Senin, 24 Desember 2012

In My Dream (Part 3)

Diposting oleh Popo... The Kite Runner di 06.25

Di cerita yang kemaren, saat Ji Hyun dan Sulli jalan-jalan mereka melihat Kai dan seorang yeoja, apa yag terjadi selanjutnya... Ikuti In My Dream Part 3... 


Mereka sedang melihat-lihat buku. Aku meletakkan buku yang kubaca dan segera menarik tangan Sulli dan mengajaknya pergi.
“Ya, Ji Hyun-aa, aku belum selesai membaca,”
“Kajja, kita harus segera pergi, aku ingin membeli sesuatu,”
Aku dan Sulli masuk ke sebuah toko jam. Dan kenapa aku masuk toko jam untuk namja? Apa aku harus membeli jam untuk namja? Ah yang penting Sulli tidak melihat Kai dengan yeoja itu.
“Kau mau beli jam tangan?”
“Ah, ne, hadiah untuk appa,”
“Oh, paman ulang tahun?”
“Ani, minggu depan aku pulang, aku hanya ingin membawakan sesuatu untuk appa,”
Akhirnya mau tidak mau aku memilih sebuah jam tangan dan membelinya. Mungkin akan berguna kelak. Sulli mengajakku makan malam. Aku setuju saja aku juga sudah lapar. Kami ke sebuah restoran cepat saji dan memesan pasta. Kami juga mengambil beberapa foto. Akan sangat menyenangkan kalau kami bisa seperti ini terus.
“Ji Hyun-aa, kau ikut apa di sekolahmu?”
Aku menghentikan jalanku menyeruput pasta sejenak dan menatap Sulli lalu melanjutkan lagi sebelum menjawab pertanyaan Sulli.
“Umm, aku belum memikirkannya, mungkin aku akan ikut klub biologi,” jawabku seadanya.
“hahaha, apa itu? Seharusnya kau ikut klub olahraga, kau bisa memilih lari mungkin, kau pelari tercepat yang pernah ku kenal,”
“Menurutmu begitu? Aku juga belum tahu mau ikut apa,”
“Kau bisa memikirkanya nanti,”
“Sulli-aa”
“Ne?”
“Hehehe. Ani. Tidak ada apa-apa,”
Aku hampir saja menceritakan tentang keikutsertaanku dalam tim basket. Sulli pasti akan sangat marah dan khawatir. Dan saat Sulli marah seisi restaurant ini akan segera melarikan diri. Kami menghabiskan sisa hari itu dengan mengobrol panjang lebar. Aku sebenarnya ingin menceritakan semua hal pada Sulli, tapi entah kenapa itu hanya akan membuat masalah baru saja. Kami berpisah di halte bus dan berjanji akan bertemu lagi. Bus cukup sepi, hanya ada beberapa penumpang yang tertidur. Aku menatap jalanan di luar jendela dengan perasaan tidak menentu. Aku terus memikirkan Kai. Kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkannya??
Aku turun dari bis dan berjalan ke arah sekolahku. Aku berjalan pelan menuju asramaku. Sekolah sudah sepi hanya beberapa siswa yang akan kembali ke asramanya. Aku berhenti di pinggir lapangan sepak bola dan duduk di sana untuk beberapa saat. Aku suka tempat ini. aku mencoba menelepon Kai lagi, tapi masih tidak tersambung. Pikiranku melayang pada saat aku dan Kai bersama.
“Kau tahu aku sangat suka hujan,” kata Kai saat itu. Kami sedang berteduh di depan sebuah toko yang sudah tutup. Sepeda kami terparkir tak jauh dari kami berdiri.
“Wae?”
Kai memainkan jarinya dibawah tetesan air hujan. Kemudian dia menjawab sambil tesenyum. Aku tak akan pernah bisa lupa senyuman itu. Aku selalu menyuKainya, aku selalu menyuKai senyumannya.  
“Karena setelah hujan aku akan melihat pelangi,”
“Tapi bukankah pelangi tidak selalu muncul setelah hujan?”
“Itulah pelangi, dan menunggu pelangi saat hujan benar-benar membuatku nyaman, tetesannya menyegarkan, kau tahu pelangi adalah hal yang paling setia menurutku,”
Aku diam menunggu kata-kata selanjutnya darinya.
“Dia akan setia menunggu hujan reda, dan saat dia tidak diberi kesempata muncul, dia akan menunggu hujan berikutnya agar dia bisa muncul, dia sangat setia kan?”
“Ne, geureyo. Kai, siapa yang kau sukai?” entah kenapa aku bertanya seperti itu.
“Pelangi, aku sangat suka pelangi,” katanya sambil tersenyum jahil.
“Ya, apa kau akan berpacaran dengan pelangi???”
“Tentu saja tidak, aku akan berpacaran dengan seseorang yang mirip pelangi,”
“Nuga?”
Dia diam sejenak dan menatapku.
“Kau, aku akan berpacaran dengan kau yang mirip pelangi, penuh warna dan ceria, kau anugrah setelah hujan,”
Aku terdiam mendengar kata-katanya. Aku sangat terkejut dia mengatakan semua itu. Saat itu aku benar-benar ingin menjadi pelangi. Dan mulai saat itu kami memiliki hubungan special. Tentu saja aku tetap menjadi diriku dan bukannya menjadi pelangi.
Jigeum, semua itu terasa menyakitkan. Apa sekarang warnaku telah pudar dan dia mencari warna baru? Sekarang aku tidak lagi merasa seperti pelangi, aku merasa aku ini tembok dengan cat yang sudah pudar. Sepertinya aku memang harus mengecat ulang diriku. Menyebalkan sekali rasanya. Saat sedang melamun aku merasakan seseorang ada di sebelahku. Saat aku menoleh,
“HWAAAAAA!!!!!!!”
Aku melihat sebuah wajah dalam nyala sebuah cahaya. Aku menutup mataku. Dan segera setelah itu dia tebahak-bahak. Saat kubuka mata, Lee Dong Hae tertawa puas melihatku ketakutan.
“Ya, michi go anhya?? Kau membuatku hampir mati jantungan,”
“Hahhaa. Mukamu sangat aneh tadi, apa yang kau pikirkan sehingga mukamu benar-benar seperti seekor ubur-ubur?”
“Kau pikir aku ini ubur-ubur?”
“Mungkin saja kau memang ubur-ubur,”
“Aishhh, kau ini.. jjinjja!”
“Kau mau mencabut rumput lapangan ini?”
“Mwo ya? Siapa yang mau mencabut rumput lapangan ini? Apa yang membuatmu berpikiran seperti itu?”
“Kalau begitu apa yang kau lakukan disini kalau bukan untuk mencabut rumput lapangan ini?”
“Aku akan memberitahumu apa yang kulakukan disini,”
“Mwo?”
Aku mendekatkan wajahku ke telinga Dong Hae.
“Bukan urusanmu,”
“Aissshhh,”
Aku tertawa melihat ekspresinya.
“Kudengar kau masuk tim inti basket? Geureyo??”
“Woaaa, kau sudah mendengarnya? Tak kusangka akan menyebar secepat itu, apa itu masuk berita sekolah??”
“Kau ini bicara apa? Ya, nugu ya? Kau pikir kau ini siapa sampai masuk berita sekolah?”
“Tapi kau tahu aku masuk tim inti, bukankah itu berarti aku menjadi bahan pembicaraan, aku bukan siapa-siapa di sini, tapi kau yang bintang terkenal saja mengetahuinya, daebak!”
“Aishh jjinjja, kau tahu aku menyesal menanyakan itu!”
“Mwo?”
Dia terdiam. Aku juga diam. Entah kenapa perasaanku sedikit membaik. Aku sudah tidak merasa setertekan tadi. Entah kenapa tiba-tiba jantungku berdebar sangat kencang. Apa ada hantu yang sedang lewat? Aku menatap Dong Hae dan dia sedang memainkan lampu senternya. Dia terlihat jauh lebih tampan daripada saat ku melihatnya di televise, dan aku tidak pernah menyangka akan melihatnya sedekat ini. Rasanya tidak bisa percaya kalau aku akan sedekat ini dengannya. Apa ini mimpi? Tiba-tiba cahaya sangat silau masuk ke mataku.
“Ya, apa yang kau lakukan?”
“Seharusnya aku yang bertanya, ada apa di wajahku sampai kau melihatku seperti ingin memakanku?”
“Oh, ani yo.. Kenapa aku ingin memakanmu?”
“Karena aku tampan dan mungkin aku adalah es krim yang lezat di matamu,”
“Jih.. Mana ada es krim seperti kau? Kalaupun aku ini makanan, kau pasti adalah kue ikan yang gosong,”
“Mana ada kue ikan gosong setampan aku?”
“Kau ini, kau pasti merasa dirimu sangat tampan sehingga kau sangat percaya diri, tapi percayalah, kau adalah kue ikan yang gosong,”
“Gosong begini aku terkenal di seluruh negeri dan semua orang menyanjungku, aku adalah kue ikan gosong paling terkenal, sudahlah terima saja, araji?” dia tersenyum jahil.
Aku hanya merengut mendengar perkataannya, karena sebenarnya dia memang benar. Dia benar-benar menawan. Dan aku bisa sedekat ini dengannya. Kami kembali ke asrama kami beberapa saat kemudian.
**************************************************************
Sejak diumumkan masuk tim inti aku, Hyuk Jae, dan Hye Ri menjadi semakin akrab. Kami sering menghabiskan waktu bersama. Mereka seperti Sulli dan Henry, sangat menyenangkan saat bersama mereka. Apapun yang kami obrolkan menjadi hal yang menarik. Perlahan, aku menyayangi keduanya. Mereka selalu ada untukku. Mereka benar-benar sahabat baru untukku.
Hari ini adalah hari pertama kami akan mendapat pelatihan untuk turnamen basket nasional. Aku masih di kamarku. Di tempat tidurku, duduk menatap sebuah foto. Aku saat kecil, memegang bola basket, berkeringat, dan sebuah senyum yang lebar. Tapi saat menatap foto itu, sebuah ketakutan melintas dan tubuhku bergetar. Eohttokaji? Eomma? Appa? Eonnie? aku memegang bekas luka di kepalaku, masih terasa sangat nyata di jariku. Sangat menakutkan dan perih.
Aku masih belum memaKai seragam olahragaku. Aku tidak ingi kesana. Lubang itu terus terbayang di kepalaku. Darah itu seperti masih mengalir di kepalaku. Aku harus bagaimana? Aku benar-benar takut. Kenapa aku harus masuk tim basket? Apa aku tidak sadar waktu bermain basket kemarin? Dan sekarang aku harus menghadapi kenyataan bahwa aku harus bermain basket. Aku hampir gila di tempat tidurku saat pintu kamarku di ketuk. Aku berlari turun dan membuka pintu. Hye Ri tersenyum lebar di depan pintu.
“Kau siap? Kajja!”
Aku diam sejenak.
“Ya, kau belum juga mengganti bajumu?? Pallee, kita bisa terlambat,”
Hye Ri mendorongku masuk dan menyuruhku untuk bergegas mengganti bajuku. Aku mengganti bajuku dengan penuh keraguan. Sepanjang perjalanan ke gedung olahraga, aku tak henti-hentinya berdebar. Keringat dingin mulai mengalir di sekujur tubuhku. Hye Ri yang terus saja berbicara tidak kuhiraukan. Hyuk Jae yang menyapaku di depan pintu juga tidak kuhiraukan, bahkan saat kulihat Lee Dong Hae berdiri di sana, aku juga tidak memperdulikannya. Aku hanya memikirkan apa yang akan terjadi padaku setelah ini?
Kami mulai berbaris di lapangan. Kepalaku sudah mulai pusing. Berdiri di tengah lapangan seperti ini membuatku mual dan ingin muntah. Orang-orang di sekelilingku mulai menggumamkan sesuatu yang tidak jelas. Mereka bicara secara bersamaan dan membuat telingaku berdengung. Tiba-tiba aku melihat diriku tergeletak dengan lubang di kepala dan darah mengalir segar. Aku semakin ingin muntah dan kepalaku terasa sangat berat. Aku berusaha menghilangkan bayangan itu. Tapi semakin aku mencoba, aku semakin melihat lubang di kepala itu. Kemudian perlahan-lahan semua mengabur, sebelum semua benar-benar gelap, aku melihat orang itu. Dan setelah itu kesunyian menyergapku.
“Pelatih, izinkan aku bermain kali ini,”
“Andwe, kau belum saatnya bermain saat ini,”
“Kunde, aku ingin masuk, Pelatih, jebal.. Izinkan aku bermain,”
Pelatih menatapku sejenak. Aku menunjukkan wajah inginku.
“Geure, kau masuklah,”
Aku bersorak. Pelatih memanggil seorang pemain dan menyuruhku berganti denganku. Aku sangat senang, aku mulai berlari ke tengah lapangan. Aku siap mencetak angka. Aku mulai mendrible bola dan saat aku ing memasukkakn ke dalam ring, aku sudah hampir setengahnya, aku sudah melompat dan aku sudah melempar bola saat seorang pemain lawan menarikku keras, aku kehilangan keseimbangan, dan aku terjatuh membentur besi penyangga ring. Aku merasa tubuhku hilang. Kepala seperti ditusuk ribuan jarum, bukan mungkin ribuan tombak, sesat sebelum semuanya benar-benar gelap aku melihat orang itu.
Perlahan-lahan aku membuka mataku. Bau obat-obatan menyergap hidungku. Rumah sakit? Apakah aku di rumah sakit? Aku tadi membentur tiang. Seseorang menarikku dan aku merasakan tubuhku hilang. Apa aku sekarang di rumah sakit? Aku membuka mataku lebih lebar lagi. Dan dia berdiri di sana, wajahnya masih sama, wajah khawatir yang sama.
“Pelatih Kim? Kaukah itu?” tanyaku pelan.
“Kau benar-benar ingat padaku, Bocah Balon?”
“Benarkah itu kau?”
Itu Pelatih Kim Soo Hyun. Dia lah orang terakhir yang kudengar suaranya sebelum aku tak sadarkan diri. Suaranya penuh kekhawatiran. Dia yang berteriak untuk menghentikan permainan, dia yang menggendongku dan membawaku ke rumah sakit. Setelah aku sadarkan diri, aku tak pernah melihatnya lagi. Diakah yang menyuruh untuk ikut seleksi tim inti? Aku tiba-tiba terbangun
“Ya, kenapa menyuruhku ikut seleksi?”
“Mwo? Siapa yang menyuruhmu?kau sendiri yang ikut, kau tidak ingat bermain saat hari seleksi?” gayanya masih sama, sombong dan banyak gaya.
“Seorang guru mengatakan, kau menyuruhku ke gedung olahraga da mengikuti seleksi itu, itu benar kan?”
“Apa maksudmu? Pasti kepalamu itu belum benar-benar pada tempatnya, istirahatlah dulu sebentar, kau bisa menyusul nanti,”
Dia beranjak meninggalkanku dengan gayanya yang sangat santai.
“Andwe, aku tidak mau menyusul, aku sudah tidak mau main basket, aku tidak mau!” entah kenapa aku berteriak.
“Kau tidak bisa menolak, kau masuk tim inti, dan jika kau mangkir dari latihan, maka konsekuensinya adalah berhadapan dengan kepala sekolah, itu terserah kau,”dia keluar dari klinik meninggalkanku penuh keterkejutan.
Aku tidak mengikuti latihan hari ini. masa bodoh, aku tidak peduli. Aku akan menghadapi kepala sekolah. Aku tidak menyangka reaksiku akan seperti itu saat masuk lapangan basket. Kenapa saat seleksi aku baik-baik saja? Kenapa tadi aku sangat berlebihan? Kenapa Pelatih Kim disini? Arrrgghh, aku mengacak-acak rambutku sendiri. Kenapa semua jadi seperti ini???
“Kau pantas sekali dengan rambut seperti itu,”
Aku menengok kebawah. Aku memang sedang diatas pohon saat ini. Aku melihat Dong Hae tertawa di bawah sana. Kenapa dia ada di sini? Kenapa dia ada dimana-mana? Aku merapikan rambutku seadanya.
“Tentu saja, aku pantas dengan model rambut apapun, kenapa kau disini?”
“Wae? Tidak boleh? Apa yang kau lakukan diatas sana?”
“Aku sdang melihat pemandangan kota Seoul dari sini, kau mau lihat?”
Dia pun memanjat pohon ini. Dia duduk satu ranting diatasku.
“Wah, daebak!”
“Yeppeotta,”
Dong Hae memandangku sebentar.
“Kenapa tadi tidak ikut latihan?”
Aku mendongak memandangnya.
“Kenapa kau bertanya begitu? Latihan apa?”
“Tentu saja latihan basket, kau tadi pingsan dan tidak kembali, gwaenchana?”
Apa dia mengkhawatirkan aku?
“Memangnya kau juga ikut latihan basket?”
“Geurom, aku juga masuk tim inti,”
“Jjjinjja?”
“memangnya kau tidak lihat aku tadi? Apa kau terlalu sibuk menyiapkan pingsanmu hingga tidak memperhatikan aku?”
“Jih, kau ini terlalu percaya diri, kenapa aku harus bersiap diri untuk pingsan?”
“Lalu kau kenapa?”
Aku terdiam. Haruskah aku menceritakan apa yang terjadi denganku pada Dong Hae? Apa dia akan mengerti dan mendengarkanku, dia kan menyebalkan. Dia pasti tidak mau mendengarkan orang lain. Aku memandang dia sejenak. Dia menunjukkan wajah ingin tahunya.
“Aku tidak bisa bermain basket,” kataku pelan.
“Kotjimara, kalau kau tidak bisa bermain basket, bagaimana bisa kau masuk tim inti?”
“Bukan tidak bisa yang seperti itu, tapi tidak bisa karena aku takut,”
Lalu mengalirlah cerita itu. Entah kenapa begitu ringan menceritakan semua ini pada Dong Hae. Begitu mudahnya menggambarkan setiap kejadian yang kualami saat itu. Aku bahkan menangis, aku tahu ini berlebihan, tapi air mataku benar-benar mengalir. Semua ini seperti lukaku mengalir bersama dengan air mataku.
“Mianhae, kenapa aku malah menangis seperti ini?” aku buru-buru menghapus air mataku.
Dong Hae diam tanpa mengatakan apapun.
“Sampai saat ini aku masih sangat takut membayangkan aku harus bermain basket, aku sangat takut, lubang dikepalaku selalu membayangiku. Appa akan sangat marah mengetahui aku masuk tim basket, dia pasti akan mengamuk,” aku masih sedikit terisak.
Aku menatap tanah. Dong hae masih belum mengatakan apapun padaku. Dia hanya menatapku dengan ekspresi yang tidak dapat ditebak. Apa aku cerita terlalu banyak? Apa aku berlebihan karena aku menangis. Aku menangis bukan karena ceritaku, tapi karena kau memang ingin menangis, aku sudah tak bisa menahan tangisku lagi. Tapi kenapa harus di depan Dong Hae?
“500 won, kau harus membayarku 500 won,”
“Mwo?” kenapa dia memikirkan uang disaat seperti ini?
“Kau belum membayar yang kemarin, jadi semuanya 1000 won, cepat bayar padaku,”
 “Kau ini perhitungan sekali???”
“Kau bilang kan aku mesin minuman, mesin minuman tidak ada yang gratis, jadi kau harus membayarku,”
Aku tersenyum simpul padanya, hampir tertawa melihat tingkahnya. Lagi-lagi begini, aku merasa baikan saat bisa tertawa bersamanya. Dia selalu membuat perasaan tak nyamanku menjadi tawa. Aku kembali berdebar-debar. Apa ini? ini menyebalkan.
“Ya, kau harus membayarnya, kau berhutang padaku,”
Lalu dia kembali menatap seluruh Seoul. Wajahnya sangat menyenangkan saat tertawa. Aku juga menatap seoul yang penuh lampu. Hatiku terasa hangat.
*************************************************************
Aku menghabiskan seharian di perpustakaan pada hari berikutnya. Aku harus mengerjakan tugas dari Pak Guru Angker itu. Kenapa dia dendam sekali padaku. Selalu saja menghukumku dengan setumpuk tugas. Aku hampir menyelsaikannya. Tapi aku sudah sangat pusing, lebih baik kupinjam saj buku ini. aku mengemasi buku-bukuku dan menuju ke mesin peminjam otomatis. Selama mesin memproses bukuku, aku mengecek poselku. Ada beberapa pesan dari eomma dan Sulli, tapi tidak ada yang dari Kai. Aku masih saja terus memikirkan Kai.
Aku berjalan menuju asramaku. Hari sudah mulai gelap. Aku ingin segera mandi. Tapi saat sedang membalas pesan, sesorang menarikku. Dong Hae membawa sebuah bola basket dan tersenyum lebar. Dia kenapa lagi?
“Tarawa!”
Aku masih belum mengerti maksudnya.
“Ya, pallee tarawa!”
Dia menarik tanganku dan membawaku ke lapangan basket belakang sekolah. Ada dua lapangan basket di sekolah kami. Di dalam gedung olahraga dan di belakang sekolah. Lapangan basket disini jarang digunakan, selain panas, tempat ini jauh dari mana-mana.
“Ya, kenapa mengajakku kesini?”
“Kau masih berhutang 1000 won padaku, kau harus membayarnya dengan bermain basket bersamaku,” dia mulai mendrible bola.
Suara bola yang memantul membuatku gemetar.
“Shiro! Aku harus mengerjakan tugas,”
Aku berbalik hendak pergi meninggalkannya.
“Sampai kapan kau akan bersembunyi di balik ketakutanmu?”tiba-tiba dia berteriak.
Aku berhenti dan berbalik.
“Itu bukan urusanmu, kau tahu apa soal ketakutanku? Asal kau tahu saja, aku bisa mengurus diriku sendiri,”
“Geure, itu memang bukan urusanku, aku juga tidak tahu tentang ketakutanmu, kenapa aku harus tahu itu? Tapi melihatmu mengubur impianmu sendiri, siapapun tidak akan tinggal diam!”
“Kau tahu apa tentang impianku? Kau tidak akan pernah mengerti,”
“Apa melihatmu menangis saat bercerita tentang impianmu tidak cukup untuk membuatku mengerti?”
Aku terdiam untuk beberapa saat. Aku tidak tahu harus melakukan apa. Aku bingung, aku sangat takut bayangan itu akan datang lagi. Menatap lapangan basket, menatap ring basket, menatap bola basket, membuatku semakin ingin berlari sejauh mungkin. Aku tidak bisa melihat hal lain selain lubang di kepala dan darah yang mengalir saat aku berdiri di tengah lapangan basket. Kepalaku kembali berputar-putar, akankah aku mengalami hal itu lagi? Sebenarnya apa maksud Dong Hae membawaku kesini? Aku gemetar, aku sudah tidak kuat menahan berat tubuhku. Aku jatuh terduduk di lapangan. Aku akan seperti ini sampai kapan? Aku terdiam menatap kekosongan.
“Aku tidak bisa, jongmal, aku benar-benar tidak bisa,” aku mulai merasa mual sekarang. Darah itu seperti membungkusku. Aku tidak tahan. Kenapa aku tidak bisa seperti saat seleksi? Kenapa harus selalu seperti ini?
Dong Hae jongkok tepat di hadapanku. Aku menunduk dalam-dalam. Aku tidak ingin dia melihat wajahku saat ini. wajahku pasti pucat seperti hantu. Aku juga berkeringat. Ketakutan macam apa ini? kenapa takut pada sebuah lapangan basket? Apa sebuah lapangan basket akan memakanku? Tapi lapangan basket benar-benar telah menelanku pada ketakutan.
“Apa yang kau takutkan?”
Entah hanya perasanku saja atau memang suara Dong Hae menjadi sangat lembut? Aku menggeleng pelan. Dong Hae mendrible bola tepat di sampingku. Suara desingan bola basket semakin membuatku bergetar. Tiap pantulan bola basket itu seperti membuka tiap luka di kepalaku.
“Hentikan, jebal, hentikan,” aku bahkan sudah tidak mampu bersuara.
Dong Hae menghentikan driblean bola. Aku sepertinya mulai menangis. Aku sudah tidak merasakan apa-apa sekarang. Aku ini kenapa sih? Tubuhku terasa sangat lemas dan aku berkeringat dingin. Kumohon hentikan semua ini. hentikan darah-darah itu. Hentikan suara-suara itu. Tiba-tiba Dong Hae memelukku.

To be continued....

0 komentar:

Posting Komentar

 

Popo.. The Kite Runner Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea