Kamis, 31 Januari 2013

In My Dream (Part 8)

Diposting oleh Popo... The Kite Runner di 02.14

Ternyata ayah Ji Hyun pulang... Bagaimana selanjutnya? In My Dream Part 8

Aku menatap paman itu takjub. Lagi-lagi aku mendapatkan kejutan. Aku bertemu dengan ayah Dong Hae. Kalau dipikir-pikir, kebetulan memang sedikit mengerikan. Untuk beberapa saat aku tidak mengatakan apa-apa.
“Apa kau tahu dimana Dong Hae sekarang?”
Aku masih belum mengatakan apa-apa pada ayahnya Dong Hae. Haruskah aku memberitahunya kalau Dong Hae ada di rumah sakit?
“Ah, mungkin kau juga tidak tahu, mungkin juga dia tidak mau menemuiku, aku juga tidak ingin muncul di hadapannya saat dia sudah menjadi artis seperti sekarang, mengingat dulu betapa aku melarangnya menjadi penyanyi, tapi sekarang setiap melihatnya bernyanyi di televisi, aku melihat betapa berbakatnya dia, dia benar-benar bersungguh-sungguh mencintai pekerjaannya, aku hanya ingin meminta maaf dan memperbaiki hubungan kami. Ah, kenapa aku ini, kau malah mendengar keluh kesahku, maaf ya,”
“Gwaenchana ahjussi, sepertinya aku mengerti perasaanmu, ingin memperbaiki sebuah kesalahpahaman tidak pernah menjadi urusan yang mudah, benar kan paman?”
“Kau benar, aku masih belum tahu samapi kapan aku harus menunggunya pulang, sepertinya masih harus menunggu beberapa saat lagi,” dia tersenyum padaku. Tapi aku tahu itu adalah senyum yang dipaksakan. Dia mencoba menyembunyikan kesedihannya. Dia berusaha sangat keras untuk itu.
“Mungkin tidak akan lama lagi paman, dia akan segera menyadari kalau keluarganya selalu menunggunya pulang,”
“Semoga saja begitu, terimakasih ya, kau sudah menghiburku, ngomong-ngomong siapa namamu?”
“Aku Shin Ji Hyun paman, senang bisa ngobrol dengan paman,”
“Shin Ji Hyun ya,”
Aku mengangguk. Dan kami berduapun diam menatap ikan-ikan di kolam yang berenang kesana kemari. Apakah ikan juga pernah salah paham satu sama lain? Apa mereka juga memendam perasaan masing-masing? Tapi ikan tak bisa bicara, apa yang kita tahu?
*****************************************************************
Hari ini tidak ada latihan basket. Aku belum punya rencana untuk melakukan sesuatu. Aku hanya tiduran di tempat tidur tanpa melakukan apa-apa. Hyuk Jae harus berbelanja keperluan untuk stand kami bersama Yong Hwa. Hye Ri juga sibuk dengan kegiatan kelasnya. Sepertinya semua orang sedang sibuk, hanya aku yang mondar mandir seperti orang bodoh. Apa yang harus kulakukan? Apa aku ke rumah sakit saja? Dong Hae belum kembali ke sekolah sampai hari ini. Sekalian saja aku menjenguk Henry.
Aku bangun dan berganti baju. Aku masih memakai seragamku. Setelah berganti baju aku keluar kamar dan berpapasan dengan Se Na.
“Kau mau pergi?” tanya Se Na.
“Ne, temanku dirawat dan aku ingin menjenguknya, kau tidak ada kegiatan?”
“Tidak, aku baru saja kembali dari perpustakaan, yasudah, kau hati-hati ya,”
“Ne, aku pergi,”
Aku menunggu bus di halte seperti biasa. Beberapa saat kemudian bus datang. Sepanjang perjalanan aku memikirkan banyak hal. Kenapa banyak sekali yang terjadi padaku? Aku tidak pernah merenanakan semua ini. Tapi semua terjadi begitu saja. Siapa aku ini? aku hanya gadis biasa dengan kehidupan yang sangat biasa, tapi tiba-tiba aku dikelilingi orang-orang ini, membayangkan saja aku tak pernah. Dan kenapa harus seorang Dong Hae? Dia kan penyanyi yang terkenal. Semua orang mengenalnya, semua orang mengidolakannya, semua orang ingin ada di dekatnya, dia kebanggaan negeri ini, tapi kenapa aku? Aku yang bukan siapa-siapa dan bukan apapun ini bisa menjadi bagian dari kehidupan seorang Dong Hae. Apa aku berlebihan?
Bus berhenti di halte dekat rumah sakit. Aku terbangun dari lamunanku dan bangkit turun dari bus. Aku berjalan kearah rumah sakit saat aku melihat Kim Ha Ra menuju tempat parkir rumah sakit. Dia berjalan bersama Manager Hong. Apa yang mereka lakukan di sini? Ah itu bukan urusanku. Aku memasuki rumah sakit dan menuju kamar Henry. Sepertinya sebaiknya aku menjenguk Henry dulu. Namun aku menemukan kamar Henry kosong. Kemana dia? Apa dia sudah dibawa pulang? Tapi katanya dia harus satu minggu dirawat. Aku mencoba meneleponnya tapi tidak diangkat. Aku meninggalkan kamar Henry dan menuju resepsionis.
 “Permisi, pasien bernama Henry Lau, apa dia masih di rawat di sini?”
“Tunggu sebentar nona, aku periksa dulu,”
Aku mengangguk dan perawat itu mencari data di computer.
“Pasien Henry Lau, kamar 2007, sedang menjalani pemeriksaan bersama dokter, dia keluar beberapa saat yang lalu, mungkin akan makan waktu untuk pemeriksaan,”
“Oh, begitu ya, baiklah aku akan menunggu, khamsahamnida,”
“Ne,”
Aku berbalik dan duduk di ruang tunggu lobi. Aku mengirim pesan ke Sulli kalau aku di rumah sakit. Tapi dia tidak bisa datang karena harus mengikuti latihan cheerleader. Aku menghela nafas panjang. Haruskah aku menunggu disini sendirian begini? Akhirnya aku memutuskan untuk berjalan-jalan di taman rumah sakit. Aku duduk dibangku taman di dekat kolam air mancur. Taman rumah sakit ini cukup indah dan terawat. Berbagai macam bunga ditanam disini. Dan ada kolam air mancur ditengahnya. Beberapa pasien dan perawat sedang jalan-jalan dan beberapa orang sedang ngobrol. Aku duduk tanpa melakukan apa-apa. Dan saat itulah Dong Hae datang.
“Kenapa rajin sekali ke rumah sakit?”
“Dong Hae-ssi, kau masih di sini?”
“Kalaupun tidak ingin disini, aku harus tetap disini, apa yang kau lakukan?”
“Aku menjenguk Henry, tapi dia sedang menjalani pemeriksaan, jadi aku menunggu di sini sampai pemeriksaannya selesai,”
Dong He duduk di sampingku.
“Kupikir kau menjengukku”
“Kau ini masih saja selalu percaya diri,”
Dia hanya tersenyum.
“Kau sakit apa sebenarnya? Apa soal tenggorokanmu?”
“Aku tidak sakit, hanya menjalani serangkaian tes konyol yang menyebalkan,”
“Tapi sepertinya kau memang harus dites, sepertinya ada yang tidak beres dengan kepalamu itu,”
“Mwo? Dibandingkan dengan kau, kepalaku jauh lebih manusiawi, bagaimana bisa kau bilang tidak beres?”
“Jadi maksudmu kepalaku ini tidak manusiawi?”
“Aku tidak mengatakannya,”
“Mwo ya? Menyebalkan!”
Kenapa dia masih saja menyebalkan? Apa dia tidak sadar dia ini sedang dirumahsakitkan? Tapi entah aku masih belum bisa menjawab, aku lega mendengar dia terus saja mengejekku.
“Ya, wajahmu merah,” kata Dong Hae tiba-tiba.
“Itu karena aku marah,” aku mendengus kesal. Apa benar wajahku merah? Apa ada yang merebus telur disana?
“Bagaimana di sekolah?”
“Kami sangat sibuk di sekolah, kelas kita akan membuka stand jus buah saat pesta olahraga nanti, kita akan sangat sibuk, hari ini Hyuk Jae dan beberapa teman belanja untuk keperluan stand, kau juga harusnya membantu,”
“Bagaimana aku bisa membantu? Aku kan disini?’
“Jangan-jangan kau disini hanya beralasan untuk tidak membantu di kelas?”
“Kepalamu itu memang harus diperiksa, sepertinya ada yang nyangkut disana, bagaiman kau bisa berpikir aku hanya mencari alsan dengan tinggal disini?” dia mengetuk-ngetuk kepalaku dengan jarinya. Aku segera menepis tangannya.
“Mwo ya??” aku mengusap-usap kepalaku.
“Lalu bagimana dengan tim basket?”
“Tim basket bak-baik saja, kami masih terus berlatih, kau cepatlah kembali ke sekolah dan berlatih lagi, semua orang menanyakanmu,”
Dong Hae tidak menjawab. Dia hanya diam
‘Oh ya Dong Hae-ssi, umm..”
Dog Hae meatapku.
“Wae yo?”
“Apa kau merindukan ayahmu?”
Bukannya menjawab dia malah semakin menatapku dalam-dalam.
“Maksudku.. Aku pernah mendengar cerita tentang kau dan ayahmu, mianhae, aku hanya..”
“Itu bukan urusamu, kenapa kau suka sekali mengurusi urusanku?”
“Aku tidak bermaksud seperti itu, aku hanya.. aku kemarin bertemu dengan ayahmu,”
Dia menatapku lagi. Kenapa dia sering sekali menatapku? Dan setiap kali dia menatapku, kenapa jantungku terus menerus berdegup dengan sangat keras? Bagaimana kalau Dong Hae dengar?
“Kau bertemu ayahku? Dimana?”
“Di sekolah, dia mencarimu,”
“Apapun yang dia katakan, kau tidak usah percaya, tak perlu kau dengarkan omongan orangtua seperti itu,”
“Apanya yang seperti itu? Dia itu ayahmu, kenapa kau begitu padanya?”
“Orangtua yang menentang mimpi anaknya, apa bisa disebut orangtua?”
“Apapun yang dilakukan orangtua, tetap saja sampai kapanpun dia orang tuamu, sampai kapan kau akan terus memusuhi orangtuamu sendiri? Kau tahu, bermusuhan dengan orangtua itu sangat menyakitkan, semua hal menjadi sulit!”
“Kau tahu apa tentang perasaan seperti itu? Kau tidak akan pernah mengerti,”
“Kau yang tidak mengerti, aku sangat mengerti itu, bahkan kalau aku bisa memilih aku tidak ingin punya perasaan seperti itu!”
Dong Hae diam dan terkejut mendengar kata-kataku. Aku juga terkejut. Kenapa aku berteriak? Kenapa aku tiba-tiba emosi seperti ini? tapi aku memang tahu perasaan itu, aku sangat paham bagaimana mimpimu ditentang orang tua, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa.
“Mianhae, aku tidak bermaksud berteriak, mianhae,”
Aku menunduk. Kenapa aku malah bertindak seperti ini? Dong Hae masih belum mengatakan apa-apa. Untuk beberapa saat kami tidak mengatakan apa-apa. Aku juga tidak tahu harus bagaimana. Aku memang ceroboh memulai semua ini. seharusnya aku tadi tidak membicarakan ini.
“Mianhae, harusnya aku tidak membicarakan ini, semua salahku, aku hanya ingin kau memikirkan ini, bagaimanapun orangtua kita, mereka tetaplah orangtua yang telah membesarkan kita, tidak seharusnya kita menganggapnya musuh,”
Aku berdiri.
“Sekali lagi maaf, aku tidak bermaksud apa-apa, kau cepatlah sembuh, aku pulang dulu,” aku berjalan cepat meninggalkan Dong Hae.
Aku tidak ingin membuat suasana semakin kaku. Aku tidak menyangka akan mengatakan hal-hal yang aneh. Ada denganku ini? Pasti Dong Hae berpikir aku terlalu mencampuri urusannya. Sudahlah, aku tidak ingin memikirkan ini lagi.
***************************************************************
  Aku meraba-raba mencari ponselku. Siapa yang menelepon malam-malam begini? Apa dia drakula? Aku menemukan ponselku dibawah bantal. Tanpa melihat siapa yang menelepon aku mengangkat dan masih dengan mata tertutup.
“Yoboseyo? Nugu ya?”
“Ya, Ji Hyun-aa. Kata suster kau tadi kerumah sakit, tapi kenapa tidak bertemu aku?” Suara Henry terdengar sangat keras. Apa dia bicara di depan microphone?
“Ah, mian, aku tadi menunggumu, tapi kau sangat lama, jadi aku pulang saja,” jawabku seadanya.
“Padahal sebenarnya ada yang ingin kutunjukkan padamu, kau akan sangat terkejut kalau melihatnya,” suaranya terdengar sangat bersemangat sekali. Ada apa sebenarnya?
“Memangnya apa? Dokter tampan?”
“Ckckck.. Apa hanya dokter tampan yang ada di kepalamu? Tentu saja bukan, aku melihat Dong Hae di rumah sakit, dan menurut suster dia akan menjalani operasi,”
Kali ini aku benar-benar terbangun.
“Jjinjja?? Apa itu benar?”
“Benar kan kau terkejut, benar, dia akan operasi, tapi harus ada persetujuan dari pihak orangtua, dan anehnya dia menolak operasi saat mengetahui hal itu,”
“Mwo? Dia menolak? Wae?” sebenarnya aku tidak perlu bertanya, tentu saja aku tahu alasannya.
“Entahlah, padahal kata suster kalau dia tidak dioperasi dalam waktu dekat ini, sakitnya akan bertambah parah, sakit apa dia sebenarnya?”
“Jadi kau tidak tahu dia sakit apa?”
“Molla, suster itu sebenarnya tidak boleh menceritakan hal ini, saat menyadari dia bercerita terlalu banyak, dia langsung pergi dan memintaku untuk tidak menceritakan pada siapapun,” dia tertawa puas.
“Tapi kenapa kau menceritakan padaku? Kasihan suster itu, pasti kau mengatakan hal-hal aneh padanya” aku membayangkan Henry merayu suster itu dengan gayanya yang aneh itu. Sudah sangat sering dia melakukan hal itu. Dasar Henry.
“Ya, kau kan fansnya Dong Hae, kau wajib tahu, sudah ya, suster sudah berkali-kali melotot padaku menyuruhku tidur, dah Ji Hyun,”
Teleponpun mati. Apa yang baru saja kudengar? Apa semua itu benar? Dan sisa malam itu aku benar-benar tidak bisa tidur.
***************************************************************
Sepertinya ada sesuatu di wajahku. Hyuk Jae tak henti-hentinya menatapku.
“Ya, apa yang kau lihat??” aku merasa aneh dipandangi seperti itu.
“Apa yang terjadi dengan matamu? Kau terlihat seperti hantu. Hantu panda”
“Ya apa yang kau bicarakan?”
“Ya Ji Hyun-aa, hari ini kita akan latihan basket lagi, pertandingan tinggal 3 minggu lagi, aku benar-benar gugup dibuatnya, 3 minggu pasti sangat cepat,”
Aku diam. Pertandingan selalu mengingatkanku pada Appa. Saat itu Dong Hae masuk ke kelas. Aku terkejut bercampur senang melihatnya. Beberapa murid lain melihatnya, tapi mereka tidak terlalu memperdulikannya. Mataku terus mengikutinya sampai dia duduk di bangku belakangku.
“Ya, kau sudah kembali? Kau baik-baik saja kan?”
“Seperti yang kau lihat,”
“Huh, dingin seklai,” kata Hyuk Jae.
“Geurom!! Ini kan musim gugur, hampir musim dingin sih,” timpalku.
Apa dia masih marah karena kata-kataku kemarin? Lalu apa hasil tesnya? Aku sangat penasaran sekali. Apa dia masih belum mau dioperasi? Apa sih sebenarnya yang dia mau? Apa susahnya meminta ayahnya untuk menandatangani surat operasi? Dia benar-benar keras kepala. Pikiran-pikiran it uterus saja memenuhi kepalaku selama pelajaran berlangsung. Penjelasan Bu Guru Lee seperti angin lalu buatkuu, masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Bahkan sampai waktu latihan basket pun aku masih terus memikirkan hal-hal itu.
“Ya, Ji Hyun-aa?!!!??? Apa selamanya kau akan berlatih seperti itu??” Lagi-lagi Pelatih Kim berteriak padaku.
“Jeoseonghamnida Pelatih, aku tidak akan mengulanginya lagi,”
“Sebaiknya kali ini kau berkata yang sesungguhnya,” sepertinya PElatih Kim serius kali ini.
Akupun mencoba untuk berkonsentrasi berlatih. Aku coba mengusir pikiran-pikiran itu dari kepalaku. Dan sedikit berhasil walaupun lemparanku masih sering meleset. Paling tidak Pelatih Kim tidak lagi berteriak-teriak padaku. Latihan kali ini cukup memuaskan kata Pelatih Kim. Kalau kami terus menerus seperti ini dan bisa lebih baik lagi, kami akan siap untuk menghadapi pertandingan nanti. Setelah lebih dari dua jam, latihanpun selesai. Aku duduk di pinggir lapangan dengan keringat membasahi tubuhku. Nafasku naik turun tak beraturan.
“Kau melakukan yang terbaik hari ini,” kata Hye Ri.
Aku hanya mengangguk. Aku tak sanggup untuk bicara saat ini. Benar-benar sangat lelah, sepertinya semua tenagaku terkuras habis. Aku meneguk minumanku. Sepertinya aku ingin berendam di air panas.
“Ayo kembali,” ajak Hye Ri.
Aku lagi-lagi hanya mengangguk. Kami berdiri dan berjalan ke ruang loker untuk berganti seragam, aku tak mungkin keluar dengan baju olahraga yang basah oleh keringat. Namun saat membuka pintu lokerku, aku terkejut stengah mati. Seragamku basah kuyub. Air menetes-netes dari ujung seragamku. Siapa yang melakukan ini?
“Ya, mwo ya?” tanya Hye Ri.
“Ah aniyo, sepertinya aku akan memakai baju ini saja, sekalian saja bajuku kotor,” jawabaku mencari alasan.
“Tapi kan baju mu ini basah oleh keringat, apa nyaman pakai baju seperti itu?” Hye Ri mengerutkan keningnya.
“Ne. Gwaenchana, pallee kaja!”
Aku menarik Hye Ri untuk meninggalkan ruang loker. Apa lagi ini? siapa yang melakukannya? Apa seseorang dendam padaku? Tapi kalau kupikir-pikir aku tdak pernah menyakiti orang lain. Aku mandi dan berganti pakaian. Ah segar sekali. Aku masih mengeringkan rambutku saat ponselku berbunyi.
Ayo bertemu. Di gedung tambahan. Di ruang seni. Sekarang.
Lee Dong Hae
Aku terbelalak melihat pengirimnya. Apa ini benar Dong Hae? Selama ini aku tidak punya nomor ponselnya. Aku ragu untuk beberapa saat, tapi kupikir ini memang dia. Kira-kira apa yang ingin dia bicarakan ya? Apa tentang waktu itu? Aku melempar handukku ke tempat tidurku dan menyisir rambutku apa adanya lalu keluar dari kamar. Diluar sudah gelap. Namun beberapa murid masih melakukan berbagai aktifitas. Aku pergi kearah belakang sekolah dimana gedung tambahan berada. Kabarnya gedung ini akan dirobohkan karena jarang dipakai dan akan dibangun gedung baru.
Aku sampai di depan gedung. Tiba-tiba ponselku bordering. Ada pesan dari Hyuk Jae.
Ya, ayo makan malam. Ibuku mengirimku makanan enak. Ketemu di lapangan sepak bola.
Aku membalasnya.
Mian. Aku ada di gedung tambahan sekarang, aku ada urusan.
Saat itu baterei ponselku habis dan ponselku mati. Kenapa disaat seperti ini? Aku memasukkan ponselku ke saku baju dan menuju pintu masuk gedung tambahan. Ada beberapa tempelan yang berisi larangan untuk masuk. Aku sempat ragu, tapi saat ku dorong pintu kaca dan terbuka, aku memutuskan untuk masuk. Di dalam cukup gelap. Hanya beberapa lampu bohlam yang menyala. Aku mencari ruang seni. Ada di latai 2. Aku segera naik dan melihat ruang seni ada di sebelah tangga. Aku membuka pintu dan masuk ke sana.
“Ya, Dong Hae-ssi, aku sudah datang, apa yang ingin kau bicarakan?” aku celingukan mencari Dong HAe. Sepertinya dia belum datang.
Tapi apa yang terjadi kemudian sangat mengejutkan. Kejadiannya sangat cepat. Pintu di belakangku tiba-tiba tertutup dan lampu ruangan itu mati. Ya, mwo ya??? Apa ini gurauan? Karena ini menurutku sangat tidak lucu. Dan yang lebih buruk lagi, aku phobia pada kegelapan. Aku segera berbalik dan berlari ke pintu. Aku sempat menabrak dan menginjak beberapa barang di sana. Aku menggedor-gedor pintu dan beteriak memanggil bantuan.
“Ya!!!!! Ada orang disana? Dowajuseyo!!! Aku terkunci disini, siapa saja, tolong buka pintunya!!!”
Ini buruk. Ini sangat buruk. Aku tidak tahu harus melakukan apa. Aku terus menggedor-gedor pintu dan memanggil-manggil siapapun. Aku mengambil ponselku dan baru kuingat kalau baterei ponselku habis. Pikiranku semakin kalut. Aku harus bagaimana? Aku tidak bisa melihat apapun dalam ruangan segelap ini. aku terus menggedor-gedor pintu dan berusaha untuk membukanya. Aku meraba-raba dan mencari apapun yang bisa kugunakan untuk membuka pintu. Tapi tak kutemukan apapun. Malahan tiba-tiba sebuah balok kayu jatuh dan menimpa kakiku. Aku berteriak kesakitan. Aku hampir menangis sekarang. Siapa yang melakukan ini? Jahat sekali. Akhirnya, aku hanya duduk bersandar di depan pintu dan menangis. Aku terus menangis dan menangis. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Entah berapa lama aku disini. Sepertinya sangat lama sampai seseorang menggedor-gedor pintu dan memanggil-manggil namaku.
“Ya!! Ji Hyun-aa!! Apa kau di dalam?? Ya Ji hyun-aa, jawab aku!!”
Siapa itu?? Tapi siapapun itu, aku bangun dan menggedor pintu dari dalam.
“Ne, ini aku, keluarkan aku dari sini,” sepertinya suaraku hampir hilang.
Terdengar pintu yang didorong beberapa kali dari luar. Kemudian terdengar pintu yang dipukul-pukul dengan benda yang keras. Dan entah keajaiban apa yang ada dihadapanku sekarang, tapi pintu terbuka dan kulihat Dong Hae berdiri disana, terengah-engah sambil memegang sebuah pemukul baseball. Dan tanpa pikir panjang aku berlari kearahnya da memeluknya. Aku menangis sesenggukan dalam pelukannya.
“Ya, Ji Hyun-aa, gwaenchana?” suara terdengar bergetar.
Aku menangguk. Tapi badanku terus menerus gemetaran. Segala sesuatu yang baru saja terjadi terlihat sangat menakutkan. Pelan-pelan, tangan Dong Hae membelai rambutku pelan. Dan saat itulah aku merasa terlindungi, perasaan takutku perlahan-lahan hilang.
“Bagaimana kau tahu aku disini?”
Kami berdua duduk di depan ruang seni. Aku sangat lemas untuk berjalan. Maka kami memutuskan untuk duduk sejenak.
“Hyuk Jae kembali ke kamar dengan makanan yang utuh. Sebelumnya dia bilang akan makan denganmu, tapi kau tidak bisa karena kau pergi kesini. Saat itu tidak ada hal yang aneh. Tapi dua jam kemudian, ponsel Hyuk Jae bunyi. Dia mendapat telepon dari Hye Ri. Karena Hyuk Jae sudah tidur aku yang mengangkatnya. Hye Ri bilang kau belum kembali ke kamarmu. Dia berkali-kali ke kamarmu dan menghubungimu, tapi katanya kau susah sekali dihubungi. Ponselmu bahkan tidak aktif. Dia memintaku untuk mencarimu, lalu aku teringat kau yang pergi ke gedung tambahan. Saat aku sampai disini, pintu depan terkunci, aku harus memecahkan kaca untuk bisa masuk. Dan begitulah, aku menemukanmu hampir mati disini,” dia menatapku. “Ya, kau ini mikir apa sih? Kenapa malam-malam kesini?” tiba-tiba dia berteriak.
Aku diam beberapa saat. Jadi bukan Dong Hae yang memanggilku kemari?
“Geureso… Kau tidak ingin bertemu denganku?”
“Apa lagi yang kau bicarakan?”
“Aku kesini.. aku kesini karena kau yang memintaku, kau ingin membicarakan sesuatu, jadi aku kesini,” aku ingin menunjukkan pesannya, tapi ponselku mati.
“Ya, babo ya?? Siapa yang memintamu kesini?”
“geurende, tadi aku mendapat pesan darimu, makanya aku kesini,”
“Pesan apa?  Nomor ponselmu saja aku tidak tahu,” dia mendengus kesal.
“Jadi siapa yang mengirimku pesan?”
“Molla, sekarang kembalilah ke kamarmu, kau terlihat sangat menyedihkan,”
Aku hanya mengangguk. Namun saat kucoba berdiri, kakiku terasa sangat nyeri. Aku teringat kakiku yang tertimpa balok tadi. Tulangnya sepertinya tidak apa-apa, tapi ada luka goressan cukup panjang di kakiku dan mengeluarkan darah. Darah sudah mengalir hingga mata kaki dan masuk ke dalam sepatuku. Perih sekali. Tadi tidak terasa karena aku terlalu takut, tapi sekarang terasa perih sekali. Aku mencoba untuk berdiri lagi tapi terasa semakin perih. Sepertinya tidak mungkin untukku berjalan.
“Wae yo?” tanya Dong Hae.
Aku menunjukkan kakiku yang berdarah. Dia menatapku untuk beberapa saat. Tiba-tiba dia jongkok di depanku.
“Naik,” katanya.
“Ne???”
“Kubilang, naiklah, kau tidak akan bisa berjalan dengan luka dikakimu itu,”
Aku diam untuk beberapa saat dan pelan-pelan melingkarkan tanganku dileher Dong Hae dan naik ke punggungnya. Dia berdiri dan menggendongku keluar dari gedung tambahan. Dia berjalan pelan menyusuri jalan setapak menuju gedung utama.
“Ya, aku berat kan?”
“Geure, kau sangat berat, kau makan apa sih bisa sampai berat begini?”
“Aku akan turun kalau begitu,”
“Apa kau mau merangkak sampai kamarmu?”
Aku hanya nyengir mendengar kata-katanya.
“Ya, Dong Hae-ssi, kadang-kadang aku penasaran, bagaimana perasaanmu saat kau bernyanyi?”
Bukannya menjawab Dong Hae malah diam.
“Apa aku mengatakan hal yang salah lagi?”
“Ani, aku hanya teringat ayahku pernah bertanya hal yang sama, dia bertanya apa aku senang saat bernyanyi, belum sempat aku menjawab, dia mengatakan aku hanya main-main dengan menjadi pemain,” dia diam lagi. “tapi dia salah, saat bernyanyi, aku seperti menyentuh langit, dan dia tidak akan pernah mengerti itu,”
Aku menatapnya dari belakang.
“Mianhae, aku berkata yang aneh-aneh lagi,”
“Geure, kau selalu saja bodoh seperti biasanya,”
“Mwo??”
Akhirnya kami sampai di halaman sekolah. Dia berhenti sebentar dan menaikkan posisiku.
“Aku tidak mungkin mengantarmu sampai kamar, kuantar saja kau ke klinik, hyung mungkin masih ada di sana,”
Aku hanya mengangguk. Lagipula sepertinya memang kakiku harus mendapat pertolongan, sekarang rasanya seperti terbakar. Dan dia membawaku kesana. Dokter Ji Hoon memang masih ada disana. Dia hampir saja pergi saat kami dengan wajah meringis masuk ke ruangan klinik.
“Ya, apa-apaan kalian ini??” dia sudah bersiap akan pergi. Dia bahkan sudah membawa tasnya.
Dong Hae membawaku masuk dan menurunkanku di salah satu tempat tidur.
“Aku menemukannya hampir kehabisan darah , sepertinya dia jatuh dari pohon atau semacamnya, benar-benar ceroboh,” Dong Hae duduk di kursi di depan meja Dokter Ji Hoon.
Dong Hae tidak mengatakan yang sebenarnya. Tentu saja tidak mungkin mengatakan kalau seseorang mengurungku di ruang seni. Lagi pula kami akan kena kena marah besar karena memasuki gedung tambahan. Dokter Ji Hoon meletakkan tasnya lagi dan memeriksa keadaan kakiku.
“Kau ini, selalu saja terluka, kau mudah sekali mendapatkan luka. Lukamu cukup dalam, tapi tidak parah, hanya tergores benda tajam, akan kubersihkan dan kuberi obat lalu kuperban,”
Aku meringis kesakitan saat Dokter Ji Hoon membersihkan dan mengobati lukaku. Beberapa saat kemudian lukaku selesai diobati dan kami mengucapkan terimakasih pada Dokter Ji Hoon lalu kami pamit. Aku sudah bisa berjalan pelan-pelan setelahnya. Dong Hae mengantarku hingga gerbang asrama perempuan.
“Pergilah dan beristirahatlah, sepertinya kau bisa tumbang kapanpun,”
Aku mengangguk pelan dan tersenyum.
“Gomawoyo, entah apa yang akan terjadi kalau tidak datang, jeongmal gomawoyo,”
Dia hanya diam dan mengulurkan ponselnya.
“Mwo?”
“Berikan nomormu,”
“Oh, baiklah,”
Aku menerima ponselnya dan memberikan nomorku padanya.
 “Jangan sampai salah orang lagi, aku pergi,”
Dia berbalik dan meninggalkanku dengan jantungku yang berdegup sangat kencang. Sepertinya jantungku akhir-akhir ini jantungku tidak berdegup pada tempatnya.
****************************************************************
“Ya, Ji hyun-aa, gwaenchana? Semalamn kau tidak bisa dihubungi, apa yang terjadi? Bagaimana kau dapat luka di kakimu itu?” Hye Ri sampai datang ke kelasku pagi ini dan menanyaiku macam-macam.
“Geokjeonghajima, gwaenchana, semalam aku hanya jalan-jalan dan ponselku mati, lalu aku tersandung dan jatuh, itu saja,” aku beralasan untuk tidak mengatakan bahwa aku dikurung.
“Syukurlah, aku lega kau baik-baik saja, lain kali jangan diulangi lagi ya, aku akan kembali ke kelasku, sampai nanti,”
“Ne, sampai nanti,”
Hye Ri pergi meninggalkan kelasku. Kemudian aku memikirkan kejadian-kejadian yang menimpaku. Saat camp latihan, seseorang menendang kakiku, seragamku ada yang membuatnya basah, dan kali ini aku bahkan dikurung. Siapa yang melakukan semua ini? Apa yang kulakukan sampai ada orang yang melakukan ini semua? Apa ada orang yang dendam padaku? Tapi aku ka tidak pernah menyakiti orang lain. Apa aku tanpa sengaja menyakiti perasaan orang lain? Aku masih terus memikirkan kemungkinan saat Hyuj Jae  memukul kepalaku. Aku mengaduh pelan. Lamunanku buyar seketika.
“Ya, apa hidupmu habis untuk melamun?” tanya sambil mengeluarkan beberapa buku dari dalam tas.
“Kau ini bicara apa?” aku mengalihkan pandangan dan mencoret-coret bukuku.
Saat itu Dong Hae masuk ke kelas. Dia hanya melewatiku tanpa mengatakan apa-apa dan duduk di bangkunya. Aku menoleh padanya sekilas, tapi dia sibuk dengan bukunya. Kenapa dia cepat sekali berubah? Bu Guru Lee masuk sambil membawa sebuah tas.
“Annyeonghaseyo,” sapanya.
“Annyeonghaseyo, songsengnim,” jawab kami serempak.
“Bagaimana kabar kalian hari ini?”
“Baik!!!!” sepertinya kami harus ikut paduan suara.
“Hari ini, Ibu membawa kabar gembira untuk kalian, ibu akan membagikan undangan untuk orangtua kalian agar datang ke acara pesta olahraga, kalian harus memberikan undangan ini pada orangtua kalian, dan pastikan orangtua kalian datang dan menyaksikan kalian, araji??”
“Araseo, sengnim,” jawab kami serempak.
Hanya aku yang tidak menjawab. Sebaliknya aku sangat terkejut kalau hari ini kami akan mendapatkan undangan untuk orangtua. Bagaimana ini? Itu artinya aku harus menemui Appa untuk memberikan undangan ini. Bu Guru Lee mulai membagikan undangan sesuai dengan nama kami. Saat aku menerima undangan tersebut aku hanya bisa menatap undangan itu. Apa yang harus kulakukan? Aku menoleh dan melihat Hyuk Jae sangat senang melihat undangan itu. Lalu aku menoleh ke belakang, kulihat Dong Hae sibuk menulis dibukunya, undangannya hanya tergeletak di atas meja. Sepertinya Dong Hae bahkan tak menyentuhnya.
Setelah membagikan undangan itu, kami memulai pelajaran seperti biasa dan seperti biasa pula aku tidak konsentrasi pada pelajaran. Mataku hanya tertuju pada undangan di atas mejaku.
*****************************************************************
Dan disinilah aku. Entah apa yang kupikirkan. Entah bagaimana dengan tanpa sadar aku sampai disini. Di depan pintu rumahku. Dan aku sudah berdiri disini kurang lebih setengah jam. Aku tidak mengentuk pintu atau membunyikan bel sampai pintu tiba-tiba terbuka dan eomma muncul dari dalam rumah. Eomma terbelalak melihatku.
“Ji Hyun-aa!!!”
“Eomma!”
Eomma keluar dari pintu depan dan memelukku. Aku balas memeluk eomma.
“Ya, kenapa kau baru pulang sekarang, kau tahu aku sangat rindu padamu,”
“Nado, eomma,”
Eomma melepas pelukannya dan memandangku dari atas sampai bawah.
“Apa kau sehat? Sepertinya kau tambah kurus. Ya, kakimu kenapa? Kenapa dibebat seperti iytu?”
“Eomma, naneun gwaenchana, jeongmal,”
Eomma menatap sebentar.
“Ya, kenapa kau diam saja seperti manusia yang diawetkan? Ayo pallee deurowa,”
Eomma menarikku masuk dan menyuruhku duduk di ruang tamu. Sementara dia ke dapur. Aku clingukan melihat isi rumah. Tepatnya aku mencari Appa.
“Eomma, kemana Appa?”
“Tentu saja ayahmu itu bekerja,”
“Oh,”
Sepertinya ini kesempatanku. Kuberikan saja undangannya pada eomma dan segera pergi. Pasti Appa akan marah nanti, tapi paling tidak aku tidak akan bertemu dengannya. Aku baru saja berdiri dan akan mengahmpiri eomma di dapur saat pintu dibuka dan appa masuk. Mwo??? Kenapa begini??
“Ah, yobo, kau sudah pulang, lihatlah, Ji Hyun juga pulang, menyenangkan sekali kan?”
Appa menoleh ke arahku dan tatapannya berubah menjadi tajam. Aku hanya menunduk. Aku tak berani menatap appa. Eomma kembali ke dapur dan appa menghampiriku.
“Apa kau pulang karena sesuatu?”
“Apa maksud Appa?”
“Sudahlah, berikan undangan itu, tapi perlu kau ketahui, aku tidak akan datang ke acara itu, selama kau tidak mengundurkan diri dari tim basket itu,”
“Tapi..”
“Cepat berikan, dan terserah kau mau melakuka apa,”
Dari mana appa tahu? Dan kenapa appa masih saja maah aku mengambil undangan dari dalam tasku dan menyerahkannya pada appa. Appa mengambilnya dan pergi ke ruang kerjanya begitu saja.
“Appa..”

To be continued...

0 komentar:

Posting Komentar

 

Popo.. The Kite Runner Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea