Rabu, 26 Desember 2012

In My Dream (Part 4)

Diposting oleh Popo... The Kite Runner di 15.05 0 komentar

Ji Hyun terus merasa takut saat melihat lapangan basket, dan Dong Hae disana.. This is it In My Dream Part 4.. Happy Reading...

Dan entah kenapa aku mendapatkan nafasku kembali. Untuk beberapa saat aku melupakan semua ketakutanku. Entah kenapa semua bayangan tentang lubang berdarah di kepalaku lenyap begitu saja. Ini benar-benar aneh.
“Arayo,”
Dia hanya berkata itu dan menepuk-nepuk punggungku pelan. Menurutku ini sangat berlebihan, aku ketakutan akan suatu hal yang seharusnya kuimpikan dan seseorang memelukku saat ketakutanku berada pada titik paling tinggi. Kami tidak mengatakan apapun untuk beberapa saat.
“Kau tidak harus memaksakan dirimu, tapi bisakah bayangan lubang dikepalamu menjadi bayangan sebuah lubang untukmu keluar dari ketakutanmu?”
Aku diam.
“Bayangkanlah itu adalah lubang untukmu keluar dari bayangan masa lalumu, bagaimana bisa sebuah lubang di kepala mengubur impianmu? Lalu kau piker kau bisa melanjutkan hidup dengan ketakutan pada impianmu sendiri? Kau harus lawan ketakutanmu, aku ingin melihatmu bermain basket lagi, araji?”
Aku diam dalam pelukannya. Apa yang dia katakan ada benarnya, selama ini aku tersiksa dengan menahan diriku untuk bermain basket. Aku sangat ingin mencoba untuk bermain basket lagi. Apa ini saatnya aku mencoba lagi? Akhirnya aku mengangguk dalam pelukan Dong Hae.
******************************************************************
Aku berdiri di lapangan basket sekarang. Di depanku ada sebuah bola basket. Itu milik Dong Hae. Entah kenapa dia meninggalkan bola itu di sini. Semalam saat kembali ke asrama, aku benar-benar memikirkan perkataan Dong Hae. Aku hampir tidak tidur semalaman. Aku tertidur dengan fotoku saat memenangkan turnamen basket tingkat SMP. Dan sekarang aku ingin keluar dari lubang kepalaku. Aku ingat saat tiba-tiba Dong Hae memelukku dang mengatakan semua hal itu. Aku ingin Dong Hae melihatku bermain basket dengan baik tanpa ketakutan.
Aku melangkah pelan mendekati bola basket itu. Kepalaku kembali berputar, lubang dan darah kembali memenuhi otakku. Aku membuat diriku tetap berdiri tegak. Aku membungkuk dan memegang bola itu. Seperti di fast rewind, semua ingatan saat aku jatuh kembali berputar-putar di kepalaku. Aku memejamkan mataku, aku mula tapi kuambil bola itu dan berlari sambil mendriblenya. Semua terlihat gelap pada awalnya, aku melempar bola ke arah ring, meleset. Nafasku tidak beraturan, sebagai permulaan sepertinya aku berhasil. Pandanganku masih berkunang-kunang, tapi aku tetap memaksakan diriku untuk terus memegang bola dan memainkannya. Aku hanya melempar bola secara tak beraturan pada awalnya. Aku masih sangat pusing. Aku mual, aku hampir saja muntah dan hilang keseimbangan tapi aku terus mencoba. Pada akhirnya, aku berhasil menguasai diriku, aku berlari mendrible bola dan melompat ke arah ring. Untuk pertama kalinya setelah empat tahun ketakutanku, aku bisa memasukan bola ke dalam ring. Dan sisa malam itu, aku bisa memasukkan tiap tembakanku ke dalam ring.
Aku merasa seperti hidup kembali. Setidaknya permaianan basketku sempat mati dan saat ini aku seperti dilahirkan kembali. Aku merasa sangat senang. Neomu haengboke. Aku bahkan sampai melompat-lompat dan berteriak kegirangan. Aku terus melompat dan berteriak. Tubuhku penuh keringat, nafasku naik turun tak beraturan. Setlah beberapa saat aku dengan kegilaan aku terlentang di lantai lapangan dan memandang langit malam. Senyumku terus menghiasi wajahku, aku benar-benar bahagia. Aku ahrus bisa terus seperti ini. Aku memejamkan mataku beberapa saat dan saat kubuka mataku kembali ada wajah Dong Hae di hadapanku. Aku hampir saja berteriak.
“Kau membuatku hampir mati jantungan,” kataku,
“Kenapa tidak mati saja?”
“Apa kau bilang???”
Aku hampir saja memukul lengan Dong Hae saat dia menyodorkan sebotol minuman dingin kepadaku. Aku mengurungkan niatku untuk memukulnya dan menatapnya sejenak.
“Kau sudah berusaha dengan keras minumlah, kau pasti hampir mati karena haus,”
Aku mengangguk dan menerima minuman darinya lalu menenggaknya hingga hampir setengahnya.
“Uwaaaa, segar sekali, gumawo,”
“Jadi kau akan ikut latihan besok?” dia duduk disampingku.
Aku mengangguk penuh percaya diri. Aku sudah memutuskan.
“Johae,”
“Gomawo, jongmal gomawo, aku bisa bermain basket lagi sekarang, dan ternyata memang itu yang kuinginkan,”
“Jangan senang dulu, kau masih berhutang 1500 won padaku, kau harus membayarnya,”
“Kau ini kenpa selalu memikirkan uang?? Bukankah kau sangat kaya?”
Aku mendengus kesal. Dong Hanya diam.
“Aku tak sekaya yang kau pikirkan, apa yang akan kau lakukan?”
“Apa maksudmu?”
“Dwaesso, apa yang akan kau lakukan setelah ini?”
“Aku akan memberitahu Pelatih Kim kalau aku akan berlatih,”
“Lalu apa yang kau tunggu? Tahun baru China? Cepat temui dia,”
“Ah, geure, aku akan menemuinya, kau tahu dimana dia?”
“Dia ada di gedung olahraga, ga!”
“Ne, gumawo,” aku berdiri dan berlari ke arah gedung olahraga.
“Jangan lupa hutangmu,” Dong Hae berteriak kepadaku.
Aku melambaikan tanganku dan terus berlari sampai di gedung olahraga aku segera menuju lapangan basket. Kulihat Pelatih Kim sedang mengemasi tasnya bersiap untuk pergi.
“Pelatih Kim,” aku hampir berteriak memanggilnya.
Pelatih Kim menoleh padaku. Dia melempar senyum khasnya kepadaku.
“Kau datang untuk membereskan ruangan ini?”
“Apa maksud Pelatih?”
“Kau datang saat latihan selesai, bukankah berarti kau akan membereskan sisanya?”
“Anio. Aku kesini karena aku ingin menyampaikan sesuatu kepada anda, Pelatih,”
“Ku harap kau akan mengatakan padaku bahwa kau akan membereskan tempat ini,”
Aku menggeleng kuat.
“Ani, yang ingin kukatakan kepada Pelatih adalah, aku akan bermain basket lagi, aku akan berusaha melakukan yang terbaik, mohon bimbingannya,” aku membungkuk.
“Mwo?”
“Ne, aku akan bermain basket lagi, mohon bimbing aku Pelatih Kim,” aku berkata dengan sangat pasti. Pelatih Kim sepertinya sangat terkejut.
“Kau ini, kau membuatku takut, kenapa kau ingin bermain lagi?”
“Aku punya alasan untuk melakukannya lagi, dan juga aku ingin anda melihatku dengan mata terbelalak saat aku bisa melakukan tembakan tiga pointku,”
“Aku tidak akan pernah membelalakkan mataku padamu,”
“Kita lihat saja nanti, kalau sampai Pelatih terbelalak, aku akan mendapatkan es krim gratis dari Pelatih,”
“Kau ini, es krim saja yang ada di kepalamu, sekali-sekali isilah otakmu dengan sesuatu yang lain.”
“Ye, Pelatih,”
Kami berdua tertawa.
“Ya Ji Hyun-aa, apapun alasanmu kembali bermain, aku senang kau kembali, lakukan yang terbaik,”
“Ye, Pelatih, aku akan menuruti kata-katamu,”
“Baiklah, urus tempat ini, jangan pulang sebelum semua beres,”
“Mwo? Semuanya???”
Pelatih melambaikan tangan padaku dan pergi meninggalkanku dengan lapangan basket yang penuh dengan bola berserakan. Apa-apan sih Pelatih Kim itu?? Menyebalkan sekali dia ini. Aku mengambil sebuah bola di dekat kakiku. Darahku berdesir saat memegang bola, lalu kulempar bola dan masuk ke ring.
“Ya, apa yang kau lakukan? Kau sudah bertemu Pelatih Kim?” Dong Hae sudah berdiri di pintu ruang olahraga.
“Ne, aku sudah mengatakan padanya,”
“Lalu kenapa masih di sini?”
“Pelatih meyuruhku mebereskan semua ini, kau bantu aku ya?”
“Kau bercanda?”
Dan beberapa saat setelah itu kami bersama-sama membereskan lapangan basket.
*****************************************************************
Hari ini aku, Hyuk Jae, dan Hye Ri pergi ke pusat perbelanjaan. Sebenarnya ini ide Hyuk Jae, dia ingin membeli sepatu baru, tapi kami harus ikut. Saat sedang memilih sepatu, aku melihat Kai. Kali ini dia sendirian. Benar-benar sendiri, tanpa yeoja itu. Aku harus bicara dengannya. Aku berlari ke arahnya, meninggalkan Hyuk Jae dan Hye Ri.
“Ya, Kai,”
Kai menoleh dan terkejut melihatku.
“Ji Hyun-aa, kau sedang apa di sini?”
“Aku hanya membeli sesuatu, Kai, odiyeyo?”
“Apa maksudmu? Aku tidak kemana-mana, kau ini bicara apa?”
“Kau tidak pernah menghubungi, kau juga tidak pernah menemuiku, apa yang terjadi?”
“Oppseoyo, aku hanya sedikit sibuk,”
Kami diam beberapa saat. Kai terlihat sedikit gelisah. Dia akan terus-terusan melihat jam tangannya saat gelisah. Dan dia melakukan itu sekarang.
“Kai, geu yeoja neun, nugu ya?”
“Umm, dia hanya chingu di sekolah,”
“Jongmal? Kulihat kau sering bersamanya,”
“Itu.. itu.. karena.. ah aku harus pergi, kita bicara lain kali,” setelah mengatakan itu Kai langsung pergi begitu saja.
“Ya, Kai, gidariyo, aku belum selaesai,”
Aku berteriak dan berusaha mengejarnya, tapi dia cepat sekali menghilang. Aku berdiri mematung di tengah kerumunan orang-orang. Dadaku terasa sesak sekali. Aku menggigit bibirku menahan tangis. Apa Kai benar-benar telah melupakan aku? Kenapa dia bersikap seperti itu? Kenapa dia tidak menjelaskan apapun padaku? Kenapa dia berubah seperti ini? aku hampir saja menangis saat Hye Ri menepuk pundakku. Aku tesadarkan kembali. Aku baru ingat kalau aku tadi tiba-tiba meninggalkan mereka.
“Ya, apa yang kau lakukan disini? Kenapa tiba-tiba hilang?”
“Oh, aniyo, tidak, aku hanya tadi melihat seseorang yang ku kenal, dan ternyata bukan, mianhae,”
“Ku kira kau tersesat, kalian lapar? Ayo makan!” Hyuk Jae mengajak kami makan.
Aku dan Hye Ri mengangguk. Aku masih terus memikirkan Kai. Kenapa dia bersikap seperti itu? Kalau dia ingin berpisah kenapa tidak mengatakannya padaku? Sampai di tempat makan pun aku masih melamun.
“Ya Ji Hyun-aa, kau mau pesan apa?”
“Ah, mianhae. Aku pesan soondubu jiggae saja.”
“Kenapa kau pesan itu???”
“Ah, aku hanya ingin makan itu saja,”
Kami makan pesanan kami sambil mengobrol. Aku masih tetap memikirkan Kai. Apa yang harus kulakukan? Apa karena aku masuk asrama sehingga dia menjauhiku? Atau karena dia memang mau putus denganku? Tapi kenapa dia bersikap seperti itu? Kenapa dia tidak mengatakannya padaku? Kenapa harus menghindariku?
“Kulihat dari tadi kau melamun terus, apa yang terjadi?”
“Ah,” pertanyaan Hyuk Jae menyadarkanku dari lamunanku, “Apa aku terlihat seperti melamun?”
“Matamu menatap kosong pada sup tahumu, dan kau bahkan tak sedikitpun menyentuh sup mu, kalau bukan melamun apa kau patung?”
“Ya Ji Hyun-aa, apa ada sesuatu?” tanya Hye Ri.
“Oh, aniyo, gwaenchana, aku hanya merindukan eonnieku, biasanya dia membuatkan sup tahu ini untukku,” apanya yang sup tahu? Masuk dapur saja dia alergi.
“Teleponlah dia nanti,”
“Ne, aku akan meneleponnya nanti, mog cha,”
Aku menghabiskan supku tanpa mengatakan apapun. Aku tidak bisa menceritakan hal ini pada mereka. Mereka tiddak ada hubungannya dengan ini. apa aku ahrus menelepon Sulli? Tiba-tiba ponselku bordering. Ada pesan dari Henry.
Ya, kemana Kai? Dia tidak pernah menghubungiku, kami bahkan tidak pernah bermain sepakbola bersama lagi. Beritahu dia untuk menghubungiku.
Aku hanya terdiam membaca pesan Henry. Kai juga tidak menghubungi Henry dan Sulli.
Aku: Ne, aku akan memberitahnya. Sepertinya dia agak sibuk akhir-akhir ini.
Henry: Apa terjadi sesuatu?
Aku: Ani, kami hanya jarang bertemu karena dia sibuk. Tidak terjadi apa-apa.
Henry: Geureyo, dia jarang sekali menghubungiku, sejujurnya bogoshiposeokeuna.
Aku: Nado,aku akan menghubungi dia nanti, geokjheongmara.
Henry: Araso, jaga kesehatanmu.
Aku: Ne. kau juga. 
Kami pulang dari pusat perbelanjaan saat malam hari. Aku dan Hye Ri menuju asrama sambil ngobrol. Sekolah sangat sepi mala mini, hampir tidak ada siswa yang melakukan kegiatan.
“Sepi sekali, jam brapa ini?” Hye Ri melihat jam tangannya. “Ini baru jam 8,”
“Kau benar, sepi sekali, ayo cepat, aku ingin segera tidur,”
“Ah Ji Hyun-aa, teman sekamarku tidak pulang malam ini, kau mau tidur di kamarku, temani aku,”
“Kalau ketahuan bagaimana?”
“Malam ini tidak ada pemeriksaan, kita aman,”
 “Araso. Aku akan menghubungi Se Na,”
Malam itu aku tidur di kamar Hye Ri. Kami ngobrol banyak sampai larut.
******************************************************************
Siang itu setelah pulang sekolah, aku ke gedung olahraga. Aku memasukkan bola beberapa kali. Setelah itu aku hanya duduk di tengah lapangan. Entah kenapa hatiku selalu sakit saat ingat Kai. Aku ingin menangis saat ini. Apa aku harus menelepon Kai dan mengatakan untuk mengakhiri hubungan kami saja? Aku capek terus menerus bertanya kenapa. Aku tidak pernah mendapatkan jawaban atas semua kenapaku. Tapi aku pasti akan menangis dan tidak bisa mengatakan apapun.
“Apa kau terlahir untuk melamun?”
Aku menoleh dan Dong Hae berdiri di pintu. Saat Dong Hae berjalan ke arahku, aku berdiri dan berbalik membelakanginya. Aku sudah menangis. Aku tidak ingin dia melihatku menangis lagi. Aku tidak mau berhutang lagi padanya. Dia mendrible bola beberapa kali dan memasukkannya ke dalam ring. Aku masih membelakanginya.
“Dong Hae-ssi, bisakah kau melakukan sesuatu untukku?”
“Kali ini apa lagi?” dia masih memainkan bolanya.
Aku berbalik menatap Dong Hae.
“Bisakah kau melihatku dan memastikan aku tidak akan menangis?”
Bola ditangannya lepas.
“Mwo???”
Aku menekan nomor rumah Kai. Aku tidak bisa menghubungi ponsel Kai. Aku sangat berharap Kai di rumah dan mengangkat teleponku. Dong Hae bersandar pada pohon di taman sekolah. Membelakangiku.
“Yoboseyo,” suara Kai terdengar di seberang. Aku lega dia mengangkatnya.
“Umm… Kai ini aku, Ji Hyun,”
Tidak ada suara di seberang sana, tapi telepon masih tersambung.
“Umm… Sampai sekarang, kau sudah selalu menjagaku, gumapta,”
Masih belum ada jawaban dari Kai.
“Aku.. Aku sangat senang saat kau mengatakan aku mirip pelangi, penuh warna dan ceria, kau juga mengatakan kau menyukai pelangi, itu artinya kau menyukaiku, nan neun jongmal haengbokaeyo,”
Kami berdua diam. Aku berusaha untuk tidak menangis. Aku merasa suaraku bergetar.
“Kunde… Kunde nan.. Aku harus berhenti menjadi pelangi untukmu.. Aku sudah membuatmu merasa tidak nyaman, jadi aku pikir aku akan berhenti menjadi pelangi untukmu,”
Tidak ada yang bersuara diantara kami.
“Lagipula.. Denganmu yang sudah..”
“Araso, kau teruslah bersemangat,”
Aku diam. Aku benar-benar ingin menangis.
“Ne,”
Aku menarik nafas dalam-dalam.
“Annyeong,”
Aku menutup telepon dan menghembuskan nafas panjang.
“Kau kejam sekali,” kata Dong Hae tiba-tiba.
Aku menatap ponselku terdiam.
“Memutuskan dari satu pihak, dan mengatakan selamat tinggal melalui telepon, kalau begitu caranya Kai bisa saja menangis kan?”
Aku tersenyum menatap Dong Hae. Dia masih bersandar pada pohon dan menatap ranting-ranting pohon.
“Mungkin saja,” jawabku.
“Jangan bohongi dirimu sendiri, menangislah,” kata Dong Hae.
“Shiro! Aku tidak akan menangis,”
“Kau benar-benar sangat kejam,”
“Kunde… Aku tidak mau menambah hutangku karena menangis di depanmu,”
Dong Hae menatapku dan tersenyum.
“Kau benar-benar sudah merencanakan ini semua,”
Aku ikut tersenyum, mungkin masih ada rasa sakit di hatiku, tapi aku sekarang merasa lebih baik. Aku lega bisa mengakhiri semua tekanan dalam hatiku. Aku tidak menangis, bukan karena aku tidak ingin berhutang pada Dong Hae, tapi aku memang tidak ingin menangis untuk Kai. Aku pernah berjanji tidak akan menangis untuk Kai, aku ingin selalu bahagia untuknya. Maka dari itu, sampai akhirpun aku tidak ingin menangis.
Aku dan Dong Hae berjalan pelan menyusuri taman. Kami terdiam. Aku merasa lega. Aku akan melupakan Kai yang pernah kusayangi. Aku berhenti dan menatap langit.
“Di langit yang biru, awan putih berarakan, bukankah itu sangat indah?”
Dong Hae berhenti dan ikut menatap langit.
“Kau benar, neomu yeppeotta,”
Kami menatap langit untuk beberapa saat. Aku tersenyum bahagia.
***************************************************************
Aku bertemu dengan Sulli dan Henry di akhir pekan. Mereka mengajakku menonton film. Kami menghabiskan waktu seharian bersama. Kami mengambil banyak gambar hari ini. Kami ke pasar murah, kami membeli beberapa barang bersama, kami bahkan makan sangat banyak. Kami membeli es krim super besar dan memakannya bersama di taman. Henry terus saja bercerita tentang pertandingan sepak bolanya kemarin. Dia memasukkan dua gol dan dia menjadi sangat senang dan bangga.
“Seharusnya kalian melihatku kemarin, aku benar-benar sangat hebat!” celotehnya dengan mulut penuh es krim.
“Kau ini, habiskan dulu es krim di mulutmu itu,” kata Sulli.
“Di pertandingan berikutnya, kalian harus datang melihatku, araji?”
“Itu tergantung, kau mau traktir kami atau tidak, benarkan Ji Hyun?”
“Benar, kapan kau akan mentraktir kami?? Kau selalu saja minta traktiran dari kami, tapi setiap kami minta traktir, kau selalu saja kabur,”
“Itu karena aku pintar, sudahlah, kalian harus datang ya,” kata Henry sambil terus makan es krim.
“Dasar kau ini,”
“Ah, ajak Kai juga, aku sangat ingin bertemu dengannya,” kata Henry.
Aku terkejut mendengarnya. Aku terdiam beberapa saat. Aku harus memebritahu mereka tidak ya? Sepertinya aku harus memberitahu mereka.
“Ya, Ji Hyun-aa, ajak Kai juga,” Henry menepuk pundakku pelan.
“Ummm… itu… aku tidak bisa,”
“Wae??”
“Kami sudah tidak bersama lagi,” entah itu keluar begitu saja.
Sulli dan Henry tampak sangat erkejut.
“Mwo???????”
“Geure, aku memutuskannya beberapa hari yang lalu,”
“Ya Ji Hyun—aa! Apa maksudmu? Kenapa kau melakukan itu??
Sulli tiba-tiba menjadi sangat marah.

to be continued...

In My Dream (Part 4)

Diposting oleh Popo... The Kite Runner di 15.04 0 komentar

Ji Hyun terus merasa takut saat melihat lapangan basket, dan Dong Hae disana.. This is it In My Dream Part 4.. Happy Reading...

Dan entah kenapa aku mendapatkan nafasku kembali. Untuk beberapa saat aku melupakan semua ketakutanku. Entah kenapa semua bayangan tentang lubang berdarah di kepalaku lenyap begitu saja. Ini benar-benar aneh.
“Arayo,”
Dia hanya berkata itu dan menepuk-nepuk punggungku pelan. Menurutku ini sangat berlebihan, aku ketakutan akan suatu hal yang seharusnya kuimpikan dan seseorang memelukku saat ketakutanku berada pada titik paling tinggi. Kami tidak mengatakan apapun untuk beberapa saat.
“Kau tidak harus memaksakan dirimu, tapi bisakah bayangan lubang dikepalamu menjadi bayangan sebuah lubang untukmu keluar dari ketakutanmu?”
Aku diam.
“Bayangkanlah itu adalah lubang untukmu keluar dari bayangan masa lalumu, bagaimana bisa sebuah lubang di kepala mengubur impianmu? Lalu kau piker kau bisa melanjutkan hidup dengan ketakutan pada impianmu sendiri? Kau harus lawan ketakutanmu, aku ingin melihatmu bermain basket lagi, araji?”
Aku diam dalam pelukannya. Apa yang dia katakan ada benarnya, selama ini aku tersiksa dengan menahan diriku untuk bermain basket. Aku sangat ingin mencoba untuk bermain basket lagi. Apa ini saatnya aku mencoba lagi? Akhirnya aku mengangguk dalam pelukan Dong Hae.
******************************************************************
Aku berdiri di lapangan basket sekarang. Di depanku ada sebuah bola basket. Itu milik Dong Hae. Entah kenapa dia meninggalkan bola itu di sini. Semalam saat kembali ke asrama, aku benar-benar memikirkan perkataan Dong Hae. Aku hampir tidak tidur semalaman. Aku tertidur dengan fotoku saat memenangkan turnamen basket tingkat SMP. Dan sekarang aku ingin keluar dari lubang kepalaku. Aku ingat saat tiba-tiba Dong Hae memelukku dang mengatakan semua hal itu. Aku ingin Dong Hae melihatku bermain basket dengan baik tanpa ketakutan.
Aku melangkah pelan mendekati bola basket itu. Kepalaku kembali berputar, lubang dan darah kembali memenuhi otakku. Aku membuat diriku tetap berdiri tegak. Aku membungkuk dan memegang bola itu. Seperti di fast rewind, semua ingatan saat aku jatuh kembali berputar-putar di kepalaku. Aku memejamkan mataku, aku mula tapi kuambil bola itu dan berlari sambil mendriblenya. Semua terlihat gelap pada awalnya, aku melempar bola ke arah ring, meleset. Nafasku tidak beraturan, sebagai permulaan sepertinya aku berhasil. Pandanganku masih berkunang-kunang, tapi aku tetap memaksakan diriku untuk terus memegang bola dan memainkannya. Aku hanya melempar bola secara tak beraturan pada awalnya. Aku masih sangat pusing. Aku mual, aku hampir saja muntah dan hilang keseimbangan tapi aku terus mencoba. Pada akhirnya, aku berhasil menguasai diriku, aku berlari mendrible bola dan melompat ke arah ring. Untuk pertama kalinya setelah empat tahun ketakutanku, aku bisa memasukan bola ke dalam ring. Dan sisa malam itu, aku bisa memasukkan tiap tembakanku ke dalam ring.
Aku merasa seperti hidup kembali. Setidaknya permaianan basketku sempat mati dan saat ini aku seperti dilahirkan kembali. Aku merasa sangat senang. Neomu haengboke. Aku bahkan sampai melompat-lompat dan berteriak kegirangan. Aku terus melompat dan berteriak. Tubuhku penuh keringat, nafasku naik turun tak beraturan. Setlah beberapa saat aku dengan kegilaan aku terlentang di lantai lapangan dan memandang langit malam. Senyumku terus menghiasi wajahku, aku benar-benar bahagia. Aku ahrus bisa terus seperti ini. Aku memejamkan mataku beberapa saat dan saat kubuka mataku kembali ada wajah Dong Hae di hadapanku. Aku hampir saja berteriak.
“Kau membuatku hampir mati jantungan,” kataku,
“Kenapa tidak mati saja?”
“Apa kau bilang???”
Aku hampir saja memukul lengan Dong Hae saat dia menyodorkan sebotol minuman dingin kepadaku. Aku mengurungkan niatku untuk memukulnya dan menatapnya sejenak.
“Kau sudah berusaha dengan keras minumlah, kau pasti hampir mati karena haus,”
Aku mengangguk dan menerima minuman darinya lalu menenggaknya hingga hampir setengahnya.
“Uwaaaa, segar sekali, gumawo,”
“Jadi kau akan ikut latihan besok?” dia duduk disampingku.
Aku mengangguk penuh percaya diri. Aku sudah memutuskan.
“Johae,”
“Gomawo, jongmal gomawo, aku bisa bermain basket lagi sekarang, dan ternyata memang itu yang kuinginkan,”
“Jangan senang dulu, kau masih berhutang 1500 won padaku, kau harus membayarnya,”
“Kau ini kenpa selalu memikirkan uang?? Bukankah kau sangat kaya?”
Aku mendengus kesal. Dong Hanya diam.
“Aku tak sekaya yang kau pikirkan, apa yang akan kau lakukan?”
“Apa maksudmu?”
“Dwaesso, apa yang akan kau lakukan setelah ini?”
“Aku akan memberitahu Pelatih Kim kalau aku akan berlatih,”
“Lalu apa yang kau tunggu? Tahun baru China? Cepat temui dia,”
“Ah, geure, aku akan menemuinya, kau tahu dimana dia?”
“Dia ada di gedung olahraga, ga!”
“Ne, gumawo,” aku berdiri dan berlari ke arah gedung olahraga.
“Jangan lupa hutangmu,” Dong Hae berteriak kepadaku.
Aku melambaikan tanganku dan terus berlari sampai di gedung olahraga aku segera menuju lapangan basket. Kulihat Pelatih Kim sedang mengemasi tasnya bersiap untuk pergi.
“Pelatih Kim,” aku hampir berteriak memanggilnya.
Pelatih Kim menoleh padaku. Dia melempar senyum khasnya kepadaku.
“Kau datang untuk membereskan ruangan ini?”
“Apa maksud Pelatih?”
“Kau datang saat latihan selesai, bukankah berarti kau akan membereskan sisanya?”
“Anio. Aku kesini karena aku ingin menyampaikan sesuatu kepada anda, Pelatih,”
“Ku harap kau akan mengatakan padaku bahwa kau akan membereskan tempat ini,”
Aku menggeleng kuat.
“Ani, yang ingin kukatakan kepada Pelatih adalah, aku akan bermain basket lagi, aku akan berusaha melakukan yang terbaik, mohon bimbingannya,” aku membungkuk.
“Mwo?”
“Ne, aku akan bermain basket lagi, mohon bimbing aku Pelatih Kim,” aku berkata dengan sangat pasti. Pelatih Kim sepertinya sangat terkejut.
“Kau ini, kau membuatku takut, kenapa kau ingin bermain lagi?”
“Aku punya alasan untuk melakukannya lagi, dan juga aku ingin anda melihatku dengan mata terbelalak saat aku bisa melakukan tembakan tiga pointku,”
“Aku tidak akan pernah membelalakkan mataku padamu,”
“Kita lihat saja nanti, kalau sampai Pelatih terbelalak, aku akan mendapatkan es krim gratis dari Pelatih,”
“Kau ini, es krim saja yang ada di kepalamu, sekali-sekali isilah otakmu dengan sesuatu yang lain.”
“Ye, Pelatih,”
Kami berdua tertawa.
“Ya Ji Hyun-aa, apapun alasanmu kembali bermain, aku senang kau kembali, lakukan yang terbaik,”
“Ye, Pelatih, aku akan menuruti kata-katamu,”
“Baiklah, urus tempat ini, jangan pulang sebelum semua beres,”
“Mwo? Semuanya???”
Pelatih melambaikan tangan padaku dan pergi meninggalkanku dengan lapangan basket yang penuh dengan bola berserakan. Apa-apan sih Pelatih Kim itu?? Menyebalkan sekali dia ini. Aku mengambil sebuah bola di dekat kakiku. Darahku berdesir saat memegang bola, lalu kulempar bola dan masuk ke ring.
“Ya, apa yang kau lakukan? Kau sudah bertemu Pelatih Kim?” Dong Hae sudah berdiri di pintu ruang olahraga.
“Ne, aku sudah mengatakan padanya,”
“Lalu kenapa masih di sini?”
“Pelatih meyuruhku mebereskan semua ini, kau bantu aku ya?”
“Kau bercanda?”
Dan beberapa saat setelah itu kami bersama-sama membereskan lapangan basket.
*****************************************************************
Hari ini aku, Hyuk Jae, dan Hye Ri pergi ke pusat perbelanjaan. Sebenarnya ini ide Hyuk Jae, dia ingin membeli sepatu baru, tapi kami harus ikut. Saat sedang memilih sepatu, aku melihat Kai. Kali ini dia sendirian. Benar-benar sendiri, tanpa yeoja itu. Aku harus bicara dengannya. Aku berlari ke arahnya, meninggalkan Hyuk Jae dan Hye Ri.
“Ya, Kai,”
Kai menoleh dan terkejut melihatku.
“Ji Hyun-aa, kau sedang apa di sini?”
“Aku hanya membeli sesuatu, Kai, odiyeyo?”
“Apa maksudmu? Aku tidak kemana-mana, kau ini bicara apa?”
“Kau tidak pernah menghubungi, kau juga tidak pernah menemuiku, apa yang terjadi?”
“Oppseoyo, aku hanya sedikit sibuk,”
Kami diam beberapa saat. Kai terlihat sedikit gelisah. Dia akan terus-terusan melihat jam tangannya saat gelisah. Dan dia melakukan itu sekarang.
“Kai, geu yeoja neun, nugu ya?”
“Umm, dia hanya chingu di sekolah,”
“Jongmal? Kulihat kau sering bersamanya,”
“Itu.. itu.. karena.. ah aku harus pergi, kita bicara lain kali,” setelah mengatakan itu Kai langsung pergi begitu saja.
“Ya, Kai, gidariyo, aku belum selaesai,”
Aku berteriak dan berusaha mengejarnya, tapi dia cepat sekali menghilang. Aku berdiri mematung di tengah kerumunan orang-orang. Dadaku terasa sesak sekali. Aku menggigit bibirku menahan tangis. Apa Kai benar-benar telah melupakan aku? Kenapa dia bersikap seperti itu? Kenapa dia tidak menjelaskan apapun padaku? Kenapa dia berubah seperti ini? aku hampir saja menangis saat Hye Ri menepuk pundakku. Aku tesadarkan kembali. Aku baru ingat kalau aku tadi tiba-tiba meninggalkan mereka.
“Ya, apa yang kau lakukan disini? Kenapa tiba-tiba hilang?”
“Oh, aniyo, tidak, aku hanya tadi melihat seseorang yang ku kenal, dan ternyata bukan, mianhae,”
“Ku kira kau tersesat, kalian lapar? Ayo makan!” Hyuk Jae mengajak kami makan.
Aku dan Hye Ri mengangguk. Aku masih terus memikirkan Kai. Kenapa dia bersikap seperti itu? Kalau dia ingin berpisah kenapa tidak mengatakannya padaku? Sampai di tempat makan pun aku masih melamun.
“Ya Ji Hyun-aa, kau mau pesan apa?”
“Ah, mianhae. Aku pesan soondubu jiggae saja.”
“Kenapa kau pesan itu???”
“Ah, aku hanya ingin makan itu saja,”
Kami makan pesanan kami sambil mengobrol. Aku masih tetap memikirkan Kai. Apa yang harus kulakukan? Apa karena aku masuk asrama sehingga dia menjauhiku? Atau karena dia memang mau putus denganku? Tapi kenapa dia bersikap seperti itu? Kenapa dia tidak mengatakannya padaku? Kenapa harus menghindariku?
“Kulihat dari tadi kau melamun terus, apa yang terjadi?”
“Ah,” pertanyaan Hyuk Jae menyadarkanku dari lamunanku, “Apa aku terlihat seperti melamun?”
“Matamu menatap kosong pada sup tahumu, dan kau bahkan tak sedikitpun menyentuh sup mu, kalau bukan melamun apa kau patung?”
“Ya Ji Hyun-aa, apa ada sesuatu?” tanya Hye Ri.
“Oh, aniyo, gwaenchana, aku hanya merindukan eonnieku, biasanya dia membuatkan sup tahu ini untukku,” apanya yang sup tahu? Masuk dapur saja dia alergi.
“Teleponlah dia nanti,”
“Ne, aku akan meneleponnya nanti, mog cha,”
Aku menghabiskan supku tanpa mengatakan apapun. Aku tidak bisa menceritakan hal ini pada mereka. Mereka tiddak ada hubungannya dengan ini. apa aku ahrus menelepon Sulli? Tiba-tiba ponselku bordering. Ada pesan dari Henry.
Ya, kemana Kai? Dia tidak pernah menghubungiku, kami bahkan tidak pernah bermain sepakbola bersama lagi. Beritahu dia untuk menghubungiku.
Aku hanya terdiam membaca pesan Henry. Kai juga tidak menghubungi Henry dan Sulli.
Aku: Ne, aku akan memberitahnya. Sepertinya dia agak sibuk akhir-akhir ini.
Henry: Apa terjadi sesuatu?
Aku: Ani, kami hanya jarang bertemu karena dia sibuk. Tidak terjadi apa-apa.
Henry: Geureyo, dia jarang sekali menghubungiku, sejujurnya bogoshiposeokeuna.
Aku: Nado,aku akan menghubungi dia nanti, geokjheongmara.
Henry: Araso, jaga kesehatanmu.
Aku: Ne. kau juga. 
Kami pulang dari pusat perbelanjaan saat malam hari. Aku dan Hye Ri menuju asrama sambil ngobrol. Sekolah sangat sepi mala mini, hampir tidak ada siswa yang melakukan kegiatan.
“Sepi sekali, jam brapa ini?” Hye Ri melihat jam tangannya. “Ini baru jam 8,”
“Kau benar, sepi sekali, ayo cepat, aku ingin segera tidur,”
“Ah Ji Hyun-aa, teman sekamarku tidak pulang malam ini, kau mau tidur di kamarku, temani aku,”
“Kalau ketahuan bagaimana?”
“Malam ini tidak ada pemeriksaan, kita aman,”
 “Araso. Aku akan menghubungi Se Na,”
Malam itu aku tidur di kamar Hye Ri. Kami ngobrol banyak sampai larut.
******************************************************************
Siang itu setelah pulang sekolah, aku ke gedung olahraga. Aku memasukkan bola beberapa kali. Setelah itu aku hanya duduk di tengah lapangan. Entah kenapa hatiku selalu sakit saat ingat Kai. Aku ingin menangis saat ini. Apa aku harus menelepon Kai dan mengatakan untuk mengakhiri hubungan kami saja? Aku capek terus menerus bertanya kenapa. Aku tidak pernah mendapatkan jawaban atas semua kenapaku. Tapi aku pasti akan menangis dan tidak bisa mengatakan apapun.
“Apa kau terlahir untuk melamun?”
Aku menoleh dan Dong Hae berdiri di pintu. Saat Dong Hae berjalan ke arahku, aku berdiri dan berbalik membelakanginya. Aku sudah menangis. Aku tidak ingin dia melihatku menangis lagi. Aku tidak mau berhutang lagi padanya. Dia mendrible bola beberapa kali dan memasukkannya ke dalam ring. Aku masih membelakanginya.
“Dong Hae-ssi, bisakah kau melakukan sesuatu untukku?”
“Kali ini apa lagi?” dia masih memainkan bolanya.
Aku berbalik menatap Dong Hae.
“Bisakah kau melihatku dan memastikan aku tidak akan menangis?”
Bola ditangannya lepas.
“Mwo???”
Aku menekan nomor rumah Kai. Aku tidak bisa menghubungi ponsel Kai. Aku sangat berharap Kai di rumah dan mengangkat teleponku. Dong Hae bersandar pada pohon di taman sekolah. Membelakangiku.
“Yoboseyo,” suara Kai terdengar di seberang. Aku lega dia mengangkatnya.
“Umm… Kai ini aku, Ji Hyun,”
Tidak ada suara di seberang sana, tapi telepon masih tersambung.
“Umm… Sampai sekarang, kau sudah selalu menjagaku, gumapta,”
Masih belum ada jawaban dari Kai.
“Aku.. Aku sangat senang saat kau mengatakan aku mirip pelangi, penuh warna dan ceria, kau juga mengatakan kau menyukai pelangi, itu artinya kau menyukaiku, nan neun jongmal haengbokaeyo,”
Kami berdua diam. Aku berusaha untuk tidak menangis. Aku merasa suaraku bergetar.
“Kunde… Kunde nan.. Aku harus berhenti menjadi pelangi untukmu.. Aku sudah membuatmu merasa tidak nyaman, jadi aku pikir aku akan berhenti menjadi pelangi untukmu,”
Tidak ada yang bersuara diantara kami.
“Lagipula.. Denganmu yang sudah..”
“Araso, kau teruslah bersemangat,”
Aku diam. Aku benar-benar ingin menangis.
“Ne,”
Aku menarik nafas dalam-dalam.
“Annyeong,”
Aku menutup telepon dan menghembuskan nafas panjang.
“Kau kejam sekali,” kata Dong Hae tiba-tiba.
Aku menatap ponselku terdiam.
“Memutuskan dari satu pihak, dan mengatakan selamat tinggal melalui telepon, kalau begitu caranya Kai bisa saja menangis kan?”
Aku tersenyum menatap Dong Hae. Dia masih bersandar pada pohon dan menatap ranting-ranting pohon.
“Mungkin saja,” jawabku.
“Jangan bohongi dirimu sendiri, menangislah,” kata Dong Hae.
“Shiro! Aku tidak akan menangis,”
“Kau benar-benar sangat kejam,”
“Kunde… Aku tidak mau menambah hutangku karena menangis di depanmu,”
Dong Hae menatapku dan tersenyum.
“Kau benar-benar sudah merencanakan ini semua,”
Aku ikut tersenyum, mungkin masih ada rasa sakit di hatiku, tapi aku sekarang merasa lebih baik. Aku lega bisa mengakhiri semua tekanan dalam hatiku. Aku tidak menangis, bukan karena aku tidak ingin berhutang pada Dong Hae, tapi aku memang tidak ingin menangis untuk Kai. Aku pernah berjanji tidak akan menangis untuk Kai, aku ingin selalu bahagia untuknya. Maka dari itu, sampai akhirpun aku tidak ingin menangis.
Aku dan Dong Hae berjalan pelan menyusuri taman. Kami terdiam. Aku merasa lega. Aku akan melupakan Kai yang pernah kusayangi. Aku berhenti dan menatap langit.
“Di langit yang biru, awan putih berarakan, bukankah itu sangat indah?”
Dong Hae berhenti dan ikut menatap langit.
“Kau benar, neomu yeppeotta,”
Kami menatap langit untuk beberapa saat. Aku tersenyum bahagia.
***************************************************************
Aku bertemu dengan Sulli dan Henry di akhir pekan. Mereka mengajakku menonton film. Kami menghabiskan waktu seharian bersama. Kami mengambil banyak gambar hari ini. Kami ke pasar murah, kami membeli beberapa barang bersama, kami bahkan makan sangat banyak. Kami membeli es krim super besar dan memakannya bersama di taman. Henry terus saja bercerita tentang pertandingan sepak bolanya kemarin. Dia memasukkan dua gol dan dia menjadi sangat senang dan bangga.
“Seharusnya kalian melihatku kemarin, aku benar-benar sangat hebat!” celotehnya dengan mulut penuh es krim.
“Kau ini, habiskan dulu es krim di mulutmu itu,” kata Sulli.
“Di pertandingan berikutnya, kalian harus datang melihatku, araji?”
“Itu tergantung, kau mau traktir kami atau tidak, benarkan Ji Hyun?”
“Benar, kapan kau akan mentraktir kami?? Kau selalu saja minta traktiran dari kami, tapi setiap kami minta traktir, kau selalu saja kabur,”
“Itu karena aku pintar, sudahlah, kalian harus datang ya,” kata Henry sambil terus makan es krim.
“Dasar kau ini,”
“Ah, ajak Kai juga, aku sangat ingin bertemu dengannya,” kata Henry.
Aku terkejut mendengarnya. Aku terdiam beberapa saat. Aku harus memebritahu mereka tidak ya? Sepertinya aku harus memberitahu mereka.
“Ya, Ji Hyun-aa, ajak Kai juga,” Henry menepuk pundakku pelan.
“Ummm… itu… aku tidak bisa,”
“Wae??”
“Kami sudah tidak bersama lagi,” entah itu keluar begitu saja.
Sulli dan Henry tampak sangat erkejut.
“Mwo???????”
“Geure, aku memutuskannya beberapa hari yang lalu,”
“Ya Ji Hyun—aa! Apa maksudmu? Kenapa kau melakukan itu??
Sulli tiba-tiba menjadi sangat marah.

to be continued...

 

Popo.. The Kite Runner Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea