Minggu, 24 Februari 2013

A Man in Love (Part 1)

Diposting oleh Popo... The Kite Runner di 16.04

Pengen bikin cerita aja... Tapi lum ada ide gimana-gimana ntar nya.. Yang penting ini awalannya, hope you enjoy it.. ^^


Prolog…

Sebuah kenangan…

Sebuah gedung berhiaskan berbagai macam bunga. Rangkaian bunga berisi ucapan selamat berbahagia menghiasi bagian depan gedung itu. Tamu-tamu keluar masuk silih berganti. Empat orang orang tua tersenyum bahagia menyambut para tamu yang memberi mereka ucapan selamat. Sementara di dalam hall, di ujung ruangan, dua mempelai pria dan wanita tenggelam dalam kebahagiaan. Para tamu silih berganti memberi mereka selamat. Beberapa teman dekat sempat mengajak mereka mengobrol untuk beberapa saat sebelum meninggalkan kedua mempelai dan menikmati hidangan yang tersedia.
Para tamu yang sebagian besar adalah para pengusaha dan pemilik perusahaan ternama dari seluruh negeri, menikmati acara dengan penuh keceriaan. Mereka saling berbincang satu sama lain tentang berbagai hal sambil menikmati sajian yang begitu mewah. Dekorasi yang mewah dan suasana pesta yang elegan begitu indah dalam cahaya lampu yang terang dan hangat. Pernikahan ini adalah sebuah pernikahan yang besar karena melibatkan dua perusahaan besar dan ternama di negeri ini. Tentu saja dua mempelai, kedua keluarga, dan seluruh tamu undangan hanyut dalam kebahagiaan yang megah dan berlimpah.
Namun, tidak semua orang merasakan kebahagiaan malam itu. Dia berdiri di sana. Di balik tirai yang memisahkan antara ruang persiapan dan tempat acara. Seorang dengan pakaian pelayan. Berdiri menatap kedua mempelai yang sedang berbahagia dengan senyum kepahitan.  Hatinya pasti sakit sekali. Tapi harus bagaimana lagi, orang yang dicintainya dengan sepenuh hati berdiri di sana bersama orang lain, tanpa dia sadari bahwa sang mempelai wanita pun menatapnya penuh kepiluan..
Tiga tahun kemudian…
Sebuah mobil memasuki rumah megah dengan pekarangan yang luas itu. Penjaga pintu membungkuk sesaat saat mobil melewati gerbang yang sangat tinggi itu. Rumah itu sangat besar, mungkin bisa menampung beberapa ratus orang, sampai rumah itu hanya dihuni lima orang dengan beberapa pembantu dan sopir serta para penjaga. Cucu keluarga kaya itu baru berusia satu tahun. Dan kemarin sang menantu baru saja menerima jabatan direktur menggantikan sang mertua. Kepala keluarga itu memang sudah terlalu tua untuk menjabat sebagai direktur perusahaan sebesar itu. Makanya setelah istrinya meninggal beberapa bulan, sang kepala keluargapun akhirnya menyusul istrinya.
Maka tinggallah empat orang di dalam rumah itu. Sang anak perempuan, sang menantu, sang anak, dan adik sang menantu. Mereka hidup dalam kebahagiaan. Anak laki-laki mereka tumbuh dengan sangat sehat dan aktif. Cukup pintar untuk anak seusianya. Dia sudah bisa berjalan dan sedikit berbicara. Sang ayah sangat bangga pada anaknya dan juga sangat menyayangi anaknya. Istrinya juga sangat baik. Dia sangat menyayangi suami dan anaknya. Dia adalah istri yang satia, patuh da menjadi ibu yang baik untuk putranya. Dia ramah terhadap siapa saja, terhadap tetangga sekitar, kepada para pembantu, dan dia teramat sangat baik terhadap seorang pelayan.
Hampir setiap hari sang istri menyempatkan diri untuk minum teh sambil mengobrol akrab dengan pelayan itu. Mereka sering melakukan itu saat sang suami masih berada di kantornya.
“Ya, Jung Jin-ssi, kenapa teh ini sangat enak?” tanya sang istri pada suatu pembicaraan di suatu sore yang sejuk di musim semi.
“Teh ini dipetik dengan tangan oleh para pemetik teh handal, semuanya diramu dan diproses dengan menggunakan cara tradisional dan dilakukan dengan dedikasi yang tinggi oleh para pembuat teh di negeri ini, itulah yang membuat kenapa teh ini sangat nikmat, Nyonya,” jelas sang pelayan.
Nyonya itu hanya mengangguk-angguk sambil menyesap pelan teh nya.
Di sebuah sore yang lain, sang pelayan dan nyonya rumah itu berada di taman belakang yang indah, mereka sedang menanam beberapa bunga chamomile. Sang nyonya terlihat sangat bahagia menatap bunga-bunga berwarna ungu itu. Sementara sang pelayan dengan sigap menanam setiap tangkai chamomile itu.
“Bunga ini akan sangat indah bila kutaruh di kamarku, aku suka wanginya, membawa ketenangan,” kata sang nyonya.
Tiba-tiba seorang anak kecil berlari menghampirinya.
“Lee joon-aa, kau sudah bangun?” sang nyonya memeluk anak kecil itu dan membelai lembut rambut anaknya.
Sang pelayan hanya menunduk sambil terus memasukkan tanah dalam pot berisi bunga chamomile. Dia hanya berpikir, seharusnya dia juga ikut membelai anak dalam pelukan sang nyonya.
Saat sore yang indah, sang nyonya dan sang pelayan duduk di taman memandang tangkai-tangkai chamomile yang sedang kuncup. Angin yang berhembus pelan, menggoyangkan kuncup-kuncup bunga chamomile itu.
“Jung Jin-ssi, kenapa kau tidak menikah?” tanya sang nyonya sambil menghirup aroma tehnya.
Sang pelayan terdiam. Hanya menunduk. Tak berani menatap wajah sang nyonya. Dia hanya takut kalau dia menatapa wajah wanita yang telah membuatnya bermimpi tentang cinta, tapi di saat bersamaan dia harus mengubur rasa cintanya, dia takut rasa yang telah dikuburnya dalam-dalam akan menyeruak ke permukaan, dan itu akan menjadi masalah yang besar.
“Saya hanya mencintai satu wanita, Nyonya, dan dia telah pergi berpaling dari saya, saya sudah tidak punya rasa cinta untuk diberikan kepada wanita manapun,” kata sang pelayan pelan.
Air muka sang nyonya berubah menjadi kesedihan saat mendengar jawaban sang pelayan. Mereka hanya diam tanpa mengatakan apapun selama beberapa saat. Mereka hanya menatap rumpun chamomile dalam diam sampai terdengar suara mobil dari kejauhan.
Beberapa bulan kemudian…
“Tuan.. Nyonya.. Saya ingin mengatakan sesuatu,” kata sang pelaan suatu ketika.
“Tak usah sungkan Jung Jin, katakan saja,” kata sang tuan.
“Kerabat jauh saya mengalami kecelakaan, keduanya tak tertolong lagi, mereka meninggalkan seorang anak laki-laki, saya ingin meminta izin, bolehkah saya mengasuhnya di sini?” pinta sang pelayan.
“Apa kau harus minta izin dariku? Kau adalah pelayan keluarga kami yang paling setia, kau sudah kuanggap keluarga sendiri, tentu saja rawatlah anak itu,” kata sang tuan berbaik hati.
“Ah, khamsahamnida,” kata sang pelayan.
Lalu hadirlah seorag anak lelaki berusia tiga tahun di rumah itu. Kedatangannya membawa keceriaan baru bagi beberapa penghuni rumah itu, termasuk sang nyonya. Sepertinya, sang nyonya lebih sering menghabiskan waktu dengan anak yang dibawa oleh sang pelayan itu. Sang nyonya masih tetap menyayangi putranya, bahkan sangat menyayanginya, tapi putranya itu lebih sering bersama sang ayah, belajar menjadi pewaris tahta, sehingga perhatian sang nyonya terlampiaskan ke anak itu.
“Kau sungguh lucu, Yunho-aa, kau ingin jadi apa saat besar nanti?” tanya sang nyonya pada suatu sore di taman chamomile.
Sekarang waktu minum tehnya tak hanya ditemani oleh sang pelayan yang setia, sekarang betambah satu teman minum tehnya, seorang anak kecil yang selalu tertawa senang saat melihat sang paman yang melakuka kesalahan karena harus menghadapi sang nyonya. Mungkin sang nyonya tak bisa melihat, tapi si anak kecil bisa melihat sikap gugup sang paman yang selalu muncul bila berhadapan dengan sang nyonya.
 “Aku ingin jadi pilot, aku ingin terbang seperti burung,” kata anak kecil itu dengan polosnya.
Sang nyonya tertawa kecil mendengar jawaban si anak kecil. Sang pelayan hanya tersenyum mendengarnya. Sementara dari pitu ruang tengah, sang tuan menatap kosong pemandangan di taman chamomile itu. Sepertinya dia bisa membaca sesuatu.
Mulai saat itu, setiap sore tak pernah menjadi hari yang sama. Setiap sore sang nyonya harus menjemput sang tuan di kantornya. Entah kenapa tiba-tiba sang tuan bersikap seperti itu. Sang nyonya tidak tahu kalau sang tuan hanya ingin menjauhkan sang istri dengan sang pelayan. Tapi sang nyonya hanya menurut saja. Setiap sore dia bersama sang supir akan pergi ke kantor suaminya dan menjemputnya. Sang pelayan dan si anak kecil masih tetap setia merawat lading chamomile. Mereka sudah terbiasa, sehingga walaupun tanpa sang nyonya mereka tetap merawat ladang itu. Mulai saat itu pula acara minum teh di kala sore tak akan pernah ada lagi untuk selamanya. Sang pelayan bahkan tak penah bertemu dengan sang nyonya. Sang nyonya tiba-tiba menjadi sangat sibuk dan sering keluar rumah. Tapi sang pelayan tetap saja setia melayani keluarga itu dengan sepenuh hati.
Suatu sore, sang tuan dan sang nyonya sedang dalam perjalanan pulang ke rumah. Hujan turun dengan sangat derasnya. Ini hampir musim dingin, hujan turun hampir setiap hari. Terkadang hujan membawa sebuah nasib untuk beberapa manusia. Saat itu sang tuan dan sang nyonya harus menemui nasib yang kurang baik. Hujan membawanya pada sebuah kecelakaan. Sang tuan mengalami luka yang sangat parah yang menyebabkan cacat di kakinya, sementara sang istri harus rela menerima nasib yang lebih buruk, nyawanya tak tertolong..
Seisi rumah diselimuti kesedihan yang mendalam. Kehilangan istri, ibu, dan nyonya yang selalu membawa kebahagiaan untuk mereka, meninggalkan luka yang sangat dalam. Sang kepala pelayan yang setia hanya terdiam, namun di dalam hatinya dia menangis begitu kerasnya, dia merasa sesuatu yang berharga telah hilang dari dirinya, bahkan sebelum dia sempat mengutarakan semuanya…
**********************************************************************
Lima belas tahun kemudian…
Rumah itu memang sedikit berubah setelah sepeninggalan sang nyonya. Tuan Lee, sang tuan, mengalami luka parah di kaki kanannya. Tidak harus membuatnya diamputasi, tapi cukup untuk membuatnya menggunakan tongkat selama sisa hidupnya. Dia terus menjalankan bisnisnya dan tahun berganti tahun, bisnisnya semakin sukses saja. Jung Jin, sang pelayan masih tetap menjadi pelayan yang setia dan tetap melayani keluarga Lee dengan dedikasi tinggi.
Namun kehidupan tetap berjalan seperti pada biasanya. Keceriaan kembali muncul karena Yunho, sang anak yang diasuh pelayan Jung Jin selalu menebar kebahagiaan di seluruh rumah. Dia selalu menghibur para pelayan lainnya, menemani Lee Joon, sang putra, bermain dan belajar, dan juga sesekali mendengarkan rencana-rencana bisnis Tuan Lee. Yunho sangat pintar dan cerdas. Dia juga sangat baik hati. Dia selalu menjadi juara di kelasnya dan sering ditunjuk untuk mengikuti perlombaan di sekolahnya. Sekarang, dia akan menempuh ujian kelulusan SMA, semua orang sangat mengharapkan Yunho bisa lulus dengan nilai terbaik dan masuk ke  universitas unggulan. Tapi bukankah dia hanya anak asuh seorang kepala pelayan?
Lee Joon sedikit berbeda, dia tumbuh menjadi remaja yang sedikit bandel, mungkin dia tak sepintar Yunho, tapi dia selalu masuk lima besar di kelasnya. Mungkin karena terlalu dimanja sang ayah, dan kurangnya kasih sayang dari ibu, dia menjadi sedikit suka memberontak. Dia sering telat ke sekolah, dia kadang dihukum karena tidur di kelas, walau begitu dia tidak pernah melakukan kesalahan yang berat. Lee Joon bersekolah di sebuah sekolah elit dengan reputasi yang sangat baik, dan walaupun dia anak seorang pengusaha dan bersekolah di sebuah sekolah mentereng, tetap saja dia harus mengikuti ujian agar bisa lulus.
Suatu hari, Lee Joon sedang memainkan PSP nya di taman belakang. Sementara Yunho dengan hati-hati merawat taman chamomile. Beberapa bulan setelah sang nyonya meninggal, taman itu dirawat oleh Yunho, Pelayan Jung Jin tak pernah sedikitpun menyentuh kembali bunga-bunga itu.
“Apa kau akan melanjutkan sekolah?” tanya Lee Joon di sela permainannya.
“Entahlah Tuan Muda, aku belum memikirkan itu.” Jawab Yunho pelan.
“Ya, bagaimana bisa kau tidak memikirkan itu? Ujian sebentar lagi dan kau sudah harus mempersiapakan dirimu mengikuti ujian masuk, aku saja sudah mendaftar,” kata Lee Joon sambil mendekati Yunho.
“Entahlah, aku akan minta saran Paman Jung Jin dulu,” kata Yunho sambil terus memotong dun-daun chamomile yang mengering.
 “Pikirkanlah baik-baik,” kata Lee Joon menepuk pundak Yunho.
Yunho mengangguk pelan.
“Ya, apa kau begitu suka dengan bunga-bunga ini? Kau seperti perempuan saja,” kata Lee Joon sambil kembali  ke tempat duduknya dan memainkan PSP nya lagi.
“Sayang kalau membiarkannya,” kata Yunho.
Saat itulah seorang yeoja datang menghampiri mereka.
“Annyeonghaseyo,” sapanya ramah.
“Oh, Chae Rin, apa kau datang bersama ayahmu?” tanya Lee Joon senang.
“Ne, appa memaksaku ikut, oh dia siapa?” tanya Chae Rin saat melihat Yunho.
“Dia anak Paman Jung Jin, Yunho,” jawab Lee Joon.
“Annyeonghasyo Yunho-ssi,” sapa Chae Rin ramah.
“Annyeonghaseyo Nona,” sapa Yunho sambil membungkuk.
Lee Joon dan Chae Rin ngobrol dan terlibat dalam obrolan yang seru. Sementara itu Yunho sesekali mencuri pandang menatap Chae Rin yang tertawa riang. Semakin Yunho melihat tawa Chae Rin, semakin dia kagum dengan kecantikannya. Yunho melarang dirinya untuk melakukan sesuatu yang lebih jauh, tapi hatinya berkata lain, sejak saat itu seiring angin berhembus membawa wangi chamomile, melihat tawa Chae Rin, Yunho telah jatuh cinta.. 

to be continued....

0 komentar:

Posting Komentar

 

Popo.. The Kite Runner Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea