuk asrama?
Kepala sekolah sedang memberikan sambutan sekarang. Aku mulai mengantuk. Kenapa sejak tadi pak kepala sekolah membicarakan soal pertandingan basket dan team basket? Seharusnya aku membawa earphone tadi. Aku bosan sekali. Kapan upacara ini akan berakhir? Aku ingin memainkan game ku sekarang. Aku membuka sebuah game dari ponselku.
TRIIIING! TRIIIIIING!
Entah berapa decibel suara ponselku, semua orang menoleh padaku. Dan seorang guru menunjukku dengan tongkat panjangnya. Aku tenggelam di tempat dudukku.
Dan disinilah aku. Di lapangan basket. Bersama Guru Tongkat Panjang itu. Kenapa wajahnya lebih angker dibandingkan rumah dengan 1000 hantu. Ohhteokaji? Yang jelas aku akan dihukum.
“Ya, bocah nakal, aigoooo, kenapa kau sudah membuat masalah di hari pertamamu? Apa yang ada di otakmu itu? Apa kau tadi pagi sarapan semut merah, hah?”
“Jwosonghamnida Seung Nim, aku tidak sengaja,”
“Apanya yang tidak sengaja? Sekarang kau hormat pada tiang bendera itu,”
“Kenapa aku harus hormat pada tiang bendera?”
“Kau berani bertanya? Tentu saja itu hukuman untukmu! Pallee!!”
“Seung Nim, sampai kapan aku harus begitu?”
Tiba-tiba dia tersenyum walau sebenarnya tidak mengubah keangkeran wajahnya,
“Teruslah begitu sampai tiang bendera itu melengkung,” lalu dia berlalu dan meninggalkanku.
“Mwo?? Kunde Seung nim, itu berarti selamanya?”
Mwo ya? Kapan tiang bendera itu akan melengkung? Kenapa Pak guru itu? Apa sih yang dia pikirkan? Aku berjalan ke arah tiag bendera dan mulai melakukan sikap hormat. Ah panas sekali di sini. Kenapa harus di hari pertamaku masuk sekolah? Seharusnya aku tidak melakukan kesalahan. Untung saja hanya hormat pada tiang bendera? Bagaimana kalau aku di keluarkan? Lalu munculah ide itu. Aku merasa saat ini tumbul tanduk bewarna merah di kepalaku.
*********************************************************************
Aku berlari menuruni tangga depan asramaku. Haisssh, kenapa tangga ini jumlahnya banyak sekali. Aku semakin terlambat masuk ke kelas. Aku berlari menyelusuri jalan di samping lapangan bola, lalu ke menyebrang lapangan basket dan masuk ke gedung utama. Aku naik ke lantai. Gedung sudah sepi. Pasti saat ini semu orang sedang belajar di kelas. Aku berhenti di depan kelasku. Aku mengatur nafas sebentar. Perlahan kubuka pintu kelas. Tiba-tiba semua siswa melihat padaku. Aku semakin merasa malu dan saat aku lihat guru yang mengajar aku rasa aku tidak hanya akan hormat pada tiang bendera, tapi kini aku harus melengkungkan tiang itu. Pak Guru Bertongkat melotot padaku.
“Annyonghaseyo, Seung nim, jwosonghamnida, aku terlambat,”
“Ya, siapa yang Tanya kau? Kau pikir kau mau apa jam segini baru datang ke kelas? Kau mau makan siang?”
“Jwosonghamnida Seung nim, boleh aku masuk?”
”Mulon imnida,” dia tersenyum padaku.
“Ah, khamsahamnida Seung nim,” aku masuk dan duduk di tempat dudukku.
“Ya, bocah tengik, siapa yang menyuruhmu duduk?”
“Ka.. kau bilang aku boleh masuk?”
“Ne, aku memang menyuruhmu masuk, tapi bukan untuk duduk dan mengikuti pelajaranku, BAWA MEJAMU DAN KELUAR!”
Dia berteriak keras sekali. Benar-benar membuat jantungku hampir keluar dari mulutku. Cepat-cepat aku menyeret mejaku keluar. Guru macam apa sih dia ini? Akhirnya aku belajar di lorong kelas. Apa yang harus kulakukan? Aku mengeluarkan bukuku dari tas. Pelajaran apa sebenarnya sekarang ini? Seharusnya aku tadi bawa komik. Aku duduk sambil mengangkat kaki kursiku. Aku mulai bosan. Aku berdiri dan melihat suasana kelas. Dan dengan cepat kurasakan aura meyeramkan dari dalam kelas. Guru apa sebenarnya dia? Kenapa guru menakutkan seperti itu ada di sekolah sebagus ini?
“Ya, apa yang kau lakukan? Keluar!”
Aku kembali duduk, bukannya aku sudah di luar. Kenapa dia menyuruhku keluar? Apa yang harus kulakukan? Benar-benar membosankan. Kenapa bell tidak juga berbunyi? Aku juga mulai mengantuk. Ku baca bukuku, tapi aku sama sekali tidak mengerti tentang sejarah Korea. Aku ingin segera akhir pekan. Aku ingin bertemu Sulli dan Henry. Menyebalkan.
Brak!
Aku terbangun. Dan wajah guru angker itu sudah tepat dihadapanku. Matanya benar-benar ingin menelanku. Apa salahku harus selalu berhadapan dengan guru ini.
“Kau? Ireona?? Lari keliling lapangan basket 5 kali!” sekali lagi dia berteriak.
Dan disinilah aku sekarang. Berlari mengelilingi lapangan basket. Ah, aku lelah sekali. Aku belum sarapan tadi. Dan udara sangat panas sekali. Pak guru benar-benar tega padaku. Kenapa guru seperti itu diperbolehkan bekerja di sekolah? Ini putaran terakhir, aku harus segera menyelesaikan dan kembali ke kelas. Aku tidak ingin dihukum lagi.
Akhirnya sekolah usai. Aku ingin tidur setelah ini. Seharian ini seoertinya aku hanya menjalani hukuman. Aku berjalan pelan ke asramaku. Kenapa hari ini panas sekali? Aku baru akan menelepon Sulli saat tiba- tiba terdengar keributan. Bukankah itu para wartawan?? Ada apa mereka ke sekolahku? Mereka berlarian melewati. Ramai sekali.
Aku sampai di kamarku. Teman-temanku belum kembali. Aku naik tangga ke atas. Tempat tidurku di atas. Aku langsung menghempaskan diriku ke tempat tidur saat kurasakan sesuatu ada di tempat tidurku. Aku terbangun dan menyingkap selimutku.
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!!”
Aku berteriak. Namja itu juga berteriak!
“Nugu ya?? Apa yang kau lakukan di sini?” aku memukuli namja itu dengan gulingku. Apa yang ada dipikirannya sehingga dia ada di tempat tidurku.
“Hentikan, hentikan, Ya! Appa yo!”
Aku menatap wajahnya dan aku terkejut setengah mati. Itu Lee Dong Hae. Lee Dong Hae penyanyi itu. Dia idolaku. Dia impianku. Dan dia ada di hadapanku sekarang. Apa aku bermimpi?
“Ya, kau lihat apa?”
Tiba-tiba suara pintu terbuka. See Na masuk. Aku kangsung mendorong Lee Dong Hae ke samping tempat tidur dekat tembok. Disana dia tidak akan terlihat.
“Jangan membuat suara,” bisikku padanya. “Ah, See Na-ssi, kau sudah pulang?”
“Ne, apa yang kau lakukan diatas sana?”
“Obseoyo, aku hanya mencoba untuk tidur, aku lelah sekali,’
“Oh, aku hanya mengambil handuk, aku ikut club berenang hari ini, Yu Mi dan Eun Hye juga, kau juga mau ikut?”
“Oh, ani, aku hanya ingin tidur,”
“Geureyo, aku pergi,”
“Ne,”
See Na pergi. Aku menghela nafas panjang. Aku melompat ke kasur dan melihat keadaan Lee Dong Hae.
“Ya, kau bisa keluar sekarang,”
Dia keluar dari bawah tempat tidur sambil memegang kepalanya.
“Noe, gwaenchana?”
“YA! Kenapa mendorongku?” dia membentakku.
”Mwo? Jelas-jelas aku menyelamatkanmu, kau bisa mati kalau kau ketahuan berada di kamar perempuan! Hah, jangan-jangan kau memang mau melakukan sesuatu yang buruk?” aku meutup bagian dadaku.
“Mwo? Otakmu terbuat dari apa sampai bisa berpikiran seperti itu?”
“Aku tidak bisa menjamin kau orang baik,”
“Aku harus pergi,” dia menuruni tangga.
Aku mengejarnya dan menarik tangannya.
“Ya, kau tidak bisa keluar begitu saja, kalau seseorang melihatmu, kau dan aku bisa dalam masalah, lagipula apa yang kau lakukan di sekolahku?”
“Aku juga sekolah di sini,”
Hah???? Dan akhirnya sisa hari itu aku dan Dong Hae kucing-kucingan agar bisa keluar dari asramaku. Setelah berhasil keluar dia langsung pergi. Haiiisssh, jjinjja! Paling tidak dia harus mengucapkan terimakasih padaku. Ternyata dia galak sekali. Apa bagusnya orang seperti itu? Kenapa dia bisa sangat terkenal? Dan kenapa aku menyukainya?
******************************************************************
Keesokan harinya aku berusaha bangun pagi. Aku tidak ingin terlambat. Aku tidak jadi meneruskan niatku untuk melanggar peraturan. Aku melanggar peraturan agar aku dikeluarkan dan bukannya dihukum. Aku sampai di kelas akhirnya. Hanya beberapa siswa yang sudah datang. Aku duduk di mejaku di dekat jendela. Aku berencana untuk tidur lagi saat seorang namja menyapaku.
“Ya, kau yang kemarin dihukum Pak Gun Woo, Lee Hyuk Jae imnida, noe?” dia mengulurkan tangannya.
“Ne, Shin Ji Hyun imnida,”
“Kau mau ikut club basket?”
“Ne? aniyeyo, aku tidak bisa main basket,”
“Gwenchana, pelatih di sini sangat hebat, kau harus ikut, kita pergi bersama, araji?”
“Andwe, aku tidak ikut,”
“Wae?”
“Aku tidak bisa bermain basket, mianhae,”
“Ne, araseo, ah bel sudah berbunyi,”
Siswa-siswa masuk kelas dan juga wali kelas kami, Bu Guru Ga In. Kami mulai pelajaran matematika. Aku benci pelajaran ini. Apa gunanya menumpuk angka di kehidupan nyata? Saat sedang belajar, tiba-tiba seorang namja masuk. Omo, itu Lee Dong Hae, jadi aku sekelas dengannya? Dia membuka pintu dan tanpa berkata apa-apa dia langsung duduk di meja di belakangku. Dia benar-benar tidak punya sopan santun. Kenapa di dunia nyata dia sangat menyebalkan? Bukankah dia selalu tersenyum di televise. Kenapa di kehidupan nyata dia sama sekali berbeda? Tanpa sadar aku terus menatapnya.
“Mwo ya? Kau lihat apa?”
“Ah, aniyeyo,”
Ya, babo ya? Kenapa aku menatapnya seperti itu? Kalau akan tahu dia sangat menyebalkan, aku tidak akan menjadikan dia idolaku. Aku tidak konsentrasi pada pelajaran hari itu. Aku memang tidak penah konsentrasi pada pelajaran apapun. Ah aku harus segera menceritakan ini pada Sulli. Aku mengambil ponselku dari saku jasku, aku mengetik pesan pada Sulli.
Kau tahu? Aku bertemu dengan Lee Dong Hae, kau percaya itu? Kau harus ke sekolahku dan melihatnya sendiri.
Pesan terkirim.
“Noe! Kau pikir kau dimana sekarang? Apa sekarang saatnya menggunakan ponsel?” tiba-tiba bu guru Ga In sudah di depanku. Ani, apa yang ku lakukan? Aku menyembunyikan ponselku di laci. Seluruh kelas melihatku. Kena lagi!
Sebagai hukuman aku harus membereskan ruang perpustakaan. Hal itu akan jadi mudah bila perpustkaan hanya sebesar kamarku, tapi perpustakaan di sini seperti museum buku nasional. Terlalu luas untuk ukuran sebuah perpustakaan. Setelah lebih dari satu jam, aku hampir selesai, tinggal bagian belakang. Aku harus mengurutkan buku sesuai abjad. Hal ini akan menjadi hal yang mudah jika aku punya tubuh yang tinggi, tapi dengan tinggi badan yang pas-pasan seperti ini, sepertinya ini akan menjadi hal yang sulit. Aku sedang berusaha menarik sebuah buku saat tiba-tiba buku yang lain ikut terjatuh.
“WAAAAAAAAAA!!!” aku mundur beberapa langkah. Sebuah buku tebal jatuh di kakiku. “Ah!” aku memegang kaki yang sakit. Sebuah buku yang cukup tebal tiba-tiba terjatuh. Aku tidak bisa menghindar. Aku memejamkan mata dan menunggu buku itu jatuh. Tapi tidak ada suara buku terjatuh. Pelan-pelan aku membuka mataku.
“Oh,” ada Lee Dong Hae disana. Dan dia memegang buku yang terjatuh tadi.
“Ya, mwo haseyo? Kenapa berisik sekali?”
“Oh, aku sedang merapikan buku-buku ini, mianhae sudah menggaggumu,”
Dia menatapku.
“Ya, kau kan yag sekelas denganku, kau yang dihukum karena bermain ponsel kan?”
“Geure, wae?” aku kembali merapikan buku-buku itu. Tapi bagian atas aku tidak bisa menjangkaunya.
“Ani, ingatlah, ini perpustkaan, jangan bikin ribut,”
“Ya, daripada kau mengoceh saja, lebih baik kau bantu aku,”
“Kenapa aku harus membantumu, itu kan pekerjaanmu,”
“Jebal, aku tidak bisa mencapai bagian atas, dowajuseyo,”
Dia diam beberapa saat. Tapi kemudian dia membantuku merapikan buku-buku itu. Setelah semua selesai dia pergi begitu saja. Aku membereskan sisanya dan kembali ke asramaku. Aku merebahkan diri di tempat tidur. Sepi sekali, kemana teman-temanku? Aku iseng membuka Tabletku dan mulai menjelajahi internet. Aku mencari berita Lee Dong Hae.
Bermasalah dengan Manajeme, Karir Lee Dong Hae Terancam
Apa ini? Dalam berita itu tertulis bahwa Lee Dong Hae terlibat dalam suatu masalah dengan manajemen yang menaunginya dan terancam dikeluarkan dari manajemen. Kenapa aku baru tahu? Dan kenapa harus dikeluarkan? Apa itu alasan dia bersekolah di sini? Tiba-tiba ponselku berbunyi.
Sulli: Ya Ji Hyun-aa, benarkah Dong Hae di sekolahmu? Dia sepertinya sedang ada masalah.
 Aku: geure, kami bahkan satu kelas. Aku juga baru saja membaca beritanya.
Sulli: bagaimana dia di sekolah? Ada apa sebenarnya?  
Aku: entahlah, aku tidak terlalu mengenalnya. Sepertinya dia agak aneh.
Sulli: aku akan latihan cheerleaders setelah ini. Kau ikutlah sesuatu.
Aku: aku tidak ingin mengikuti apapun. Di sini meyebalkan.
Sulli: ya, apa kau mau membusuk di kamarmu? Keluarlah saat akhir pekan. Kita akan menonton film, kau mau?
Aku: Geurom, sampai ketemu ya.
Apa yang harus kuikuti? Aku tidak ingin mengikuti apapun. Aku ingin lulus secepatnya.
*****************************************************************
Kami sedang olahraga di hari berikutnya. Sebagai permulaan kami harus mengelilingi lapangan sepakbola. Aku berlari dengan malas. Dari dulu aku tidak menyukai olahraga. Sebenarnya aku sangat menyukai olahraga. Sepertinya aku sudah olahraga sejak dalam kandungan, tapi sejak saat itu aku benci olahraga. Terutama basket. Sepertinya aku lari sambil melamun saat kakiku tersandung. Aku jatuh tersungkur di pinggir lapangan. Aku segera bangun dan lari lagi, aku tidak mau dihukum lagi.
Pelajaran olahraga berjalan sangat membosankan. Kami harus melakukan beberapa latihan atletik. Kami juga harus saling melemapar bola. Juga menendang bola ke arah gawang. Seseorang sedang menendang bola ke gawang saat ponselku berdering. Ada pesan gambar. Dan saat aku buka dan melihatnya, bola yang mental di mistar gawang tepat mengenai kepalaku.
Aku membuka mataku perlahan. Bau obat. Kini aku sepenuhnya sadar. Ah, sakit sekali kepalaku. Tiba-tiba aku teringat isi pesan tadi. Itu kan Kai. Dan dia bersama seorang yeoja. Tiba-tiba rasanya aku ingin menangis. Dan memang sepertinya aku menangis. Dan saat kutahu aku sudah terisak keras. Kenapa dia berbuat seperti itu? Dia benar-benar menyebalkan. Jadi itu alasan dia tidak menghubungiku selama ini? Dia juga tidak datang saat aku masuk asrama, jadi karena yeoja itu? Dasar menyebalkan! Aku benci dia! Aku kembali menangis, kali ini cukup keras sepertinya, sampai seseorang berteriak padaku,
“YA! Kenapa berisik sekali?”
Lee Dong Hae duduk di tempat tidur sebelahku. Aku menghentikan tangisku dengan masih tetap terisak. Aku memalingkan mukaku. Aku pasti jelek sekali saat menangis. Ini semua gara-gara Kai.
“Benar, kau memang jelek sekali saat menangis, maka dari itu, berhentilah menangis, kau berisik sekali,” dia kembali merebahkan diri di tempat tidur.
“Kau, kau membaca pikiranku?”
“Kau mengucapkan dengan sangat jelas, siapapun pasti mendengarnya,”
Aku diam. Sepertinya memang dari tadi aku menggerutu dan menggumam tidak jelas. Aku juga merebahkan diri di kasur. Aku mengambil ponselku dan membuka pesan tadi. Aku melihat Kai dan seorang yeoja sedang berangkulan. Siapa yeoja ini? Kemudian aku mencoba menelepon Kai. Kenapa tidak nyambung? Apa Kai sudah merencanakan ini? Kenapa dia tega sekali? Aissssshhh, jjinjja!
“Ya! Kau bisa diam tidak? Kenapa dari tadi mengomel??”
“Siapa yang mengomel? Aku dari tadi diam saja,”
“Terserah, awas saja kalau kau berisik lagi,”
“Aiiish, kau ini.. Kenapa kau ada di sini dan bukannya ikut pelajaran?”
“Bukan urusanmu!”
Huh dasar menyebalkan. Aku saja yang kembali ke kelas. Sepertinya aku sudah baik-baik saja. Hatiku yang tidak baik-baik saja. Aku sudah turun dari tempat tidur dan memakai sepatuku saat seorang yang berpakaian dokter masuk. Sepertinya dia seorang namja yang tampan. Aku tersenyum padanya.
“Kau sudah merasa baikan?”
“Ne, gwaenchana, khamsahamnida,” aku membungkuk sebentar.
“Mungkin beberapa hari ini kau akan sering merasa pusing, tapi itu wajar, akan hilang dengan sendirinya nanti, kau mau kembali ke kelas?”
“Oh, ne, aku akan kembali ke kelas,”
“Kalau begitu, ajaklah seseorang juga, sepertinya dia akan menempel dengan tempat tidur kalau lebih lama disana,”
“Ne?” aku bingung dengan ucapan dokter itu.
Bukannya menjawabku dokter itu menuju ke tempat tidur Dong Hae dan memukul keras kepala Dong Hae. Dong Hae terbangun dan duduk.
“Ya! Kau mau sampai kapan disini? Pergi sana, kembali ke kelasmu, kau pikir tempatku ini tempat penginapan? Ga!”
“Ya, ijinkan aku disini sebentar lagi,”
“Kau ini, anak nakal, kembali ke kelasmu,” dokter itu memukul kepala Dong Hae lagi.
Akhirnya Dong Hae beranjak dari tempat tidur.
“Kau, pastikan dia kembali ke kelasnya,”
Aku mengangguk dan mengikuti Dong Hae yang telah lebih dulu keluar dari ruang kesehatan.
“Ya, Dong Hae-ssi, kenapa kau di klinik?”
“Sudah kubilag itu bukan urusanmu, kau ribut sekali,” tiba-tiba dia membelok ke arah pintu keluar.
“Ya, kau mau kemana?” aku dengan reflek menarik tangannya. “Kita harus kembali ke kelas,”
“Kau saja yang kembali,” dia menghempaskan tanganku dan pergi begitu saja.
Dia ini kenapa sih? Aneh sekali. Ah, aku harus segera kembali ke kelas.
*****************************************************************
Sudah hampir dua minggu aku di sekolah. Aku belum punya teman sampai saat ini. Aku terus-terusan menelepon Sulli dan Henry. Besok hari sabtu. Aku berencana keluar dan menemui Kai. Kenapa dia susah sekali dihubugi? Sulli dan Henry juga tidak mendengar kabar darinya. Aku juga menjalani hari penuh kebosanan. Beberapa kali aku masih menerima hukuman. Kenapa aku sering sekali dihukum?
“Itu karena kau bodoh,”
Aku menoleh, itu Dong hae.
“Wmo ya go? Siapa yang bodoh?”
“Tentu saja kau, karena kau bodoh, kau sering kali dihukum,”
“Itu bukan urusanmu,”
Aku kembali menatap tabletku. Tiba-tiba ada fotoku dan Kai. Aku kembali teringat kesedihanku. Tanpa sadar aku terus menatap foto kami berdua.
“Itu namjachingumu? Jelek sekali dia,”
“Sudah kubilang bukan urusanmu, kenapa kau ribut sekali?”
“Kau ini,”
Dia memukul jidatku keras sekali.
“AAAA, apaaa!!! Kau ini apa-apaan?” aku ingin membalas, tapi tiba-tiba ponselku jatuh, mental beberapa kali di tangga, dan masuk selokan. “Ya, kau lihat, semua ini gara-gara kau,”
Aku berlari menuruni tangga dan membungkuk di atas selokan. Selokan itu tertutup jeruji besi. Aku memasukkan jari-jari ku ke sela-sela jeruji, tapi tidak bisa. Aku berusaha mengangkat besi itu tapi tentu saja aku tidak kuat. Bagaimana ini??
“Ya, kau tidak mau membantuku? Ini semua kan gara-gara kau, pallee!!!”
“Itu bukan urusanku!”
Mwo ya? Aku menghampirinya dan memukul kepalanya keras.
“Ya, apa yang kau lakukan?”
“Cepat ambilkan ponselku! Atau aku akan memukulmu lebih keras lagi,”
“Coba saja kalau kau berani,”
Aku memukul kepalanya lagi.
“Ya!”
“Mwo????”
Dia mendengus dan berlari menuruni tangga, dia segera mengangkat besi itu tapi sepertinya besi itu tidak bisa diangkat. Haisshh, bagaimana ini?
“Bisa tidak?”
“Kau tidak lihat? Besi ini sudah menempel pada pondasinya. Sudahlah, lupakan saja!”
“Enak saja kau ini, itu ponselku satu-satunya, pokoknya kau harus bertanggung jawab! Aku tidak mau tahu,”
“Mwo? Aku tidak mau!”
“Aiiisshh, kau ini, jjinnjja!”
Aku berusaha mencari sesuatu untuk mengambil ponselku. Aku melihat ranting dan mengambilnya, aku mencari satu lagi agar bisa kujadikan sebagai sumpit. Aku mencoba untuk mengambil ponselku pelan-pelan. Setelah beberapa kali gagal akhirnya aku bisa mengambil ponselku. Untung saja ponsel jaman sekarang sudah sangat tipis. aku melihat ponselku dan ada beberapa goresan di layarnya. Aku mengambil tasku dan segera pergi meninggalkan Dong Hae. Dia menyebalkan.
Hari ini aku bersiap keluar. Aku harus membetulkan ponselku. Semalam layarnya mengeluarkan bercak-bercak aneh, pasti karena benturan. Aku juga harus menemui Kai. Aku menunggu bis di halte depan sekolahku. Aku mencoba menelepon Sulli dan mengajaknya keluar. Tapi dia ada latihan cheerleader sampai sore. Henry juga ada latihan sepak bola. Akhirnya aku pergi sendirian.
Aku dipusat perbelanjaan sekarang. Aku akan membetulkan ponselku dan segera ke rumah Kai. Ramai sekali di sini. Dan kenapa foto Dong Hae ada di mana-mana? Dan saat kulihat antrean, aku tahu, sepertinya ada acara tanda tangan untuk fans. Berarti dia juga di sini? Aku harus cepat-cepat pergi, tapi aku juga ingin dapat tanda tangannya. Tapi bagaimana ini? Dia bisa mengenaliku. Ah, aku punya kacamata hitam di tasku. Aku segera memakainya dan masuk dalam antrean. Akhirnya seorang lagi giliranku. Saat orang di depanku berbalik dan aku melihat Kai.
“Kai, kau di sini?” aku melepas kacamataku.
“Ji Hyun-aa, apa yang kau lakukan disini?” tiba-tiba dia memandang sekelilingnya.
“Seharusnya aku yang bertanya, kau kemana saja? Ponselmu tidak bisa dihubungi,”
“Ponselku hilang, aku akan menghubungimu setelah beberapa saat, tapi aku sibuk sekali, miahae,”
“Gwaenchana, sekarang aku sudah bertemu kau, aku lega, mau pergi bersama?”
“Ah, mianhae, aku harus pergi,”
Kai berlari ke arah kerumunan orang-orang. Aku berusaha mengejarnya. Tapi tidak berhasil. Kemana dia? Aku mencoba mencarinya. Tapi setelah berputar-putar, aku tidak bisa menemukannya. Aku sampai di depan tempat aku meninggalkan ponselku. Aku bertanya apa sudah selesai an ternyata sudah. Aku membayar dan segera pergi untuk mengejar Kai. Aku berputas-putar di dalam pusat perbelanjaan. Aku naik ke lantai 4 kembali lagi turun ke lantai 1, tapi aku tetap tidak menemukan Kai. Aku hampir putus asa saat aku melihat Kai dan yeoja itu di tempat makan. Dan mereka bergandengan tangan.
Apa yang harus kulakukan? Dan pada saat yang bersamaan Kai melihat padaku dan dia hanya terdiam, menatapku kosong, dan berlalu. Apa ini? Apa yang dia lakukan? Kenapa dia melakukan ini? Tanpa kusadari air mataku mengalir. Aku menangis. Entah kenapa aku menangis. Semua orang melihat ke arahku, aku tidak ingin menangis, tapi air mataku terus mengalir. Aku ingin beranjak da berlari, tapi badanku kaku. Akhirnya aku hanya menangis terisak sampai seseorang tiba-tiba memelukku.
“Ya! Kenapa menangis di tempat seperti ini?”
“Nugu ya?”
Dia tidak menjawab. Hanya membelai rambutku pelan. Entah berapa lama kami seperti itu. Yang pasti aku menangis lama sekali. Entah kenapa aku ingin terus menangis di pelukan orang ini. Begitu nyaman dan menenangkan.
“Ya, kau mau menangis sampai kapan?”
“Ah, mianhae, kau bisa melepasku sekarang,”
Dan Lee Dong Hae berdiri tepat di hadapanku.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Popo.. The Kite Runner Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea