Kamis, 31 Januari 2013

In My Dream (Part 8)

Diposting oleh Popo... The Kite Runner di 02.14 0 komentar

Ternyata ayah Ji Hyun pulang... Bagaimana selanjutnya? In My Dream Part 8

Aku menatap paman itu takjub. Lagi-lagi aku mendapatkan kejutan. Aku bertemu dengan ayah Dong Hae. Kalau dipikir-pikir, kebetulan memang sedikit mengerikan. Untuk beberapa saat aku tidak mengatakan apa-apa.
“Apa kau tahu dimana Dong Hae sekarang?”
Aku masih belum mengatakan apa-apa pada ayahnya Dong Hae. Haruskah aku memberitahunya kalau Dong Hae ada di rumah sakit?
“Ah, mungkin kau juga tidak tahu, mungkin juga dia tidak mau menemuiku, aku juga tidak ingin muncul di hadapannya saat dia sudah menjadi artis seperti sekarang, mengingat dulu betapa aku melarangnya menjadi penyanyi, tapi sekarang setiap melihatnya bernyanyi di televisi, aku melihat betapa berbakatnya dia, dia benar-benar bersungguh-sungguh mencintai pekerjaannya, aku hanya ingin meminta maaf dan memperbaiki hubungan kami. Ah, kenapa aku ini, kau malah mendengar keluh kesahku, maaf ya,”
“Gwaenchana ahjussi, sepertinya aku mengerti perasaanmu, ingin memperbaiki sebuah kesalahpahaman tidak pernah menjadi urusan yang mudah, benar kan paman?”
“Kau benar, aku masih belum tahu samapi kapan aku harus menunggunya pulang, sepertinya masih harus menunggu beberapa saat lagi,” dia tersenyum padaku. Tapi aku tahu itu adalah senyum yang dipaksakan. Dia mencoba menyembunyikan kesedihannya. Dia berusaha sangat keras untuk itu.
“Mungkin tidak akan lama lagi paman, dia akan segera menyadari kalau keluarganya selalu menunggunya pulang,”
“Semoga saja begitu, terimakasih ya, kau sudah menghiburku, ngomong-ngomong siapa namamu?”
“Aku Shin Ji Hyun paman, senang bisa ngobrol dengan paman,”
“Shin Ji Hyun ya,”
Aku mengangguk. Dan kami berduapun diam menatap ikan-ikan di kolam yang berenang kesana kemari. Apakah ikan juga pernah salah paham satu sama lain? Apa mereka juga memendam perasaan masing-masing? Tapi ikan tak bisa bicara, apa yang kita tahu?
*****************************************************************
Hari ini tidak ada latihan basket. Aku belum punya rencana untuk melakukan sesuatu. Aku hanya tiduran di tempat tidur tanpa melakukan apa-apa. Hyuk Jae harus berbelanja keperluan untuk stand kami bersama Yong Hwa. Hye Ri juga sibuk dengan kegiatan kelasnya. Sepertinya semua orang sedang sibuk, hanya aku yang mondar mandir seperti orang bodoh. Apa yang harus kulakukan? Apa aku ke rumah sakit saja? Dong Hae belum kembali ke sekolah sampai hari ini. Sekalian saja aku menjenguk Henry.
Aku bangun dan berganti baju. Aku masih memakai seragamku. Setelah berganti baju aku keluar kamar dan berpapasan dengan Se Na.
“Kau mau pergi?” tanya Se Na.
“Ne, temanku dirawat dan aku ingin menjenguknya, kau tidak ada kegiatan?”
“Tidak, aku baru saja kembali dari perpustakaan, yasudah, kau hati-hati ya,”
“Ne, aku pergi,”
Aku menunggu bus di halte seperti biasa. Beberapa saat kemudian bus datang. Sepanjang perjalanan aku memikirkan banyak hal. Kenapa banyak sekali yang terjadi padaku? Aku tidak pernah merenanakan semua ini. Tapi semua terjadi begitu saja. Siapa aku ini? aku hanya gadis biasa dengan kehidupan yang sangat biasa, tapi tiba-tiba aku dikelilingi orang-orang ini, membayangkan saja aku tak pernah. Dan kenapa harus seorang Dong Hae? Dia kan penyanyi yang terkenal. Semua orang mengenalnya, semua orang mengidolakannya, semua orang ingin ada di dekatnya, dia kebanggaan negeri ini, tapi kenapa aku? Aku yang bukan siapa-siapa dan bukan apapun ini bisa menjadi bagian dari kehidupan seorang Dong Hae. Apa aku berlebihan?
Bus berhenti di halte dekat rumah sakit. Aku terbangun dari lamunanku dan bangkit turun dari bus. Aku berjalan kearah rumah sakit saat aku melihat Kim Ha Ra menuju tempat parkir rumah sakit. Dia berjalan bersama Manager Hong. Apa yang mereka lakukan di sini? Ah itu bukan urusanku. Aku memasuki rumah sakit dan menuju kamar Henry. Sepertinya sebaiknya aku menjenguk Henry dulu. Namun aku menemukan kamar Henry kosong. Kemana dia? Apa dia sudah dibawa pulang? Tapi katanya dia harus satu minggu dirawat. Aku mencoba meneleponnya tapi tidak diangkat. Aku meninggalkan kamar Henry dan menuju resepsionis.
 “Permisi, pasien bernama Henry Lau, apa dia masih di rawat di sini?”
“Tunggu sebentar nona, aku periksa dulu,”
Aku mengangguk dan perawat itu mencari data di computer.
“Pasien Henry Lau, kamar 2007, sedang menjalani pemeriksaan bersama dokter, dia keluar beberapa saat yang lalu, mungkin akan makan waktu untuk pemeriksaan,”
“Oh, begitu ya, baiklah aku akan menunggu, khamsahamnida,”
“Ne,”
Aku berbalik dan duduk di ruang tunggu lobi. Aku mengirim pesan ke Sulli kalau aku di rumah sakit. Tapi dia tidak bisa datang karena harus mengikuti latihan cheerleader. Aku menghela nafas panjang. Haruskah aku menunggu disini sendirian begini? Akhirnya aku memutuskan untuk berjalan-jalan di taman rumah sakit. Aku duduk dibangku taman di dekat kolam air mancur. Taman rumah sakit ini cukup indah dan terawat. Berbagai macam bunga ditanam disini. Dan ada kolam air mancur ditengahnya. Beberapa pasien dan perawat sedang jalan-jalan dan beberapa orang sedang ngobrol. Aku duduk tanpa melakukan apa-apa. Dan saat itulah Dong Hae datang.
“Kenapa rajin sekali ke rumah sakit?”
“Dong Hae-ssi, kau masih di sini?”
“Kalaupun tidak ingin disini, aku harus tetap disini, apa yang kau lakukan?”
“Aku menjenguk Henry, tapi dia sedang menjalani pemeriksaan, jadi aku menunggu di sini sampai pemeriksaannya selesai,”
Dong He duduk di sampingku.
“Kupikir kau menjengukku”
“Kau ini masih saja selalu percaya diri,”
Dia hanya tersenyum.
“Kau sakit apa sebenarnya? Apa soal tenggorokanmu?”
“Aku tidak sakit, hanya menjalani serangkaian tes konyol yang menyebalkan,”
“Tapi sepertinya kau memang harus dites, sepertinya ada yang tidak beres dengan kepalamu itu,”
“Mwo? Dibandingkan dengan kau, kepalaku jauh lebih manusiawi, bagaimana bisa kau bilang tidak beres?”
“Jadi maksudmu kepalaku ini tidak manusiawi?”
“Aku tidak mengatakannya,”
“Mwo ya? Menyebalkan!”
Kenapa dia masih saja menyebalkan? Apa dia tidak sadar dia ini sedang dirumahsakitkan? Tapi entah aku masih belum bisa menjawab, aku lega mendengar dia terus saja mengejekku.
“Ya, wajahmu merah,” kata Dong Hae tiba-tiba.
“Itu karena aku marah,” aku mendengus kesal. Apa benar wajahku merah? Apa ada yang merebus telur disana?
“Bagaimana di sekolah?”
“Kami sangat sibuk di sekolah, kelas kita akan membuka stand jus buah saat pesta olahraga nanti, kita akan sangat sibuk, hari ini Hyuk Jae dan beberapa teman belanja untuk keperluan stand, kau juga harusnya membantu,”
“Bagaimana aku bisa membantu? Aku kan disini?’
“Jangan-jangan kau disini hanya beralasan untuk tidak membantu di kelas?”
“Kepalamu itu memang harus diperiksa, sepertinya ada yang nyangkut disana, bagaiman kau bisa berpikir aku hanya mencari alsan dengan tinggal disini?” dia mengetuk-ngetuk kepalaku dengan jarinya. Aku segera menepis tangannya.
“Mwo ya??” aku mengusap-usap kepalaku.
“Lalu bagimana dengan tim basket?”
“Tim basket bak-baik saja, kami masih terus berlatih, kau cepatlah kembali ke sekolah dan berlatih lagi, semua orang menanyakanmu,”
Dong Hae tidak menjawab. Dia hanya diam
‘Oh ya Dong Hae-ssi, umm..”
Dog Hae meatapku.
“Wae yo?”
“Apa kau merindukan ayahmu?”
Bukannya menjawab dia malah semakin menatapku dalam-dalam.
“Maksudku.. Aku pernah mendengar cerita tentang kau dan ayahmu, mianhae, aku hanya..”
“Itu bukan urusamu, kenapa kau suka sekali mengurusi urusanku?”
“Aku tidak bermaksud seperti itu, aku hanya.. aku kemarin bertemu dengan ayahmu,”
Dia menatapku lagi. Kenapa dia sering sekali menatapku? Dan setiap kali dia menatapku, kenapa jantungku terus menerus berdegup dengan sangat keras? Bagaimana kalau Dong Hae dengar?
“Kau bertemu ayahku? Dimana?”
“Di sekolah, dia mencarimu,”
“Apapun yang dia katakan, kau tidak usah percaya, tak perlu kau dengarkan omongan orangtua seperti itu,”
“Apanya yang seperti itu? Dia itu ayahmu, kenapa kau begitu padanya?”
“Orangtua yang menentang mimpi anaknya, apa bisa disebut orangtua?”
“Apapun yang dilakukan orangtua, tetap saja sampai kapanpun dia orang tuamu, sampai kapan kau akan terus memusuhi orangtuamu sendiri? Kau tahu, bermusuhan dengan orangtua itu sangat menyakitkan, semua hal menjadi sulit!”
“Kau tahu apa tentang perasaan seperti itu? Kau tidak akan pernah mengerti,”
“Kau yang tidak mengerti, aku sangat mengerti itu, bahkan kalau aku bisa memilih aku tidak ingin punya perasaan seperti itu!”
Dong Hae diam dan terkejut mendengar kata-kataku. Aku juga terkejut. Kenapa aku berteriak? Kenapa aku tiba-tiba emosi seperti ini? tapi aku memang tahu perasaan itu, aku sangat paham bagaimana mimpimu ditentang orang tua, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa.
“Mianhae, aku tidak bermaksud berteriak, mianhae,”
Aku menunduk. Kenapa aku malah bertindak seperti ini? Dong Hae masih belum mengatakan apa-apa. Untuk beberapa saat kami tidak mengatakan apa-apa. Aku juga tidak tahu harus bagaimana. Aku memang ceroboh memulai semua ini. seharusnya aku tadi tidak membicarakan ini.
“Mianhae, harusnya aku tidak membicarakan ini, semua salahku, aku hanya ingin kau memikirkan ini, bagaimanapun orangtua kita, mereka tetaplah orangtua yang telah membesarkan kita, tidak seharusnya kita menganggapnya musuh,”
Aku berdiri.
“Sekali lagi maaf, aku tidak bermaksud apa-apa, kau cepatlah sembuh, aku pulang dulu,” aku berjalan cepat meninggalkan Dong Hae.
Aku tidak ingin membuat suasana semakin kaku. Aku tidak menyangka akan mengatakan hal-hal yang aneh. Ada denganku ini? Pasti Dong Hae berpikir aku terlalu mencampuri urusannya. Sudahlah, aku tidak ingin memikirkan ini lagi.
***************************************************************
  Aku meraba-raba mencari ponselku. Siapa yang menelepon malam-malam begini? Apa dia drakula? Aku menemukan ponselku dibawah bantal. Tanpa melihat siapa yang menelepon aku mengangkat dan masih dengan mata tertutup.
“Yoboseyo? Nugu ya?”
“Ya, Ji Hyun-aa. Kata suster kau tadi kerumah sakit, tapi kenapa tidak bertemu aku?” Suara Henry terdengar sangat keras. Apa dia bicara di depan microphone?
“Ah, mian, aku tadi menunggumu, tapi kau sangat lama, jadi aku pulang saja,” jawabku seadanya.
“Padahal sebenarnya ada yang ingin kutunjukkan padamu, kau akan sangat terkejut kalau melihatnya,” suaranya terdengar sangat bersemangat sekali. Ada apa sebenarnya?
“Memangnya apa? Dokter tampan?”
“Ckckck.. Apa hanya dokter tampan yang ada di kepalamu? Tentu saja bukan, aku melihat Dong Hae di rumah sakit, dan menurut suster dia akan menjalani operasi,”
Kali ini aku benar-benar terbangun.
“Jjinjja?? Apa itu benar?”
“Benar kan kau terkejut, benar, dia akan operasi, tapi harus ada persetujuan dari pihak orangtua, dan anehnya dia menolak operasi saat mengetahui hal itu,”
“Mwo? Dia menolak? Wae?” sebenarnya aku tidak perlu bertanya, tentu saja aku tahu alasannya.
“Entahlah, padahal kata suster kalau dia tidak dioperasi dalam waktu dekat ini, sakitnya akan bertambah parah, sakit apa dia sebenarnya?”
“Jadi kau tidak tahu dia sakit apa?”
“Molla, suster itu sebenarnya tidak boleh menceritakan hal ini, saat menyadari dia bercerita terlalu banyak, dia langsung pergi dan memintaku untuk tidak menceritakan pada siapapun,” dia tertawa puas.
“Tapi kenapa kau menceritakan padaku? Kasihan suster itu, pasti kau mengatakan hal-hal aneh padanya” aku membayangkan Henry merayu suster itu dengan gayanya yang aneh itu. Sudah sangat sering dia melakukan hal itu. Dasar Henry.
“Ya, kau kan fansnya Dong Hae, kau wajib tahu, sudah ya, suster sudah berkali-kali melotot padaku menyuruhku tidur, dah Ji Hyun,”
Teleponpun mati. Apa yang baru saja kudengar? Apa semua itu benar? Dan sisa malam itu aku benar-benar tidak bisa tidur.
***************************************************************
Sepertinya ada sesuatu di wajahku. Hyuk Jae tak henti-hentinya menatapku.
“Ya, apa yang kau lihat??” aku merasa aneh dipandangi seperti itu.
“Apa yang terjadi dengan matamu? Kau terlihat seperti hantu. Hantu panda”
“Ya apa yang kau bicarakan?”
“Ya Ji Hyun-aa, hari ini kita akan latihan basket lagi, pertandingan tinggal 3 minggu lagi, aku benar-benar gugup dibuatnya, 3 minggu pasti sangat cepat,”
Aku diam. Pertandingan selalu mengingatkanku pada Appa. Saat itu Dong Hae masuk ke kelas. Aku terkejut bercampur senang melihatnya. Beberapa murid lain melihatnya, tapi mereka tidak terlalu memperdulikannya. Mataku terus mengikutinya sampai dia duduk di bangku belakangku.
“Ya, kau sudah kembali? Kau baik-baik saja kan?”
“Seperti yang kau lihat,”
“Huh, dingin seklai,” kata Hyuk Jae.
“Geurom!! Ini kan musim gugur, hampir musim dingin sih,” timpalku.
Apa dia masih marah karena kata-kataku kemarin? Lalu apa hasil tesnya? Aku sangat penasaran sekali. Apa dia masih belum mau dioperasi? Apa sih sebenarnya yang dia mau? Apa susahnya meminta ayahnya untuk menandatangani surat operasi? Dia benar-benar keras kepala. Pikiran-pikiran it uterus saja memenuhi kepalaku selama pelajaran berlangsung. Penjelasan Bu Guru Lee seperti angin lalu buatkuu, masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Bahkan sampai waktu latihan basket pun aku masih terus memikirkan hal-hal itu.
“Ya, Ji Hyun-aa?!!!??? Apa selamanya kau akan berlatih seperti itu??” Lagi-lagi Pelatih Kim berteriak padaku.
“Jeoseonghamnida Pelatih, aku tidak akan mengulanginya lagi,”
“Sebaiknya kali ini kau berkata yang sesungguhnya,” sepertinya PElatih Kim serius kali ini.
Akupun mencoba untuk berkonsentrasi berlatih. Aku coba mengusir pikiran-pikiran itu dari kepalaku. Dan sedikit berhasil walaupun lemparanku masih sering meleset. Paling tidak Pelatih Kim tidak lagi berteriak-teriak padaku. Latihan kali ini cukup memuaskan kata Pelatih Kim. Kalau kami terus menerus seperti ini dan bisa lebih baik lagi, kami akan siap untuk menghadapi pertandingan nanti. Setelah lebih dari dua jam, latihanpun selesai. Aku duduk di pinggir lapangan dengan keringat membasahi tubuhku. Nafasku naik turun tak beraturan.
“Kau melakukan yang terbaik hari ini,” kata Hye Ri.
Aku hanya mengangguk. Aku tak sanggup untuk bicara saat ini. Benar-benar sangat lelah, sepertinya semua tenagaku terkuras habis. Aku meneguk minumanku. Sepertinya aku ingin berendam di air panas.
“Ayo kembali,” ajak Hye Ri.
Aku lagi-lagi hanya mengangguk. Kami berdiri dan berjalan ke ruang loker untuk berganti seragam, aku tak mungkin keluar dengan baju olahraga yang basah oleh keringat. Namun saat membuka pintu lokerku, aku terkejut stengah mati. Seragamku basah kuyub. Air menetes-netes dari ujung seragamku. Siapa yang melakukan ini?
“Ya, mwo ya?” tanya Hye Ri.
“Ah aniyo, sepertinya aku akan memakai baju ini saja, sekalian saja bajuku kotor,” jawabaku mencari alasan.
“Tapi kan baju mu ini basah oleh keringat, apa nyaman pakai baju seperti itu?” Hye Ri mengerutkan keningnya.
“Ne. Gwaenchana, pallee kaja!”
Aku menarik Hye Ri untuk meninggalkan ruang loker. Apa lagi ini? siapa yang melakukannya? Apa seseorang dendam padaku? Tapi kalau kupikir-pikir aku tdak pernah menyakiti orang lain. Aku mandi dan berganti pakaian. Ah segar sekali. Aku masih mengeringkan rambutku saat ponselku berbunyi.
Ayo bertemu. Di gedung tambahan. Di ruang seni. Sekarang.
Lee Dong Hae
Aku terbelalak melihat pengirimnya. Apa ini benar Dong Hae? Selama ini aku tidak punya nomor ponselnya. Aku ragu untuk beberapa saat, tapi kupikir ini memang dia. Kira-kira apa yang ingin dia bicarakan ya? Apa tentang waktu itu? Aku melempar handukku ke tempat tidurku dan menyisir rambutku apa adanya lalu keluar dari kamar. Diluar sudah gelap. Namun beberapa murid masih melakukan berbagai aktifitas. Aku pergi kearah belakang sekolah dimana gedung tambahan berada. Kabarnya gedung ini akan dirobohkan karena jarang dipakai dan akan dibangun gedung baru.
Aku sampai di depan gedung. Tiba-tiba ponselku bordering. Ada pesan dari Hyuk Jae.
Ya, ayo makan malam. Ibuku mengirimku makanan enak. Ketemu di lapangan sepak bola.
Aku membalasnya.
Mian. Aku ada di gedung tambahan sekarang, aku ada urusan.
Saat itu baterei ponselku habis dan ponselku mati. Kenapa disaat seperti ini? Aku memasukkan ponselku ke saku baju dan menuju pintu masuk gedung tambahan. Ada beberapa tempelan yang berisi larangan untuk masuk. Aku sempat ragu, tapi saat ku dorong pintu kaca dan terbuka, aku memutuskan untuk masuk. Di dalam cukup gelap. Hanya beberapa lampu bohlam yang menyala. Aku mencari ruang seni. Ada di latai 2. Aku segera naik dan melihat ruang seni ada di sebelah tangga. Aku membuka pintu dan masuk ke sana.
“Ya, Dong Hae-ssi, aku sudah datang, apa yang ingin kau bicarakan?” aku celingukan mencari Dong HAe. Sepertinya dia belum datang.
Tapi apa yang terjadi kemudian sangat mengejutkan. Kejadiannya sangat cepat. Pintu di belakangku tiba-tiba tertutup dan lampu ruangan itu mati. Ya, mwo ya??? Apa ini gurauan? Karena ini menurutku sangat tidak lucu. Dan yang lebih buruk lagi, aku phobia pada kegelapan. Aku segera berbalik dan berlari ke pintu. Aku sempat menabrak dan menginjak beberapa barang di sana. Aku menggedor-gedor pintu dan beteriak memanggil bantuan.
“Ya!!!!! Ada orang disana? Dowajuseyo!!! Aku terkunci disini, siapa saja, tolong buka pintunya!!!”
Ini buruk. Ini sangat buruk. Aku tidak tahu harus melakukan apa. Aku terus menggedor-gedor pintu dan memanggil-manggil siapapun. Aku mengambil ponselku dan baru kuingat kalau baterei ponselku habis. Pikiranku semakin kalut. Aku harus bagaimana? Aku tidak bisa melihat apapun dalam ruangan segelap ini. aku terus menggedor-gedor pintu dan berusaha untuk membukanya. Aku meraba-raba dan mencari apapun yang bisa kugunakan untuk membuka pintu. Tapi tak kutemukan apapun. Malahan tiba-tiba sebuah balok kayu jatuh dan menimpa kakiku. Aku berteriak kesakitan. Aku hampir menangis sekarang. Siapa yang melakukan ini? Jahat sekali. Akhirnya, aku hanya duduk bersandar di depan pintu dan menangis. Aku terus menangis dan menangis. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Entah berapa lama aku disini. Sepertinya sangat lama sampai seseorang menggedor-gedor pintu dan memanggil-manggil namaku.
“Ya!! Ji Hyun-aa!! Apa kau di dalam?? Ya Ji hyun-aa, jawab aku!!”
Siapa itu?? Tapi siapapun itu, aku bangun dan menggedor pintu dari dalam.
“Ne, ini aku, keluarkan aku dari sini,” sepertinya suaraku hampir hilang.
Terdengar pintu yang didorong beberapa kali dari luar. Kemudian terdengar pintu yang dipukul-pukul dengan benda yang keras. Dan entah keajaiban apa yang ada dihadapanku sekarang, tapi pintu terbuka dan kulihat Dong Hae berdiri disana, terengah-engah sambil memegang sebuah pemukul baseball. Dan tanpa pikir panjang aku berlari kearahnya da memeluknya. Aku menangis sesenggukan dalam pelukannya.
“Ya, Ji Hyun-aa, gwaenchana?” suara terdengar bergetar.
Aku menangguk. Tapi badanku terus menerus gemetaran. Segala sesuatu yang baru saja terjadi terlihat sangat menakutkan. Pelan-pelan, tangan Dong Hae membelai rambutku pelan. Dan saat itulah aku merasa terlindungi, perasaan takutku perlahan-lahan hilang.
“Bagaimana kau tahu aku disini?”
Kami berdua duduk di depan ruang seni. Aku sangat lemas untuk berjalan. Maka kami memutuskan untuk duduk sejenak.
“Hyuk Jae kembali ke kamar dengan makanan yang utuh. Sebelumnya dia bilang akan makan denganmu, tapi kau tidak bisa karena kau pergi kesini. Saat itu tidak ada hal yang aneh. Tapi dua jam kemudian, ponsel Hyuk Jae bunyi. Dia mendapat telepon dari Hye Ri. Karena Hyuk Jae sudah tidur aku yang mengangkatnya. Hye Ri bilang kau belum kembali ke kamarmu. Dia berkali-kali ke kamarmu dan menghubungimu, tapi katanya kau susah sekali dihubungi. Ponselmu bahkan tidak aktif. Dia memintaku untuk mencarimu, lalu aku teringat kau yang pergi ke gedung tambahan. Saat aku sampai disini, pintu depan terkunci, aku harus memecahkan kaca untuk bisa masuk. Dan begitulah, aku menemukanmu hampir mati disini,” dia menatapku. “Ya, kau ini mikir apa sih? Kenapa malam-malam kesini?” tiba-tiba dia berteriak.
Aku diam beberapa saat. Jadi bukan Dong Hae yang memanggilku kemari?
“Geureso… Kau tidak ingin bertemu denganku?”
“Apa lagi yang kau bicarakan?”
“Aku kesini.. aku kesini karena kau yang memintaku, kau ingin membicarakan sesuatu, jadi aku kesini,” aku ingin menunjukkan pesannya, tapi ponselku mati.
“Ya, babo ya?? Siapa yang memintamu kesini?”
“geurende, tadi aku mendapat pesan darimu, makanya aku kesini,”
“Pesan apa?  Nomor ponselmu saja aku tidak tahu,” dia mendengus kesal.
“Jadi siapa yang mengirimku pesan?”
“Molla, sekarang kembalilah ke kamarmu, kau terlihat sangat menyedihkan,”
Aku hanya mengangguk. Namun saat kucoba berdiri, kakiku terasa sangat nyeri. Aku teringat kakiku yang tertimpa balok tadi. Tulangnya sepertinya tidak apa-apa, tapi ada luka goressan cukup panjang di kakiku dan mengeluarkan darah. Darah sudah mengalir hingga mata kaki dan masuk ke dalam sepatuku. Perih sekali. Tadi tidak terasa karena aku terlalu takut, tapi sekarang terasa perih sekali. Aku mencoba untuk berdiri lagi tapi terasa semakin perih. Sepertinya tidak mungkin untukku berjalan.
“Wae yo?” tanya Dong Hae.
Aku menunjukkan kakiku yang berdarah. Dia menatapku untuk beberapa saat. Tiba-tiba dia jongkok di depanku.
“Naik,” katanya.
“Ne???”
“Kubilang, naiklah, kau tidak akan bisa berjalan dengan luka dikakimu itu,”
Aku diam untuk beberapa saat dan pelan-pelan melingkarkan tanganku dileher Dong Hae dan naik ke punggungnya. Dia berdiri dan menggendongku keluar dari gedung tambahan. Dia berjalan pelan menyusuri jalan setapak menuju gedung utama.
“Ya, aku berat kan?”
“Geure, kau sangat berat, kau makan apa sih bisa sampai berat begini?”
“Aku akan turun kalau begitu,”
“Apa kau mau merangkak sampai kamarmu?”
Aku hanya nyengir mendengar kata-katanya.
“Ya, Dong Hae-ssi, kadang-kadang aku penasaran, bagaimana perasaanmu saat kau bernyanyi?”
Bukannya menjawab Dong Hae malah diam.
“Apa aku mengatakan hal yang salah lagi?”
“Ani, aku hanya teringat ayahku pernah bertanya hal yang sama, dia bertanya apa aku senang saat bernyanyi, belum sempat aku menjawab, dia mengatakan aku hanya main-main dengan menjadi pemain,” dia diam lagi. “tapi dia salah, saat bernyanyi, aku seperti menyentuh langit, dan dia tidak akan pernah mengerti itu,”
Aku menatapnya dari belakang.
“Mianhae, aku berkata yang aneh-aneh lagi,”
“Geure, kau selalu saja bodoh seperti biasanya,”
“Mwo??”
Akhirnya kami sampai di halaman sekolah. Dia berhenti sebentar dan menaikkan posisiku.
“Aku tidak mungkin mengantarmu sampai kamar, kuantar saja kau ke klinik, hyung mungkin masih ada di sana,”
Aku hanya mengangguk. Lagipula sepertinya memang kakiku harus mendapat pertolongan, sekarang rasanya seperti terbakar. Dan dia membawaku kesana. Dokter Ji Hoon memang masih ada disana. Dia hampir saja pergi saat kami dengan wajah meringis masuk ke ruangan klinik.
“Ya, apa-apaan kalian ini??” dia sudah bersiap akan pergi. Dia bahkan sudah membawa tasnya.
Dong Hae membawaku masuk dan menurunkanku di salah satu tempat tidur.
“Aku menemukannya hampir kehabisan darah , sepertinya dia jatuh dari pohon atau semacamnya, benar-benar ceroboh,” Dong Hae duduk di kursi di depan meja Dokter Ji Hoon.
Dong Hae tidak mengatakan yang sebenarnya. Tentu saja tidak mungkin mengatakan kalau seseorang mengurungku di ruang seni. Lagi pula kami akan kena kena marah besar karena memasuki gedung tambahan. Dokter Ji Hoon meletakkan tasnya lagi dan memeriksa keadaan kakiku.
“Kau ini, selalu saja terluka, kau mudah sekali mendapatkan luka. Lukamu cukup dalam, tapi tidak parah, hanya tergores benda tajam, akan kubersihkan dan kuberi obat lalu kuperban,”
Aku meringis kesakitan saat Dokter Ji Hoon membersihkan dan mengobati lukaku. Beberapa saat kemudian lukaku selesai diobati dan kami mengucapkan terimakasih pada Dokter Ji Hoon lalu kami pamit. Aku sudah bisa berjalan pelan-pelan setelahnya. Dong Hae mengantarku hingga gerbang asrama perempuan.
“Pergilah dan beristirahatlah, sepertinya kau bisa tumbang kapanpun,”
Aku mengangguk pelan dan tersenyum.
“Gomawoyo, entah apa yang akan terjadi kalau tidak datang, jeongmal gomawoyo,”
Dia hanya diam dan mengulurkan ponselnya.
“Mwo?”
“Berikan nomormu,”
“Oh, baiklah,”
Aku menerima ponselnya dan memberikan nomorku padanya.
 “Jangan sampai salah orang lagi, aku pergi,”
Dia berbalik dan meninggalkanku dengan jantungku yang berdegup sangat kencang. Sepertinya jantungku akhir-akhir ini jantungku tidak berdegup pada tempatnya.
****************************************************************
“Ya, Ji hyun-aa, gwaenchana? Semalamn kau tidak bisa dihubungi, apa yang terjadi? Bagaimana kau dapat luka di kakimu itu?” Hye Ri sampai datang ke kelasku pagi ini dan menanyaiku macam-macam.
“Geokjeonghajima, gwaenchana, semalam aku hanya jalan-jalan dan ponselku mati, lalu aku tersandung dan jatuh, itu saja,” aku beralasan untuk tidak mengatakan bahwa aku dikurung.
“Syukurlah, aku lega kau baik-baik saja, lain kali jangan diulangi lagi ya, aku akan kembali ke kelasku, sampai nanti,”
“Ne, sampai nanti,”
Hye Ri pergi meninggalkan kelasku. Kemudian aku memikirkan kejadian-kejadian yang menimpaku. Saat camp latihan, seseorang menendang kakiku, seragamku ada yang membuatnya basah, dan kali ini aku bahkan dikurung. Siapa yang melakukan semua ini? Apa yang kulakukan sampai ada orang yang melakukan ini semua? Apa ada orang yang dendam padaku? Tapi aku ka tidak pernah menyakiti orang lain. Apa aku tanpa sengaja menyakiti perasaan orang lain? Aku masih terus memikirkan kemungkinan saat Hyuj Jae  memukul kepalaku. Aku mengaduh pelan. Lamunanku buyar seketika.
“Ya, apa hidupmu habis untuk melamun?” tanya sambil mengeluarkan beberapa buku dari dalam tas.
“Kau ini bicara apa?” aku mengalihkan pandangan dan mencoret-coret bukuku.
Saat itu Dong Hae masuk ke kelas. Dia hanya melewatiku tanpa mengatakan apa-apa dan duduk di bangkunya. Aku menoleh padanya sekilas, tapi dia sibuk dengan bukunya. Kenapa dia cepat sekali berubah? Bu Guru Lee masuk sambil membawa sebuah tas.
“Annyeonghaseyo,” sapanya.
“Annyeonghaseyo, songsengnim,” jawab kami serempak.
“Bagaimana kabar kalian hari ini?”
“Baik!!!!” sepertinya kami harus ikut paduan suara.
“Hari ini, Ibu membawa kabar gembira untuk kalian, ibu akan membagikan undangan untuk orangtua kalian agar datang ke acara pesta olahraga, kalian harus memberikan undangan ini pada orangtua kalian, dan pastikan orangtua kalian datang dan menyaksikan kalian, araji??”
“Araseo, sengnim,” jawab kami serempak.
Hanya aku yang tidak menjawab. Sebaliknya aku sangat terkejut kalau hari ini kami akan mendapatkan undangan untuk orangtua. Bagaimana ini? Itu artinya aku harus menemui Appa untuk memberikan undangan ini. Bu Guru Lee mulai membagikan undangan sesuai dengan nama kami. Saat aku menerima undangan tersebut aku hanya bisa menatap undangan itu. Apa yang harus kulakukan? Aku menoleh dan melihat Hyuk Jae sangat senang melihat undangan itu. Lalu aku menoleh ke belakang, kulihat Dong Hae sibuk menulis dibukunya, undangannya hanya tergeletak di atas meja. Sepertinya Dong Hae bahkan tak menyentuhnya.
Setelah membagikan undangan itu, kami memulai pelajaran seperti biasa dan seperti biasa pula aku tidak konsentrasi pada pelajaran. Mataku hanya tertuju pada undangan di atas mejaku.
*****************************************************************
Dan disinilah aku. Entah apa yang kupikirkan. Entah bagaimana dengan tanpa sadar aku sampai disini. Di depan pintu rumahku. Dan aku sudah berdiri disini kurang lebih setengah jam. Aku tidak mengentuk pintu atau membunyikan bel sampai pintu tiba-tiba terbuka dan eomma muncul dari dalam rumah. Eomma terbelalak melihatku.
“Ji Hyun-aa!!!”
“Eomma!”
Eomma keluar dari pintu depan dan memelukku. Aku balas memeluk eomma.
“Ya, kenapa kau baru pulang sekarang, kau tahu aku sangat rindu padamu,”
“Nado, eomma,”
Eomma melepas pelukannya dan memandangku dari atas sampai bawah.
“Apa kau sehat? Sepertinya kau tambah kurus. Ya, kakimu kenapa? Kenapa dibebat seperti iytu?”
“Eomma, naneun gwaenchana, jeongmal,”
Eomma menatap sebentar.
“Ya, kenapa kau diam saja seperti manusia yang diawetkan? Ayo pallee deurowa,”
Eomma menarikku masuk dan menyuruhku duduk di ruang tamu. Sementara dia ke dapur. Aku clingukan melihat isi rumah. Tepatnya aku mencari Appa.
“Eomma, kemana Appa?”
“Tentu saja ayahmu itu bekerja,”
“Oh,”
Sepertinya ini kesempatanku. Kuberikan saja undangannya pada eomma dan segera pergi. Pasti Appa akan marah nanti, tapi paling tidak aku tidak akan bertemu dengannya. Aku baru saja berdiri dan akan mengahmpiri eomma di dapur saat pintu dibuka dan appa masuk. Mwo??? Kenapa begini??
“Ah, yobo, kau sudah pulang, lihatlah, Ji Hyun juga pulang, menyenangkan sekali kan?”
Appa menoleh ke arahku dan tatapannya berubah menjadi tajam. Aku hanya menunduk. Aku tak berani menatap appa. Eomma kembali ke dapur dan appa menghampiriku.
“Apa kau pulang karena sesuatu?”
“Apa maksud Appa?”
“Sudahlah, berikan undangan itu, tapi perlu kau ketahui, aku tidak akan datang ke acara itu, selama kau tidak mengundurkan diri dari tim basket itu,”
“Tapi..”
“Cepat berikan, dan terserah kau mau melakuka apa,”
Dari mana appa tahu? Dan kenapa appa masih saja maah aku mengambil undangan dari dalam tasku dan menyerahkannya pada appa. Appa mengambilnya dan pergi ke ruang kerjanya begitu saja.
“Appa..”

To be continued...

Jumat, 25 Januari 2013

In My Dream (Part 7)

Diposting oleh Popo... The Kite Runner di 19.17 0 komentar

Ayah Ji Hyun datang, apa yang akan terjadi? Here In My Dream Part 7...
Enjoy...


“Appa, kau datang?” tanyaku pelan.
“Aku mengirimmu kesini bukan untuk memberimu kesempatan membunuh dirimu sendiri, aku mengirimmu kesini untuk belajar!” tiba- tiba appa berkata seperti itu.
“Apa maksudmu?”
“Kau dari mana? Kenapa kau tidak ada di kelas yang seharusnya kau ikuti?”
“Aku.. aku, kami ada acara di luar sekolah appa, ada guru yang ikut dengan kami,”
“Untuk berlatih basket?”
Aku terkejut appa sudah tahu kalau aku bermain basket lagi.
“Appa, dengarkan penjelasanku dulu, aku bisa menjelaskan semua, jeosonghamnida, aku belum menceritakan kepada appa,”
“Apa yang bisa kau jelaskan? Bukankah sudah jelas kau bermain basket lagi? Apa yang ingin kau jelaskan? Appa melarangmu bermain basket, itu demi kebaikanmu, kenapa kau ini? Apa kau ingin membuatku jantungan?” appa benar-benar marah kali ini.
“Appa, aku bisa menjelaskan semuanya, aku hanya ingin bermain basket appa,”
“Kau ingin bermain permainan yang hampir membunuhmu? Apa bisa aku menerima semua itu mengingat apa yang pernah terjadi padamu?”
“Appa, aku hanya ingin bermain basket, itu impianku appa, aku tidak punya hal lain, aku hanya bisa bermain basket. Aku tahu, ini berbahaya, aku selalu ingat hal itu, tapi ini mimpiku appa, ini cita-citaku, ini yang kuharapkan, appa, mengertilah, jebal,” aku berusaha menjelaskan kepada appa.
“Apa tidak cukup kau membuat seluruh keluargamu hampir mati karena khawatir? Berhentilah, atau terpaksa aku memindahkanmu,”
“Mwo ya? Andwe, aku tidak mungkin pindah, akan ada pertandingan penting appa,”
“Itu terserah kau,” appa beranjak dari tempatnya.
Aku menatap appa penuh keputus asaan. Kenapa jadi begini? Kenapa appa tiba-tiba datang seperti ini? Aku ingin menjelaskan pada appa, tapi bukan seperti ini.
“Appa..” aku memanggil appa pelan.
Tapi appa pergi begitu saja. Dia masuk ke dalam mobilnya dan pergi meninggalkan sekolah. Aku berusaha mengejar dan memanggilnya untuk kembali. Tapi mobil appa semakin jauh meninggalkan sekolah. Aku berdiri terengah-engah di pinggir jalan. Apa yang harus aku lakukan? Aku berjalan pelan ke halte bus dan duduk disana untuk beberapa saat. Aku tidak tahu harus melakukan apa. Aku hanya diam di halte bus. Beberapa orang melihatku heran karena aku hanya duduk di sana dan tidak naik ke setiap bus yang datang.
Kepalaku sangat sakit sekarang rasanya. Aku benar-benar bingung sekarang. Ponselku tiba-tiba berdering. Eonnie meneleponku,
“Ne, eonnie,” jawabku serak. Aku berusaha untuk tidak terlihat seperti habis menangis.
“Appa pulang sangat marah, dan uring-uringan, dia dari sekolahmu kan?”
Aku mengangguk, “Ne, dan kau tahu eonnie, appa sangat marah padaku, eohttoke?”
“Bagaimana ini? Kau, apa yang kau lakukan sekarang? Gwaenchana?”
“Aku tidak tahu eonnie, aku bingung, aku akan pulang dan menjelaskan,”
“Andwe, kau jangan pulang, appa sangat marah, dia terus di kamar dan tak mau keluar, kalau kau pulang, semuanya akan tambah kacau, ku telepon kau kalau appa sudah mereda,”
“Ne eonnie,”
“Kau baik-baiklah disana, jangan berbuat yang aneh-aneh,”
“Ne,”
Saat aku menutup telepon hujan turun. Awalnya hanya gerimis, lama-lama menjadi hujan deras. Orang-orang berlarian mencari tempat untuk berteduh. Dan sebentar saja, halte tempatku duduk penuh dengan orang berteduh. Aku tidak mempedulikan mereka. Beberapa dari mereka membicarakn hujan yang tiba-tiba, beberapa menggerutu karena barang-barang mereka basah, beberapa ada yang menyesal tidak membawa payung, aku hanya diam menatap lurus.
Saat sebuah bus datang, beberapa dari orang-orang itu naik ke dalam bus. Menyisakan beberapa orang termasuk aku. Aku masih belum bergeming dari dudukku. Beberapa saat kemudian bus lain datang. Beberapa naik dan hanya tinggal 3 orang termasuk aku. Kedua orang itu akhirnya menyetop sebuah taksi dan hanya tinggal aku disini. Aku tidak ingin beranjak dari sini. Lagipula aku tidak membawa payung, jadi aku memutuskan untuk menunggu hujan reda baru kembali ke sekolah. Aku memasang earphoneku dan berusaha mendengarkan lagu. Pikiranku masih sangat kacau, mungkin lagu bisa membantu. Aku memejamkan mataku mencoba menenangkan pikiranku. Kata-kata Appa masih terngiang-ngiang di pikiranku.
Aku tidak meyadari seseorang telah berdiri di depan halte, memmegang sebuah payung dan hanya diam melihatku. Aku masih saja mencoba menenangkan pikiranku, mencari jalan untuk membuat Appa mengerti dan memahami pilihanku. Suara hujan yang menetes di payung membuatku sedikit terganggu. Aku membuka mata dan kulihat Sulli berdiri di depanku. Aku melepas earphoneku cepat-cepat.
“Sulli-yaa,”
“Terus saja cari penyakit? Kau pikir hujan akan memberi ampunan padamu?”
“Mwo ya? Ya, kau datang, apa itu artinya kau memaafkanku?”
“Tidak semudah itu, aku tahu Kai memang bersalah, entah apa yang ada dipikirannya, tapi harus bagaimana lagi, dia tidak mau bicara padaku, tapi bukan berarti aku memaafkanmu begitu saja, kau harus memberiku pelukan agar aku bisa memaafkanmu,”
Aku langsung memeluk Sulli. Dia agak kaget namun segera membalas pelukanku. Kami berdua duduk bersebelahan. Hujan masih sangat deras.
“Apa yang sebenarnya kau lakukan disini? Kau dari mana memangnya?”
“Aku hanya berteduh, aku tidak bawa payung,”
“Kotjimara, matamu bengkak seperti bola pingpong, ya, ada masalah?”
Aku menatap Sulli beberapa saat, ada sorot kekhawatiran di matanya.
“Tentang basket kan?”
“Ara?”
“Ara.. Eonnie cerita padaku, dan paman tahu soal ini.”
Aku hanya mengangguk pelan.
“Ya, kau memang sudah kehilangan pikiranmu, kau membuat banyak hal yang sulit kami mengerti, tapi aku memahami perasaanmu, kau hanya ingin melakukan sesuatu yang kau suka, kau impikan, tak ada yang salah dengan itu,”
“Tapi semua salah di mata Appa, aku tidak tahu harus menjelaskan seperti apa lagi, sepertinya dia sangat sulit menerima semua ini,”
“Ya, Ji Hyun-aa, apa pernah paman tidak mengabulkan keinginanmu?”
“Mwo ya?”
“Aku ingat, saat kita kecil, aku pernah sangat menginginkan sebuah boneka, aku minta pada Appa, tapi tidak boleh, kemudian kau memaksa paman untuk membelikanku boneka yang aku inginkan, tanpa kau perlu merengek pun, paman membelikanku boneka, aku sampai sekarang masih menyimpan boneka itu. Jadi tidak ada alasan paman melarangmu bermain basket, dia pasti mengabulkan keinginanmu,”
“Kunde.. Saat ini aku tidak minta boneka, aku minta apa yang dilarang oleh Appa,”
“Aku bilang pasti akan mengabulkannya, mungkin tidak sekarang, masa kau tidak tahu sifat paman? Dia itu akan luluh kalau kau terus-menerus merayunya.”
“Geure?? Kau tidak lihat sih tadi Appa sangat marah,”
“Semarah apapu dia, dia akan mengizinkanmu.”
“Dia juga mengancam akan memindahkanku, entah kemana”
“Jjinjja? Dia akan memindahkanmu?”
“Geure.. Eohtokke?”
“Sudahlah, kalau kau menjelaskan padanya pasti dia akan mengerti, percaya padaku,”
“Hhhh, entahlah.. melihat Appa saja rasanya aku tak sanggup,”
“Aku akan menemanimu menemunya, dia akan luluh saat melihatku,”
“Kau pikir Appa ku akan melihatmu??”
“Oh, kau jangan salah, paman sangat mengidolaka aku, kau saja yang tidak tahu,”
“Mwo ya?? Sadarlah!!”
Kami berdua tertawa.
“Sulli-aa, gumapta, aku senang kau datang,”
“Gumapta?? Kau seharusnya mentraktirku sesuatu, kau pikir aku datang kesini dengan cuma-cuma?”
“Kau ini,”
Kami memandang hujan yang semakin deras. Ini kan musim gugur, kenapa hujan sudah sangat deras seperti ini? tiba-tiba ponselku bordering, ada pesan dari Hye Ri,
Ya, odiga? Aku mencarimu di kamar, tapi kau tidak ada.
Aku masih ada diluar, mwo ya?
Aniyo, aku hanya ingin menemuimu.
Akan kuberitahu saat aku kembali.
“Kau mau pergi ke suatu tempat?”
“Mwo?” Sulli memainkan payungnya yang basah. “Ani, aku hanya ingin menemuimu, kau sibuk?”
“Aniyo. Hari ini aku tidak punya pekerjaan. Tapi aku mungkin akan mengerjakan beberapa PR. Kau sendiri, bukankah harusnya kau di sekolah?”
“Aku senang tidak ingin mendengarkan penjelasan guru,”
“Jadi kau bolos?”
Sulli mengangguk ringan.
“Kau ini, tidak pernah berubah, lalu Henry bagaimana?”
“Dia sangat sibuk bermain bola, katanya dia ingin masuk timnas Korea, tapi kalau dengan tingkahnya yang seperti itu, kurasa dia tidak akan diterima,”
“Wae? Menurutku dia sangat bagus saat bermain sepak bola, dia sering membawa sekolah kita di pertandingan bergengsi, kau harusnya mendukungnya,”
“Tentu saja aku mendukungnya, aku adalah pendukungnya yang paling setia.”
“Araso, hhahaha,”
“Ah, Ji Hyun-aa, apa aku bisa ketemu Dong Hae sekarang?”
“Mwo? Tentu saja tidak bisa, ini masih jam sekolah, tidak bisa menemuinya begitu saja,” sebenarnya aku bisa saja menemuinya sekarang, tapi mengingat kejadian kemarin, rasanya mustahil bisa berbaikan dengannya.
“Ah, mengecewakan,” Sulli terlihat kecewa dibuat-buat.
“Sudahlah, kau masih bisa bertemu dengan suatu saat, akan kubilang padanya bahwa kau adalah fan terbesarnya, pasti dia akan mau menemuimu,”
“Fan besar apanya? Bukankah kau yang tergila-gila padanya?”
“Ani!!!”
Kami berdua terus ngobrol dan tertawa sambil enunggu hujan reda. Entah apa yang bisa kulakukan sekarang. Yang pasti aku harus menghadapi Appa.
**************************************************************
Aku menghempaskan diriku di kasur. Akhirnya kurasakan juga empuknya kasurku. Tak ada seorangpun di kamarku. Mereka pasti sedang di kelas. Apa tidak apa-apa aku bolos? Pintu diketuk. Aku malas sekali turun dan membuka pintu. Tapi belum sempat aku bangun, pintu sudah terbuka dan seseorag masuk.
“Aku masuk ya,” itu suara Hye Ri.
“Ne, aku lupa mengirimmu pesan,” aku bangun dari tempat tidur saat Hye Ri sudah naik ke tempat tidurku.
“Gwaenchana, aku melihatmu dari atas, makanya aku kesini, sangat bosan di kamr sendirian, kau dari mana?”
“Aku hanya bertemu seorang teman,”
“Namja?” dia tersenyum penuh curiga.
“Ani, dia temanku saat SMP, dia bolos sekolah dan bingung mengerjakan apa, makanya menemuiku,”
Dia menyerngitkan dahi. Aku hanya tersenyum melihat ekspresi wajahnya.
“Kau sudah makan? Aku bawa makanan, kau mau?”
“Ne, gumawo, aku memang lapar sekali,”
Kami berdua makan kimbab yang dibawa oleh Hye Ri sambil ngobrol. Seandainya saja aku sekamar dengan Hye Ri, pasti akan sangat mnyenangkan. Teman-teman sekamarku selalu melakukan apapun tanpaku. Mereka sangat baik sebenarnya, tapi entah kenapa kami tidak bisa dekat. Kami tidak pernh mengobrol satu sama lain, kami bahkan jarang bertemu, kadang mereka sudah pergi saat pagi, atau pulang saat aku tidur, sebenarnya aku tidak terlalu ambil pusing, tapi kami kan sekamar.
“Saat pesta olahraga nanti, kelasmu akan mengadakan apa?”
“Mengadakan apa memangnya?”
Ya, apa sih yang kau tahu? Saat pesta olahraga nanti, setiap kelas harus mempunyai stand masing-masing, kelasku mengadakan stand ramal, kau datanglah nanti,”
“Stand ramal? Kau percaya hal-hal seperti itu?”
“Aku sih percaya tidak percaya, tap seorang chingu di kelasku sangat ahli dalm hal itu, dia bisa meramal dengan apa saja, garis tanga, kartu tarot, membaca wajah, apa saja, kau harus datang kesana nanti,” jelas Hye Ri dengan semangat.
“Untuk apa aku kesana? Aku tidak percaya hal-hal seperti itu,”
“Tidak ada salahnya kan dicoba, aku akan menemanimu, oke?”
Aku hanya mengangkat pundakku. Kenapa harus percaya hal-hal seperti itu?
*******************************************************************
Aku kembali mengikuti pelajaran seperti biasanya. Aku masih memakan sandwichku saat memasuki kelas. Tiba-tiba Hyuk Jae merangkulku dari belakang. Aku tersedak sedikit.
“Ya, mwo haeyo?? Kau mengagetkanku,”
“Hahha, ani, bagaimana tidurmu?”
“Tentu saja dengan mata tertutup, memangnya bagaimana?”
“Huwaa, kau bisa bercanda rupanya, hari ini tidak ada jadwal latihan basket, apa yang akan kau lakukan?”
“Mollaseo, mungkin aku akan menonton latihan sepak bola, entahlah, aku tidak ada rencana,”
“Sepertinya kau orang yang sama sekali tidak punya kerjaan,”
“Memangnya kenapa? Tidak boleh?”
“Kau ini, kau dengar kelas kita akan membuat stand kopi untuk acara pesta olahraga nanti, kita akan jadi pelayan,” Hyuk Jae meletakkan tasnya diatas meja lalu duduk di kursinya.
“Mwo? Kenapa stand kopi? Kupikir lebih baik stand jus buah saja, sepertinya lebih menyenangkan,” aku duduk dan meminum susuku.
“menurutmu begitu? Kau usul saja pada Bu Guru Lee, jus buah akan terlihat lebih berwarna, geure?”
Aku mengangguk dan tersenyum. Bel berbunyi. Bu guru Lee masuk.
“Annyeonghaseyo,”
“Annyeonghaseyo Seongnim,”
“Oh ya, sebelum memulai pelajaran, ada pengumuman sebentar, kelas kita akan membuka stand kopi untuk pesta olahraga nanti, kalian setuju?”
Langsung terdengar keributan dari murid-murid di kelasku. Ada yang senang, ada yang mengeluh, ada yang mengajukan usul lain, beberapa hanya diam saja.
“Seongnim, bagaimana kalau kita membuka stand jus buah saja? Kata Ji Hyun itu terlihat lebih berwarna,”
Aku menatap Hyuk Jae.
“ah, jus buah, geure, itu lebih segar dan menyenangkan, baiklah, kita akan membuka stand jus buah, semua setuju? “
Semua murid sepertinya setuju. Kemudia dipilihlah beberapa siswa yang akan menjaga stand jus buah. Aku tidak mau berjaga. Lagipula akukan ada pertandingan basket. Pasti akan sangat repot berjaga sambil ada pertandingan. Untung saja Bu Guru Lee memberikan keringanan bagi kami yang mengikuti lomba. Murid yang tidak mengikuti lomba akan bergantian menjaga stand jus buah kami.
Kamipun melanjutkan pelajaran. Aku berusaha konsentrasi pada pelajaranku. Aku menyapu pandanganku ke seluruh kelas. Dan aku baru menyadari kalau Dong Hae tidak ada di kelas. Kemana dia? Aku memberi isyarat kepada Hyuk Jae dan bertanya diaman Dong Hae. Tapi Hyuk Jae hanya mengangkat bahu. Jadi sebenarnya kemana Dong Hae. Setelah beberapa saat dan beberapa tugas yang diberikan oleh Bu Guru Lee, kelas kami pun berakhir.
“Jangan lupa kalian persiapkan stand jus kalian, kalau kalian ingin berbelanja, datanglah pada ibu, ibu akan memberikan uangnya, belajar dengan rajin, araji?”
“Ne, aigesemnida,” kami menjawab seperti paduan suara.
“Huh, janji palsu, baiklah, annyeong!”
Bu Guru Lee meninggalkan kelas. Beberapa siswa juga meninggalkan kelas. Aku merapikan bukuku dan memasukkannya ke dalam tas. Hyuk Jae masih mencatat tulisan di papan tulis. Dia selalu melakukan itu di akhir pelajaran. Aku menempelkan wajahku di meja dan menunggunya selesai menulis. Aku harus pulang atau bagaimana ya? Tapi aku belum berani ketemu Appa.
“Ya, wajahmu seperti ubur-ubur,” Hyuk Jae menoleh padaku.
“Apanya yang ubur-ubur?”
“Gidariyo, sebentar lagi aku selesai,”
Aku hanya mengangguk.
“Ah, kau benar-benar tidak tahu dimana Dong Hae?”
Hyuk jae menggeleng.
“Aku tidak melihatnya tadi pagi, sepertinya semalaman dia tidak kembali ke kamar, kemarin kulihat dia bersama Dokter Ji Hoon, aku tidak melihatnya lagi setelah itu,”
“Dokter Ji Hoon?”
“Ne, mereka pergi dengan mobil,”
Mobil? Apa mereka ke rumah sakit? Apa yang terjadi? Entah kenapa tiba-tiba aku merasa bingung, bagaimana kalau terjadi sesuatu?
“Wae yo? Kau semakin terlihat seperti ubur-ubur.” Hyuk Jae mulai merapikan buku-bukunya dan bersiap pergi.
“Oh, aniyo, aku lapar, kau mau makan?”
“Ne, aku sudah sangat lapar, kau mau makan apa?”
Kami meninggalkan kelas yang mulai sepi. Kami membicarakan pertandingan yang akan berlangsung satu bulan lagi. Masih ada waktu untuk menjelaskan pada Appa tentang semua ini. Saat hendak ke kantin, langkah kami dihentikan oleh seorang yeoja. Sepertinya aku tidak asing dengan wajah yeoja ini.
“Kalian tahu dimana Dong Hae-oppa??” tanyanya. Nadanya sangat tidak sopan.
“Molla,” jawab Hyuk Jae seadanya.
Ah, geure, dia kan yang mengekor Dong Hae waktu itu. Siapa sih sebenarnya dia ini? Kenapa selalu saja mencari Dong Hae?
“Kenapa semua orang tidak tahu dimana dia? Dia kan sangat terkenal, kenapa tak ada yang tahu dia pergi?”
“Disini kami tidak peduli kau artis atau anak perdana menteri sekalipun, kau sama saja dengan yang lain, jadi apa kegiatan Dong Hae, itu bukan hal yang harus dibesar-besarkan,” jelas Hyuk Jae.
“Tapi kan, ahh.. Dimana dia? Di rumah tidak ada, di akntor tidak ada, bahkan di sekolahpun aku tidak bisa menemukan dia,”
“Apa ada masalah?”
“Geure!! Ada masalah yang sangat besar, dia akan dikeluarkan dari manajement jika tidak menemui direktur, tapi sekarang dia dan Manajer Hong malah menghilang, ini tidak benar,”
“Dikeluarkan?”
“Ne, akhir-akhir ini dia jarang bernyanyi dan sibuk dengan kegiatan sekolah, beberapa kontrak yang harus ditandatangani batal karena dia terus daja menghilang, aku sangat khawatir padanya, dia bisa benar-benar dikeluarkan,”
Aku dan Hyuk Jae saling pandang.
Tanpa mengatakan apa-apa dia meninggalkan kami. Kami melihatnya menjauh dengan penuh keheranan. Tiba-tiba ponselku bordering, saat kulihat Sulli yang meneleponku.
“Ne, Sulli-aa, wae yo?”
“Ya, Ji Hyun-aa, kau harus cepat ke rumah sakit, Henry harus di operasi!” suara Sulli terdengar sangat panic.
“MWO??”
Aku berdiri dengan perasaan sangat kaget. Apa yang terjadi.
“Pallee, kau harus segera kesini,” Sulli menutup teleponnya.
“Wae yo?”
“Aku harus segera ke rumah sakit, mian Hyuk Jae, aku harus pergi,”
“Ya Ji Hyun-aa!!”
Aku berlari meninggalkan Hyuk Jae yang memanggilku. Apa yang terjadi dengan Henry? Kenapa tiba-tiba harus di operasi? Aku sempat menabrak beberapa siswa yang sedang berjalan, tak ada waktu untuk minta maaf. Aku terus berlari. Aku harap-harap cemas saat menunggu bus di halte. Kenapa lama sekali? Kenapa apapun lama saat aku ingin apapun cepat? Akhirnya bus datang. Aku semakin merasa khawatir. Sepertinya rumah sakit menjadi sangat jauh. Sebenarnya hanya buutuh waktu satu jam untuk sampai sana, tapi entah kenapa sepertinya ini makan waktu hampir selamanya.
Dan apa lagi ini? kenapa macet sekali? Sepertinya aku harus naik kereta bawah tanah. Aku turun di halte dekat stasiun dan berlari menuruni tangga stasiun. Aku terus berlari. Setelah perjalanan yang entah kenapa sangat lama. Aku sampai juga di rumah sakit. Aku berlarian mencari kamar Henry. Aku berlari ke ruag operasi tapi ternyata operasi sudah selesai. Aku menelepon Sulli dan menanyakan kamar. Akhirnya aku sampai juga di depan kamar Henry. Aku membuka pintu dengan tergesa-gesa. Dan kulihat Sulli sedang membaca komik dan Henry sedang memainkan ponselnya. Mereka menoleh melihat kedatanganku.
“Ya, Ji hyun-aa, kau sudah datang?” kata Sulli smabil membuang komiknya begitu saja.
“Ne, senang melihatmu,” Henry nyengir lebar ke arahku.
“Ne, apa yang terjadi?”
“Aku bosan sedangkan Henry tidak boleh tertawa, geureso, aku memanggilmu,” kata Sulli sambil tersenyum jahil.
“MWO??” aku membentaknya. “Kau tahu betapa aku sangat khawatir hampir mati???”
“Mian,” Sulli menarikku ke tempat tidur Henry. “Lihatlah dia, sangat mengenaskan”
Henry masih saja nyengir. Wajahnya benar-benar menyebalkan. Dan dia sama sekali tidak telihat sakit. Wajahnya sangat ceria.
“Apanya yang mengenaskan? Dia terlihat sanggup berlari seratus kali putaran! Aku sudah membayangkan kau hampir menemui ajalmu, dengan malaikat maut disampingmu, apanya yang operasi?”
“Ya, kau berharap aku cepat mati? Aku benar-benar operasi, kau bisa melihatnya, sekarang aku sudah tidak punya usus buntu, kau tahu rasanya, benar-benar sakit,”
“Cih, kau pasti terlalu banyak tertawa,”
“Benar, dia tertawa sangat keras, usus buntunya benar-benar keluar,”
“Terus saja mengejekku,” Henry terlihat sebal.
Kami berdua tertawa terbahak-bahak. Lega rasanya melihat Henry baik-baik saja.
“Ya, kalian jangan tertawa, jangan membuatku tertawa,” Henry kesakitan menahan tawa. Kami tertawa semakin keras. Sementara Henry harus menahan tawanya agar bekas operasinya tidak mengalami getaran.  
Kami menghabiskan beberapa saat untuk membuat Henry tertawa. Kami membuat banyak lelucon dan mengejeknya terus menerus. Tapi sepertinya Henry benar-benar tidak boleh tertawa, melihatnya menahan tawa sepertinya sangat menyiksa dirinya. Orang tua Henry datang dan setelah berbincang beberapa saat, aku dan Sulli pamit.
“Kau mau kuantar? Aku diantar supir tadi,”
“Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri, lagipula arah kita berlawanan, aku akan naik kereta saja,”
“Benar tidak apa-apa?”
Tiba-tiba aku melihat Dokter Ji Hoon. Dan ada Dong Hae di belakangnya, dia mengenakan baju pasien. Ada apa?
“Ya, Ji Hyun-aa, wae yo?”
“Ah, ani, kau pulanglah dulu, aku ketinggalan sesuatu di kamar Henry, aku akan pergi mengambilnya, kau pulanglah,”
“Ne? ne, araseo, kau hati-hati ya saat pulang, annyeong,”
“Nodo, annyeong,”
Aku melambaikan tangan dan Sulli pergi meninggalkaku. Saat kulihat Sulli sudah keluar dari rumah sakit aku berlari kearah Dokter Ji Hoon dan Dong Hae pergi. Mereka berbincang di depan sebuah ruangan dengan seorang dokter. Aku menghentikan langkahku dan bersembunyi di balik tembok. Aku mengintip mereka, tapi aku tidak bisa mendengarkan percakapan mereka. Beberapa saat kemudian mereka masuk ke dalam ruangan. Aku keluar dari persembunyianku dan menuju ruangan dimana mereka masuk.
“RUANG TERAPI”
Terulis di kaca pintu. Aku mengintip dari celah kaca. Aku bisa melihat Dong Hae duduk di sebuah kursi, Dokter Ji Hoon dan dokter lainnya sedang mengamatinya dan memberi beberapa pertanyaan. Seorang perawat datang dan menanyaiku.
“Ada yang bisa kami bantu nona?”
“Ah, aniyo, aku hanya sedang mencari pamanku, sepertinya dia tadi kesini, permisi,” aku pergi meninggalkan perawat itu. Dia hanya mengangguk dan masuk ke dalam ruang terapi.
Aku memutuskan untuk tinggal di rumah sakit dan menunggu Dong Hae. Entah kenapa aku sangat ingin melihatnya. Sebenarnya apa yang terjadi? Apa dia akan benar-benar operasi? Dia tadi terapi apa? Aku menunggu di lobi rumah sakit. Beberapa perawat dan pasien serta orang-orang yang datang menjenguk lalu lalang di sekitarku. Aku memainkan ponselku, mencoba mendengarkan lagu melalui earphone, bermain games, waktu terasa sangat lam berjalan.
Satu jam kemudian, aku sudah hampir tertidur. Saat kulihat Dong Hae dan Dokter Ji Hoon melewati lobi. Tiba-tiba aku gugup dan langsung saja aku pura-pura bertanya pada resepsionis.
“Permisi, aku mau menjenguk Henry Lau, dimana kamarnya?”
“Maaf nona, waktu besuk sudah habis, datanglah besok pagi,”
“Oh, ne araso, khamsahamnida,”
Aku meninggalkan meja resepsionis dan berjalan ke arah Dong Hae dan Dokter Ji Hoon. Aku pura-pura tidak melihat mereka. Kulihat Dokter Ji Hoon masuk ke sebuah ruangan. Dong Hae melihat ke arahku dan aku segera memalingkan wajahku ke tempat lain.
“Ya!”
Aku menoleh.
“Dong Hae-ssi, kau di sini?” aku pura-pura terkejut dan menghampiri Dong Hae. Aku tidak tahu kenapa aku sangat senang melihatnya.
“Apa yang kau lakukan disini? Kau mau menjengukku?” Dong Hae balik bertanya padaku.
“Sebenarnya tidak juga, aku menengok temanku yang baru saja dioperasi, tapi kata petugas resepsionis waktu besuk sudah habis, tapi kalau begitu aku menjenguk kau saja, siapa sangka kau dirawat disini, kau kenapa?” aku menjelaskan padanya.
“Geure yo? Hanya melakukan serangkaian tes tidak penting,”
“Kau tidak masuk hari ini, tidak ada kabar, dan seseorang mencarimu tadi,”
“Nugu yeyo?”
“Seorang yeoja, yang mencarimu waktu dulu itu, dia menanyakanmu, katanya dia disuruh untuk mencarimu, memangnya kau tidak memberitahu pihak kantormu?”
“Hanya akan menambah masalah saja,”
“Kenapa begitu?”
“Sudahlah, kau tidak tahu apa-apa,”
Aku mendengus pelan.
“Geurende, gwaenchana?”
“Gwaencahana, geokjeongmara, tidak ada yang serius,”
“Sampai kapan kau di sini?”
“Molla, sampai hasil tes keluar mungkin,”
“Kalau begitu besok aku akan datang melihatmu,”
“Kau tidak perlu datang, aku akan pulang secepatnya, berkonsentrasilah pada pertadingan,”
Aku diam. Pertandingan selalu mengingatkanku pada kemarahan Appa. Aku hanya mengangguk pelan.
“Baiklah, aku harus pulang, aku bisa ketinggalan bus kalau terlalu lama di sini, cepatlah sembuh dan kembali ke sekolah,”
Dia hanya mengangguk.
“Aku pergi,”
Aku berbalik meninggalkannya. Sebenarnya aku masih sangat ingin mengobrol dengannya. Aku menoleh sekali lagi padanya, dia sudah berhadapan dengan Dokter Ji Hoon. Memang sebaiknya aku pulang saja.
******************************************************************
Aku tidak berkonsentrasi latihan hari ini. Berkali-kali tembakanku meleset dan aku tidak bisa menerima operan dengan benar. Beberapa kali Pelatih Kim memperingatkanku. Aku hanya mengangguk setiap kali dia berteriak padaku. Akhirnya setelah dua jam latihan basket sore ini selesai. Aku, Hye Ri dan Hyuk Jae berjalan bersama di taman. Keringat masih membasahi seluruh badanku.
“Kau sepertinya kurang konsentrasi hari ini?” tanya Hye Ri.
“Geure, kau juga sangat lemas, beberapa kali pelatih memarahimu, wae yo?”
“Tidak ada apa-apa, mungkin aku hanya lapar dan mengantuk, aku kurang tidur semalam,”
“Apa yang membuatmu tidak tidur semalaman?” tanya Hyuk Jae.
Kami duduk di bawah pohon ditengah taman.
“Entahlah, aku hanya tidak bisa tidur, itu saja,”
“Fokuslah, kita tidak boleh santai-santai, pertandingan sudah semakin dekat, kita harus melakukan yang terbaik,” kata Hyuk Jae, seperti biasa dia selalu penuh semangat.
“Ne, Hyuk Jae benar, kau harus menjaga kondisimu, beberapa kali kulihat keseimbanganmu kacau hari ini, kau harus makan yang benar dan istirahat yang cukup, araji?” Hye Ri terus saja memberiku ceramah.
“Araseo, araseo, kalian ini seperti orangtuaku saja, cerewet sekali,”
“Apanya yang cerewet, kau itu yang kepala batu,” Hyuk Jae memukul kepalaku. “Huwaa, keras sekali!!”
“Mwo ya, apa yo!!”
Tiba-tiba seorang laki-laki sekitar 50 tahun mendekati kami.
“Permisi, apa kalian kenal Lee Dong Hae? Dia bersekolah di sini,”
Kami saling pandang beberapa saat.
“Ne, ahjussi, aku sekelas dengannya,” jawab Hyuk Jae.
“Jeongmal yo? Kalau begitu, kau tahu dimana dia?”
“Jeseonghamnida ahjussi, tapi sudah dua hari ini dia tidak masuk sekolah, dia juga tidak pulang ke asrama, sepertinya dia sedang ada show atau semacamnya,”
Siapa ahjussi ini?
“Oh, begitu ya? Baiklah, gomawoyo, maaf mengganggu waktu kalian,”
Paman itu berlaik dan pergi meninggalkan kami. Siapa dia? Kenapa mencari Dong Hae? Beberapa saat kemudian kami bertiga berpisah. Mereka berdua punya urusan masing-masing, sementara aku masih seperti biasa tidak punya pekerjaan. Aku berjalan ke taman utama. Ada sebuah kolam ikan kecil ditaman ini, aku suka duduk disini dan melihat ikan-ikan. Saat sampai di kolam, aku melihat seseorang duduk di bangku dekat kolam. Aku mendekatinya.
“Jogiyo ahjussi, kau yang mencari Dong Hae tadi?”
“Ah, kau benar,”
“Apa yang paman lakukan di sini?” aku duduk di samping paman itu.
“Ah tidak, aku hanya ingi duduk disini, suasana di sini menyenangkan,”
“Ne, aku juga suka di sini,”
“Kau sekelas dengan Dong Hae?”
“Ne, kami teman satu kelas,”
“Bagaimana dia di kelas”
“Bagaimana ya? Dia cukup pintar dan bisa diandalkan, dia juga jago basket, dan tentu saja dia menyanyi dengan sangat baik,”
“Benarkah? Apa dia pernah nakal?”
“Sepertinya tidak, terkadang memang dia sedikit menyebalkan, tapi sebenarnya dia sangat baik,”
“Begitu ya?” paman itu menatap kolam, entah apa yang dipikirkannya.
“Maaf, tapi paman ini siapa?”
“Maaf, aku belum memperkenalkan diri, aku ayahnya Dong Hae,”

To be continued...
 

Popo.. The Kite Runner Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea