Rabu, 06 Februari 2013

In My Dream (Part 9)

Diposting oleh Popo... The Kite Runner di 08.12
  apa yang akan dilakukan ji Hyun? Ayahnya terus menerus menolak penjelasannya... Here, In My Dream Part 9//



Eomma datang sambil membawa minuman dan makanan.
“Kemana ayahmu? Ada apa? Kau terlihat aneh?”
Aku tidak menjawab dan hanya duduk di sofa. Aku diam untuk beberapa saat. Eomma meletakkan bawaannya di meja dan duduk di sampingku. Dia membelai rambutku pelan.
“Sudahlah, pelan-pelan dia akan mengerti, kau yang sabar saja,”
“Tapi eomma, appa bahkan tidak mau mendengarkanku,” aku diam sebentar dan menoleh menatap eomma. “Eomma! Kau sudah tahu? Kau tidak marah?”
Eomma tersenyum, “Untuk apa aku marah? Kalau aku marah apa kau akan berhenti? Aku sangat tahu watakmu itu, jadi percuma saja aku marah,”
Entah kenapa aku tiba-tiba memeluk eomma.
“Gomawoyo eomma, aku senang sekali, gomawoyo,”
“Anak nakal!” eomma membelai rambutku pelan.
“Tapi, kapan appa akan mengerti? Dia sangat marah,”
“Tenanglah, kau tahu appamu itu seperti apa, dia akan memahaminya kelak, mungkin akan sedikit lama, tapi dia akan memahaminya,”
Aku mengangguk. Aku ingin tinggal sedikit lebih lama di rumah, tapi dengan kemarahan appa, lebih baik aku kembali ke sekolah saja. Eomma berkali-kali memaksaku untuk tinggal, tapi aku menolak. Lebih baik untukku menjaga jarak dengan appa. Aku turun dari bus dan berjalan menuju sekolahku. Aku memutuskan untuk tidur saja. Hari ini tidak ada latihan dan dengan kakiku yang masih sedikit perih, aku tidak bisa melakukan banyak. Aku berjalan menyusuri jalan setapak di pinggir lapangan bola. Sedang ada latihan dari tim sepak bola. Beberapa murid yang menonton saling memberi semangat. Tiba-tiba aku melihat Dong Hae. Aku ingin memanggilnya saat aku melihat dia sedang berbicara dengan Kim Ha Ra. Aku mengurungan niatku dan bersembunyi di balik dedaunan. Samar-samar aku mndengar pembicaraan mereka.
“Sudah kubilang kau pulanglah, kalau ketahuan bisa dapat masalah,” kata Dong Hae.
“Shiro! Aku tidak akan pulang sebelum Oppa menyetujui operasi itu,”
“Itu bukan urusanmu, sudahlah, aku ada persiapan untuk acara nanti malam,”
“Tapi kau belum boleh bernyanyi sampai kau dioperasi,”
Mwo ya? Dong Hae tidak boleh bernyanyi?
“Mau bernyanyi atau tidak, itu terserah aku,”
“Oppa!!! Kenapa tidak pernah mendengarkanku? Aku sangat khawatir padamu, aku benar-benar tidak bisa membiarkanmu bernyanyi sekarang, apa pentingnya acara itu??”
“Bagiku acara itu sangat penting, karena acara itulah aku mulai bernyanyi,”
“Kalau memang begitu.. Tapi aku benar-benar tidak bisa membiarkanmu bernyanyi sekarang,” Suara Kim Ha Ra sedikit meninggi.
Dong Hae diam. Mereka berdua diam. Aku diam. Jangan-jangan.
“Kenapa kau menyukaiku?”
Mwo??? Kim Ha Ra menyukai Dong Hae?
“Molla, aku hanya tau itu terjadi begitu saja. Sejak aku kecil Oppa selalu ada disisiku, bahkan sampai aku dewasa, Oppalah yang ada disisiku, hanya Oppa satu-satunya pria yang ada disisiku.” Suaranya terdengar bergetar.
“Jadi itu alasannya?”
“Ne! Itu alasannya!”
“Tapi apa kau tahu? Aku senang karena Oppa yang selalu disisiku dan bukan orang lain,”
Aku melihat kearah mereka. Kulihat Dong Hae menggenggam tangan Kim Ha Ra dan dia tersenyum menatap Kim Ha Ra. Apa ini?
“Gumaptago,”
“Karena aku menyukaimu?”
“Gomaptago, karena kau yang pertama kali memberitahuku tentang acara ini,”
Setelah itu Dong Hae berbalik da meninggalkan Kim Ha Ra. Kim Ha Ra hanya diam di sana. Aku juga hanya bersembunyi dibalik dedaunan itu dan berdiri tidak melakukan apa-apa. Jadi Kim Ha Ra dan Dong Hae adalah sahabat sejak kecil. Pasti dia tahu banyak soal Dong Hae. Dan entah kenapa tiba-tiba aku merasa iri pada Kim Ha Ra. Ah, apa sih yang kupikirkan? Itu kan urusan mereka.  Ah iya, acara apa yanga akan dihadiri Dong Hae malam ini? Apa acara pencarian bakat itu? Acara putaran final pertama akan diadakan malam ini. Dong Hae dulu juga adalah pemenang acara pencarian bakat ini. Apa dia akan tampil di acara itu? Apa sebaiknya aku datang dan melihatnya? 
Aku benar-benar disini sekarang. Duduk diantara penonton yang menyaksikan acara putaran final pencarian bakat ini. benar-benar sangat ramai disini. Dari tadi kudengar mereka membicarakan Dong Hae. Semoga dia benar tampil di acara ini, jangan samapai aku salah acara. Setelah beberapa saat, acara dimulai pembawa acara sudah diatas panggung dan membuka acara, memeprkenalkan para juri, dan juga memperkenalkan para finalis. Teriakan dari para pendukung masing-masing finalis sangat ramai sekali. Sementara aku hanya ikuta-ikutan tepuk tangan.
“Baiklah pemirsa dan penonton disini, sebagai pembuka acara, akan hadir seorang penyanyi terkenal, dia juga adalah pemenang ajang pencarian bakat ini tiga tahun yang lalu saat usianya baru 12 tahun. Kalian pasti tahu siapa dia, baiklah, tak perlu menunggu lama lagi, kita sambut Lee Dong Hae!!”
Lampu studio berubah menjadi gelap. Hanya beberapa lampu ynag menyinari beberapa sisi panggung. Dan tiba-tiba suara gemuruh penonton memenuhi studio tempat acara berlangsung. Mereka meneriakkan nama Dong Hae dan bertepuk tangan keras-keras. Sebuah music mengalun pelan dan bersamaan dengan lampu sorot di tengah panggung, Dong Hae muncul dan menyanyikan lagu andalannya yang berjudul In My Dream.
Mungkin hanya aku yang tidak berteriak. Mungkin hanya aku yang tidak bertepuk tangan. Karena aku hanya diam dan terpana melihat Dong Hae bernyanyi. Entah kenapa ada yang berbeda dari biasanya. Kali ini dia sangat menghayati lagu yang dia nyayikan. Lagu ini menceritakan tentang impiannya yang indah, impian yang terlalu indah. Apa ini? Dong Hae seperti sedang berbicara kepada penonton bahwa impiannya sangat indah dan dia ingin sekali membuat impiannya jadi nyata. Suaranya yang indah dan jernih mampu menggetarkan hati setiap penonton disini. Saat dia bernyanyi, hampir tak ada suara selain suaranya. Apa ini isi hatinya yang terdalam? Mengingat semua kejadian yang terjadi padanya, apa dia ingin menyampaikan suatu pesan kepada penontonnya?
Aku sempat mengambil sebuah gambarnya saat bernyanyi. Dan suara gemuruh tepuk tangan memenuhi studio saat dia membungkuk dan mengucapkan terimakasih saat lagunya selesai. Banyak penonton yang berdiri dan meneriakkan namanya. Aku masih terpaku di tempat dudukku.
“Tepuk tangan yang meriah untuk Lee Dong Hae!!!” kata pembawa acara sambil memasuki panggung.
“Khamsahamnida,” kata Dong Hae.
“Penampilan yang sangat memukau Dong Hae-ssi, sangat berbeda, seperti ada sesuatu yang tersimpan didalamnya, apa kau sedang merasakan sesuatu?”
“Ah, ani, aku hanya teringat saat aku berdiri di panggung ini beberapa tahun yang lalu, aku seperti menjadi peserta lagi, “
“Hahaha, benar, dulupun kau sangat memukau, apa kau ada rencana mengeluarkan album baru?”
Belum sempat menjawab, Dong Hae tiba-tiba terbatuk-batuk. Aku tersentak dari kursiku. Apa ada masalah dengan tenggorokannya?
“Ah, Dong Hae-ssi, gwaenchana?” tanya pembawa acara cemas.
“Ah, ne, gwaenchana. Jeoseonghamnida. Mungkin ada rencana untuk album baru, aku sudah menyiapkan beberapa lagu baru,”
“Ah, bagus sekali, pasti penggemarmu tidak sabar menunggu album barumu,”
Studi bergemuruh lagi.
“Apa kau ada pesan untuk para peserta?”
“Ne, lakukan yang terbaik dan jadilah yang terbaik, tetap berjuang semuanya, itu saja,” kata Dong Hae, dia terlihat seperti menahan sakit.
“Tetap berjuang. Baiklah penonton, itu dia penampilan dari Lee Dong Hae, dan kita akan segera memasuki acara yang sesungguhnya,” pembawa acara terus berbicara sementara Dong Hae meninggalkan panggung.
Aku juga meninggalkan tempat dudukku. Aku keluar dari gedung salah satu saluran televisi itu. Tiba-tiba ponselku bordering.
“Yoboseyo?”
“Ya Ji Hyun-aa, Lee Dong Hae daebak! Dia seperti malaikat yang bernyanyi diatas panggung,” suar Sulli langsung memenuhi telingaku.
“Geure, aku juga melihatnya,”
“Tentu saja kau melihatnya, kau ada di studio tempat dong Hae tampil kan?”
“Ya, eohtokke ara?”
“Tentu saja aku tahu, kamera merekam wajahmu yang melongo melihat Dong Hae bernyanyi, kau bahkan tidak berkedip, apa dia sangat bagus dilihat dari sana?”
“Geure? Aku terekam kamera?”
Benar, dalam televisi kau sperti terhipnotis olehnya,”
“Tapi itu memang benar, dia sangat memukau, aku tadi bermaksud mengajakmu, tapi tidak jadi,”
“Wae?? Aku kan juga ingin melihatnya,”
“Haha, lain kali saja, aku harus pulang,”
geure, kau hati-hati ya,”
Aku berjalan pelan ke halte bus. Sebenarnya apa tujuanku melihat Dong Hae? Apa untuk memastikan dia baik-baik saja? Kenapa aku ini? Kenapa aku selalu memikirkannya? Kenapa otakku dipenuhi olehnya? Apa sih yang ada di kepalaku ini? Ingat Shin Ji Hyun, dia itu artis terkenal, kau mau apa sebenarnya?
“Kau bisa menabrak pejalan kaki yang lain kalau berjalan dengan tatapan kosong seperti itu,” tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku.
“Oh??” aku menoleh dan kulihat Dong Hae berdiri di samping mesin minuman. Dia memakai topi dan kacamata hitam. Orang lain mungkin tak mengenalnya, tapi aku tahu itu dia.
“Selalu saja menggerutu,”
“Ya, kenapa kau di sini? Bukankah kau seharusnya bersama tim mu?”
“Aku datang ke acara ini karena melarikan diri dari tim ku, mereka melarangku untuk datang, tapi aku tetap datang,”
“Jadi sekarang kau bersembunyi dari mereka?”
Dia tersenyum dan mengangguk.
“Cih, dasar, kau mau kembali ke sekolah?”
Dia hanya mengangkat bahu. “Pasti di sekolah banyak orang suruhan Manajer yang mencariku, lebih baik kita ke tempat lain saja,”
“Kita?”
“Benar, kau dan aku,”
“Wae? Kenapa tidak kau sendiri saja? Aku mau kembali ke sekolah,”
Namun aku tiba-tiba teringat sesuatu.
“Ah, aku tahu, kita ke Sungai Han saja,”
“Mwo? Mau apa kesana?”
Aku tak menjawab dan menarik tangan Dong Hae menuju halte. Kami menunggu bus beberapa saat dan menuju ke Sungai Han. Sungai Han sudah cukup ramai, beberapa orang beralalu lalang di sana, dan di pinggir sungai, orang-orang sudah duduk dan bersiap melihat pertunjukan.
“Apa yang kita lakukan disini?”
“Sudahlah, duduk saja disini,” aku duduk diatas rerumputan.
Dong Hae pun ikut duduk di sampingku. Dia melihat sekeliling. Apa dia belum pernah kesini? Dan dimulailah acara pertunjukan kembang apinya. Kembang apai di sini benar-benar bagus. Berbagai macam warna dan bentuk. Kembang apinya juga sangat besar.
“Uwaaaa!!! Daebak!!!” kulihat mata Dong Hae terbelalak melihat kembang api itu. Wajahnya benar-benar terpana.
“Uwaa!!’ aku bertepuk tangan.
Kembang api mulai membentuk berbagai macam bentuk. Ada yang seperti air mancur, seperti hujan, bintang-bintang, dan masih banyak lagi.
“Ya, lihat! Lihat yang itu, seperti komidi putar,” aku menunjuk sebuah kembang api yang besar.
Dong Hae benar-benar terkesima melihat kembang apinya. Cih, apa dia tidak pernah kesini sebelumnya? Kasihan sekali hidupnya.
“Jjinjja yeopputa, ji?”
“Ne, ini benar-benar ajaib, apa selalu seperti ini?”
“Ya, apa kau belum pernah kemari? Aku bertaruh setiap tahun orang kesini dan melihatnya,”
“Benarkah? Kalau begitu kurang kerjaan sekali mereka ini?”
“Lalu kau apa?”
Dong Hae menatap kembang api yang semakin membuat angkasa terang dan penuh asap.
“Apa kau sering kemari?”
“Geurom, kami sering kemari untuk melihat kembang api, bahkan terkadang kami membawa bekal,”
“Kami?”
“Ne, keluargaku, Sulli, Henry, kami sering kemari dan berkumpul bersama,”
“Apa menyenangkan?”
“Ne?”
“Berkumpul bersama keluarga itu? Apa menyenangkan?”
“Kenapa kau bertanya? Tentu saja menyenangkan..” kata melambat di akhir kalimat.
Dong Hae diam.
“Kau juga bisa merasakannya, kau hanya perlu menemui mereka, dan mengajak mereka kemari,”
“Untuk apa? Buang-buang waktu saja,”
“Cih, itu urusanmu, terserah kau mau apa,” aku mendengus kesal. Dia ini benar-benar kepala batu.
“Kau tadi datang?”
“Oh? Oh.. Itu, aku hanya datang itu saja,”
“Apa kau sangat terpukau melihatku?”
“Ne?? Jangan harap!”
“Buktinya kau berdiri seperti patung melihatku,”
“Mwo ya??? Geurende, kau sepertinya kesakitan tadi,”
“Hanya tersedak sedikit,”
“Tapi kau benar-benar harus memikirkannya, segeralah operasi, agar semua menjadi lebih baik, kalau kau terus seperti ini, bisa terjadi hal yang lebih buruk lagi,”
“Aku baik-baik saja, kenapa kau ini cerewet sekali?”
“Apanya yang baik-baik saja? Bagaimana kalau kau tidak bisa bernyanyi? Itu tidak boleh terjadi,” aku ngotot bicara padanya.
“Wae? Aku bisa duduk dibangku penonton dan bisa melihat seseorang bernyanyi,”
“MWO YAAA?????”
Dia kaget mendengarku berteriak.
“Kau itu milik panggung, bagaimana bisa kau duduk dibangku penonton????”
Aku berdiri dan meninggalkannya. Kepalanya itu terbuat dari apa sih? Kenapa dia keras kepala sekali? Kenapa tidak memikirkan masa depannya? Kenapa hanya memikirkan egonya sendiri?
“Ya, kau mau kemana? Kembang apinya belum selesai,”
Dong Hae berlari mengejarku. Aku tidak menoleh. Namun akhirnya dia berhasil menarik tanganku.
“Ya, kenapa kau marah?”
“Habisnya.. Habisnya kau tidak mengerti, kenapa kau ingin membuang impianmu?”
“Kenapa? Kenapa kau begitu peduli dengan semua yang terjadi padaku?”
“Molla, hanya saja melihatmu menyia-nyiakan impianmu, apa tidak cukup untuk membuatku marah padamu? Kau yang membuatku ingin menggapai impianku, kau terus memberiku semangat, kenapa kau sendiri malah menyia-nyiakan yang kau punya?”
Aku menunduk menatap kakiku. Dong Hae hanya diam menatapku. Lagi-lagi aku berbicara yang tidak-tidak.
“Gumapta, kau sudah begitu peduli padaku, tapi biarlah aku mengurus semua ini, kau jangan cemas,”
Kami hanya diam sepanjang perjalanan pulang kembali ke sekolah. Aku benar-benar bingung dengan sikapnya. Aku lebih bingung lagi dengan sikapku. Kami duduk berjauhan saat di dalam bus. Entahlah apa yang harus kulakukan. Perjalanan ke sekolah sepertinya sangat lama. Aku ingin cepat sampai kamarku dan tidur. Seharian ini sangat melelahkan. Aku harus berhadapan dengan appa, aku harus bertengkar dengan Dong Hae, apa lagi?
Kami memasuki gerbang sekolah. Aku harus belok ke kanan untuk menuju ke asrama.
“Gumaptago, berisitirahatlah,” kata Dong Hae.
“Ne, kau juga, aku pergi,”
Kamipun berpisah dengan pikiran yang becampur aduk di kepala kami. Apa yang akan terjadi nanti, kami sama-sama tidak pernah tahu.
**************************************************************
Siang itu kami berlatih basket. Aku mencoba untuk focus dan melakukan latihan dengan baik. Dan kali ini aku melakukannya dengan baik. Bahkan Pelatih Kim berkali-kali memujiku karena permainanku yang baik. Aku mencoba untuk melakukan yang terbaik untuk pertandingan nanti. Aku akan menunjukkan pada appa bahwa aku mampu dan bisa menjadi yang terbaik dengan basket. Hanya dengan cara ini aku bisa membuatnya paham. Aku terus berlatih dengan serius selama dua jam latihan.
Aku juga melihat Dong Hae bermain dengan sangat serius. Dia mampu mengalahkan lawan-lawannya dan bermain dengan stabil, setiap operan diterima dengan baik dan setiap tembakannya selalu masuk. Semua berusaha melakukan yang terbaik untuk pertandinga nanti.
Selesai latihan aku kembali ke kamar. Aku segera mandi dan ganti baju. Aku harus segera ke perpustakaan dan menyelesaikan tugas-tugasku, Pak Guru Angker masih saja suka memberi bertumpuk-tumpuk tugas. Di perpustakaan banyak murid yang melakukan berbagai aktifitas, ada yang hanya membaca, mengerjakan tugas seperti aku, bahkan ada yang sengaja  ke perpustakaan untuk tidur. Apa dia tidak punya kamar? Seperti orang di sebelahku ini, apa dia pikirkan sehingga memilih tidur disini? Aku mengerjakan tugasku satu persatu, beberapa sangat mudah, namun beberapa harus mencari dalam bertumpuk-tumpuk buku. Sebenarnya aku bisa saja menggunakan internet, tapi Pak Guru Angker akan tahu dan tidak akan menerima pekerjaanku. Menyebalkan.
Satu jam kemudian tugas-tugasku selesai. Aku merasa lega dan sekaligus capek. Setelah berlatih basket, aku harus mengerjakan PR, tidak ada yang lebih menyiksa selain itu. Aku membereskan buku-buku dan kertas-kertas diatas mejaku. Murid disebelahku terbangun mendengar suara kertas-kertas yang kubereskan. Siapa suruh dia tidur disini? Dan saat aku menoleh,
“Kau?”
“Wae?”
“Jadi yang tidur sejak tadi itu kau?”
“Dan kau sangat mengganggu tidurku,”
“Siapa suruh kau tidur disini?”
Aku memasukkan buku ke dalam tasku dan segera meninggalkan ruang perpustakaan. Entah kenapa Dong Hae mengekor di belakangku. Namun aku tidak memperdulikanya, aku hanya ingin kembali ke kamar dan tidur. Besok hari minggu, aku ingin semalaman tidur, dan besokpun aku ingin tidur seharian. Aku sudah membayangkan kasur yang empuk. Namun, langkahku terhenti saat di depanku berdiri seorang pria tua. Itu ayah Dong Hae. Kenapa disini? Aku berhenti dan memanggilnya, mumpung ada Dong Hae.
“Jogiyo ahjussi, ingat aku?”
“Oh, Shin Ji Hyun, geure, aku ingat, bagaimana kabarmu?”
“Baik paman, apa yang paman lakukan disini?”
Bukannya menjawab, ayah Dong Hae menatap Dong Hae yang berdiri di belakangku. Aku segera menyadari situasinya, aku mundur beberapa langkah, membungkuk sebentar pada ayah Dong Hae dan meninggalkan mereka berdua. Aku duduk di bangku tak jauh dari mereka. Kulihat ayah Dong Hae mendekati Dong Hae.
“Sudah lama sekali, kau sudah besar sekarang,”
“Apa mau appa?”
“Obsoyo, aku hanya ingin melihatmu, tidak boleh?”
“Wae? Apa sekarang setelah aku menjadi artis, appa datang padaku? Bagaimana? Sekarang appa lihat kan? Penyanyi tak seburuk yang ayah pikirkan, paling tidak dengan menjadi penyanyi, aku punya masa depan, tidak seperti pemikiran dangkal appa,”
“Aku tidak bermaksud apa-apa, aku hanya ingin melihatmu, sudah sangat lama sejak kepergianmu,”
Dong Hae diam dan menatap ayahnya tajam. Entah apa yang dipikirkannya.
“Aku dengar kau harus dioperasi? Bukankah itu artinya kau ada kemungkinan untuk berhenti bernyanyi?”
“Kau tahu apa? Kau tidak tahu apa-apa tentangku, jangan merasa kau bisa memberitahuku tentang apapun, aku.. uhuk..uhuk..” tiba-tiba Dong Hae terbatuk keras.
Aku terkejut melihatnya. Dia terus terbatuk dan kulihat ada darah keluar dari mulutnya. Apa yang terjadi? Kemudian dia jatuh terduduk sambil masih terus terbatuk. Aku berlari menghampirinya dan melihat keadaannya.
“Ya, Dong Hae-aa, apa yang terjadi, gweanchana? Ya, Dong Hae-aa? Lee Dong Hae!!!! Apa yang terjadi? Ya??? Gwaenchana?? Dong Hae-aa!!! Dong Hae!”
Dong Hae terus terbatuk dan darah keluar semakin banyak. Tubuhnya melemas, aku menopang tubuhnya sambil terus berteriak bertanya apa yang terjadi. Tubuh Dong Hae semakin berat, aku sangat khawatir dan ketakutan, aku mulai menangis. Aku terus memanggil namanya. Sementara ayah Dong Hae tercekat melihat pemandangan di depannya.
“Ahjusii, cepat panggil ambulan, pallee ahjussi,”
Ayah Dong Hae mengangguk. Dia mengambil ponsel dari sakunya. Tangannya gemetaran memegang ponsel. Dan bersamaan dengan ayah Dong Hae menelepon ambulan, Dong Haepun pingsan.
“Ya, Dong Hae!!!!!!”Eomma datang sambil membawa minuman dan makanan.
“Kemana ayahmu? Ada apa? Kau terlihat aneh?”
Aku tidak menjawab dan hanya duduk di sofa. Aku diam untuk beberapa saat. Eomma meletakkan bawaannya di meja dan duduk di sampingku. Dia membelai rambutku pelan.
“Sudahlah, pelan-pelan dia akan mengerti, kau yang sabar saja,”
“Tapi eomma, appa bahkan tidak mau mendengarkanku,” aku diam sebentar dan menoleh menatap eomma. “Eomma! Kau sudah tahu? Kau tidak marah?”
Eomma tersenyum, “Untuk apa aku marah? Kalau aku marah apa kau akan berhenti? Aku sangat tahu watakmu itu, jadi percuma saja aku marah,”
Entah kenapa aku tiba-tiba memeluk eomma.
“Gomawoyo eomma, aku senang sekali, gomawoyo,”
“Anak nakal!” eomma membelai rambutku pelan.
“Tapi, kapan appa akan mengerti? Dia sangat marah,”
“Tenanglah, kau tahu appamu itu seperti apa, dia akan memahaminya kelak, mungkin akan sedikit lama, tapi dia akan memahaminya,”
Aku mengangguk. Aku ingin tinggal sedikit lebih lama di rumah, tapi dengan kemarahan appa, lebih baik aku kembali ke sekolah saja. Eomma berkali-kali memaksaku untuk tinggal, tapi aku menolak. Lebih baik untukku menjaga jarak dengan appa. Aku turun dari bus dan berjalan menuju sekolahku. Aku memutuskan untuk tidur saja. Hari ini tidak ada latihan dan dengan kakiku yang masih sedikit perih, aku tidak bisa melakukan banyak. Aku berjalan menyusuri jalan setapak di pinggir lapangan bola. Sedang ada latihan dari tim sepak bola. Beberapa murid yang menonton saling memberi semangat. Tiba-tiba aku melihat Dong Hae. Aku ingin memanggilnya saat aku melihat dia sedang berbicara dengan Kim Ha Ra. Aku mengurungan niatku dan bersembunyi di balik dedaunan. Samar-samar aku mndengar pembicaraan mereka.
“Sudah kubilang kau pulanglah, kalau ketahuan bisa dapat masalah,” kata Dong Hae.
“Shiro! Aku tidak akan pulang sebelum Oppa menyetujui operasi itu,”
“Itu bukan urusanmu, sudahlah, aku ada persiapan untuk acara nanti malam,”
“Tapi kau belum boleh bernyanyi sampai kau dioperasi,”
Mwo ya? Dong Hae tidak boleh bernyanyi?
“Mau bernyanyi atau tidak, itu terserah aku,”
“Oppa!!! Kenapa tidak pernah mendengarkanku? Aku sangat khawatir padamu, aku benar-benar tidak bisa membiarkanmu bernyanyi sekarang, apa pentingnya acara itu??”
“Bagiku acara itu sangat penting, karena acara itulah aku mulai bernyanyi,”
“Kalau memang begitu.. Tapi aku benar-benar tidak bisa membiarkanmu bernyanyi sekarang,” Suara Kim Ha Ra sedikit meninggi.
Dong Hae diam. Mereka berdua diam. Aku diam. Jangan-jangan.
“Kenapa kau menyukaiku?”
Mwo??? Kim Ha Ra menyukai Dong Hae?
“Molla, aku hanya tau itu terjadi begitu saja. Sejak aku kecil Oppa selalu ada disisiku, bahkan sampai aku dewasa, Oppalah yang ada disisiku, hanya Oppa satu-satunya pria yang ada disisiku.” Suaranya terdengar bergetar.
“Jadi itu alasannya?”
“Ne! Itu alasannya!”
“Tapi apa kau tahu? Aku senang karena Oppa yang selalu disisiku dan bukan orang lain,”
Aku melihat kearah mereka. Kulihat Dong Hae menggenggam tangan Kim Ha Ra dan dia tersenyum menatap Kim Ha Ra. Apa ini?
“Gumaptago,”
“Karena aku menyukaimu?”
“Gomaptago, karena kau yang pertama kali memberitahuku tentang acara ini,”
Setelah itu Dong Hae berbalik da meninggalkan Kim Ha Ra. Kim Ha Ra hanya diam di sana. Aku juga hanya bersembunyi dibalik dedaunan itu dan berdiri tidak melakukan apa-apa. Jadi Kim Ha Ra dan Dong Hae adalah sahabat sejak kecil. Pasti dia tahu banyak soal Dong Hae. Dan entah kenapa tiba-tiba aku merasa iri pada Kim Ha Ra. Ah, apa sih yang kupikirkan? Itu kan urusan mereka.  Ah iya, acara apa yanga akan dihadiri Dong Hae malam ini? Apa acara pencarian bakat itu? Acara putaran final pertama akan diadakan malam ini. Dong Hae dulu juga adalah pemenang acara pencarian bakat ini. Apa dia akan tampil di acara itu? Apa sebaiknya aku datang dan melihatnya? 
Aku benar-benar disini sekarang. Duduk diantara penonton yang menyaksikan acara putaran final pencarian bakat ini. benar-benar sangat ramai disini. Dari tadi kudengar mereka membicarakan Dong Hae. Semoga dia benar tampil di acara ini, jangan samapai aku salah acara. Setelah beberapa saat, acara dimulai pembawa acara sudah diatas panggung dan membuka acara, memeprkenalkan para juri, dan juga memperkenalkan para finalis. Teriakan dari para pendukung masing-masing finalis sangat ramai sekali. Sementara aku hanya ikuta-ikutan tepuk tangan.
“Baiklah pemirsa dan penonton disini, sebagai pembuka acara, akan hadir seorang penyanyi terkenal, dia juga adalah pemenang ajang pencarian bakat ini tiga tahun yang lalu saat usianya baru 12 tahun. Kalian pasti tahu siapa dia, baiklah, tak perlu menunggu lama lagi, kita sambut Lee Dong Hae!!”
Lampu studio berubah menjadi gelap. Hanya beberapa lampu ynag menyinari beberapa sisi panggung. Dan tiba-tiba suara gemuruh penonton memenuhi studio tempat acara berlangsung. Mereka meneriakkan nama Dong Hae dan bertepuk tangan keras-keras. Sebuah music mengalun pelan dan bersamaan dengan lampu sorot di tengah panggung, Dong Hae muncul dan menyanyikan lagu andalannya yang berjudul In My Dream.
Mungkin hanya aku yang tidak berteriak. Mungkin hanya aku yang tidak bertepuk tangan. Karena aku hanya diam dan terpana melihat Dong Hae bernyanyi. Entah kenapa ada yang berbeda dari biasanya. Kali ini dia sangat menghayati lagu yang dia nyayikan. Lagu ini menceritakan tentang impiannya yang indah, impian yang terlalu indah. Apa ini? Dong Hae seperti sedang berbicara kepada penonton bahwa impiannya sangat indah dan dia ingin sekali membuat impiannya jadi nyata. Suaranya yang indah dan jernih mampu menggetarkan hati setiap penonton disini. Saat dia bernyanyi, hampir tak ada suara selain suaranya. Apa ini isi hatinya yang terdalam? Mengingat semua kejadian yang terjadi padanya, apa dia ingin menyampaikan suatu pesan kepada penontonnya?
Aku sempat mengambil sebuah gambarnya saat bernyanyi. Dan suara gemuruh tepuk tangan memenuhi studio saat dia membungkuk dan mengucapkan terimakasih saat lagunya selesai. Banyak penonton yang berdiri dan meneriakkan namanya. Aku masih terpaku di tempat dudukku.
“Tepuk tangan yang meriah untuk Lee Dong Hae!!!” kata pembawa acara sambil memasuki panggung.
“Khamsahamnida,” kata Dong Hae.
“Penampilan yang sangat memukau Dong Hae-ssi, sangat berbeda, seperti ada sesuatu yang tersimpan didalamnya, apa kau sedang merasakan sesuatu?”
“Ah, ani, aku hanya teringat saat aku berdiri di panggung ini beberapa tahun yang lalu, aku seperti menjadi peserta lagi, “
“Hahaha, benar, dulupun kau sangat memukau, apa kau ada rencana mengeluarkan album baru?”
Belum sempat menjawab, Dong Hae tiba-tiba terbatuk-batuk. Aku tersentak dari kursiku. Apa ada masalah dengan tenggorokannya?
“Ah, Dong Hae-ssi, gwaenchana?” tanya pembawa acara cemas.
“Ah, ne, gwaenchana. Jeoseonghamnida. Mungkin ada rencana untuk album baru, aku sudah menyiapkan beberapa lagu baru,”
“Ah, bagus sekali, pasti penggemarmu tidak sabar menunggu album barumu,”
Studi bergemuruh lagi.
“Apa kau ada pesan untuk para peserta?”
“Ne, lakukan yang terbaik dan jadilah yang terbaik, tetap berjuang semuanya, itu saja,” kata Dong Hae, dia terlihat seperti menahan sakit.
“Tetap berjuang. Baiklah penonton, itu dia penampilan dari Lee Dong Hae, dan kita akan segera memasuki acara yang sesungguhnya,” pembawa acara terus berbicara sementara Dong Hae meninggalkan panggung.
Aku juga meninggalkan tempat dudukku. Aku keluar dari gedung salah satu saluran televisi itu. Tiba-tiba ponselku bordering.
“Yoboseyo?”
“Ya Ji Hyun-aa, Lee Dong Hae daebak! Dia seperti malaikat yang bernyanyi diatas panggung,” suar Sulli langsung memenuhi telingaku.
“Geure, aku juga melihatnya,”
“Tentu saja kau melihatnya, kau ada di studio tempat dong Hae tampil kan?”
“Ya, eohtokke ara?”
“Tentu saja aku tahu, kamera merekam wajahmu yang melongo melihat Dong Hae bernyanyi, kau bahkan tidak berkedip, apa dia sangat bagus dilihat dari sana?”
“Geure? Aku terekam kamera?”
Benar, dalam televisi kau sperti terhipnotis olehnya,”
“Tapi itu memang benar, dia sangat memukau, aku tadi bermaksud mengajakmu, tapi tidak jadi,”
“Wae?? Aku kan juga ingin melihatnya,”
“Haha, lain kali saja, aku harus pulang,”
geure, kau hati-hati ya,”
Aku berjalan pelan ke halte bus. Sebenarnya apa tujuanku melihat Dong Hae? Apa untuk memastikan dia baik-baik saja? Kenapa aku ini? Kenapa aku selalu memikirkannya? Kenapa otakku dipenuhi olehnya? Apa sih yang ada di kepalaku ini? Ingat Shin Ji Hyun, dia itu artis terkenal, kau mau apa sebenarnya?
“Kau bisa menabrak pejalan kaki yang lain kalau berjalan dengan tatapan kosong seperti itu,” tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku.
“Oh??” aku menoleh dan kulihat Dong Hae berdiri di samping mesin minuman. Dia memakai topi dan kacamata hitam. Orang lain mungkin tak mengenalnya, tapi aku tahu itu dia.
“Selalu saja menggerutu,”
“Ya, kenapa kau di sini? Bukankah kau seharusnya bersama tim mu?”
“Aku datang ke acara ini karena melarikan diri dari tim ku, mereka melarangku untuk datang, tapi aku tetap datang,”
“Jadi sekarang kau bersembunyi dari mereka?”
Dia tersenyum dan mengangguk.
“Cih, dasar, kau mau kembali ke sekolah?”
Dia hanya mengangkat bahu. “Pasti di sekolah banyak orang suruhan Manajer yang mencariku, lebih baik kita ke tempat lain saja,”
“Kita?”
“Benar, kau dan aku,”
“Wae? Kenapa tidak kau sendiri saja? Aku mau kembali ke sekolah,”
Namun aku tiba-tiba teringat sesuatu.
“Ah, aku tahu, kita ke Sungai Han saja,”
“Mwo? Mau apa kesana?”
Aku tak menjawab dan menarik tangan Dong Hae menuju halte. Kami menunggu bus beberapa saat dan menuju ke Sungai Han. Sungai Han sudah cukup ramai, beberapa orang beralalu lalang di sana, dan di pinggir sungai, orang-orang sudah duduk dan bersiap melihat pertunjukan.
“Apa yang kita lakukan disini?”
“Sudahlah, duduk saja disini,” aku duduk diatas rerumputan.
Dong Hae pun ikut duduk di sampingku. Dia melihat sekeliling. Apa dia belum pernah kesini? Dan dimulailah acara pertunjukan kembang apinya. Kembang apai di sini benar-benar bagus. Berbagai macam warna dan bentuk. Kembang apinya juga sangat besar.
“Uwaaaa!!! Daebak!!!” kulihat mata Dong Hae terbelalak melihat kembang api itu. Wajahnya benar-benar terpana.
“Uwaa!!’ aku bertepuk tangan.
Kembang api mulai membentuk berbagai macam bentuk. Ada yang seperti air mancur, seperti hujan, bintang-bintang, dan masih banyak lagi.
“Ya, lihat! Lihat yang itu, seperti komidi putar,” aku menunjuk sebuah kembang api yang besar.
Dong Hae benar-benar terkesima melihat kembang apinya. Cih, apa dia tidak pernah kesini sebelumnya? Kasihan sekali hidupnya.
“Jjinjja yeopputa, ji?”
“Ne, ini benar-benar ajaib, apa selalu seperti ini?”
“Ya, apa kau belum pernah kemari? Aku bertaruh setiap tahun orang kesini dan melihatnya,”
“Benarkah? Kalau begitu kurang kerjaan sekali mereka ini?”
“Lalu kau apa?”
Dong Hae menatap kembang api yang semakin membuat angkasa terang dan penuh asap.
“Apa kau sering kemari?”
“Geurom, kami sering kemari untuk melihat kembang api, bahkan terkadang kami membawa bekal,”
“Kami?”
“Ne, keluargaku, Sulli, Henry, kami sering kemari dan berkumpul bersama,”
“Apa menyenangkan?”
“Ne?”
“Berkumpul bersama keluarga itu? Apa menyenangkan?”
“Kenapa kau bertanya? Tentu saja menyenangkan..” kata melambat di akhir kalimat.
Dong Hae diam.
“Kau juga bisa merasakannya, kau hanya perlu menemui mereka, dan mengajak mereka kemari,”
“Untuk apa? Buang-buang waktu saja,”
“Cih, itu urusanmu, terserah kau mau apa,” aku mendengus kesal. Dia ini benar-benar kepala batu.
“Kau tadi datang?”
“Oh? Oh.. Itu, aku hanya datang itu saja,”
“Apa kau sangat terpukau melihatku?”
“Ne?? Jangan harap!”
“Buktinya kau berdiri seperti patung melihatku,”
“Mwo ya??? Geurende, kau sepertinya kesakitan tadi,”
“Hanya tersedak sedikit,”
“Tapi kau benar-benar harus memikirkannya, segeralah operasi, agar semua menjadi lebih baik, kalau kau terus seperti ini, bisa terjadi hal yang lebih buruk lagi,”
“Aku baik-baik saja, kenapa kau ini cerewet sekali?”
“Apanya yang baik-baik saja? Bagaimana kalau kau tidak bisa bernyanyi? Itu tidak boleh terjadi,” aku ngotot bicara padanya.
“Wae? Aku bisa duduk dibangku penonton dan bisa melihat seseorang bernyanyi,”
“MWO YAAA?????”
Dia kaget mendengarku berteriak.
“Kau itu milik panggung, bagaimana bisa kau duduk dibangku penonton????”
Aku berdiri dan meninggalkannya. Kepalanya itu terbuat dari apa sih? Kenapa dia keras kepala sekali? Kenapa tidak memikirkan masa depannya? Kenapa hanya memikirkan egonya sendiri?
“Ya, kau mau kemana? Kembang apinya belum selesai,”
Dong Hae berlari mengejarku. Aku tidak menoleh. Namun akhirnya dia berhasil menarik tanganku.
“Ya, kenapa kau marah?”
“Habisnya.. Habisnya kau tidak mengerti, kenapa kau ingin membuang impianmu?”
“Kenapa? Kenapa kau begitu peduli dengan semua yang terjadi padaku?”
“Molla, hanya saja melihatmu menyia-nyiakan impianmu, apa tidak cukup untuk membuatku marah padamu? Kau yang membuatku ingin menggapai impianku, kau terus memberiku semangat, kenapa kau sendiri malah menyia-nyiakan yang kau punya?”
Aku menunduk menatap kakiku. Dong Hae hanya diam menatapku. Lagi-lagi aku berbicara yang tidak-tidak.
“Gumapta, kau sudah begitu peduli padaku, tapi biarlah aku mengurus semua ini, kau jangan cemas,”
Kami hanya diam sepanjang perjalanan pulang kembali ke sekolah. Aku benar-benar bingung dengan sikapnya. Aku lebih bingung lagi dengan sikapku. Kami duduk berjauhan saat di dalam bus. Entahlah apa yang harus kulakukan. Perjalanan ke sekolah sepertinya sangat lama. Aku ingin cepat sampai kamarku dan tidur. Seharian ini sangat melelahkan. Aku harus berhadapan dengan appa, aku harus bertengkar dengan Dong Hae, apa lagi?
Kami memasuki gerbang sekolah. Aku harus belok ke kanan untuk menuju ke asrama.
“Gumaptago, berisitirahatlah,” kata Dong Hae.
“Ne, kau juga, aku pergi,”
Kamipun berpisah dengan pikiran yang becampur aduk di kepala kami. Apa yang akan terjadi nanti, kami sama-sama tidak pernah tahu.
**************************************************************
Siang itu kami berlatih basket. Aku mencoba untuk focus dan melakukan latihan dengan baik. Dan kali ini aku melakukannya dengan baik. Bahkan Pelatih Kim berkali-kali memujiku karena permainanku yang baik. Aku mencoba untuk melakukan yang terbaik untuk pertandingan nanti. Aku akan menunjukkan pada appa bahwa aku mampu dan bisa menjadi yang terbaik dengan basket. Hanya dengan cara ini aku bisa membuatnya paham. Aku terus berlatih dengan serius selama dua jam latihan.
Aku juga melihat Dong Hae bermain dengan sangat serius. Dia mampu mengalahkan lawan-lawannya dan bermain dengan stabil, setiap operan diterima dengan baik dan setiap tembakannya selalu masuk. Semua berusaha melakukan yang terbaik untuk pertandinga nanti.
Selesai latihan aku kembali ke kamar. Aku segera mandi dan ganti baju. Aku harus segera ke perpustakaan dan menyelesaikan tugas-tugasku, Pak Guru Angker masih saja suka memberi bertumpuk-tumpuk tugas. Di perpustakaan banyak murid yang melakukan berbagai aktifitas, ada yang hanya membaca, mengerjakan tugas seperti aku, bahkan ada yang sengaja  ke perpustakaan untuk tidur. Apa dia tidak punya kamar? Seperti orang di sebelahku ini, apa dia pikirkan sehingga memilih tidur disini? Aku mengerjakan tugasku satu persatu, beberapa sangat mudah, namun beberapa harus mencari dalam bertumpuk-tumpuk buku. Sebenarnya aku bisa saja menggunakan internet, tapi Pak Guru Angker akan tahu dan tidak akan menerima pekerjaanku. Menyebalkan.
Satu jam kemudian tugas-tugasku selesai. Aku merasa lega dan sekaligus capek. Setelah berlatih basket, aku harus mengerjakan PR, tidak ada yang lebih menyiksa selain itu. Aku membereskan buku-buku dan kertas-kertas diatas mejaku. Murid disebelahku terbangun mendengar suara kertas-kertas yang kubereskan. Siapa suruh dia tidur disini? Dan saat aku menoleh,
“Kau?”
“Wae?”
“Jadi yang tidur sejak tadi itu kau?”
“Dan kau sangat mengganggu tidurku,”
“Siapa suruh kau tidur disini?”
Aku memasukkan buku ke dalam tasku dan segera meninggalkan ruang perpustakaan. Entah kenapa Dong Hae mengekor di belakangku. Namun aku tidak memperdulikanya, aku hanya ingin kembali ke kamar dan tidur. Besok hari minggu, aku ingin semalaman tidur, dan besokpun aku ingin tidur seharian. Aku sudah membayangkan kasur yang empuk. Namun, langkahku terhenti saat di depanku berdiri seorang pria tua. Itu ayah Dong Hae. Kenapa disini? Aku berhenti dan memanggilnya, mumpung ada Dong Hae.
“Jogiyo ahjussi, ingat aku?”
“Oh, Shin Ji Hyun, geure, aku ingat, bagaimana kabarmu?”
“Baik paman, apa yang paman lakukan disini?”
Bukannya menjawab, ayah Dong Hae menatap Dong Hae yang berdiri di belakangku. Aku segera menyadari situasinya, aku mundur beberapa langkah, membungkuk sebentar pada ayah Dong Hae dan meninggalkan mereka berdua. Aku duduk di bangku tak jauh dari mereka. Kulihat ayah Dong Hae mendekati Dong Hae.
“Sudah lama sekali, kau sudah besar sekarang,”
“Apa mau appa?”
“Obsoyo, aku hanya ingin melihatmu, tidak boleh?”
“Wae? Apa sekarang setelah aku menjadi artis, appa datang padaku? Bagaimana? Sekarang appa lihat kan? Penyanyi tak seburuk yang ayah pikirkan, paling tidak dengan menjadi penyanyi, aku punya masa depan, tidak seperti pemikiran dangkal appa,”
“Aku tidak bermaksud apa-apa, aku hanya ingin melihatmu, sudah sangat lama sejak kepergianmu,”
Dong Hae diam dan menatap ayahnya tajam. Entah apa yang dipikirkannya.
“Aku dengar kau harus dioperasi? Bukankah itu artinya kau ada kemungkinan untuk berhenti bernyanyi?”
“Kau tahu apa? Kau tidak tahu apa-apa tentangku, jangan merasa kau bisa memberitahuku tentang apapun, aku.. uhuk..uhuk..” tiba-tiba Dong Hae terbatuk keras.
Aku terkejut melihatnya. Dia terus terbatuk dan kulihat ada darah keluar dari mulutnya. Apa yang terjadi? Kemudian dia jatuh terduduk sambil masih terus terbatuk. Aku berlari menghampirinya dan melihat keadaannya.
“Ya, Dong Hae-aa, apa yang terjadi, gweanchana? Ya, Dong Hae-aa? Lee Dong Hae!!!! Apa yang terjadi? Ya??? Gwaenchana?? Dong Hae-aa!!! Dong Hae!”
Dong Hae terus terbatuk dan darah keluar semakin banyak. Tubuhnya melemas, aku menopang tubuhnya sambil terus berteriak bertanya apa yang terjadi. Tubuh Dong Hae semakin berat, aku sangat khawatir dan ketakutan, aku mulai menangis. Aku terus memanggil namanya. Sementara ayah Dong Hae tercekat melihat pemandangan di depannya.
“Ahjusii, cepat panggil ambulan, pallee ahjussi,”
Ayah Dong Hae mengangguk. Dia mengambil ponsel dari sakunya. Tangannya gemetaran memegang ponsel. Dan bersamaan dengan ayah Dong Hae menelepon ambulan, Dong Haepun pingsan.
“Ya, Dong Hae!!!!!!”

to be continued.... 

0 komentar:

Posting Komentar

 

Popo.. The Kite Runner Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea