Rabu, 06 Februari 2013

In My Dream (Part 10)

Diposting oleh Popo... The Kite Runner di 21.25

Apa yang terjadi pada Dong Hae??? Here In My Dream Part 10


Aku berlari mengikuti Dong Hae yang dibawa oleh para dokter dan para perawat ke ruang gawat darurat. Ayah Dong Hae ikut berlari disisi lain tempat tidur. Wajahnya sangat pucat. Terlihat dari sorot matanya kalau dia sangat khawatir. aku sudah tidak bisa berpikir apa-apa lagi. Suara derap langkah kami memenuhi lorong rumah sakit. Saat memasuki ruang gawat darurat, perawat menyuruh kami untuk menunggu di luar. Aku berhenti di depan pintu UGD dan berdiri mematung. Dokter Ji Hoon datang, dia menatap aku dan ayah Dong Hae beberapa saat sebelum masuk ke ruang UGD.
Ayah Dong Hae jatuh terduduk di bangku panjang depan UGD. Badannya gemetar dan wajahnya tertunduk menatap lantai rumah sakit. Aku berjalan pelan mendekatinya dan duduk di sebelahnya.
“Ini salahku, ini semua salahku,” katanya tiba-tiba.
“Ahjussi, kenapa kau berkata seperti itu?” tanyaku heran.
“Aku tahu Dong Hae punya kelainan dengan tenggorokannya sejak kecil, maka dari itu aku melarangnya bernyanyi, aku takut sesuatu terjadi padanya, dan sekarang semua ketakutanku menjadi kenyataan, semua memang salahku,” kini dia terisak pelan.
Aku menatapnya tak percaya.
“Jadi paman tahu dia punya penyakit itu?” mataku mulai berkaca-kaca, “semua ini bukan salah paman, paman hanya berusaha melindungi dia, mungkin memamng harus seperti ini, tapi semua akan baik-baik saja, paman harus kuat dan berdoa yang terbaik untunya,” aku menggenggam tangannya, berusaha menguatkannya.
Ayah Dong Hae hanya mengangguk pelan sambil terus terisak. Tiba-tiba seorang dokter keluar. Kami srentak berdiri dan menghampirinya.
“Dokter, nagaimana keadaanya?”
“Tuan, kita harus segera mengoperasinya, sudah tak ada waktu lagi, anda harus segera memutuskan dan menandatangani surat-suratnya,”
Belum sempat ayah Dong Hae menjawab, seorang suster keluar.
“Dokter, darah dengan golongan yang sama dengan pasien Dong Hae tidak ada persediaan, tidak mungkin menghubungi pusat, apa yang harus kita lakukan?”
“Apakah benar-benar tidak ada persediaan?”
“Tidak ada, dokter”
“Gunakan saja darahku, darahku sama dengan anak itu, cepat lakukan operasi sesegera mungkin, kalian tunggu apa lagi,” kata ayah Dong Hae penuh kepanikan.
‘Baiklah, tuan. Suster, bawa bapak ini dan lakukan pemeriksaan darah, hubungi emergensi, kita akan segera melakukan operasi,”
Suster itu mengangguk dan membawa ayah Dong Hae masuk ke dalam UGD diikuti oleh dokter itu. Aku melihat semua itu dengan pandangan penuh harap. Aku tidak bisa melakukan apa-apa sekarang. Aku duduk di ruang tunggu dengan perasaan campur aduk. Bukankah sangat mengerikan menjalani operasi? Bagaimana keadaan Dong Hae? Kenapa semua terjadi sangat cepat? Aku tidak pernah tahu apa yang terjadi pada Dong Hae, aku tidak pernah menyangka akan seburuk ini.
Waktu sepertinya berjalan sangat lambat. Ayah Dong Hae keluar dari UGD dan menunggu bersamaku. Wajahnya tambah pucat dan tubuhnya sangat lemah. Kami sudah hampir satu jam menunggu, namun belum ada tanda-tanda operasi telah selesai. Aku terus berdoa yang terbaik. Bagaimanapun juga Dong Hae temanku, aku tak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya. Aku terus-menerus berdoa.
“Dia akan baik-baik saja,” kata ayah Dong Hae tiba-tiba.
Aku membukamataku dan menoleh padanya.
“Geokjeonghajimaseyo, dia anak yang kuat, dia akan bisa melalui semua ini,”
Aku berusaha menahan tangisku dan mengangguk pelan.
“Aku ingat saat dia bilang padaku ingin menjadi penyanyi, dia bilang dia akan ke Seoul dan mengikuti audisi, namun aku melarangnya, aku tahu keadaan tenggorokannya, aku bilang apadanya kalau penyanyi tidak punya masa depan, aku bermaksud membuatnya mundur, itu kulakukan demi dia, tapi akau lupa kalau dia itu keras kepala, keesokan harinya dia benar-benar pergi dari rumah dan ke Seoul, aku heran bagaimana dia bisa sampai Seoul,”
Ayah Dong Hae berhenti dan menghela nafas panjang.
“Beberapa bulan kemudian aku melihatnya di televisi, dan dia bernyanyi dengan sangat memukau, aku bahkan menangis saat melihatnya, saat itu aku berpikir bahwa semuanya akan baik-baik saja, tapi dia tidak pernah kembali ke rumah setelah itu, kami benar-benar ingin dia pulang, aku ingin minta maaf padanya, aku akan melakukan apa saja untuk bisa mengatakan padanya bahwa aku ingin dia terus menjadi penyanyi, aku ingin dia terus menggapai impiannya, tapi aku terlalu bodoh, aku sampai sampai saat ini belum bisa mengatakannya,”
Aku hanya diam mendengar cerita ayah Dong Hae. Ayah Dong HAe hanya berusaha melindungi Dong Hae, tapi mungkin caranya agak salah dan Dong Hae, apa yang bisa dipikirkan anak berusia 12 tahun? Kami hanya diam stelah itu. Kami terus menunggu operasi berlangsung. Waktu benar-benar berjalan sangat lambat. Bahkan sampai dua jam kemudian aku masih terus berdoa. Aku tidak ingat berapa lama kami terus menunggu. Aku hampir memjamkan mataku saat pintu ruang UGD terbuka. Ayah Dong Hae berdiri dan menghampiri dokter, Dokter Ji Hoon juga keluar. Aku ikut menghampiri mereka.
“Dong Hae, dia, operasinya berjalan lancar, sangat beruntung pita suaranya bisa diselamatkan, dia akan sadar sampai efek obat bius habis, selama itu biarkan dia istirahat,” jelas dokter kepada kami.
Aku meneteskan airmata.
“Jamietta, syukurlah dia baik-baik saja,” aku terisak pelan. Aku lega semua baik-baik saja. Sepertinya beban yang sejak tadi menggelayuti kepalaku hilang begitu saja.
Ayah Dong Hae memeluk Dokter Ji Hoon. Dokter Ji Hoon tersenyum dan mengangguk padaku. Aku balas mengangguk padanya.
***************************************************************
Dong Hae sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Namun dia masih belum sadar.
“Kau sebaiknya kembali ke asrama, kau terlihat sangat lelah, dan tak mungkin kau menginap di sini,” kaya Dokter Ji Hoon.
“Ah, baik,”
“Ji Hyun-aa, terimakasih ya, Ji Hoon-aa, antar dia,” kata ayah Dong Hae.
“Ne, ahboji, ayo Ji Hyun,”
“Paman aku pulang dulu, annyeonghigyeseyo,”
Aku membungkuk sebentar dan meninggalkan kamar mengikuti Dokter Ji Hoon yang telah lebih dulu keluar kamar. Kami berdua hanya diam sepanjang perjalanan. Aku sangat capek dan lelah. Aku mengantuk, tulang-tulangku sepertinya terpisah satu sama lain, dan kepalaku berat sekali. Aku ingin sekali tidur. Aku hampir saja tertidur saat tiba-tiba Dokter Ji Hoon bertanya.
“Kau benar-benar melakukan sesuatu untuk Dong Hae?”
“Ne?” aku menoleh padanya, aku sedikit membuka mataku, aku tidak mengerti maksudnya.
“Apa kau menyukainya?”
Kali ini aku benar-benar membuka mataku.
“Musun sorieyo?” aku berpaling menatap jalanan diluar. Dokter Ji Hoon ini kenapa sih?
“Kau tidak beranjak sedikitpun dari ruang tunggu, kau terus memejamkan mata dan menyatukan kedua tanganmu, itu menandakan ada sesuatu kan?”
“Mwo ya? Keunyang.. Aku.. Aku.. Dia.. Dia kan temanku, tentu saja aku tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk padanya, kau ini mikir apa sih?”
“Wajahmu merah tuh,” dia tertawa melihatku salah tingkah.
“Mwo ya?? Jangnanhajima, aishh menyebalkan,” aku semakin salah tingkah dan Dokter Ji Hoon tertawa semakin keras.
“Gomapta, kau sudah menemaninya,”
Aku hanya mengangguk pelan.
Keeseokan harinya aku bangun sangat siang. Aku ingat semalam aku sampai kamar dan langsung tidur. Aku malas bangun. Tapi aku harus ke rumah sakit. Aku ingin tahu keadaan Dong Hae. Aku bangun dan turun untuk ke kamar mandi. Hanya ada Se Na yang sedang membaca buku.
“Ah, ireona?” dia menoleh padaku.
“Ne, hanya kau yang di sini?”
“Geure, Eun Hae dan Yu Mi pergi entah kemana, kau sendiri?”
Aku duduk di depannya.
“Molla, aku ingin tidur lebih lama, tapi aku harus ke rumah sakit,”
“Siapa yang sakit?”
“Oh, hanya teman saat SMP, dia operasi usus buntu, dan dia harus dirawat, lalu kau tidak keluar?” itu benar kan?
“Ani, aku hanya ingin disini, kegiatan selama di sekolah membuatku pusing, aku ingin istirahat hari ini,”
“Geure, aku juga merasa seperti itu. Ya, apa kau juga bersiap-siap untuk pesta olahraga nanti?”
“Ne, kami tim renang berlatih sangat keras agar bisa menang. Tim renang tidak pernah membawa prestasi yang memuaskan, geurigo, tahun ini kami harus bisa jadi juara, aku sudah tidak sabar, kau juga kan?”
“Ne,” aku mengangguk bersemangat. “Kami dari tim basketpun sama, hampir setiap hari kami melakukan pelatihan neraka,”
“Pelatihan neraka?”
“Geure!! Pelatih kami adalah titisan api neraka, dia membuat kami berlatih sangat keras, dia juga suka sekali berteriak dengan keras, tapi tanpanya kami tidak akan bisa seperti ini, kita harus berjuang, hwaiting!!” aku mengangkat tanganku ke udara.
“Geurom, hwaiting!!!”
Kami berdua tertawa.
“Baiklah, aku mandi dulu ya,”
Dia hanya mengangguk. Aku mandi sambil terus memikirkan Dong Hae. Dia sudah sadar belum ya? Apa yang terjadi dengannya nanti? Selesai mandi aku bersiap berangkat. Aku membeli bunga saat dalam perjalanan ke rumah sakit dan disinilah aku sekarang, di depan kamar Dong Hae. Aku baru menggeser pintu sedikit saat kulihat Dong Hae dan ayahnya saling diam.
“Apa yang kau lakukan disini?” tanya Dong Hae, suaranya serak . aku mengurungkan niatku untuk masuk.
“Yang pasti tidak untuk bertengkar denganmu,” jawab ayah Dong Hae tenang.
“Kau disini semalaman?”
“Seperti yang kau lihat,”
“Jadi pada akhirnya aku dioperasi, kau senang sekarang aku sudah tidak bisa bernyanyi lagi?”
Aku terkejut mendengar kata-kata Dong Hae. Apa maksudnya?
“Malah sebaliknya, aku menyetujui kau dioperasi agar kau tetap bisa bernyanyi lagi,” ayah Dong Hae beranjak dari kursinya. “Lebih baik kau biarkan seseorang melakukan sesuatu untukmu, pikirkanlah perasaan orang-orang yang menyayangimu. Beristirahatlah, kau tidak boleh terlalu banyak bicara, aku akan pergi,”
Ayah Dong He berjalan menuju pintu. Aku berlari untuk bersembunyi. Pintu kamar dibuka dan kulihat ayah Dong Hae menghela nafas. Lalu dia pergi. Aku keluar dari persembunyianku dan menuju kamar Dong Hae. Aku menggeser pintu pelan-pelan, aku melongok kedalam dan Dong Hae menoleh padaku.
“Annyeong,” aku tersenyum padanya dan menunjukkan bunga yang kubawa. Aku masuk dan menutup pintu kembali. “ Bagaimana keadaanmu?”
“Bagaimana kau tahu aku di sini?”
Jadi Dong Hae tidak tahu aku menunggu dia dioperasi? Aku meletakkan bunga yang kubawa di meja samping tempat tidur. Lalu aku duduk di kursi yang tadi diduduki ayah Dong Hae.
“Kau pasti tahu kan kenapa rumah sakit punya resepsionis?”
“Oh, geure,”
“Apa yang kau rasakan? Apa semua baik-baik saja?”
“Entahlah, masih sangat sulit untuk bicara, aku merasa leherku sangat tebal,”
“Kalau begitu kau jangan banyak bicara, diamlah sebanyak yang kau bisa, itu bagus untukkmu”
Aku lega Dong Hae baik-baik saja, walaupun masih belum tahu apa yang akan terjadi nanti, tapi melihatnya sadar kembali sudah cukup membuatku bernafas lega. Dia hanya diam untuk beberapa saat. Mungkin tenggorokannya memang masih belum bisa untuk bicara terlalu banyak. Aku juga tidak tahu untuk bicara apa dan berbuat apa, kamipun hanya saling berdiam diri untuk beberapa saat.
Tiba-tiba seorang dokter masuk.
“Oh, kau ada tamu rupanya, tapi kau harus melakukan pemeriksaan untuk memeriksa lebih lanjut keadaanmu,’’ kata dokter itu sambil mengamati infuse Dong Hae.
“Oh, tidak apa-apa, aku juga akan pulang,”
Dokter itu tersenyum padaku, lalu melihat catatannya.
“Aku pulang dulu, jarisseo,”
Dong Hae hanya mengangguk pelan. Dia terlihat sangat menyedihkan. Aku belum ingin pulang sebenarnya, tapi lebih baik aku pulang saja. Aku berjalan menyusuri jalan menuju halte bus. Henry ternyata sudah pulang, aku ingin mengunjunginya sebenarnya. Tapi ya sudahlah.
*****************************************************************
Hari-hari berikutnya disibukkan dengan latihan basket selama satu minggu penuh. Aku bahkan tak sempat menjenguk Dong Hae di rumah sakit. Aku tak sempat melakukan apa-apa selain berlatih basket. Sebenarnya kami tak perlu berlatih sekeras itu, kami sudah cukup kuat dan siap menghadapi pertandingan, tapi Pelatih Kim sepertinya sangat bersemangat dan antusias. Pada akhirnya kamilah yang menjadi korban pelatihan dari neraka itu.
Sepulang dari berlatih basket aku langsung mandi, makan malam dan tidur. Tenagaku terkuras untuk berlatih basket. Benar-benar mengerikan Pelatih Kim itu. Dikelaspun aku hanya asal-asalan mengikuti pelajaran. Apa yang dijelaskan oleh guru tidak pernah bisa kupahami, bahkan sampai Dong Hae masuk kelas dan duduk di belakangku akupun tidak menyadarinya. Siangnya kami juga tetap berlatih basket. Semua orang sepertinya sangat bersemangat. Aku berusaha untuk terus melakukan sekuat tenagaku, tapi entah kenapa kepalaku terasa sangat berat. Berkali-kali aku hampir terjatuh, dan saat kudengar teriakan Pelatih Kim, semua menjadi gelap.
Aku membuka mataku pelan. Bau obat menyergap hidungku. Kepalaku terasa berat dan badanku benar-benar sakit. Ah lagi-lagi klinik, pasti aku pingsan lagi.
“Ah, Ji Hyun-aa, ireona? Gwaenchana?” suara Hye Ri terdengar khawatir.
Aku mengangguk pelan.
“Syukurlah, kata Dokter Ji Hoon kau terlalu lelah, tekanan darahmu sangat rendah, sekarang kau istirahatlah, aku harus mengurus sesuatu di luar, kau tidak apa-apa kutinggal sendiri?”
Aku hanya mengangguk pelan.
“Geure, istirahatlah, jalrisso,”
Dan Hye Ri pun pergi. Klinik sepi. Hanya ada aku. Aku memejamkan mataku. Berat sekali rasaya kepalaku. Pasti karena berlatih terlalu keras aku jadi seperti ini. Lebih baik aku tidur saja dan menunggu Dokter ji Hoon, minta obat lalu kembali ke kamarku. Baru saja aku memejamkan mataku seseorang masuk, tapi aku malas membuka mataku, aku pura-pura sudah tidur saja.
“Kau tidak bakat pura-pura tidur, seharusnya kau tidak menggerakkan bola matamu,”
Aku membuka mataku.
“Dong Hae-ssi,” aku tersenyum senang melihatnya disini. Aku lega sekali dia sudah kembali dari rumah sakit. Tiba-tiba kepalaku terasa ringan.
“Kapan kau kembali?”
“Apa kau terlalu sibuk sampai tidak menyadari kedatanganku?”
Aku hanya tersenyum lebar. Aku benar-benar senang dia kembali, aku bisa melihatnya lagi.
“Apa kau sangat senang melihatku?”
“Geurom!! Kukira kau tidak akan pernah kembali, bagaimana keadaanmu?”
Dong Hae hanya diam menatapku.
“Wae? Kenapa melihatku seperti itu? Bagaimana keadaanmu?” aku mengulangi pertanyaanku.
“Oh? Ani, gwaenchana, aku masih menjalani rehabilitasi untuk memulihkan tenggorokanku, sementara ini aku tidak boleh bernyanyi,”
“Mwo? Itu artinya aku tidak bisa mendengar nyanyianmu, sayang sekali,” aku merasa sedikit kecewa.
“Ya, aku bukannya tidak bernyanyi untuk selamanya, kenapa wajahmu itu?”
Aku hanya tersenyum. Melihatnya, mengobrol dengannya, mengetahui dia baik-baik saja, membuatku senang dan lega. Aku seperti bisa tersenyum lebar sepanjang hari. Jamkanmannyo, apa ini? kenapa aku bahagia melihatnya seperti ini? aku terlalu berlebihan, ah kenapa aku ini?
“Dong Hae-ssi, ayahmu?”
“Kenapa membicarakannya?”
“Mungkin aku tidak pantas mengatakan ini, aku sudah lancang mencampuri urusanmu dan ayahmu, tapi aku akan lancang sedikit lagi, aku berharap kau berdamai dengan ayahmu,”
“Sudahlah, tidak ada gunanya membicarakan ini,”
“Tapi.. Saat mendengar cerita ayahmu, aku tahu kalian mempunyai salah paham, sampai kapan kau akan memusuhi ayahmu? Geurenika, dia kan ayahmu..”
“hentikan, kalau kau terus bicara aku akan keluar,”
Dan dia benar-benar keluar dari ruangan klinik. Apa lagi yang kukatakan? Seharusnya aku tidak perlu membicarakan ini.
“Kuharap kau terbiasa dengan sifat keras kepalanya,”
Aku menoleh, Dokter ji Hoon sudah berdiri di samping ranjangku. Dia seperti biasa selalu tersenyum.
‘Tapi sekeras apa sebenarnya kepalanya itu? Apa dia akan selamanya seperti itu?” aku mengehela nafas panjang.
“Sangat keras, sepertinya terbuat dari besi baja,” kata Dokter ji Hoon sambil mengecek pergelangan tanganku, lalu mata dan leherku. “Kau sudah lebih baik sekarang, minumlah beberapa obat dan istirahat, latihan basket selesai hari ini, kalian harus mempersiapkan stamina, araji?”
“Araseo, gumapsemnida,”
Dokter Ji Hoon hanya mengangguk lalu memberiku obat.
********************************************************************
Aku sengaja keluar dari kamar dan berjalan-jalan di luar. Udara sudah mulai dingin, musim gugur hampir berakhir dan akan segera musim dingin. Aku merapatkan jaketku dan terus berjalan menyusuri jalan di sebelah lapangan basket. Sekolah sudah cukup sepi, bahkan hampir tak ada yang di luar. Aku melihat jam di tangan kananku, sudah hampir jam 10, pantas saja. Tiba-tiba langkahku terhenti saat aku melihat Dong Hae berdiri tak jauh dariku.
‘Dong Hae-ssi, yogi mwo haeyo?” aku berlari menghampirinya.
Aku berhenti di depannya dan menatapnya cemas. Dong Hae tidak menjawab, dia hanya diam menatapku, matanya berkaca-kaca.
“Ya, Dong Hae-ssi, kau..??”
“Aku… aku bertemu ayahku,”
Aku terkejut mendengar kata-katanya dan lebih terkejut lagi saat tiba-tiba dia terisak. Aku menatapnya beberapa saat, isakannya bertambah keras, lalu entah kenapa aku memeluknya. Aku bisa merasakan tubuhnya yang gemetar, dia menangis seperti anak kecil. Aku menepuk-nepuk punggungnya pelan. Kami tidak mengatakan apa-apa. Yang aku tahu, sepertinya dia telah menyelesaikan kesalahpahaman dengan ayahnya. Kami berdiri dibawah lampu itu untuk beberapa saat.
“Selama ini aku tidak mengetahui apapun, aku hanya memikirkan diriku sendiri,”
Kami duduk di tengah lapangan sepakbola. Masih tersisa air mata di wajah Dong Hae. Aku hanya diam mendengarkan dia. Dia sepertinya sangat terpukul.
“Aku berdiri di depan rumahku, aku bahkan tidak berani memencet bel, lalu kulihat ayahku, berdiri di gerbang rumahku, dia sepertinya terkejut melihat kedatanganku. Aku sudah tidak bisa mundur lagi, aku harus menghadapi ayahku, dan saat itulah aku mengetahui semuanya,”
Dong Hae berhenti untuk beberapa saat. Aku masih diam menunggu ceritanya.
“Aku tidak pernah tahu ayah akan melarangku bernyanyi menyelamatkanku, dia tahu aku punya peyakit itu, dia tahu kalau aku bernyanyi akan berbahaya untukku, aku juga tidak tidak tahu kalau ayah sebenarnya sangat mendukungku, aku tidak tahu ayah memberikan darahnya untukku, aku tidak tahu kalau dia menjagaku semalaman di rumah sakit. Ji Hyun-aa, aku sangat bodoh kan?”
Aku hanya diam mendengar kta-katanya.
“Apa bisa aku memaafkannya? Kenapa dia tidak pernah mengatakannya padaku? Tapi aku memang tidak memberinya kesempatan untuk mengatakannya, aku terlalu marah pada sesuatu yang tidak seharusnya,”
“Tidak ada yang perlu disalahkan, kalian hanya perlu membuka hati dan memulai lembaran baru, semua itu memang harus terjadi, kenapa disesali, bukankah dengan begitu kau kembali pada ayahmu?”
“Tapi apakah semua akan kembali seperti dulu?” tnya Dong Hae pelan.
‘Mungkin tidak akan sama, tapi pasti akan lebih baik,”
‘Jeongmal yo?” dia menoleh padaku.
Aku mengangguk dan tersenyum padanya. Dia hanya terdiam menatapku. Masih telihat sisa air mata, wajahnya terlihat sayu. Tapi aku juga bisa melihat sebuah kelegaan disana, tekanan yang selama ini dia pendam seperti hilang begitu saja dari wajahnya. Dan saat itulah aku merasakan wajah Dong Hae di wajahku. Omo!!!! Apa ini? Sebuah perasaan aneh mengalir ke seluruh tubuhku. Jantungku berdetak tidak karuan. Wajahku tiba-tiba panas. Dan saat aku sadar, Dong Hae menciumku. Di bibir. Dan apa yang bisa kulakukan? Dan yang bisa kulakukan adalah menarik wajahku.
“Oh,” dia terlihat sangat terkejut.
Kami berdua diam. Kami berdua salah tingkah. Wajah kami sama-sama merah.
“Aku.. Aku.. Kembali ke kamar dulu,” aku berdiri kebingungan, apa yang harus kulakukan.
‘Oh, ne,”
Aku berlari meninggalkan Dong Hae. Yang barusan tadi itu apa?

to be continued...

0 komentar:

Posting Komentar

 

Popo.. The Kite Runner Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea