Minggu, 24 Februari 2013

A Man in Love (Part 1)

Diposting oleh Popo... The Kite Runner di 16.04 0 komentar

Pengen bikin cerita aja... Tapi lum ada ide gimana-gimana ntar nya.. Yang penting ini awalannya, hope you enjoy it.. ^^


Prolog…

Sebuah kenangan…

Sebuah gedung berhiaskan berbagai macam bunga. Rangkaian bunga berisi ucapan selamat berbahagia menghiasi bagian depan gedung itu. Tamu-tamu keluar masuk silih berganti. Empat orang orang tua tersenyum bahagia menyambut para tamu yang memberi mereka ucapan selamat. Sementara di dalam hall, di ujung ruangan, dua mempelai pria dan wanita tenggelam dalam kebahagiaan. Para tamu silih berganti memberi mereka selamat. Beberapa teman dekat sempat mengajak mereka mengobrol untuk beberapa saat sebelum meninggalkan kedua mempelai dan menikmati hidangan yang tersedia.
Para tamu yang sebagian besar adalah para pengusaha dan pemilik perusahaan ternama dari seluruh negeri, menikmati acara dengan penuh keceriaan. Mereka saling berbincang satu sama lain tentang berbagai hal sambil menikmati sajian yang begitu mewah. Dekorasi yang mewah dan suasana pesta yang elegan begitu indah dalam cahaya lampu yang terang dan hangat. Pernikahan ini adalah sebuah pernikahan yang besar karena melibatkan dua perusahaan besar dan ternama di negeri ini. Tentu saja dua mempelai, kedua keluarga, dan seluruh tamu undangan hanyut dalam kebahagiaan yang megah dan berlimpah.
Namun, tidak semua orang merasakan kebahagiaan malam itu. Dia berdiri di sana. Di balik tirai yang memisahkan antara ruang persiapan dan tempat acara. Seorang dengan pakaian pelayan. Berdiri menatap kedua mempelai yang sedang berbahagia dengan senyum kepahitan.  Hatinya pasti sakit sekali. Tapi harus bagaimana lagi, orang yang dicintainya dengan sepenuh hati berdiri di sana bersama orang lain, tanpa dia sadari bahwa sang mempelai wanita pun menatapnya penuh kepiluan..
Tiga tahun kemudian…
Sebuah mobil memasuki rumah megah dengan pekarangan yang luas itu. Penjaga pintu membungkuk sesaat saat mobil melewati gerbang yang sangat tinggi itu. Rumah itu sangat besar, mungkin bisa menampung beberapa ratus orang, sampai rumah itu hanya dihuni lima orang dengan beberapa pembantu dan sopir serta para penjaga. Cucu keluarga kaya itu baru berusia satu tahun. Dan kemarin sang menantu baru saja menerima jabatan direktur menggantikan sang mertua. Kepala keluarga itu memang sudah terlalu tua untuk menjabat sebagai direktur perusahaan sebesar itu. Makanya setelah istrinya meninggal beberapa bulan, sang kepala keluargapun akhirnya menyusul istrinya.
Maka tinggallah empat orang di dalam rumah itu. Sang anak perempuan, sang menantu, sang anak, dan adik sang menantu. Mereka hidup dalam kebahagiaan. Anak laki-laki mereka tumbuh dengan sangat sehat dan aktif. Cukup pintar untuk anak seusianya. Dia sudah bisa berjalan dan sedikit berbicara. Sang ayah sangat bangga pada anaknya dan juga sangat menyayangi anaknya. Istrinya juga sangat baik. Dia sangat menyayangi suami dan anaknya. Dia adalah istri yang satia, patuh da menjadi ibu yang baik untuk putranya. Dia ramah terhadap siapa saja, terhadap tetangga sekitar, kepada para pembantu, dan dia teramat sangat baik terhadap seorang pelayan.
Hampir setiap hari sang istri menyempatkan diri untuk minum teh sambil mengobrol akrab dengan pelayan itu. Mereka sering melakukan itu saat sang suami masih berada di kantornya.
“Ya, Jung Jin-ssi, kenapa teh ini sangat enak?” tanya sang istri pada suatu pembicaraan di suatu sore yang sejuk di musim semi.
“Teh ini dipetik dengan tangan oleh para pemetik teh handal, semuanya diramu dan diproses dengan menggunakan cara tradisional dan dilakukan dengan dedikasi yang tinggi oleh para pembuat teh di negeri ini, itulah yang membuat kenapa teh ini sangat nikmat, Nyonya,” jelas sang pelayan.
Nyonya itu hanya mengangguk-angguk sambil menyesap pelan teh nya.
Di sebuah sore yang lain, sang pelayan dan nyonya rumah itu berada di taman belakang yang indah, mereka sedang menanam beberapa bunga chamomile. Sang nyonya terlihat sangat bahagia menatap bunga-bunga berwarna ungu itu. Sementara sang pelayan dengan sigap menanam setiap tangkai chamomile itu.
“Bunga ini akan sangat indah bila kutaruh di kamarku, aku suka wanginya, membawa ketenangan,” kata sang nyonya.
Tiba-tiba seorang anak kecil berlari menghampirinya.
“Lee joon-aa, kau sudah bangun?” sang nyonya memeluk anak kecil itu dan membelai lembut rambut anaknya.
Sang pelayan hanya menunduk sambil terus memasukkan tanah dalam pot berisi bunga chamomile. Dia hanya berpikir, seharusnya dia juga ikut membelai anak dalam pelukan sang nyonya.
Saat sore yang indah, sang nyonya dan sang pelayan duduk di taman memandang tangkai-tangkai chamomile yang sedang kuncup. Angin yang berhembus pelan, menggoyangkan kuncup-kuncup bunga chamomile itu.
“Jung Jin-ssi, kenapa kau tidak menikah?” tanya sang nyonya sambil menghirup aroma tehnya.
Sang pelayan terdiam. Hanya menunduk. Tak berani menatap wajah sang nyonya. Dia hanya takut kalau dia menatapa wajah wanita yang telah membuatnya bermimpi tentang cinta, tapi di saat bersamaan dia harus mengubur rasa cintanya, dia takut rasa yang telah dikuburnya dalam-dalam akan menyeruak ke permukaan, dan itu akan menjadi masalah yang besar.
“Saya hanya mencintai satu wanita, Nyonya, dan dia telah pergi berpaling dari saya, saya sudah tidak punya rasa cinta untuk diberikan kepada wanita manapun,” kata sang pelayan pelan.
Air muka sang nyonya berubah menjadi kesedihan saat mendengar jawaban sang pelayan. Mereka hanya diam tanpa mengatakan apapun selama beberapa saat. Mereka hanya menatap rumpun chamomile dalam diam sampai terdengar suara mobil dari kejauhan.
Beberapa bulan kemudian…
“Tuan.. Nyonya.. Saya ingin mengatakan sesuatu,” kata sang pelaan suatu ketika.
“Tak usah sungkan Jung Jin, katakan saja,” kata sang tuan.
“Kerabat jauh saya mengalami kecelakaan, keduanya tak tertolong lagi, mereka meninggalkan seorang anak laki-laki, saya ingin meminta izin, bolehkah saya mengasuhnya di sini?” pinta sang pelayan.
“Apa kau harus minta izin dariku? Kau adalah pelayan keluarga kami yang paling setia, kau sudah kuanggap keluarga sendiri, tentu saja rawatlah anak itu,” kata sang tuan berbaik hati.
“Ah, khamsahamnida,” kata sang pelayan.
Lalu hadirlah seorag anak lelaki berusia tiga tahun di rumah itu. Kedatangannya membawa keceriaan baru bagi beberapa penghuni rumah itu, termasuk sang nyonya. Sepertinya, sang nyonya lebih sering menghabiskan waktu dengan anak yang dibawa oleh sang pelayan itu. Sang nyonya masih tetap menyayangi putranya, bahkan sangat menyayanginya, tapi putranya itu lebih sering bersama sang ayah, belajar menjadi pewaris tahta, sehingga perhatian sang nyonya terlampiaskan ke anak itu.
“Kau sungguh lucu, Yunho-aa, kau ingin jadi apa saat besar nanti?” tanya sang nyonya pada suatu sore di taman chamomile.
Sekarang waktu minum tehnya tak hanya ditemani oleh sang pelayan yang setia, sekarang betambah satu teman minum tehnya, seorang anak kecil yang selalu tertawa senang saat melihat sang paman yang melakuka kesalahan karena harus menghadapi sang nyonya. Mungkin sang nyonya tak bisa melihat, tapi si anak kecil bisa melihat sikap gugup sang paman yang selalu muncul bila berhadapan dengan sang nyonya.
 “Aku ingin jadi pilot, aku ingin terbang seperti burung,” kata anak kecil itu dengan polosnya.
Sang nyonya tertawa kecil mendengar jawaban si anak kecil. Sang pelayan hanya tersenyum mendengarnya. Sementara dari pitu ruang tengah, sang tuan menatap kosong pemandangan di taman chamomile itu. Sepertinya dia bisa membaca sesuatu.
Mulai saat itu, setiap sore tak pernah menjadi hari yang sama. Setiap sore sang nyonya harus menjemput sang tuan di kantornya. Entah kenapa tiba-tiba sang tuan bersikap seperti itu. Sang nyonya tidak tahu kalau sang tuan hanya ingin menjauhkan sang istri dengan sang pelayan. Tapi sang nyonya hanya menurut saja. Setiap sore dia bersama sang supir akan pergi ke kantor suaminya dan menjemputnya. Sang pelayan dan si anak kecil masih tetap setia merawat lading chamomile. Mereka sudah terbiasa, sehingga walaupun tanpa sang nyonya mereka tetap merawat ladang itu. Mulai saat itu pula acara minum teh di kala sore tak akan pernah ada lagi untuk selamanya. Sang pelayan bahkan tak penah bertemu dengan sang nyonya. Sang nyonya tiba-tiba menjadi sangat sibuk dan sering keluar rumah. Tapi sang pelayan tetap saja setia melayani keluarga itu dengan sepenuh hati.
Suatu sore, sang tuan dan sang nyonya sedang dalam perjalanan pulang ke rumah. Hujan turun dengan sangat derasnya. Ini hampir musim dingin, hujan turun hampir setiap hari. Terkadang hujan membawa sebuah nasib untuk beberapa manusia. Saat itu sang tuan dan sang nyonya harus menemui nasib yang kurang baik. Hujan membawanya pada sebuah kecelakaan. Sang tuan mengalami luka yang sangat parah yang menyebabkan cacat di kakinya, sementara sang istri harus rela menerima nasib yang lebih buruk, nyawanya tak tertolong..
Seisi rumah diselimuti kesedihan yang mendalam. Kehilangan istri, ibu, dan nyonya yang selalu membawa kebahagiaan untuk mereka, meninggalkan luka yang sangat dalam. Sang kepala pelayan yang setia hanya terdiam, namun di dalam hatinya dia menangis begitu kerasnya, dia merasa sesuatu yang berharga telah hilang dari dirinya, bahkan sebelum dia sempat mengutarakan semuanya…
**********************************************************************
Lima belas tahun kemudian…
Rumah itu memang sedikit berubah setelah sepeninggalan sang nyonya. Tuan Lee, sang tuan, mengalami luka parah di kaki kanannya. Tidak harus membuatnya diamputasi, tapi cukup untuk membuatnya menggunakan tongkat selama sisa hidupnya. Dia terus menjalankan bisnisnya dan tahun berganti tahun, bisnisnya semakin sukses saja. Jung Jin, sang pelayan masih tetap menjadi pelayan yang setia dan tetap melayani keluarga Lee dengan dedikasi tinggi.
Namun kehidupan tetap berjalan seperti pada biasanya. Keceriaan kembali muncul karena Yunho, sang anak yang diasuh pelayan Jung Jin selalu menebar kebahagiaan di seluruh rumah. Dia selalu menghibur para pelayan lainnya, menemani Lee Joon, sang putra, bermain dan belajar, dan juga sesekali mendengarkan rencana-rencana bisnis Tuan Lee. Yunho sangat pintar dan cerdas. Dia juga sangat baik hati. Dia selalu menjadi juara di kelasnya dan sering ditunjuk untuk mengikuti perlombaan di sekolahnya. Sekarang, dia akan menempuh ujian kelulusan SMA, semua orang sangat mengharapkan Yunho bisa lulus dengan nilai terbaik dan masuk ke  universitas unggulan. Tapi bukankah dia hanya anak asuh seorang kepala pelayan?
Lee Joon sedikit berbeda, dia tumbuh menjadi remaja yang sedikit bandel, mungkin dia tak sepintar Yunho, tapi dia selalu masuk lima besar di kelasnya. Mungkin karena terlalu dimanja sang ayah, dan kurangnya kasih sayang dari ibu, dia menjadi sedikit suka memberontak. Dia sering telat ke sekolah, dia kadang dihukum karena tidur di kelas, walau begitu dia tidak pernah melakukan kesalahan yang berat. Lee Joon bersekolah di sebuah sekolah elit dengan reputasi yang sangat baik, dan walaupun dia anak seorang pengusaha dan bersekolah di sebuah sekolah mentereng, tetap saja dia harus mengikuti ujian agar bisa lulus.
Suatu hari, Lee Joon sedang memainkan PSP nya di taman belakang. Sementara Yunho dengan hati-hati merawat taman chamomile. Beberapa bulan setelah sang nyonya meninggal, taman itu dirawat oleh Yunho, Pelayan Jung Jin tak pernah sedikitpun menyentuh kembali bunga-bunga itu.
“Apa kau akan melanjutkan sekolah?” tanya Lee Joon di sela permainannya.
“Entahlah Tuan Muda, aku belum memikirkan itu.” Jawab Yunho pelan.
“Ya, bagaimana bisa kau tidak memikirkan itu? Ujian sebentar lagi dan kau sudah harus mempersiapakan dirimu mengikuti ujian masuk, aku saja sudah mendaftar,” kata Lee Joon sambil mendekati Yunho.
“Entahlah, aku akan minta saran Paman Jung Jin dulu,” kata Yunho sambil terus memotong dun-daun chamomile yang mengering.
 “Pikirkanlah baik-baik,” kata Lee Joon menepuk pundak Yunho.
Yunho mengangguk pelan.
“Ya, apa kau begitu suka dengan bunga-bunga ini? Kau seperti perempuan saja,” kata Lee Joon sambil kembali  ke tempat duduknya dan memainkan PSP nya lagi.
“Sayang kalau membiarkannya,” kata Yunho.
Saat itulah seorang yeoja datang menghampiri mereka.
“Annyeonghaseyo,” sapanya ramah.
“Oh, Chae Rin, apa kau datang bersama ayahmu?” tanya Lee Joon senang.
“Ne, appa memaksaku ikut, oh dia siapa?” tanya Chae Rin saat melihat Yunho.
“Dia anak Paman Jung Jin, Yunho,” jawab Lee Joon.
“Annyeonghasyo Yunho-ssi,” sapa Chae Rin ramah.
“Annyeonghaseyo Nona,” sapa Yunho sambil membungkuk.
Lee Joon dan Chae Rin ngobrol dan terlibat dalam obrolan yang seru. Sementara itu Yunho sesekali mencuri pandang menatap Chae Rin yang tertawa riang. Semakin Yunho melihat tawa Chae Rin, semakin dia kagum dengan kecantikannya. Yunho melarang dirinya untuk melakukan sesuatu yang lebih jauh, tapi hatinya berkata lain, sejak saat itu seiring angin berhembus membawa wangi chamomile, melihat tawa Chae Rin, Yunho telah jatuh cinta.. 

to be continued....

Minggu, 17 Februari 2013

In My dream (Part 14)

Diposting oleh Popo... The Kite Runner di 22.01 0 komentar

Ternyata Dong Hae prgi ke Amerika tanpa mengatakan apapun pada Ji Hyun... Bagaimana kelanjutannya? This Is In My dream Part 14



Tanpa mengatakan apapun aku berlari meninggalkan Hyuk Jae. Aku berlari meninggalkan tempat kompetisi. Aku berusaha menelepon Dong Hae, tapi berapa kalipun aku mencoba, dia tidak mengangkat teleponnya. Apa-apaan dia ini? Kenapa pergi seenaknya? Aku terlalu memikirkan ini sampai aku menabrak seseorang. Aku jatuh terduduk di tanah. Aku tidak ingin bangun, aku hanya menunduk.
“Ya, gwaenchana?” tanya orang yang menabrakku.
Aku diam saja. Aku masih tetap menunduk. Orang itu memegangku untuk melihat keadaanku dan saat aku mendongak, kulihat Dokter Ji Hoon.
“Ji Hyun-aa? Kau? Gwaenchana” tanyanya.
“Dong Hae-ssi, dia akan berangkat ke Amerika? Kenapa tiba-tiba pergi?”
Dokter Ji Hoon hanya menatapku. Kami berdua duduk di taman depan gedung olahraga. Untuk beberapa saat kami tidak mengatakan apa-apa. Dia memberiku sebotol air minum. Aku hanya menerimanya dan tidak berniat untuk meminumnya. Aku hanya menatap orang orang yang berlalu lalang di depan kami.
“Pasti rasanya sangat menyebalkan,” kata Dokter Ji Hoon tiba-tiba.
“Geure,” jawabku setelah beberapa saat. “Aku masih ingin mengatakan banyak hal, aku tidak ingin menahannya, aku hanya ingin mengatakan sesuatu padanya,”
“Apa dia benar-benar tidak memberitahumu akan berangkat hari ini?”
Aku menggeleng pelan. “Dia benar-benar bodoh!”
Dokter Ji Hoon tidak berkata apa-apa. Dia mengeluarkan ponselnya yang bordering. Dia melihat ponselnya beberapa saat lalu menoleh padaku.
“Kau mau bertemu Dong Hae?” Aku menoleh padanya.
Aku buru-buru membuka pintu mobil Dokter Ji Hoon lalu berlari kearah pintu masuk bandara. Kaya Dokter Ji Hoon, pesawat Dong Hae berangkat satu jam lagi. Aku berlari berputar-putar mengelilingin bandara. Aku melihat satu per satu wajah setiap orang yag berada disana. Aku melihat ke bagian pengecekan paspor, aku melihat ke ruang tunggu, aku naik tutrun ekskalator, aku bahkan beberapa kali menepuk orang yang salah.
“Aku sangat ingat dulu dia sangat ingin menjadi penyanyi dunia. Aku pernah mengejeknya, dengan suara seperti itu, bahkan kucingpun tak ingin mendengarnya. Tapi dia tetap ngotot ingin mengikuti sebuah lomba bernyanyi di daerah kami, dan dia mendapat juara pertama. Sejak saat itu kulihat dia memupuk impiannya menjadi seorang penyanyi. Saat ayah menentangnya, dia tetap maju, sampai sekarang dia benar-benar menjadi penyanyi negeri ini. dan masih belum cukup, dia ingin diakui dunia, dia tidak sedikitpun ragu menerima tawaran produser,entah apa yang membuatnya bertindak sejauh ini, tapi tak sedikitpun aku ingin menghalanginya, sayapnya sudah terkembang, apa yang bisa kulakukan?”
Kata-kata Dokter Ji Hoon terus terngiang di telingaku. Aku masih terus berlari kesana-kemari. Apa dia sudah masuk pesawat? Bagaimana ini? Aku hampir putus asa mencarinya. Apa mungkin aku bisa bertemu dengannya lagi? Aku terduduk di sebuah kursi tunggu. Aku terengah-engah. Aku menatap sekelilingku. Kenapa bandara ini besar sekali? Aku harus mencari kemana lagi? Terdengar pengumuman dari pengeras suara bahwa penerbangan menuju Amerika akan berangkat 15 menit lagi. Aku menghela nafas panjang, sepertinya tidak akan mungkin bertemu dengannya. Aku menunduk menutup wajahku dengan kedua tanganku. Aku memutuskan untuk pulang. Aku membuka tanganku dan kulihat seseorang di hadapanku. Aku tersentak menatap Dong Hae di hadapanku.
“Aku tidak bisa menemukanmu,” aku berdiri menatapnya dan terisak pelan.
“Kau terlalu memaksakan diri,” katanya sambil tersenyum.
“Kenapa pergi begitu saja? Apa kau ini hantu? Saat berpisah harus bilang selamat tinggal kan?”
“Itu tidak perlu, aku tidak akan pergi ke Amerika,”
“Ne?” aku menatapnya penuh tanda tanya.
“Apa pendengaranmu bermasalah? Aku tidak akan pergi ke Amerika,”
“Wae?”
“Mungkin dulu aku bernyanyi karena aku ingin terkenal, tapi sekarang aku bernyanyi karenamu, kalau kau tak bersamaku, apa bisa kau bernyanyi? Ayo pulang,” dia membalikkan badannya.
“Ya, kau mau kemana? Kau bisa ketinggalan pesawat, kau harus pergi sekarang,” aku bergerak menarik lengannya.
“Aku bilang aku tidak akan pergi!” dia membentakku.
Aku terkejut dengan semua sikapnya.
“Ya!!! Michoseo??? Apa kau akan membuang kesempatan ini begitu saja? Bukankah ini yang kau tunggu selama ini? Kau harus pergi, kau bilang kau ingin menjadi nomor satu, kau harus pergi, kau harus membuat album disana, dan berdiri di panggung yang sangat besar, apa kau lupa itu?” sekarang aku juga berteriak padaya.
“Bukankah kau tidak ingin aku pergi?”
“Geure! Aku memang tidak ingin kau pergi, tapi sekarang aku ingin kau pergi, aku ingin kau meraih impianmu, aku ingin melihatmu membuat mimpimu jadi nyata,” air mataku mengalir perlahan. “Kau tahu? Aku sangat mengagumimu, mungkin kau tidak pernah tahu, tapi sejak melihatmu di televisi, di acara pencarian bakat itu, aku benar-benar terpesona olehmu, aku sangat menyukai suaramu, aku sangat mengagumi caramu bernyanyi, kau benar-benar sangat tampan saat itu, aku sangat mengidolakanmu.”
Aku berhenti untuk mengatur nafasku.
“Lalu aku bertemu denganmu,” aku melanjutkan. “Aku bertemu denganmu dan ternyata kau tidak setampan itu. Kau bahkan menyebalkan, kau sangat angkuh, benar-benar tidak seperti yang kubayangkan, tapi saat melihatmu bernyanyi, seperti apapun kau, kau terlihat sangat tampan dan menawan, sepertinya aku akan selalu terpesona olehmu,” air mataku mengalir semakin deras.
“Kau selalu mengajakku bertengkar dan membuatku naik darah, apa itu yang namanya terpesona, kau juga sangat merepotkan, apa itu sikap terpesona?”
“Geure, aku terlalu terpesona olehmu, karena itulah, aku selalu melakukan hal-hal bodoh di depanmu, tapi itu belum cukup, kau harus lebih tampan lagi, kau harus bernyanyi lebih keren lagi, kau harus berdiri di panggung dunia yang megah,” aku kini terisak.
“Kotjimara hajima, Kau tidak ingin aku pergi kan? Kau ingin menahanku kan? Kenapa bersikap seperti ini? ” tanyanya marah.
“Ani, kau salah," aku tidak berani menatapnya, aku tidak ingin melihat matanya, aku takut tak bia melepasnya, aku melanjutkan, "mungkin beberapa saat yang lalu aku ingin kau tetap disini, tapi apa itu adil untukmu? Aku akan terus melihatmu bernyanyi, itu sudah cukup bagiku, dengan begitu aku bisa merasa tenang dan kau tahu kan apa yang kurasakan saat melihatmu bernyanyi? Sekarang aku sangat senang, benar-benar senang. Aku sangat ingin kau pergi. Sekarang pergilah,” aku menangis terisak sekarang. Air mataku benar-benar tidak bisa berhenti.
“Apa ini wajah orang yang bahagia?”
“Geure, aku menangis kalau aku bahagia,” aku ingin berhenti menangis, tapi airmataku semakin seperti hujan.
“Kau benar-benar menyebalkan, kau sangat bodoh,”
“Dong Hae-ssi, pergilah, dan biarkan aku melihatmu bernyanyi,”
Dong Hae diam dan meraih tanganku. Menatapku beberapa saat lalu perlahan berbalik meninggalkanku. Dia berjalan menuju bagian pengecekan passport. Aku mengeluarkan sesuatu dari jaketku lalu berlari mengejarnya. Aku menarik lengannya lalu menggenggamkan tali sepatu merahku. Dia tidak mengatakan apapun lalu berbalik dan menghilang di balik counter pengecekan passport. Aku tersenyum memandang kepergiannya.
“Annyeong,” bisikku pelan sambil melambaikan tanganku.
Sejak saat itu aku tak pernah bertemu Dong Hae. Aku hanya berkirim email sesekali dengannya. Melihat beritanya di internet, dan tak pernah melewatkan setiap penampilannya. Aku benar-benar menyukainya, saat dia bernyanyi aku selalu merasa bahagia. Aku menatap keluarga dan teman-temanku, mereka tertawa begitu bahagia, Sulli dan Henry mengulurkan tangan mereka, aku menatap mereka beberapa saat dan kusambut tangan mereka dengan tawa bahagia.
******************************************************************
Aku menerima operan dari Victoria, lalu setelah mendrible bola beberapa kali, aku melompat kearah ring dan melempar bola, waktu tinggal sepuluh detik, bolaku berputar pelan dibibir ring lalu meluncur masuk. Aku bersorak senang, teman-temanku menghampiriku dan mengelu-elukanku. Kami memenangkan pertandingan ini, dengan begitu tim nasional kami masuk putaran semifinal. Peutaran semifinal akan diadakan dua hari lagi. Setelah berkumpul beberapa saat aku mengganti seragamku dan bersama tim ku meninggalkan arena pertadingan. Kami berpisah di tempat parker. Kami dapat libur sehari. Aku ingin menggunakannya untuk jalan-jalan.
Aku menyusuri jalan di pusat kota Los Angeles. Benar-benar kota yang ajaib. Selama ini aku hanya bisa melihatnya di televisi dan sekarang aku benar-benar bisa berada disini. Benar-benar menakjubkan semua yang ada di sini. Aku bahkan bingung harus mulai dari mana. Aku berjalan pelan di trotoar sambil melihat-lihat barisan pertokoan yang menjual segala jenis barang. Dari toko-toko bermerk dunia sampai toko-toko barang antic, semua benar-benar keren.
Orang-orang berjalan dengan sangat cepat. Mereka sibuk menelepon, berbicara satu sama lain, membaca koran, berdiri menunggu lampu hijau untuk penyeberang jalan, beberapa berjalan dengan headphone di kepala, seorang wanita kantoran membawa bertumpuk-tumpuk map berjalan dengan sangat tergesa-gesa, semua benar-benar sangat hidup di sini. Aku berhenti di sebuah lapak yang menjual pernak-pernik, paman penjual yang sudah cukup tua tersenyum kepadaku, aku balas tersenyum dan melihat-lihat barang yang dijualnya. Aku melihat sebuah gantungan yang terbuat dari kayu dan jerami. Gantungan itu berbentu sepasang pria dan wanita.
“Oh, that’s very good, that is palm seed, make your wish come true,” kata paman penyualnya.
“Is that right? How does it work?”
“If you want a prosperity, tight the hands together in the back, if you want a healthy life, tight the girl’s hands and the boy’s hands together,” jelas paman itu.
“Really? How if I wish for a love life?”
“Tight the girl’s feet on boy’s feet,” kata seseorang,
“That’s right! You are really good,” kata paman itu.
Aku menoleh, dan seseorang menggantung gantungan di depanku dengan kaki sang wanita mengikat di kaki pria.
“Lee Dong Hae!!” pekikku senang.
“Sepertinya benda ini benar-benar mengabulkan permintaan,”
Aku tersenyum senang melihatnya. Dong Hae mengulurkan tangannya dan tanpa ragu aku menyambut tangannya dan menggenggamnya erat. Bagaimana perasaan dua orang tumbuh dan menjadi satu, siapa yang bisa merencanakannya?
****************************THE END******************************

Jumat, 15 Februari 2013

In My Dream (Part 13)

Diposting oleh Popo... The Kite Runner di 18.31 0 komentar

Dong HAe bilang sama Ji Hyun kalau dia akan ke Amerika, apa Dong HAe beneran akan pergi? This is it, In My Dream Part 13



 Aku terpana mendengar apa yang dia katakan. Amerika?
“Produserku adalah Mr. Halton dari Amerika, dan perusahaan setuju kami akan membuat album di sana, aku akan menerima pelatihan di sana, aku akan membuat album internasional, dan itu memang impianku sejak dulu,”
Aku tidak mengatakan apa-apa. Aku hanya menatapnya penuh tanda tanya. Apa lagi ini? Apa segala sesuatu datang secara tiba-tiba seperti ini? Dan kenapa dadaku terasa sangat sesak mendengar semua ini? Kalau Dong Ha eke Amerika, itu artinya dia tidak akan berada di sekolah? Itu artinya aku tidak akan melihatnya di kelas, aku tidak bisa bermain basket bersamanya, aku tidak akan merasakan jantungku yang tidak beraturan, apakah itu akan lebih baik?
“Ji Hyun-aa, apa kau mendengarkanku?”
“Oh??” aku terbuyarkan dari lamunanku, apa yang dia katakan? ;Oh, mianhae, kepalaku tiba-tiba sakit, sepertinya aku harus meminum obatku, aku masuk dulu,”
Aku buru-buru pergi meninggalkan Dong Hae. Aku mengatakan pada yang lain bahwa aku ingin beristirahat sebentar di kamarku. Aku duduk dilantai bersandar pada tempat tidurku. Kenapa aku tiba-tiba seperti ini? Tapi membayangkan Dong Hae tidak ada disini sangat menyebalkan. Apa ini? Kenapa aku tidak merelakan dia pergi? Apa ini yang disebut perasaan suka? Apa aku benar-benar menyukainya? Apa aku benar-benar menyukainya? Dan apa alasannya? Aku tidak menemukan alasan apapun untuk menyukainya. Tapi membayangkan dia tidak ada disini, kenapa dadaku sangat sesak seperti ini?
Tiba-tiba pintu kamarku diketuk. Aku terkejut dan buru-bur naik ke tempat tidur dan menarik selimutku. Pintu kamarku teerbuka dan seseorang masuk. Aku memejamkan mataku, pura-pura tidur.
“Ji Hyun-aa, apa kau tidur?” suara eonnie berbisik pelan.
Aku tidak menjawabnya. Aku tetap berpura-pura tidur. Lalu tak ada suara lagi dan kudengar suara pintu kamarku ditutup kembali. Aku membuka mataku lalu menatap kosong ke langit-langit kamarku. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Aku lupa sampai kapan aku menatap langit-langit kamarku yang pasti aku terlelap setelahnya.
******************************************************************
Aku pernah merasakan perasaan ini. Tapi mungkin sekarang sedikit berbeda. Dulu mungkin aku tidak mau memasuki sekolah ini, tapi sekarang aku berdiri di sini dan senang rasanya bisa kembali ke sekolah ini. Berjalan di jalan setapak menuju asramaku. Hye Ri membantuku membawa koperku. Kami berjalan sambil mengobrol. Sesekali seorang teman menyapa dan mengatakan senang melihatku kembali. Rasanya seeperti pulang.
Ini sudah dua hari aku memulai sekolahku setelah sekian lama aku meninggalkan sekolah. Teman-teman di kelasku menyambutku dengan senang. Bahkan Pak Guru Angker bersikap sangat baik padaku. Aku duduk di taman seperti biasanya.
“Apa bisa kau mangkir lebih lama lagi?” tiba-tiba seseorang bicara padaku.
 Aku menoleh kearah sumber suara.
“Pelatih Kim?” pekikku riang.
“Walau kau ini sangat susah diatur, tapi senang melihatmu kembali,”
“Kenapa aku susah diatur?” aku tersenyum.
Pelatih Kim duduk di sebelahku.
“Bagaimana rasanya hamipr mati?”
“Yah, paling tidak tak seburuk latihan darimu,”
“Aku pelatih terbaik negeri ini, bagaimana bisa kau bilang itu buruk?”
“Aku sangat merindukan latihan, Pelatih,”
Pelatih Kim menoleh padaku.
“Kau akan bisa bermain lagi kan?”
“Ya, kau ada disana saat dokter bilang aku bisa bermain basket lagi, kenapa masih bertanya”
“Geure, kau bukan tipe anak bodoh yang gampang menyerah, tapi tetap saja kau ini bodoh, kau tahu itu?”
“Mwo ya?”
“Bulan depan adalah olimpiade, kuharap kau menjadi bagian dari olimpiade ini,”
“Kenapa bertanya? Tentu saja aku akan ikut. Apa kau akan memaafkanku kalau aku mangkir? Bisa-bisa kau kirim aku ke neraka. Menakutkan!” aku pura-pura bergidik.
“Geure, aku akan mengirimmu ke neraka, apa selama ini hanya neraka yang kau pikirkan?”
Aku hanya tersenyum. Kami berdua diam untuk beberapa saat menatap ikan-ikan dalam kolam.
“Bukankah semua baik-baik saja?”
“Ne?” Pelatih menoleh kepadaku.
“Aku mengalami banyak hal disini, bahkan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku dulu adalah anak yang menjadi bayangan eonnie, kau tahu itu Pelatih, aku tidak bisa hidup tanpa eonnie. Tapi entah kenapa aku bisa mengalami semua ini, semua ini sangat aneh menurutku. Saat aku koma di rumah sakit, aku sempat tersadar dan memikirkan semua ini. Dan aku berpikir, apa memang ini yang harus terjadi? Lalu apa yang baik dari sebuah kecelakaan? Aku tidak mendapat jawaban sampai aku kembali tak sadar,”
Aku diam untuk beberapa saat. Pelatih Kim tidak mengatakan apa-apa.
“Lalu kemudian aku sadar kembali dan menemukan semua baik-baik saja, bahkan aku menemukan banyak kejutan, dan itu mebuatku berpikir tak ada alasan untuk tidak mensyukurinya, tidak banyak yang bisa mendapatkan kesempatan kedua untuk hidup, kau tahu rasanya hampir mati? Itu sangat menakutkan,” aku tersenyum kepada Pelatih Kim.
Dia hanya tertawa kecil.
“Berkumpul dengan keluargaku dan teman-temanku, kembali ke sekolah, bermain basket, makan, minum, tertawa, bahkan bertemu denganmu, aku sangat bersyukur untuk itu, dan aku merasa ini sangatlah baik,”
“Geure, sangat langka kesempatan seperti datang pada orang sepertimu, sepertinya kau butuh usaha sangat keras untuk menggunakan ini dengan sebaik-baiknya,” seloroh Pelatih kim.
“Ya, apa Pelatih tidak bisa memberiku kata-kata yang bagus? Selalu saja mengejekku,”
“Sangat menyenangkan saat mengejekmu,” dia tertawa.
Akupun ikut tertawa. Tiba-tiba kulihat Dong Hae menghampiri kami. Dia membungkuk sebentar menyapa Pelatih Kim.
“Pelatih Kim, Kepala Sekolah memanggil anda,”
“Guere? Ada apa ya? Baiklah, aku harus pergi, kau anak nakal segeralah ke lapanganku, atau neraka akan benar-benar menyeramkan,”
Aku mengangguk. Dia meninggalkan aku dan Dong Hae. Aku belum bertemu dengannya sejak malam di rumahku. Aku masih belum bisa menerima kabar kepergiannya. Entah kenapa hati kecilku menolaknya untuk pergi.
“Kau sudah kembali ke sekolah rupanya?” tanyanya tiba-tiba.
“Apa masih perlu bertanya?”
“Mau pergi keluar?”
“Ne?”
Dan dia selalu melakukan apapun sesukanya. Dia menarik tanganku dan mengajakku entah kemana. Kami naik bus.
“Ya, kita mau kemana?” tanyaku.
“Kau akan tahu nanti, kau ini cerewet sekali,”
Aku mendengus kesal. Aku lapar sebenarnya. Kenapa dia ini?
“Ini,” dia meneyrahkan sebuah kotak.
“Mwo”
“Suara perutmu itu terdengar sampai ke Jepang, makanlah,”
Dia membuka kotak itu dan menyerahkan sebuah telur rebus padaku. Apa iya terdengar sekeras itu? Aku menerima telur itu dan memakanya. Dia bahkan memberiku sekalem jus jeruk. Apa dia menyiapkan semua ini?
“Kau berencana untuk piknik?”
“Menyiapkan segala sesuatu itu perlu kan?”
“ne, ne..” aku mengangguk.
“Enak?”
Aku hanya mengangguk. Kami turun di sebuah halte di pinggir pantai. Kenapa mengajakku ke pantai? Sebelum ke pantai kami berjalan-jalan di sebuah pasar yang terletak tak jauh dari pantai. Uwaa, ternyata masih ada pasar seperti ini. Ada banyak penjual mainan  yang kumainkan saat kecil. Menyenangkan sekali di sini. Kami membeli beberapa mainan dan makanan. Sementara Dong Hae mengambil foto dan aku terus mengagumi pasar itu.
Kami juga mencoba tokkbokki yang super pedas. Banyak makanan khas korea yang sudah jarang kutemui di kota. Aku ingin mencoba semua makanan itu. Kami melihat pembuatan kue beras, kami bahkan ikut membuatnya. Setelah itu kami masuk ke sebuah toko bunga. Bunga yang dijual sangat cantik dan belum pernah kulihat sebelumnya. Penjaga toko menyuruh kami membeli satu. Katanya bunga sedang mekar dengan bagusnya. Kami hanya mengangguk dan terus melihat-lihat toko bunga. Aku merasa Dong Hae mengambil gambarku diam-diam.
“Ya, Ji Hyun-aa,” panggil Dong Hae.
Aku menoleh dan Dong Hae sudah siap dengan kameranya.
“Ya, kenapa memotretku?”
“Lihatlah hasilnya, wajahmu lucu sekali,”
Kami melihat hasil fotonya dan tertawa. Wajahku aneh sekali. Setelah puas berjalan-jalan di pasar, sekarang kami berjalan menyusuri pantai. Kami bermain pasir, bermain dengan cumi-cumi yang dijemur, bermain air laut, dan mengambil banyak foto. Akhirnya kami hanya duduk dipantai menatap luasnya laut.
“Ya, kenapa tiba-tiba mengajakku kemari?” tanyaku penasaran.
“Aku hanya bosan,”
“Mwo ya? Apa aku terlihat seperti mesin hiburan bagimu?”
“Aku hanya ingin mebuat bayak kenangan,”
Aku menoleh padanya. Jantungku berdegup kencang lagi.
“Aku akan meninggalkan Korea untuk waktu yang lama, aku ingin negeri ini mempunyai kenangan yang indah bagiku,” dia tersenyum menatap laut lepas.
“Kau.. Apa kau akan benar-benar pergi?” tanyaku pelan.
“Wae? Apa kau akan kehilanganku?”
“Mwo..mwo ya” aku memalingkan wajahku.
Dong Hae menatapku sesaat. Ya, bisa kau palingkan wajahmu itu? Kau bisa dengar jantungku yang semakin tak beraturan ini.
“Ji Hyun-aa, kau tahu kenapa aku ingin pergi?”
“Oh?”
“Aku ingin menjadi nomor satu, tidak hanya di sini, tapi di dunia, aku sudah memimpikan ini sejak lama, aku pernah bermimpi aku bernyanyi di sebuah panggung yang besar, ada ribuan penonton, lampu-lampu yang sangat terang menyinari, music yang menggelegar, dan aku bernyanyi di sana. Aku tak tahu itu dimana, tapi aku akan segera tahu,”
Aku diam mendengar ceritanya.
“Kau tahu rasanya menjadi nomor satu?”
“Pasti menyenangkan, semua orang akan mengagumimu, benar kan?”
“Menurutku tidak begitu, menjadi nomor satu berarti menjadi kesepian, penuh kebisingan, dan jalan yang tak pasti,”
“Jadi kau masih ingin pergi?”
“Geurom, walaupun seperti itu aku tetap ingin jadi nomor satu,”
Aku menatapnya beberapa saat. Dia kembali menatap laut.
“Aku sempat hampir menyerah karena masalah tenggorokan, tapi tiba-tiba seseorang datang dan membuat keributan, bersikeras untuk menyuruhku tetap bernyanyi, dia bilang dengan melihatku bernyanyi, hal itu membuatnya bahagia, katanya aku adalah milik panggung, mana bisa duduk di bangku penonton,”
“Maksudmu aku?’
“Geure!” dia tersenyum untuk beberapa saaat. “Ini rasanya aneh, bahwa aku bernyanyi memberimu banyak kekuatan,”
“Bagiku ini juga aneh, bagaimana akau bisa berbicara dan dekat dengan orang yang kupikir sangat jauh,”
Dia diam untuk beberapa saat.
“Jika aku terus bernyanyi kau akan senang kan?”
“Mungkin,”
Kami berdua diam. Suara ombak yang bergemuruh dan angin yang bertiup kencang menemani kami dalam diam. Entah kenapa aku merasa damai seperti ini. Berada di sisinya mebuatku merasa semua akan baik-baik saja. Saat ini, seperti ini, sudah cukup bagiku.
Kami berjalan pelan di jalan setapak sebelah lapangan sepak bola.
“Gomawoyo,” kata Dong Hae tiba-tiba.
“Ne?”
Dia tiba-tiba berhenti.
“Entah bagaimana aku bisa merasa selega ini, semua berkat kau,”
“Oh, chonmaneyo,” aku menjawab canggung.
“Kembalilah ke kamarmu,”
Aku hanya mengangguk dan berbalik meninggalkannya. Aku menatap sekelilingku dan tersenyum. Seandainya aku bisa jujur, aku mengakui sekarang, aku benar-benar menyukainya. Bukan sebagai seorang penggemar, tapi aku benar-benar menyukainya. Apa ini buruk? Aku hampir sampai di gerbang asramaku saat seseorang memanggilku.
“Ya Ji Hyun-aa!!”
Aku menoleh dan melihat Dong Hae berdiri terengah-engah. Aku berbalik. Dia tidak mengatakan apa-apa, tapi tiba-tiba dia berjalan kearahku dan menarikku ke dalam pelukannya. Aku terkejut bukan main. Aku hanya terganga di pelukannya. Dia tidak mengatakan apa-apa. Dan setelah itu yang kutahu, rasa hangat menyelimutiku. Apa ada yang lebih baik dari ini?
*********************************************************************
Dua tahun kemudian.
Aku berdiri dengan jubah kelulusanku. Di sekelilingku murid-murid lain tertawa dan bahagia. Mereka saling memeluk dan memberi selamat. Berfoto dengan keluarga, berfoto dengan teman, dan berfoto dengan guru. Beberapa saat yang lalu aku menerima surat kelulusanku dari kepala sekolah. Entah berapa banyak kenangan yang kudapat di sekolah ini. Aku ingat saat pertama kali masuk sekolah ini, aku ingin keluar saat itu juga, tapi saat ini aku tidak ingin meninggalkan sekolah ini.
Aku marah pada appa, aku terus merengek pada eomma dan eonnie. Tapi disini sangat menyenangkan. Semua baik dan sangat bersahabat. Aku mengalami banyak hal di sekolah ini. banyak kejadian yang penuh kejutan dan aneh. Aku terus berpikir apa semua ini nyata? Ini terlalu aneh untuk sebuah kehidupnku yang sangat biasa ini. Tapi pada kahirnya aku bisa menyelesaikan sekolahku disini.
Akhirnya aku bisa sekamar dengan Hye Ri. Ternyata setiap kenaikan kelas, kami boleh pindah kamar. Dan itu sangat menyenangkan. Kami mengobrol hingga larut malam dan pergi bersama di akhir pekan. Menyenangkan sekali.
Aku sedang memulai karirku menjadi pemain basket. Aku lolos seleksi tim nasional. Aku ingat saat aku akan mengikuti seleksi itu.
Setelah kejadian malam itu, entah kenapa aku dan Dong Hae semakin dekat. Dia semakin menyebalkan tapi aku sudah terbiasa dengan itu. Kami akan mengikuti seleksi tim nasional. Kami berlatih bersama Pelatih Kim dan yang lainnya. Selama beberapa bulan kami melakukan latihan yang cukup ketat.
“Ya, kau benar-benar memulai karirmu?” tanya Dong Haae sesaat usai latihan.
“Geurom! Aku akan menjadi pemain basket terhebat. Ingat ya, kau tidak boleh telat saat seleksi nanti, kau ini, bisa tidak sih lebih tepat waktu? Pelatih selalu marah kalau kau telat,”
“Wae? Aku butuh tidur yang cukup, aku ini atlet sekaligus penyanyi, mana bisa menguras tenaga?”
“Jjinjja,”
“Ya, mau jalan-jalan?”
“Ne?”
“Aku sangat lelah akhir-akhir ini, aku butuh penyegaran, kau temani aku ya? Ada sebuah tempat yang ingin kukujungi,”
“Ada berapa banyak tempat yang ingin kau datangi?’
“100 tempat, week!”
Dia mengajakku bersepeda di dekat danau. Menyenangkan sekali bersepeda seperti ini. Angin musim semi berhembus sejuk di sore hari. Kami mengayuh sepeda kami berputar-putar di pinggir danau. Dong Hae berhenti dan mengambil beberapa foto. Aku terus mengayuh sepadaku memutarinya. Dan kulihat dia menatapku beberapa saat. Aku hanya tersenyum. Lalu kami duduk di sebuah bangku dan melihat matahari tenggelam.
Dia memberiku sebuah jus kaleng. Kami meminumnya dan melihat matahari yang berlahan-laha tenggelam. Cahayanya memantulkan warna keemasan di sekitar kami. Kami tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya memandangi wajahku beberapa saat dan tersenyum lalu menatap matahari. Aku menatapnya sesaat dan perlahan menggenggam tangannya. Aku selalu merasa baik seperti ini. Dia hanya tersenyum.
 “Bukankah disini bagus?” tanyaku.
Dong Hae hanya mengangguk.
“Setelah seleksi, kita kesini lagi, kau mau?”
“Geure,” katanya pelan. “Bukankah kita harus kembali? Kita harus menjaga kondisi kita sebelum kompetisi dan lagipula kita bisa ketinggalan bus,”
“Ya, bukankah tadi kau yang ingin kemari?”
“Bagaimana kau bertanggung jawab kalau aku kelelahan?”
“Aku akan memijatmu, seperti ini,” aku memijit tangannya pelan.
Tiba-tiba dia meraih tanganku dan menggenggamnya. Aku menatapnya heran. Kenapa dia jadi aneh begini? Kemudian dia menatapku dalam-dalam. Bagaimana bisa aku ditatap seperti itu?
“Ya, kenapa melihatku seperti itu?”
“Diamlah seperti itu, aku sedang memasukkanmu ke dalam mataku,”
“Wae?”
“Jadi saat aku memejamkan mataku aku bisa melihatmu disana,”
“Mworagoke?”
“Aniyo, entah kenapa kau selalu bisa membuatku merasa lebih baik, setiap hari bersamamu membuatku semakin baik, aku bisa bernyanyi dan bermain basket dengan baik, aku pikir aku tidak bisa melakukan semua ini,”
“Ya, apa terjadi sesuatu?”
“Apa yang bisa terjadi? Ayo pulang!”
“Apapun itu kau sedang bersikap aneh,”
Dong Hae tidak menoleh. Akhirnya kami mengembalikan sepeda sewaan kami dan kembali ke sekolah. Dong Hae mengantarku sampai gerbang asrama.
“Kau harus segera tidur, araji?” kataku padanya.
Tiba-tiba dia mengulurkan tangannya padaku.
“Ji Huyn-aa, jalisseo,” katanya pelan.
“Ne” aku heran melihat tingkahnya. “Jalisseo? Bukankah itu terlalu formal? Kita akan bertemu besok”
“Apapun itu, tetap saja jagalah dirimu, kau adalah orang paling ceroboh sedunia,”
“Geure, aku akan menjaga diriku, kau juga” lalu aku mebalas uluran tangannya.
Kami bersalaman untuk beberapa saat. Ini agak aneh sebenarnya. Lalu dia menarik tangannya. Kami tersenyum untuk beberapa saat.
“Kau kembalilah, aku bisa sampai sini,”
Dia mengangguk dan berbalik meninggalkanku. Tapi tiba-tiba dia berbalik dan memelukku. Kenapa dia ini? Jangan sampai dia mendengar debarab jantungku. Seharian ini dia aneh sekali. Dia memelukku erat. Aku balas memeluknya untuk beberapa saat.
“Wae? Apa ada yang salah?”
“Ani, aku hanya tidak ingin meninggalkanmu, tak peduli sehari atau berapa lamapun semua sama saja,”
“Sampai jumpa besok,” kataku.
“Geure, sampai jumpa,”
Lalu dia berbalik dan meninggalkanku.
Itulah saat terakhir aku melihatnya. Seandainya aku tahu kalau dia akan pergi aku akan memeluknya lebih lama dan membuat kenangan lebih banyak. Tapi saat itu aku tidak pernah berpikir begitu. Hye Ri menepuk pundakku pelan, menyadarkanku dari lamunan.
“Ya, kenapa kau melamun? Ayo berfoto,”
Aku hanya mengangguk pelan. Aku sudah mengambil banyak gambar sebenarnya. Appa, eomma, eonnie, Henry, Sulli, semuanya datang dan bergembira. Aku sangat senang semua orang datang. Tapi aku tidak bisa lulus bersama Dong Hae. Itu tidak adil sebenarnya. Aku hanya bisa melihatnya melalui internet. Dia juga sangat sibuk. Kami jarang sekali berkomunikasi. Hyuk Jae datang dan memberiku sebuah bola basket.
“Kau ingat bola ini?”
Tentu saja aku ingat. Aku ingat hari itu kami akan berangkat ke pertandingan seleksi tim nasional. Kami berangkat dengan bus sekolah. Tapi ahri itu aku tak melihat Dong HAe. Saat tiba disana, Hyuk Jae memberiku sebuah bola.
“Ini,” kata Hyuk Jae sambil menyerahkan sebuah bola.
“Apa ini?”
“Bola keberuntungan, kau akan menang saat kau menyentuh bola ini,”
“Geure? Kalo begitu aku akan memainkanya sebentar,”
Aku mengambil bola dari tangan Hyuk Jae dan menbdribel nya beberapa kali.
“Kau yakin aku aka terpilih?”
“Geurom!”
Dan aku memang terpilih. Aku harus melalui beberapa pertandingan dan akhirnya aku terpilih. Sampai pertandinganku selesai, Dong Hae tidak juga datang. Kemana dia? Ini sudah keterlaluan kalau dia telat. Sebentar lagi seleksi basket laki-laki akan segera dimulai. Apa sih yang dia pikirkan? Aku menghampiri Hyuk Jae yang sedang bersiap-siap.
“Hyuk Jae-aa, kau tahu dimana Dong Hae?”
“Apa dia tidak memberitahumu?”
“Memberitahu apa?”
“Dia ke Amerika hari ini,”
“MWO?????”

to be continued...

Kamis, 14 Februari 2013

In My Dream Characters

Diposting oleh Popo... The Kite Runner di 16.00 0 komentar

In My Dream characters:




Lee Dong Hae



Lee Hyuk Jae

Pelatih Kim So Hyun

Shin Ji Hyun

Kang Hye Ri


Sulli


Henry Lau


Kai


Dokter Lee Ji Hoon

 

Popo.. The Kite Runner Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea