Jumat, 25 Januari 2013

In My Dream (Part 7)

Diposting oleh Popo... The Kite Runner di 19.17

Ayah Ji Hyun datang, apa yang akan terjadi? Here In My Dream Part 7...
Enjoy...


“Appa, kau datang?” tanyaku pelan.
“Aku mengirimmu kesini bukan untuk memberimu kesempatan membunuh dirimu sendiri, aku mengirimmu kesini untuk belajar!” tiba- tiba appa berkata seperti itu.
“Apa maksudmu?”
“Kau dari mana? Kenapa kau tidak ada di kelas yang seharusnya kau ikuti?”
“Aku.. aku, kami ada acara di luar sekolah appa, ada guru yang ikut dengan kami,”
“Untuk berlatih basket?”
Aku terkejut appa sudah tahu kalau aku bermain basket lagi.
“Appa, dengarkan penjelasanku dulu, aku bisa menjelaskan semua, jeosonghamnida, aku belum menceritakan kepada appa,”
“Apa yang bisa kau jelaskan? Bukankah sudah jelas kau bermain basket lagi? Apa yang ingin kau jelaskan? Appa melarangmu bermain basket, itu demi kebaikanmu, kenapa kau ini? Apa kau ingin membuatku jantungan?” appa benar-benar marah kali ini.
“Appa, aku bisa menjelaskan semuanya, aku hanya ingin bermain basket appa,”
“Kau ingin bermain permainan yang hampir membunuhmu? Apa bisa aku menerima semua itu mengingat apa yang pernah terjadi padamu?”
“Appa, aku hanya ingin bermain basket, itu impianku appa, aku tidak punya hal lain, aku hanya bisa bermain basket. Aku tahu, ini berbahaya, aku selalu ingat hal itu, tapi ini mimpiku appa, ini cita-citaku, ini yang kuharapkan, appa, mengertilah, jebal,” aku berusaha menjelaskan kepada appa.
“Apa tidak cukup kau membuat seluruh keluargamu hampir mati karena khawatir? Berhentilah, atau terpaksa aku memindahkanmu,”
“Mwo ya? Andwe, aku tidak mungkin pindah, akan ada pertandingan penting appa,”
“Itu terserah kau,” appa beranjak dari tempatnya.
Aku menatap appa penuh keputus asaan. Kenapa jadi begini? Kenapa appa tiba-tiba datang seperti ini? Aku ingin menjelaskan pada appa, tapi bukan seperti ini.
“Appa..” aku memanggil appa pelan.
Tapi appa pergi begitu saja. Dia masuk ke dalam mobilnya dan pergi meninggalkan sekolah. Aku berusaha mengejar dan memanggilnya untuk kembali. Tapi mobil appa semakin jauh meninggalkan sekolah. Aku berdiri terengah-engah di pinggir jalan. Apa yang harus aku lakukan? Aku berjalan pelan ke halte bus dan duduk disana untuk beberapa saat. Aku tidak tahu harus melakukan apa. Aku hanya diam di halte bus. Beberapa orang melihatku heran karena aku hanya duduk di sana dan tidak naik ke setiap bus yang datang.
Kepalaku sangat sakit sekarang rasanya. Aku benar-benar bingung sekarang. Ponselku tiba-tiba berdering. Eonnie meneleponku,
“Ne, eonnie,” jawabku serak. Aku berusaha untuk tidak terlihat seperti habis menangis.
“Appa pulang sangat marah, dan uring-uringan, dia dari sekolahmu kan?”
Aku mengangguk, “Ne, dan kau tahu eonnie, appa sangat marah padaku, eohttoke?”
“Bagaimana ini? Kau, apa yang kau lakukan sekarang? Gwaenchana?”
“Aku tidak tahu eonnie, aku bingung, aku akan pulang dan menjelaskan,”
“Andwe, kau jangan pulang, appa sangat marah, dia terus di kamar dan tak mau keluar, kalau kau pulang, semuanya akan tambah kacau, ku telepon kau kalau appa sudah mereda,”
“Ne eonnie,”
“Kau baik-baiklah disana, jangan berbuat yang aneh-aneh,”
“Ne,”
Saat aku menutup telepon hujan turun. Awalnya hanya gerimis, lama-lama menjadi hujan deras. Orang-orang berlarian mencari tempat untuk berteduh. Dan sebentar saja, halte tempatku duduk penuh dengan orang berteduh. Aku tidak mempedulikan mereka. Beberapa dari mereka membicarakn hujan yang tiba-tiba, beberapa menggerutu karena barang-barang mereka basah, beberapa ada yang menyesal tidak membawa payung, aku hanya diam menatap lurus.
Saat sebuah bus datang, beberapa dari orang-orang itu naik ke dalam bus. Menyisakan beberapa orang termasuk aku. Aku masih belum bergeming dari dudukku. Beberapa saat kemudian bus lain datang. Beberapa naik dan hanya tinggal 3 orang termasuk aku. Kedua orang itu akhirnya menyetop sebuah taksi dan hanya tinggal aku disini. Aku tidak ingin beranjak dari sini. Lagipula aku tidak membawa payung, jadi aku memutuskan untuk menunggu hujan reda baru kembali ke sekolah. Aku memasang earphoneku dan berusaha mendengarkan lagu. Pikiranku masih sangat kacau, mungkin lagu bisa membantu. Aku memejamkan mataku mencoba menenangkan pikiranku. Kata-kata Appa masih terngiang-ngiang di pikiranku.
Aku tidak meyadari seseorang telah berdiri di depan halte, memmegang sebuah payung dan hanya diam melihatku. Aku masih saja mencoba menenangkan pikiranku, mencari jalan untuk membuat Appa mengerti dan memahami pilihanku. Suara hujan yang menetes di payung membuatku sedikit terganggu. Aku membuka mata dan kulihat Sulli berdiri di depanku. Aku melepas earphoneku cepat-cepat.
“Sulli-yaa,”
“Terus saja cari penyakit? Kau pikir hujan akan memberi ampunan padamu?”
“Mwo ya? Ya, kau datang, apa itu artinya kau memaafkanku?”
“Tidak semudah itu, aku tahu Kai memang bersalah, entah apa yang ada dipikirannya, tapi harus bagaimana lagi, dia tidak mau bicara padaku, tapi bukan berarti aku memaafkanmu begitu saja, kau harus memberiku pelukan agar aku bisa memaafkanmu,”
Aku langsung memeluk Sulli. Dia agak kaget namun segera membalas pelukanku. Kami berdua duduk bersebelahan. Hujan masih sangat deras.
“Apa yang sebenarnya kau lakukan disini? Kau dari mana memangnya?”
“Aku hanya berteduh, aku tidak bawa payung,”
“Kotjimara, matamu bengkak seperti bola pingpong, ya, ada masalah?”
Aku menatap Sulli beberapa saat, ada sorot kekhawatiran di matanya.
“Tentang basket kan?”
“Ara?”
“Ara.. Eonnie cerita padaku, dan paman tahu soal ini.”
Aku hanya mengangguk pelan.
“Ya, kau memang sudah kehilangan pikiranmu, kau membuat banyak hal yang sulit kami mengerti, tapi aku memahami perasaanmu, kau hanya ingin melakukan sesuatu yang kau suka, kau impikan, tak ada yang salah dengan itu,”
“Tapi semua salah di mata Appa, aku tidak tahu harus menjelaskan seperti apa lagi, sepertinya dia sangat sulit menerima semua ini,”
“Ya, Ji Hyun-aa, apa pernah paman tidak mengabulkan keinginanmu?”
“Mwo ya?”
“Aku ingat, saat kita kecil, aku pernah sangat menginginkan sebuah boneka, aku minta pada Appa, tapi tidak boleh, kemudian kau memaksa paman untuk membelikanku boneka yang aku inginkan, tanpa kau perlu merengek pun, paman membelikanku boneka, aku sampai sekarang masih menyimpan boneka itu. Jadi tidak ada alasan paman melarangmu bermain basket, dia pasti mengabulkan keinginanmu,”
“Kunde.. Saat ini aku tidak minta boneka, aku minta apa yang dilarang oleh Appa,”
“Aku bilang pasti akan mengabulkannya, mungkin tidak sekarang, masa kau tidak tahu sifat paman? Dia itu akan luluh kalau kau terus-menerus merayunya.”
“Geure?? Kau tidak lihat sih tadi Appa sangat marah,”
“Semarah apapu dia, dia akan mengizinkanmu.”
“Dia juga mengancam akan memindahkanku, entah kemana”
“Jjinjja? Dia akan memindahkanmu?”
“Geure.. Eohtokke?”
“Sudahlah, kalau kau menjelaskan padanya pasti dia akan mengerti, percaya padaku,”
“Hhhh, entahlah.. melihat Appa saja rasanya aku tak sanggup,”
“Aku akan menemanimu menemunya, dia akan luluh saat melihatku,”
“Kau pikir Appa ku akan melihatmu??”
“Oh, kau jangan salah, paman sangat mengidolaka aku, kau saja yang tidak tahu,”
“Mwo ya?? Sadarlah!!”
Kami berdua tertawa.
“Sulli-aa, gumapta, aku senang kau datang,”
“Gumapta?? Kau seharusnya mentraktirku sesuatu, kau pikir aku datang kesini dengan cuma-cuma?”
“Kau ini,”
Kami memandang hujan yang semakin deras. Ini kan musim gugur, kenapa hujan sudah sangat deras seperti ini? tiba-tiba ponselku bordering, ada pesan dari Hye Ri,
Ya, odiga? Aku mencarimu di kamar, tapi kau tidak ada.
Aku masih ada diluar, mwo ya?
Aniyo, aku hanya ingin menemuimu.
Akan kuberitahu saat aku kembali.
“Kau mau pergi ke suatu tempat?”
“Mwo?” Sulli memainkan payungnya yang basah. “Ani, aku hanya ingin menemuimu, kau sibuk?”
“Aniyo. Hari ini aku tidak punya pekerjaan. Tapi aku mungkin akan mengerjakan beberapa PR. Kau sendiri, bukankah harusnya kau di sekolah?”
“Aku senang tidak ingin mendengarkan penjelasan guru,”
“Jadi kau bolos?”
Sulli mengangguk ringan.
“Kau ini, tidak pernah berubah, lalu Henry bagaimana?”
“Dia sangat sibuk bermain bola, katanya dia ingin masuk timnas Korea, tapi kalau dengan tingkahnya yang seperti itu, kurasa dia tidak akan diterima,”
“Wae? Menurutku dia sangat bagus saat bermain sepak bola, dia sering membawa sekolah kita di pertandingan bergengsi, kau harusnya mendukungnya,”
“Tentu saja aku mendukungnya, aku adalah pendukungnya yang paling setia.”
“Araso, hhahaha,”
“Ah, Ji Hyun-aa, apa aku bisa ketemu Dong Hae sekarang?”
“Mwo? Tentu saja tidak bisa, ini masih jam sekolah, tidak bisa menemuinya begitu saja,” sebenarnya aku bisa saja menemuinya sekarang, tapi mengingat kejadian kemarin, rasanya mustahil bisa berbaikan dengannya.
“Ah, mengecewakan,” Sulli terlihat kecewa dibuat-buat.
“Sudahlah, kau masih bisa bertemu dengan suatu saat, akan kubilang padanya bahwa kau adalah fan terbesarnya, pasti dia akan mau menemuimu,”
“Fan besar apanya? Bukankah kau yang tergila-gila padanya?”
“Ani!!!”
Kami berdua terus ngobrol dan tertawa sambil enunggu hujan reda. Entah apa yang bisa kulakukan sekarang. Yang pasti aku harus menghadapi Appa.
**************************************************************
Aku menghempaskan diriku di kasur. Akhirnya kurasakan juga empuknya kasurku. Tak ada seorangpun di kamarku. Mereka pasti sedang di kelas. Apa tidak apa-apa aku bolos? Pintu diketuk. Aku malas sekali turun dan membuka pintu. Tapi belum sempat aku bangun, pintu sudah terbuka dan seseorag masuk.
“Aku masuk ya,” itu suara Hye Ri.
“Ne, aku lupa mengirimmu pesan,” aku bangun dari tempat tidur saat Hye Ri sudah naik ke tempat tidurku.
“Gwaenchana, aku melihatmu dari atas, makanya aku kesini, sangat bosan di kamr sendirian, kau dari mana?”
“Aku hanya bertemu seorang teman,”
“Namja?” dia tersenyum penuh curiga.
“Ani, dia temanku saat SMP, dia bolos sekolah dan bingung mengerjakan apa, makanya menemuiku,”
Dia menyerngitkan dahi. Aku hanya tersenyum melihat ekspresi wajahnya.
“Kau sudah makan? Aku bawa makanan, kau mau?”
“Ne, gumawo, aku memang lapar sekali,”
Kami berdua makan kimbab yang dibawa oleh Hye Ri sambil ngobrol. Seandainya saja aku sekamar dengan Hye Ri, pasti akan sangat mnyenangkan. Teman-teman sekamarku selalu melakukan apapun tanpaku. Mereka sangat baik sebenarnya, tapi entah kenapa kami tidak bisa dekat. Kami tidak pernh mengobrol satu sama lain, kami bahkan jarang bertemu, kadang mereka sudah pergi saat pagi, atau pulang saat aku tidur, sebenarnya aku tidak terlalu ambil pusing, tapi kami kan sekamar.
“Saat pesta olahraga nanti, kelasmu akan mengadakan apa?”
“Mengadakan apa memangnya?”
Ya, apa sih yang kau tahu? Saat pesta olahraga nanti, setiap kelas harus mempunyai stand masing-masing, kelasku mengadakan stand ramal, kau datanglah nanti,”
“Stand ramal? Kau percaya hal-hal seperti itu?”
“Aku sih percaya tidak percaya, tap seorang chingu di kelasku sangat ahli dalm hal itu, dia bisa meramal dengan apa saja, garis tanga, kartu tarot, membaca wajah, apa saja, kau harus datang kesana nanti,” jelas Hye Ri dengan semangat.
“Untuk apa aku kesana? Aku tidak percaya hal-hal seperti itu,”
“Tidak ada salahnya kan dicoba, aku akan menemanimu, oke?”
Aku hanya mengangkat pundakku. Kenapa harus percaya hal-hal seperti itu?
*******************************************************************
Aku kembali mengikuti pelajaran seperti biasanya. Aku masih memakan sandwichku saat memasuki kelas. Tiba-tiba Hyuk Jae merangkulku dari belakang. Aku tersedak sedikit.
“Ya, mwo haeyo?? Kau mengagetkanku,”
“Hahha, ani, bagaimana tidurmu?”
“Tentu saja dengan mata tertutup, memangnya bagaimana?”
“Huwaa, kau bisa bercanda rupanya, hari ini tidak ada jadwal latihan basket, apa yang akan kau lakukan?”
“Mollaseo, mungkin aku akan menonton latihan sepak bola, entahlah, aku tidak ada rencana,”
“Sepertinya kau orang yang sama sekali tidak punya kerjaan,”
“Memangnya kenapa? Tidak boleh?”
“Kau ini, kau dengar kelas kita akan membuat stand kopi untuk acara pesta olahraga nanti, kita akan jadi pelayan,” Hyuk Jae meletakkan tasnya diatas meja lalu duduk di kursinya.
“Mwo? Kenapa stand kopi? Kupikir lebih baik stand jus buah saja, sepertinya lebih menyenangkan,” aku duduk dan meminum susuku.
“menurutmu begitu? Kau usul saja pada Bu Guru Lee, jus buah akan terlihat lebih berwarna, geure?”
Aku mengangguk dan tersenyum. Bel berbunyi. Bu guru Lee masuk.
“Annyeonghaseyo,”
“Annyeonghaseyo Seongnim,”
“Oh ya, sebelum memulai pelajaran, ada pengumuman sebentar, kelas kita akan membuka stand kopi untuk pesta olahraga nanti, kalian setuju?”
Langsung terdengar keributan dari murid-murid di kelasku. Ada yang senang, ada yang mengeluh, ada yang mengajukan usul lain, beberapa hanya diam saja.
“Seongnim, bagaimana kalau kita membuka stand jus buah saja? Kata Ji Hyun itu terlihat lebih berwarna,”
Aku menatap Hyuk Jae.
“ah, jus buah, geure, itu lebih segar dan menyenangkan, baiklah, kita akan membuka stand jus buah, semua setuju? “
Semua murid sepertinya setuju. Kemudia dipilihlah beberapa siswa yang akan menjaga stand jus buah. Aku tidak mau berjaga. Lagipula akukan ada pertandingan basket. Pasti akan sangat repot berjaga sambil ada pertandingan. Untung saja Bu Guru Lee memberikan keringanan bagi kami yang mengikuti lomba. Murid yang tidak mengikuti lomba akan bergantian menjaga stand jus buah kami.
Kamipun melanjutkan pelajaran. Aku berusaha konsentrasi pada pelajaranku. Aku menyapu pandanganku ke seluruh kelas. Dan aku baru menyadari kalau Dong Hae tidak ada di kelas. Kemana dia? Aku memberi isyarat kepada Hyuk Jae dan bertanya diaman Dong Hae. Tapi Hyuk Jae hanya mengangkat bahu. Jadi sebenarnya kemana Dong Hae. Setelah beberapa saat dan beberapa tugas yang diberikan oleh Bu Guru Lee, kelas kami pun berakhir.
“Jangan lupa kalian persiapkan stand jus kalian, kalau kalian ingin berbelanja, datanglah pada ibu, ibu akan memberikan uangnya, belajar dengan rajin, araji?”
“Ne, aigesemnida,” kami menjawab seperti paduan suara.
“Huh, janji palsu, baiklah, annyeong!”
Bu Guru Lee meninggalkan kelas. Beberapa siswa juga meninggalkan kelas. Aku merapikan bukuku dan memasukkannya ke dalam tas. Hyuk Jae masih mencatat tulisan di papan tulis. Dia selalu melakukan itu di akhir pelajaran. Aku menempelkan wajahku di meja dan menunggunya selesai menulis. Aku harus pulang atau bagaimana ya? Tapi aku belum berani ketemu Appa.
“Ya, wajahmu seperti ubur-ubur,” Hyuk Jae menoleh padaku.
“Apanya yang ubur-ubur?”
“Gidariyo, sebentar lagi aku selesai,”
Aku hanya mengangguk.
“Ah, kau benar-benar tidak tahu dimana Dong Hae?”
Hyuk jae menggeleng.
“Aku tidak melihatnya tadi pagi, sepertinya semalaman dia tidak kembali ke kamar, kemarin kulihat dia bersama Dokter Ji Hoon, aku tidak melihatnya lagi setelah itu,”
“Dokter Ji Hoon?”
“Ne, mereka pergi dengan mobil,”
Mobil? Apa mereka ke rumah sakit? Apa yang terjadi? Entah kenapa tiba-tiba aku merasa bingung, bagaimana kalau terjadi sesuatu?
“Wae yo? Kau semakin terlihat seperti ubur-ubur.” Hyuk Jae mulai merapikan buku-bukunya dan bersiap pergi.
“Oh, aniyo, aku lapar, kau mau makan?”
“Ne, aku sudah sangat lapar, kau mau makan apa?”
Kami meninggalkan kelas yang mulai sepi. Kami membicarakan pertandingan yang akan berlangsung satu bulan lagi. Masih ada waktu untuk menjelaskan pada Appa tentang semua ini. Saat hendak ke kantin, langkah kami dihentikan oleh seorang yeoja. Sepertinya aku tidak asing dengan wajah yeoja ini.
“Kalian tahu dimana Dong Hae-oppa??” tanyanya. Nadanya sangat tidak sopan.
“Molla,” jawab Hyuk Jae seadanya.
Ah, geure, dia kan yang mengekor Dong Hae waktu itu. Siapa sih sebenarnya dia ini? Kenapa selalu saja mencari Dong Hae?
“Kenapa semua orang tidak tahu dimana dia? Dia kan sangat terkenal, kenapa tak ada yang tahu dia pergi?”
“Disini kami tidak peduli kau artis atau anak perdana menteri sekalipun, kau sama saja dengan yang lain, jadi apa kegiatan Dong Hae, itu bukan hal yang harus dibesar-besarkan,” jelas Hyuk Jae.
“Tapi kan, ahh.. Dimana dia? Di rumah tidak ada, di akntor tidak ada, bahkan di sekolahpun aku tidak bisa menemukan dia,”
“Apa ada masalah?”
“Geure!! Ada masalah yang sangat besar, dia akan dikeluarkan dari manajement jika tidak menemui direktur, tapi sekarang dia dan Manajer Hong malah menghilang, ini tidak benar,”
“Dikeluarkan?”
“Ne, akhir-akhir ini dia jarang bernyanyi dan sibuk dengan kegiatan sekolah, beberapa kontrak yang harus ditandatangani batal karena dia terus daja menghilang, aku sangat khawatir padanya, dia bisa benar-benar dikeluarkan,”
Aku dan Hyuk Jae saling pandang.
Tanpa mengatakan apa-apa dia meninggalkan kami. Kami melihatnya menjauh dengan penuh keheranan. Tiba-tiba ponselku bordering, saat kulihat Sulli yang meneleponku.
“Ne, Sulli-aa, wae yo?”
“Ya, Ji Hyun-aa, kau harus cepat ke rumah sakit, Henry harus di operasi!” suara Sulli terdengar sangat panic.
“MWO??”
Aku berdiri dengan perasaan sangat kaget. Apa yang terjadi.
“Pallee, kau harus segera kesini,” Sulli menutup teleponnya.
“Wae yo?”
“Aku harus segera ke rumah sakit, mian Hyuk Jae, aku harus pergi,”
“Ya Ji Hyun-aa!!”
Aku berlari meninggalkan Hyuk Jae yang memanggilku. Apa yang terjadi dengan Henry? Kenapa tiba-tiba harus di operasi? Aku sempat menabrak beberapa siswa yang sedang berjalan, tak ada waktu untuk minta maaf. Aku terus berlari. Aku harap-harap cemas saat menunggu bus di halte. Kenapa lama sekali? Kenapa apapun lama saat aku ingin apapun cepat? Akhirnya bus datang. Aku semakin merasa khawatir. Sepertinya rumah sakit menjadi sangat jauh. Sebenarnya hanya buutuh waktu satu jam untuk sampai sana, tapi entah kenapa sepertinya ini makan waktu hampir selamanya.
Dan apa lagi ini? kenapa macet sekali? Sepertinya aku harus naik kereta bawah tanah. Aku turun di halte dekat stasiun dan berlari menuruni tangga stasiun. Aku terus berlari. Setelah perjalanan yang entah kenapa sangat lama. Aku sampai juga di rumah sakit. Aku berlarian mencari kamar Henry. Aku berlari ke ruag operasi tapi ternyata operasi sudah selesai. Aku menelepon Sulli dan menanyakan kamar. Akhirnya aku sampai juga di depan kamar Henry. Aku membuka pintu dengan tergesa-gesa. Dan kulihat Sulli sedang membaca komik dan Henry sedang memainkan ponselnya. Mereka menoleh melihat kedatanganku.
“Ya, Ji hyun-aa, kau sudah datang?” kata Sulli smabil membuang komiknya begitu saja.
“Ne, senang melihatmu,” Henry nyengir lebar ke arahku.
“Ne, apa yang terjadi?”
“Aku bosan sedangkan Henry tidak boleh tertawa, geureso, aku memanggilmu,” kata Sulli sambil tersenyum jahil.
“MWO??” aku membentaknya. “Kau tahu betapa aku sangat khawatir hampir mati???”
“Mian,” Sulli menarikku ke tempat tidur Henry. “Lihatlah dia, sangat mengenaskan”
Henry masih saja nyengir. Wajahnya benar-benar menyebalkan. Dan dia sama sekali tidak telihat sakit. Wajahnya sangat ceria.
“Apanya yang mengenaskan? Dia terlihat sanggup berlari seratus kali putaran! Aku sudah membayangkan kau hampir menemui ajalmu, dengan malaikat maut disampingmu, apanya yang operasi?”
“Ya, kau berharap aku cepat mati? Aku benar-benar operasi, kau bisa melihatnya, sekarang aku sudah tidak punya usus buntu, kau tahu rasanya, benar-benar sakit,”
“Cih, kau pasti terlalu banyak tertawa,”
“Benar, dia tertawa sangat keras, usus buntunya benar-benar keluar,”
“Terus saja mengejekku,” Henry terlihat sebal.
Kami berdua tertawa terbahak-bahak. Lega rasanya melihat Henry baik-baik saja.
“Ya, kalian jangan tertawa, jangan membuatku tertawa,” Henry kesakitan menahan tawa. Kami tertawa semakin keras. Sementara Henry harus menahan tawanya agar bekas operasinya tidak mengalami getaran.  
Kami menghabiskan beberapa saat untuk membuat Henry tertawa. Kami membuat banyak lelucon dan mengejeknya terus menerus. Tapi sepertinya Henry benar-benar tidak boleh tertawa, melihatnya menahan tawa sepertinya sangat menyiksa dirinya. Orang tua Henry datang dan setelah berbincang beberapa saat, aku dan Sulli pamit.
“Kau mau kuantar? Aku diantar supir tadi,”
“Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri, lagipula arah kita berlawanan, aku akan naik kereta saja,”
“Benar tidak apa-apa?”
Tiba-tiba aku melihat Dokter Ji Hoon. Dan ada Dong Hae di belakangnya, dia mengenakan baju pasien. Ada apa?
“Ya, Ji Hyun-aa, wae yo?”
“Ah, ani, kau pulanglah dulu, aku ketinggalan sesuatu di kamar Henry, aku akan pergi mengambilnya, kau pulanglah,”
“Ne? ne, araseo, kau hati-hati ya saat pulang, annyeong,”
“Nodo, annyeong,”
Aku melambaikan tangan dan Sulli pergi meninggalkaku. Saat kulihat Sulli sudah keluar dari rumah sakit aku berlari kearah Dokter Ji Hoon dan Dong Hae pergi. Mereka berbincang di depan sebuah ruangan dengan seorang dokter. Aku menghentikan langkahku dan bersembunyi di balik tembok. Aku mengintip mereka, tapi aku tidak bisa mendengarkan percakapan mereka. Beberapa saat kemudian mereka masuk ke dalam ruangan. Aku keluar dari persembunyianku dan menuju ruangan dimana mereka masuk.
“RUANG TERAPI”
Terulis di kaca pintu. Aku mengintip dari celah kaca. Aku bisa melihat Dong Hae duduk di sebuah kursi, Dokter Ji Hoon dan dokter lainnya sedang mengamatinya dan memberi beberapa pertanyaan. Seorang perawat datang dan menanyaiku.
“Ada yang bisa kami bantu nona?”
“Ah, aniyo, aku hanya sedang mencari pamanku, sepertinya dia tadi kesini, permisi,” aku pergi meninggalkan perawat itu. Dia hanya mengangguk dan masuk ke dalam ruang terapi.
Aku memutuskan untuk tinggal di rumah sakit dan menunggu Dong Hae. Entah kenapa aku sangat ingin melihatnya. Sebenarnya apa yang terjadi? Apa dia akan benar-benar operasi? Dia tadi terapi apa? Aku menunggu di lobi rumah sakit. Beberapa perawat dan pasien serta orang-orang yang datang menjenguk lalu lalang di sekitarku. Aku memainkan ponselku, mencoba mendengarkan lagu melalui earphone, bermain games, waktu terasa sangat lam berjalan.
Satu jam kemudian, aku sudah hampir tertidur. Saat kulihat Dong Hae dan Dokter Ji Hoon melewati lobi. Tiba-tiba aku gugup dan langsung saja aku pura-pura bertanya pada resepsionis.
“Permisi, aku mau menjenguk Henry Lau, dimana kamarnya?”
“Maaf nona, waktu besuk sudah habis, datanglah besok pagi,”
“Oh, ne araso, khamsahamnida,”
Aku meninggalkan meja resepsionis dan berjalan ke arah Dong Hae dan Dokter Ji Hoon. Aku pura-pura tidak melihat mereka. Kulihat Dokter Ji Hoon masuk ke sebuah ruangan. Dong Hae melihat ke arahku dan aku segera memalingkan wajahku ke tempat lain.
“Ya!”
Aku menoleh.
“Dong Hae-ssi, kau di sini?” aku pura-pura terkejut dan menghampiri Dong Hae. Aku tidak tahu kenapa aku sangat senang melihatnya.
“Apa yang kau lakukan disini? Kau mau menjengukku?” Dong Hae balik bertanya padaku.
“Sebenarnya tidak juga, aku menengok temanku yang baru saja dioperasi, tapi kata petugas resepsionis waktu besuk sudah habis, tapi kalau begitu aku menjenguk kau saja, siapa sangka kau dirawat disini, kau kenapa?” aku menjelaskan padanya.
“Geure yo? Hanya melakukan serangkaian tes tidak penting,”
“Kau tidak masuk hari ini, tidak ada kabar, dan seseorang mencarimu tadi,”
“Nugu yeyo?”
“Seorang yeoja, yang mencarimu waktu dulu itu, dia menanyakanmu, katanya dia disuruh untuk mencarimu, memangnya kau tidak memberitahu pihak kantormu?”
“Hanya akan menambah masalah saja,”
“Kenapa begitu?”
“Sudahlah, kau tidak tahu apa-apa,”
Aku mendengus pelan.
“Geurende, gwaenchana?”
“Gwaencahana, geokjeongmara, tidak ada yang serius,”
“Sampai kapan kau di sini?”
“Molla, sampai hasil tes keluar mungkin,”
“Kalau begitu besok aku akan datang melihatmu,”
“Kau tidak perlu datang, aku akan pulang secepatnya, berkonsentrasilah pada pertadingan,”
Aku diam. Pertandingan selalu mengingatkanku pada kemarahan Appa. Aku hanya mengangguk pelan.
“Baiklah, aku harus pulang, aku bisa ketinggalan bus kalau terlalu lama di sini, cepatlah sembuh dan kembali ke sekolah,”
Dia hanya mengangguk.
“Aku pergi,”
Aku berbalik meninggalkannya. Sebenarnya aku masih sangat ingin mengobrol dengannya. Aku menoleh sekali lagi padanya, dia sudah berhadapan dengan Dokter Ji Hoon. Memang sebaiknya aku pulang saja.
******************************************************************
Aku tidak berkonsentrasi latihan hari ini. Berkali-kali tembakanku meleset dan aku tidak bisa menerima operan dengan benar. Beberapa kali Pelatih Kim memperingatkanku. Aku hanya mengangguk setiap kali dia berteriak padaku. Akhirnya setelah dua jam latihan basket sore ini selesai. Aku, Hye Ri dan Hyuk Jae berjalan bersama di taman. Keringat masih membasahi seluruh badanku.
“Kau sepertinya kurang konsentrasi hari ini?” tanya Hye Ri.
“Geure, kau juga sangat lemas, beberapa kali pelatih memarahimu, wae yo?”
“Tidak ada apa-apa, mungkin aku hanya lapar dan mengantuk, aku kurang tidur semalam,”
“Apa yang membuatmu tidak tidur semalaman?” tanya Hyuk Jae.
Kami duduk di bawah pohon ditengah taman.
“Entahlah, aku hanya tidak bisa tidur, itu saja,”
“Fokuslah, kita tidak boleh santai-santai, pertandingan sudah semakin dekat, kita harus melakukan yang terbaik,” kata Hyuk Jae, seperti biasa dia selalu penuh semangat.
“Ne, Hyuk Jae benar, kau harus menjaga kondisimu, beberapa kali kulihat keseimbanganmu kacau hari ini, kau harus makan yang benar dan istirahat yang cukup, araji?” Hye Ri terus saja memberiku ceramah.
“Araseo, araseo, kalian ini seperti orangtuaku saja, cerewet sekali,”
“Apanya yang cerewet, kau itu yang kepala batu,” Hyuk Jae memukul kepalaku. “Huwaa, keras sekali!!”
“Mwo ya, apa yo!!”
Tiba-tiba seorang laki-laki sekitar 50 tahun mendekati kami.
“Permisi, apa kalian kenal Lee Dong Hae? Dia bersekolah di sini,”
Kami saling pandang beberapa saat.
“Ne, ahjussi, aku sekelas dengannya,” jawab Hyuk Jae.
“Jeongmal yo? Kalau begitu, kau tahu dimana dia?”
“Jeseonghamnida ahjussi, tapi sudah dua hari ini dia tidak masuk sekolah, dia juga tidak pulang ke asrama, sepertinya dia sedang ada show atau semacamnya,”
Siapa ahjussi ini?
“Oh, begitu ya? Baiklah, gomawoyo, maaf mengganggu waktu kalian,”
Paman itu berlaik dan pergi meninggalkan kami. Siapa dia? Kenapa mencari Dong Hae? Beberapa saat kemudian kami bertiga berpisah. Mereka berdua punya urusan masing-masing, sementara aku masih seperti biasa tidak punya pekerjaan. Aku berjalan ke taman utama. Ada sebuah kolam ikan kecil ditaman ini, aku suka duduk disini dan melihat ikan-ikan. Saat sampai di kolam, aku melihat seseorang duduk di bangku dekat kolam. Aku mendekatinya.
“Jogiyo ahjussi, kau yang mencari Dong Hae tadi?”
“Ah, kau benar,”
“Apa yang paman lakukan di sini?” aku duduk di samping paman itu.
“Ah tidak, aku hanya ingi duduk disini, suasana di sini menyenangkan,”
“Ne, aku juga suka di sini,”
“Kau sekelas dengan Dong Hae?”
“Ne, kami teman satu kelas,”
“Bagaimana dia di kelas”
“Bagaimana ya? Dia cukup pintar dan bisa diandalkan, dia juga jago basket, dan tentu saja dia menyanyi dengan sangat baik,”
“Benarkah? Apa dia pernah nakal?”
“Sepertinya tidak, terkadang memang dia sedikit menyebalkan, tapi sebenarnya dia sangat baik,”
“Begitu ya?” paman itu menatap kolam, entah apa yang dipikirkannya.
“Maaf, tapi paman ini siapa?”
“Maaf, aku belum memperkenalkan diri, aku ayahnya Dong Hae,”

To be continued...

0 komentar:

Posting Komentar

 

Popo.. The Kite Runner Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea