Rabu, 13 Februari 2013

In My Dream (Part 12)

Diposting oleh Popo... The Kite Runner di 07.01

Mobil yang membawa Ji Hyun pulang mengalami sebuah kecelakaan, Ji Hyun tak sadarkan diri dan terluka parah, apakah Ji Hyun akan selamat? This is it, In My Dream Part 12... Enjoy... 

Aku merasakan sebuah cahaya memasuki mataku. Apa aku sudah di surga? Aku membuka mataku pelan, sakit sekali rasanya hanya untuk membuka mata. Aku melihat langit-langit yang putih. Dan bau obat segera menyergap hidungku. Ini pasti klinik sekolah. Aku sudah terbiasa dengan semua ini. Lalu Dokter Ji Hoon akan datang dan memarahiku karena terlalu sering terluka. Tapi Dokter Ji Hoon tidak datang. Aku hanya melihat seorang dokter dan beberapa suster. Aku menutup mataku lagi. Badanku terasa berat, sakit, dan anehnya dingin.
Dadaku terasa sangat sakit. Aku tidak bisa melihat dengan jelas. Ada sesuatu diatas mataku. Dan mulutku, tertutup oleh sebuah mangkuk, tapi aku bisa menghisap udara dari sana. Samar-samar aku mendengar pembicaraan dokter. Aku menutup mataku pelan. Terlalu sakit untuk membuka mataku.
“Tuan Shin, ini sudah 4 hari Ji Hyun koma, kita harus segera mengoperasinya, bagaimanapun juga dengan kaki seperti itu, dan beberapa tulang rusuk yang retak, dia tidak akan bertahan lama, dia akan segera meninggal” kata dokter.
Kudengar isak tangis eomma. Ah, eomma disini? Masih belum ada jawaban dari siapapun. Apa benar aku akan mati?
“Tuan, jika kita tidak mengambil kakinya, maka akan sangat berbahaya untuk organ tubuh lainnya, dia bisa meninggal kapan saja, cepatlah pikirkan sesuatu Tuan, dia tidak bisa terus menerus seperti ini. Kalau kita tidak segera bertindak, dan mengambil kakinya, walaupun dengan operasi kemungkinan dia akan hidup hanya 30%,” jelas dokter itu, dia terdengar sangat khawatir.
Mwo ya? Kakiku? Kakiku harus diambil? Apa maksudnya?
  “Ya, dokter!” tiba-tiba kudengar ayahku berteriak. “Anak ini harus terus berlari dengan kakinya, dia seorang pemain basket. Anak ini adalah seorang yang menjadikan basket sebagain impiannya, kalau kau memgambil kakinya itu artinya kau mengambil semua miliknya, apa itu adil untuknya? Bagaimana dia bisa melanjutkan hidupnya setelah ini?”
Appa.. Benarkah itu yang kau katakan? Bukankah ayah yang paling menentang aku bermain basket? Tapi kenapa dia mengatakan semua itu? Semua orang terdiam, bahkan tercekat mendengar kata-kata appa. Tanpa sadar aku menitikkan air mata. Bahkan aku menangis sesenggukan. Dadaku terasa sangat sakit menahan tangisku ini.
“Ya, Tuan Shin, michinggo anhya? Anakmu hampir mati dan bagaimana bisa hal seperti basket menjadi soal yang penting saat ini? Dia harus mendapatkan operasi sekarang juga,” dokter itu berusaha membujuk ayah.
“Kalau kau harus mengambil kakinya, tidak!,” ayah tetap pada pendiriannya.
Tiba-tiba kudengar seseorang masuk. Aku tidak bisa melihat siapa dia. Mataku sekarang penuh air mata dan aku bahkan tidak bisa membuka mataku.
“Ah, dokter Kim Young Pil, anda sudah datang,” kata dokter yang pertama.
“Ne, aku akan mencari cara lain untuk mengoperasi anak ini sehingga dia masih bisa bermain basket,” kata dokter Kim, dia terdengar seperti seorang ayah yang bijaksana.
“Benarkah dokter?” tanya ayahku.
“Geokjeonghajimaseyo, aku akan berusaha,”
Itu adalah hal terakhir yang kudengar. Lalu kurasakan semua kembali gelap dan dingin. Aku jadi bertanya-tanya, apa begini perasaan orang yang sedang sekarat? Kalau memang benar, kasihan sekali orang-orang itu, karena ini sangat menakutkan dan sangat kesepian. Entah sampai berapa lama aku di dalam kegelapan ini.
Tiba-tiba lampu dinyalakan, aku duduk di jendela kamarku. Seseorang menepuk pundakku, aku menoleh, dan kulihat ayah tersenyum padaku.
“Kenapa masih disini? Bukankah kau akan berlatih basket bersama teman-temanmu,”
“Appa, mereka bilang aku pendek, aku tidak akan mungkin bisa jadi pemain basket hebat,” kataku. Kenapa suaraku seperti anak kecil?
“Ya, anak bodoh, apa kemampuan bermain basket ditentukan oleh tinggi badan? Orang bodoh macam apa yang mengatakan itu?”
“Tapi tidak ada pemain basket yang pendek, appa,” aku kembali merajuk.
“Maka jadilah yang pertama, pergilah,” kata ayah.
“Benarkah? Aku bisa jadi yang pertama?”
“Asal kau tidak hanya duduk seperti anak bodoh dijendela,”
Aku tersenyum lebar, dan mengambil bolaku.
“Appa, aku akan menjadi pemain basket yang hebat!”
“Dan aku akan menjadi ayah pemain basket yang hebat,”
“Aku pergi appa!!”
Appa tersenyum. Aku berlari sambil memegang bolaku. Aku terus berlari. Tiba-tiba aku tersandung. Aku meringis kesakitan dan saat aku membuka mataku, aku sudah di rumah sakit. Aku mengerjapkan mataku pelan. Rasa sakit mulai menjalar di sekujur tubuhku. Aku memandang sekelilingku, aku melihat eomma menatapku penuh kecemasan.
“Ji Hyun-aa, Shi Ji Hyun, kau bangun nak?” tanya eomma, suaranya bergetar.
Aku mengerjap pelan. Kulihat eonnie juga menghampiri tempat tidurku. Matanya bengkak dan merah. Dia langsung menggenggam tanganku. Air mata keluar dari matanya. Dia tidak mengatakan apa-apa dia hanya tersenyum penuh kelegaan.
“Sayang.. Sayang… Ji Hyun bangun, dia sudah sadar.” Dia memanggil ayahku sambil tetap menatap padaku.
Kulihat ayah buru-buru datang padaku dan tersenyum bahagia, aku bahkan bisa melihat airmata disudut matanya yang lelah.
“Khamsahamnida.. Khamsahamnida…” kata ayah sambil terisak.  
Aku tersenyum melihat ayah dan ibuku. Aku belum mati, dan aku tidak ingin mati dulu, bukankah aku harus menjadi pemain basket hebat seperti keinginan ayah?
******************************************************************
Aku belum bisa bergerak untuk satu minggu kedepan. Aku hanya berbaring selama seminggu ini. Aku bahkan belum boleh makan apapun. Tenggorokan dan dadaku masih belum kering bekas jahitannya. Ah, aku ingin sekali makan es krim. Beberapa teman mengunjungiku. Henry dan Sulli bahkan sempat menginap. Tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa.
Tapi satu minggu yang menyiksa sudah berlalu. Mangkuk dimulutku sudah diambil dan aku sudah bisa bangun. Aku duduk di tempat tidur pagi ini. Kakiku belum bisa digerakkan. Tiba-tiba pintu terbuka dan kulihat ayah masuk sambil membawa seikat bunga. Dia mendekati tempat tidurku dan memberikan bunga itu padaku.
“Gumapsemnida,” aku tersenyum dan mencium bunga itu. Harum.
“Bagaimana keadaanmu?” tanya ayah sambil duduk dikursi sebelah tempat tidurku.
“Aku ingin makan es krim,” jawabku.
“Kelihatannya kau sudah lebih baik, sepertinya benar kalau kau ini adalah Mazinga Z, kau terbuat dari besi baja”
Kami berdua tersenyum. Aku menatap ayahku sesaat.
“Khamsahamnida appa,”
“Kau ini bicara apa?”
“Appa sudah melindungi impianku, khamsahamnida, jeongmal,”
“Sepertinya luka dikepalamu membuat otakmu sedikit tidak beres,” ayah tiba-tiba menjadi serba salah, dia bahkan merapikan selimutku.
“Appa, itu sangat berarti untukku. Aku tahu mungkin aku mengecewakan appa, tapi bukankah aku berjanji akan menjadi pemain basket hebat? Pemain basket pendek yang pertama yang pernah ada, aku belum memenuhi janjiku, jadi aku mohon appa, izinkan aku tetap bermain basket,  itu impianku appa, jebal,” aku memohon kepada ayahku.
Ayah diam untuk beberapa saat. Aku meraih tangan ayah dan menggenggamnya.
“Aku janji, aku tidak aka terluka, aku tidak akan membuat ayah khawatir, aku akan bermain dengan hebat sampai ayah benar-benar terpana melihatku,”
Ayah masih saja diam. Aku menunggu jawaban ayah.
“Buat apa kau bangun kalau tidak bermain basket,” kata ayah pada akhirnya.
“Appa!!” senyumku mengembang.
Jawaban apa seperti hujan di musim panas. Begitu melegakan.
“Khamsahamnida.. Jeongmal khamsahamnida,”
Ayahku tersenyum dan menatapku. Aku hampir saja menangis karena bahagia. Sepertinya semua beban di pundakku hilang begitu saja. Kepalaku terasa ringan dan kurasakan semua sakit ditubuhku hilang.
“Kau benar-benar ingin makan es krim?” tanya ayah.
Aku mengangguk senang. Apa ada yang bisa lebih baik lagi dari ini? Tiba-tiba ada suara rebut-ribut.
“Ji Hyun-aa!!!!” kulihat Sulli berlari kearahku.
“Sulli-aa”
“Ya, kukira kau benar-benar akan mati, aku benar-benar takut, aku menangis tiap malam selama kau koma, aku kemari setiap pulang sekolah untuk melihatmu sudah sadar atau belum, aku terus seperti itu selama tiga minggu, dan saat kudengar kau sudah sadar, kau tahu, aku ingin benar-benar memukulmu, hiks…,” lalu Sulli pun menangis dan memelukku.
Ayah hanya tersenyum melihat tingkah Sulli. Kulihat Henry, Hyuk Jae, dan Hye Ri serta eonnie berdiri mengelilingiku. Aku tersenyum melihat mereka. Aku seperti benar-benar mendapat kesempatan kedua untuk hidup.
“Oh, banyak sekali orang disini, aku tidak yakin kue ini cukup untuk semua orang,” eomma muncul sambil membawa sebuah kotak berisi kue.
Kamipun makan kue sambil mengobrol. Kami bercanda dan tertawa. Terimakasih Tuhan, aku bisa hidup kembali dan berkumpul bersama mereka. Ini lebih dari cukup dan aku benar-benar bersyukur untuk ini.
******************************************************************
Aku masih belum bisa turun dari tempat tidurku. Aku harus menggunakan kusrsi roda kemana-mana. Dan aku masih harus tinggal di rumah sakit. Dokter masih sering memeriksa keadaanku untuk melihat kaki, dada, dan tenggorokanku. Beberapa jahitan sudah mulai mengering, tenggorokan dan dadaku perlahan mulai pulih. Tapi kakiku masih belum menunjukkan keadaan akan membaik. Masih sangat sakit untuk digerakkan. Dokter menawarkan terapi untuk kakiku. Akan membutuhkan waktu satu sampai tiga bulan untuk pemulihan kakiku. Aku menyetujui tawaran dokter, apa saja yang terbaik. Aku ingin bisa kembali berlari.
Pagi ini suster sudah selesai mengecek keadaanku. Aku masih duduk di tempat tidurku saat seseorang menggeser pintu. Aku menoleh kearah pintu tapi tak kulihat seorangpun yang masuk. Aku menunggu beberapa saat tapi masih juga tak tanda orang yang masuk.
“Nuguseyo?” aku mencoba bertanya.
Lalu masuklah seorang yeoja. Dia Kim Hara. Dia berdiri canggung di depan pintu. Ditangannya terdapat sebuah buket bunga mawar kuning. Dia menatapku canggung. Aku juga menatapnya canggung.
“Annyeonghaseyo, aku datang menjengukmu,” sapanya pelan.
“Annyeonghaseyo, gomawoyo, pasti sangat merepotkan,”
Dia berjalan menghampiri tempat tidurku. Lalu dia memberikan bunga yang dia bawa padaku. Aku menerimanya dan mengucapkan terimakasih. Dia masih terlihat canggung. Aku menatapnya. Dia cantik sekali kalau diperhatikan dan dilihat dari dekat seperti ini. Seandainya kami punya sesuatu untuk dibicarakan. Aku benar-benar merasa tidak enak dengan semua kecanggungan ini.
“Bagaimana keadaanmu?” tanyanya kemudian.
“Oh, sudah lebih baik, tapi kakiku memerlukan waktu cukup lama untuk pulih, sangat membosankan sekali disini,”
Dia hanya diam. Lalu dia duduk di kursi di samping tempat tidurku. Untuk beberapa saat dia tidak mengatakan apa-apa, aku menunggunya mengatakan sesuatu.
“Apa kau begitu dekat dengan Dong Hae oppa?”
“Ne?” aku tekejut dengan pertanyaannya yang tiba-tiba.
“Aku merasa kalian berdua sangat dekat,”
“Apa maksudmu? Kami hanya berteman, itu saja,” kenapa dia tiba-tiba bertanya tentang ini??
“Aku tidak tahu ada apa diantara kalian, tapi kau tahu? Saat mendegar kau kecelakaan, dia benar-benar ketakutan setengah mati, saat itu masih di pesta sekolah, saat tahu tentangmu, dia berlari seperti petir, wajahnya sangat merah, aku belum pernah melihat oppa seperti itu,”
Aku terkejut mendengar ceritanya yang semuanya serba tiba-tiba ini.
“Oppa terus menerus di rumah sakit semalaman, dia tidak mau disuruh pulang, dia terus di sini, dan terus setiap hari dia kerumah sakit, kau koma selama 4 hari, saat dia tahu kau harus diamputasi, dia menjadi sangat marah, entah kenapa dia seperti begitu ketakutan.  Dia memanggil pamannya yang seorang dokter di Amerika untuk menanganimu, awalnya  dokter itu menolak karena dokter itu sangat sibuk, dokter itu juga seorang dosen di sebuah universitas kedoteran di Amerika, tapi dia memohon padaku,”
“Memohon padamu? Apa maksudmu?” tanyaku heran.
“Karena dokter itu adalah ayahku,”
Hal ini membuatku sangat terkejut. Apa artinya semua ini? Kenapa dia tiba-tiba datang dan memberitahuku semua ini?
“Ayah sangat sibuk, tapi melihat oppa memohon seperti itu, sebenarnya itu membuatku marah, kenapa hanya demi kau dia rela melakukan semua itu? Aku memenuhi permintaanya dengan syarat dia harus menjadi namjachinguku,”
Apa lagi ini?
“Dia sempat ragu, tapi akhirnya dia menyetujuinya. Aku sangat terkejut mendengarnya, kukira oppa akan menolak seperti dulu, tapi dia menyetujuinya. Aku sempat merasakan sesuatu yang aneh. Aku marah dan sedih pada saat yang bersamaan. Dan akhirnya aku membujuk ayahku untuk bisa menanganimu, dan dia mau kembali ke Korea dan mengoperasimu. Ayahku pernah menjadi spesialis tulang, maka dia bisa melakukan sesuatu untukmu,”
Aku diam tak bisa mengatakan apapun. Ini semua terlalu mengejutkan. Kenapa Dong Hae melakukan semua ini?
“Jeongmal gomawoyo, berkat ayahmu aku bisa dioperasi dan tak perlu kehilangan kakiku, aku benar-benar berterimakasih,” kataku pelan. Aku tak tahu harus mengatakan apa.
“Jangan berterimakasih padaku, berterimakasihlah pada oppa, karena dia aku mau melakukan semua ini,”
“Ne,” aku diam sesaat. “jadi sekarang kau dan Dong Hae berpacaran?”
Dia tersenyum sebentar. Tapi bukan senyuman bahagia.
“Aku tidak pernah merasa seperti itu. Oppa memang selalu memenuhi keinginanku, tapi melihatnya setiap malam ke rumah sakit dan melihatmu, apa aku bisa menyebutnya namjachinguku, aku tidak pernah tahu apa yang dipikirkan oppa, tapi aku merasa seperti orang bodoh, aku seperti orang jahat yang memanfaatkan orang lain demi kepentinganku sendiri. Oppa bersamaku karena dia merasa dia harus bersamaku. Dia harus membayar sebuah hutang padaku. Dia selalu bilang, karena akulah paling tidak kau selamat, tapi bukan itu yang kuinginkan,”
Ha Ra berhenti beberapa saat. Dia menangis. Aku mendengarkannya dengan perasaan campur aduk. Dan aku tak tahu harus bagaimana.
“Ternyata ini menyakitkan,” lanjutnya. “Ini lebih menyakitkan dari apapun. Aku merasa oppa tersakiti karena aku, dan melihat semua itu membuatku seperti seorang yang sangat jahat. Aku telah menyakiti oppa yang sangat kusayangi,” kini dia benar-benar menangis.
Aku memegang tangannya dan menggenggamnya. Entah kenapa melihatnya seperti ini sangat menyedihkan. Kasihan sekali dia ini.
“Aku sudah bersama sejak aku lahir, dia selalu ada untukku, dan aku sangat senang karena dia yang ada disisiku dan bukan orang lain, tapi semua sudah berbeda sekarang, kami bukan anak kecil lagi, dan sepertinya ini saatnya aku melepaskan oppa, aku harus bisa tanpanya, dan dia bisa melakukan apapun yang dia inginkan,”
Aku hanya diam. Aku memang hanya bisa diam. Apa yang bisa kukatakan?
“Aku senang kau bisa sembuh kembali, kau harus cepat sembuh, kau sudah tahu kan apa yang telah dilakukan oppa demi kau? Aku bukan orang yang mudah berbaik pada orang lain, tapi cepatlah sembuh dan berjalan dengan kakimu. Mianhe aku sudah membuat pagimu penuh kejutan, aku akan pergi sekarang,”
Dia beranjak dari kursinya dan berjalan kearah pintu.
“Ha Ra-ssi, gomawo,”
Dia menghentikan langkahnya.
“Jeongmal gomawoyo, untuk apapun itu, untuk apa yang telah kau lakukan padaku, gomawo,”
Dia tidak mengatakan apapun, juga tidak memberiku respon. Dia hanya diam dan melanjutkan langkahnya keluar dari kamarku. Aku tahu dia pasti akan tersenyum.
Aku duduk di kursi roda di dekat jendela. Memikirkan semua perkataan Ha Ra. Benarkah semua itu? Kenapa dengan Dong Hae itu? Kenapa selalu melakukan semuanya semaunya sendiri? Kenapa dia melakukan semua ini? Aku melayangkan pandanganku keluar jendela. Di luar pasti dingin sekali. Kulihat tumpukan salju dibingkai jendela. Sudah berapa lama sejak pertama kali aku melihat salju saat itu?
“Itu sudah satu bulan,”
Aku menoleh, dan kulihat Dong Hae berdiri di belakangku, membawa sebuah buket bunga. Ya, apa dia membaca pikiranku?
“Lama tak jumpa, Ji Hyun,”
Aku memutar kursi rodaku. Aku menatapnya beberapa saat. Kenapa dia baru muncul? Apa dia tidak tahu, aku sangat ingin melihatnya. Bahkan saat mataku masih tertutup aku sangat ingin melihatnya. Aku benar-benar ingin menghajarnya sekarang. Kalau saja kakiku tidak dibebat seperti ini, dia pasti sudah babak belur karena kuhajar. Kemana saja dia ini? Apa tidak sedikitpun kahawatir padaku?
“Kenapa kau melihatku seperti itu?”
“Babo! Selalu melakukan apapun sesukamu, kau pikir kau ini siapa?” aku tiba-tiba berteriak. “Apa kau tidak tahu, aku sangat ingin melihatmu,”
Dong Hae diam menatapku. Kata-kataku keluar begitu saja.
“Mwo ya?”
“Aku ingin melihatmu, aku ingin menunjukkanmu, ini,” akau menunjukkan kakiku yang digips. Alasan bodoh apa ini?
“Mwo? Kau ingin melihatku karena ingin menunjukkan ini padaku?”
“Ne, aku keren kan dengan kaki seperti ini?”
Dia meletakkan bunga di pangkuanku. Lalu memukul dahiku pelan.
“Apa itu?”
Aku hanya tersenyum. Aku tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Lagipula apa yang sebenarnya? Akhirnya kami mengobrol saja. Dia duduk di sofa dan aku tetap di kursi rodaku.
“Apa yang kau lakukan selama aku tidur?” tanyaku.
“Wae?”
“Hanya ingin tahu saja,” jawabku. Aku berdebar menunggu jawabannya.
“Aku melakukan hal-hal seperti biasanya,”
“Kau tidak melakukan hal lain?”
“Hal lain apa? Memang apa yang harus kulakukan?”
Kenapa dia tidak menceritakan apa yang sebenarnya terjadi antara dia dan Ha Ra?
“Benar-benar tidak ada?”
“Obseoyo, apa yang kau harapkan, apa kepalamu baik-baik saja? Ah, aku ingat”
“Ne?”apa dia akan menceritakannya?
“Saat inspeksi kamar aku ketahuan menyimpan majalah dewasa yang kupinjam dari Hechul Sunbae, aku sudah menjelaskan bahwa itu bukan punyaku, tapi tetap saja aku disuruh berlari,” dia tertawa terbahak-bahak. Apa-apaan dia ini?
“Ya! Apa perlu kau menceritakan hal itu?” aku berteriak padanya.
“Kau ini kenapa sih? Aku punya kejutan untukmu, aku mempersiapkan album baruku dengan Dreamworld Entertainment, aku akan terkenal lagi setelah ini,”
“Jjinjja? Kau dapat kontrak?”
“Ya, apa kau lupa ingatan? Bukankah aku sudah memberitahumu?”
“Jjinjja? Kapan?”
“Saat itu, kau tiba-tiba berlari seperti melihat hantu! Ya, apa pihak rumah sakit tidak memeriksa kepalamu, kau sepertinya mengalami gegar otak,” dia memegang kepalaku, aku menepisnya pelan.
“Kau berdoa aku gegar otak? Tentu saja aku ingat itu,” mana mungkin aku lupa saat lari menghindarinya, mati-matian aku mengatur jantungku.
“Lalu kenapa kau masih terkejut?”
“Karena aku senang, apa tidak boleh aku senang, kau bisa bernyanyi kembali, dan pasti aku bisa melihatmu bernyanyi lagi, ah senangnya,”
“Senang melihatmu kembali,”
“Apa maksudmu?”
“Kau bertingkah aneh akhir-akhir ini,”
“Apanya yang aneh? Aku merasa biasa saja,”
Dong Hae hanya tersenyum. Aku menatap bunga yang diberi Dong Hae. Lili putih.
“Kau dan ayahmu?”
“Oh?” aku menatapnya sesaat. “Oh, kami baik-baik saja, entah kenapa ayah sangat melindungi impianku, kau tahu, seandainya saja dia tidak melawan dokter mungkin sekarang aku hanya punya satu kaki,”
“Mworago? Satu kaki?” tanyanya heran.
Pandai sekali dia berakting. Dia ini tidak tahu atau pura-pura tidak tahu sudah pasti kan dia ini tahu semuanya.
“Ayah berteriak pada dokter pada dokter, dia berskeras untuk mempertahankan kakiku, kau tahu, hampir saja kakiku diamputasi, tapi seorang dokter datang,” aku berhenti melihat reaksinya, tidak ada yang berubah, “Dia dokter dari Amerika dan menawarkan solusi lain, dan entah apapun itu caranya, aku beruntung kakiku masih lengkap, aku tidak bisa membayangkan akan seperti apa hidup tanpa kaki, apa kau tahu rasanya?”
Dong Hae hanya diam. Apa dia akan menyembunyikan semua ini?
“Aku tidak tahu bagaimana seorang dokter dari Amerika tahu ada seorang yang membutuhkannya di Korea. Setahuku Korea dan Amerika itu sangat jauh. Pastinya insting dokter itu sangat tajam, benarkan Dong Hae-ssi?”
“Mana ada yang seperti itu? Pasti pihak rumah sakit yang menghubungi dokter itu,” jawabnya.
“Geure, pasti ada seseorang yang memberitahunya, siapapun itu aku sangat berterimakasih padanya, seharusnya orang iti menceritakannya padaku saat aku sadar, tapi karena aku tidak tahu orangnya, apa boleh buat,” aku melirik kearah Dong Hae, dia hanya diam sambil menatap sepatunya.
“Tapi siapapun dia, aku harus berterimakasih padanya, pada semua orang yang sudah memberiku kesempatan kedua untuk hidup, bisa melihat keluargaku, melihat teman-temanku, tertawa, makan, minum, kelak aku akan bisa berlari lagi, dan bahkan aku bisa melihatmu bernyanyi lagi, bukankah itu menyenangkan? Aku benar-benar bersyukur dan berterimakasih untuk apapun yang kuterima,” aku merasakan butiran kristal mengalir dipipiku.
“Geure, kau harus membayar semua hutangmu kalau begitu,”
“Ne?”
“Hiduplah dengan baik, buatlah banyak kenangan indah, sayangi orang-orang disekelilingmu, araji?”
Aku hanya tersenyum dan mengangguk.
“Gomawo, kau sangat menyebalkan, tapi disaat sepeti ini ternyata kau sangat berguna,”
“Ya, apa kata-kata itu pantas terucap?”
Kami berdua tertawa kecil.
“Ya, Dong Hae-ssi, aku ingin melihat slaju, kau mau mengantarku keluar?”
“Shiro! Kau mau membeku diluar sana?”
“Kalau tidak mau ya sudah, aku bisa pergi sendiri,”
Aku mendengus sebal. Aku memutar kursi rodaku dan memutar roda. Tapi tiba-tiba Dong Hae mendorong kursi rodaku menuju keluar kamarku. Aku hanya tersenyum. Kami menuju berjalan menuju beranda. Kurasakan udara dingin dikulitku. Akhirnya aku bisa kembali melihat dan merasakan dinginnya. Kurapatkan kardiganku.
“Berapa banyak yang kulewatkan? Aku melewatkan natal dan tahun baru. Aku meninggalkan sekolah dalam waktu yang cukup lama. Apa tidak apa-apa membolos selama ini? Apa Bu Guru Lee dan Pak Guru Angker akan memarahiku dan memberiku banyak tugas? Pelatih Kim? Pasti dia akan benar-benar mengirimku ke neraka dan menyiksaku habis-habisan di sana karena aku mangkir latihan. Pasti mengerikan.”
Aku menatap salju yang jatuh satu persatu. Dong Hae yang duduk disebelahku hanya diam dan memandangi salju.
“Tapi saat ini aku seratus kali ingin merasakan pelatihan neraka Pelatih Kim dan menerima teriakan Pak Guru Angker, itu artinya aku masih bisa bertemu mereka di kehidupan yang sama, aku sangat beruntung kan?” aku menoleh untuk meminta persetujuan Dong Hae.
Dong Hae menatapku sesaat lalu mengangguk pelan. Aku tersenyum lalu kembali menatap salju. Seseorang pernah mengatakan padaku, suatu saat aka nada seseorang yang membawa keajaiban untukku. Dan aku merasa saat ini bukan hanya seseorang yang membawa keajaiban untukku. Entah berapa banyak orang yang membawa keajaiban untukku. Dan itu membuatku percaya bahwa keajaiban itu memang ada. Dan akupun paham kenapa setiap orang mengharapkan keajaiban, karena keajaiban itu benar-benar indah.
****************************************************************
Dua bulan kemudian.
“Selamat datang di rumah!!!!!!”
Akhirnya aku bisa kembali berdiri dengan kakiku sendiri. Aku sudah bisa kembali berjalan. Aku bahkan sudah bisa berlari. Rumah sakit telah mengatakan bahwa aku sudah sembuh total. Tiga bulan lamanya aku tinggal di rumah sakit menjalani segala rehabilitas dan terapi. Awalnya sangat menyakitkan memaksa kakiku untuk bergerak kembali. Ini lebih menyakitkan dibandingkan saat kaki terseret mobil. Tapi keluarga dan teman-temankulah alasan terbesar aku terus berjuang. Apalagi impianku menjadi pemain basket aku terus menjalani pemulihan yang sangat berat.
Ahli terapiku berasal dari Jepang bernama dokter Mizuno Fumiya. Dia adalah lulusan terbaik di sebuah universitas kedokteran ternama di Jepang. Dia benar-benar melakukan yang terbaik untukku. Dengan sabar dia terus membantuku melakukan penyembuhan kakiku. Dia dokter yang sangat menyenangkan dan baik hati. Dia tidak pernah marah sebesar apapun aku ingin menyerah. Dia hanya sering mengomel karena aku selalu telat datang ke tempat terapi. Dan sepertinya dia memang sangat cerewet sekali. Dia selalu berbicara panjang lebar, tapi aku suka saat dia sudah membicarakan sesautu, paling tidak rasa sakit dikakiku bisa teralihkan. Dia sering memberiku hadiah dan mengajakku jalan-jalan mengelilingi rumah sakit saat aku bosan. Berkat dia pula, aku bisa pulih lebih cepat dari yang diperkirakan.
Teman-temanku selalu datang ke rumah sakit. Bahkan Henry dan Sulli sering sekali menginap. Mereka sering kali membuat keributan hingga suster harus marah-marah kepada mereka. Hyuk Jae dan Hye Ri datang dengan cerita-cerita basket mereka. Sekolah kami memenangkan beberapa kejuaraan nasional dan mungkin akan bisa mengikuti olimpiade. Aku benar-benar merindukan basket. Dong Hae juga sesekali datang. Dia sangat sibuk mempersiapkan album barunya. Dia juga sudah beberapa kali keliling Korea untuk promosi album barunya. Dan orang-orang di rumah sakit selalu mengejar-ngejarnya saat dia berkunjung. Jadi dia harus selalu menyamar saat mengunjungiku.
Soal sekolah, aku pasti tertinggal jauh. Tapi ayah memanggil seorang guru yang mengajariku di rumah sakit, jadi aku tetap harus belajar selama di rumah sakit. Aku juga melakukan ujianku di rumah sakit. Dengan begitu aku masih tetap mengikuti sekolah tanpa harus mengulang lagi di tahun pelajaran berikutnya. Dan aku sudah bisa bermain basket lagi. Di rumah sakit pun aku menjalani terapi dengan bermain basket. Dan aku siap untuk bermain basket lagi.
Aku tersenyum menatap keluarga dan teman-temanku. Mereka menyiapkan sebuah pesta kecil untuk menyambut kepulanganku. Kami bersenang-senang hari ini. Eomma bahkan sudah mempersiapkan sebuah barbeque untuk kami. Kami mengobrol dan tertawa. Aku bahka mendapat banyak hadiah. Aku duduk di gazebo memandangi mereka yang sedang memanggang daging dan makanan lain. Tiba-tiba Dong Hae mendekatiku dan duduk di sebelahku.
“Jadi bagaimana rasanya kembali ke dunia luar?”
“Jauh lebih menyenangkan dibandingkan harus bertengkar dengan para suster di rumah sakit, mereka itu cerewet sekali, tapi aku merindukan omelan dokter Mizuno, kalau aku belum minum obatku sekarang, dia pasti akan mengomel sepanjang terapi,”
“Lalu kenapa tidak kembali saja ke rumah sakit, kau bisa bertemu dengannya setiap saat dan mendengarkan omelannya,” dia tiba-tiba kesal.
“Mwo ya? Apa kau cemburu padanya?”
“Omong kosong apa yang kau bicarakan itu?”
Aku tertawa melihat tingkahnya. Dia semakin terlihat lucu dengan wajahnya itu. Jantungku mulai tidak normal lagi. Selalu saja seperti ini.
“Kau akan bermain basket lagi?”
Aku mengangguk pelan.
“Aku memutuskan untuk tidak berhenti, aku tidak ingin usaha seseorang demi kakiku ini sia-sia saja,” aku menyindirnya.
“Geure?”
Aku tersenyum. Kami berdua diam untuk beberapa saat. Ada kalanya kami berbicara sangat banyak, bahkan tanpa perlu ada yang memulai. Tapi kadang kami bahkan tidak punya apapun untuk dibicarakan.
“Ji Hyun-aa,” panggil Dong Hae tiba-tiba.
Aku menoleh padanya. “Wae?”
Dong Hae dia beberapa saat.
“Aku akan ke Amerika,”

to be continued...

0 komentar:

Posting Komentar

 

Popo.. The Kite Runner Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea