Minggu, 10 Maret 2013

A Man in Love (Part 3)

Diposting oleh Popo... The Kite Runner di 17.30

Siapa pria itu? Kenapa Yunho menjadi sangat marah? A Man in Love akan menjawabnya...



……….
Sebuah rumah indah berdiri di deretan rumah-rumah indah lainnya. Tak terlalu besar tapi terlihat begitu nyaman dan bersih. Sang ibu selalu merawat taman mungil di depan rumah itu. Bisa dilihat bunga-bunga kecil bermekaran di taman itu. Sebuah kolam kecil juga menghiasi taman itu. Ada sebuah gazebo kecil di taman itu, dan empat orang penghuninya sedang minum teh bersama sambil bercanda riang.

Yunho yang saat itu berusia enam tahun berlari-lari kecil sambil memainkan mainan pesawatnya. Sang kakak bermain kartu bersama sang ayah, sementara sang ibu merajut sebuah sweater, atu mungkin syal, sesekali mengawasi Yunho yang berlarian ke sana kemari. Musim dingin akan segera tiba.

Ditengah kebahagiaan keluarga kecil itu, tibatiba pintu gerbang dibuka secara paksa. Terdengar pintu gerbang yang digedor-gedor. Mereka semua menoleh. Sang ayah dan kakak berhenti memainkan kartunya. Sang adik berhenti berlari dan segera memeluk ibunya. Sang ibu pun menghentikan rajutannya dan menenangkan sang adik yang hampir menangis. Ayah berdiri dan menghampiri pintu gerbang lalu membukanya. Tiba-tiba beberapa orang menyeruak masuk. Ayah terkejut dan mundur beberapa langkah ke belakang. Ibu, kakak, dan adik berpelukan satu sama lain.

“Kami sudah muak padamu, kenapa kau tidak mau menjual tanah itu pada kami?” salah seorang dari mereka berbadan besar berteriak ke arah ayah.
“Sampai kapanpun aku tidak akan menjual tanah itu!” ujar ayah tegas.
“Kami akan bayar berapapun yang kau minta, apa susahnya menjual tanah itu?” tanya orang berbadan besar yang lainnya.
“Tanah itu adalah warisan keluarga, tidak akan pernah aku menjualnya walau kau membayar dengan semua yang ada di dunia ini,” kata ayah lagi.
“Apa katamu?” orang berbadan besar lainnya kini menarik kerah baju ayah.
Ibu, kakak, dan adik malihat dengan penuh ketakutan di beranda rumah mereka.
“Kau mau memukulku? Aku bisa saja memanggil polisi dan melaporkan kalian,” kata ayah mulai gusar. Mendengar itu lelaki berbadan besar itu melepaskan cengkramannya.
“Buatlah ini jadi mudah, juallah tanah itu pada kami, dan kita selesaikan urusan kita,” kata lelaki berbadan besar yang pertama.
“Tidak, sampai kapanpun tidak akan,” kata ayah tegas.
“Arrgghh!!!! Kami harus minta seperti apa lagi hah? Kau ini keras kepala sekali!” mereka mulai berteriak.

Tapi sang ayah masih tetap teguh pada pendiriannya. Dia tidak akan pernah mau menjual tanah yang menjadi warisan keluarga mereka. Apalagi saat dia mendengar kalau di tanah itu akan dibangun kasino yang besar. Dia tidak rela tanah pemberian orang tuanya itu digunakan untuk hal-hal yang tidak pada temptnya. Tanah itu memang sangat strategis dan menjanjikan keuntungan yang sangat besar. Bisa saja dia menjual dengan harga yang sangat tinggi, tapi dia mempunyai rencana lain, semua demi masa depan kedua anaknya.

Saat hampir terjadi keributan, seorang pria masuk. Dia memakai sebuah tongkat kayu, wajahnya tersenyum ramah. Para pria berbadan besar cepat-cepat membungkukkan badan mereka dan mundur beberapa langkah dan memberi jalan untuk pria bertongkat itu. Sang ayah memendangnya tajam.

“Kau masih belum menyerah juga?” tanya sang ayah sambil melepas cerutu dari mulutnya.
“AKu tidak akan menyerah, aku punya penawaran baru,” kata pria bertongkat itu tenang.
“Aku tidak tertarik dengan apapun penawaranmu,” ujar ayah ketus.
“Tapi kali ini kau pasti akan menyetujuinya,” kata sang pria bertongkat tenang. “Juallah tanah itu padaku, dan aku akan membangunkan kau sebuah rumah sakit impianmu, dimanapun kau mau, aku bisa membuatnya untukmu, kau tinggal sebut tempat dan kapan aku harus menyelesaikannya, dan sebuah rumah sakit impian akan segera berdiri untukmu, anggap saja ini hadiah dari seorang teman lama,”

Ayah diam menatap pria bertongkat itu. Sepertinya dia mulai berpikirkan. Akankah pendiriannya goyah? Rumah sakit memang impiannya sejak masih kuliah di universitas kedokteran dulu. Sekarang dia sudah menjadi dokter dengan predikat yang baik, tapi dia masih belum mampu membangun rumah sakit impiannya itu. Masih banyak yang perlu dilakukan untuk membuat sebuah rumah sakit berdedikasi tinggi. Ini adalah kesempatan untuknya, dia bisa membangun sebuah rumah sakit pada akhirnya, tapi dia tidak ingin rumah sakitnya ini adalah sebuah bayaran untuk sebuah warisan. Dia tidak ingin mengotori rumah sakit dengan hal-hal seperti ini. pria bertongkat tersenyum melihat ayah yang mulai ragu memikirkan tawaran ini. Namun, tiba-tiba ayah tersenyum.

“Kalau kau ingin memberiku hadiah, bangunkan aku sebuah rumah sakit di tanah warisan orang tuaku itu, di tanah yang ingin kau beli, bagaimana kau berminat?” tanya sang ayah tenang.
“Apa katamu?” pria bertongkat mulai geram.
 “Kenapa? Bukankah kau yang menawarkan padaku?”
“Kau ini benar-benar keras kepala! Sombong sekali kau ini, hanya menjual tanah siala itu saja kau tidak mau, kau mau sesuatu yang buruk terjadi padamu?” ancam pria bertongkat.
“Aku tidak takut pada semua ancamanmu, tanah itu milikku, milik keluargaku, aku punya hak untuk melakukan apapun dengan tanah itu,” kata ayah keras.
“Kalian, buat dia mengatakan iya,” perintah pria bertongkat pada pengawalnya.

Mereka mengangguk lalu mencengkeram baju ayah. mereka mulai memukuli ayah. Ibu, kakak, ddan adik berteriak histeris melihat ayah dipukuli. Sang adik mulai menangis keras melihat semua pemandangan itu. Dia menatap sang pria bertongkat yang tersenyum licik melihat ayah dipukuli. Mulai saat itulah timbul kebencian di dalam hati sang adik.

Beberapa hari kemudian, masih terlihat beberapa luka memar di wajah sang ayah. Ayah tetap tidak menyetujui tanahnya dijual. Orang-orang itu pergi meninggalkan ayah yang luka parah, ibu segera menghampiri ayah dan membawa ayah masuk dan merawat luka ayah. sang adik menangis tersedu-sedu, sementara kakak menenangkan adik. Ayah sudah siap akan berangkat ke rumah sakit saat pintu diketuk dari luar. Ibu berlari dari dapur dan membuka pintu. Lalu semua hal itu terjadi, tanpa alasan yang pasti, ayah dipecat dari rumah sakit, rumah mereka di sita oleh bank, dan mereka harus meninggalkan rumah hari ini juga. Semua orang terkejut dan terpukul.

Mereka tidak mengerti apa yang terjadi, terutama sang adik, sampai akhirnya pria bertongkat datang dan menawarka kebaikannya asal mereka mau menjual tanah itu. Mereka menyadari kalau semua ini adalah trik dari pria bertongkat. Pria bertongkat itu adalah orang yang memiliki kuasa dan wewenang yang besar di negeri ini. akan mudah untuknya membuat semua ini terjadi. Namun ayah masih tetap teguh pada pendiriannya. Mereka lebih memilih tinggal di apartemen kecil di pinggir kota dan memulai kehidupan baru. Sang ayah dan ibu harus bekerja keras untuk menghidupi keluarga, terutam kedua anak mereka. Kehidupan mereka yang nyaman dan bahagia, kini hanya tinggal kenangan, mereka harus melakukan segala hal untuk bertahan hidup.

Lalu terjadilah kecelakaan itu. Semua keluarga sedang dalam perjalanan hendak ke sekolah sang adik untuk melihat pertunjukan music sekolah. Tiba-tiba sebuah mobil menabrak mobil mereka. Ayah yang sedang menyetir terkejut dan tidak sempat melakukan apa-apa. Mobil mereka terguling ke samping dan berputar-putar di jalan beberapa kali. Bersamaan dengan itu ada sekawanan polisi yang sedang mengejar penjahat. Adik yang masih tersadar berusaha keluar dari mobil. Dilihatnya sang ibu juga keluar dari mobil. Tapi ibu luka parah. Ayah bahkan tak bisa tertolong lagi. Sang ayah menghembuskan nafas terakhirnya di tempat kejadian. Jalanan ramai dan macet tiba-tiba.

Polisi itu berlari melewati kecelakaan yang terjadi. Adik menggenggam tangan ibunya yang sudah setengah sadar. Luka di kepalanya sangat parah. Dia harus segera di tolong. Polisi itu menatap sang adik sejenak.

“Ahjussi, tolong kami, ibuku luka sangat parah,” kata adik terisak pelan.
“Sebentar lagi ada ambulan, tunggulah,” kata polisi itu sambil melihat sekitar, mencari penjahat yang kabur tadi.
“Tapi ibuku harus segera ditolong,” kata adik memohon.
“Berisik, kau ini mengganggu saja,”

Lalu pergilah polisi itu. Polisi berwajah seram itu meninggalkan adik yang menaingis tersedu-sedu. Lalu saat itulah genggaman sang ibu mengendur. Dan sejak saat itulah sang adik kehilangan orang tuanya untuk selama-lamanya. Suara sirine terdengar dari kejauhan. Sang adik memandang sekelilingnya. Orang-orang ramai berkumpul di tempat itu. Lalu disana, adik melihat pria itu, memakai kacamata hitam dan berdiri dalam diam dengan tongkat kayunya. Saat itulah kobara dendam menyala di dalam dada sang adik, dia bersumpah suatu saat akan membalaskan dendam orangtuanya pada pria itu. Pria yang telah mengambil semua yang dia punya, pria dengan tongkat kayu. Seseorang berlari ke arah sang adik, seorang pria setengah baya, seorang pelayan keluarga, Pak Jungjin.
“Yunho-aa,” teriak pria itu.

Lalu semua menjadi gelap untuk sang adik, Yunho..
……..

             “Wah kalian sedang apa?” tanya pria bertongkat itu ramah.
             “Kami sedang membicarakan soal ujian masuk universitas Paman,” jawab Yunho.
“Benar, sebentar lagi kalian akan masuk perguruan tinggi, kalian sudah besar ternyata,” kata pria itu.
Yunho menelan ludah menatap pria itu. Pria kejam yang mengambil semua yang dia punya. Sampai kapanpun Yunho tidak aka pernah memaafkan pria itu.
“Siapa ini?” tanya pria bertongkat sambil menatap Yunho.
“Dia keponakan saya Tuan,” jawab Paman Jungjin.

Yunho hanya diam. Bahkan saat pria itu tersenyum padanya, dia memalingkan wajahnya. tidak seperti biasanya Yunho seperti itu. Biasanya dia akan menyapa orang dengan ramah, bahkan terkadag dia kan memberi gurauan. Tapi mengingat pria ini adalah penyebab hidupnya berantakan, apa bisa dia bersikap ramah penuh kelembutan pada pria itu. Paman Jungjin menatap Yunho yang berbeda dari bisanya, namun dia segera mengalihkan pandangannya pada teh yang sedang dia buat.

“Paman tidak tahu kan? Paman kan lama di luar negeri, jadi tidak tahu apa yag terjadi, kapan Paman pulang?” tanya Lee Joon.
‘Beberapa bulan yang lalu, tapi Paman harus menjalani pengobatan, jadi baru bisa kemari sekarang, mana ayahmu?” ujar pria itu.
“Dia sedang menerima tamu, tunggulah sebentar,” kata Lee Joon.
“Baiklah,” pria itu duduk bergabung bersama mereka.  Kenapa kau diam saja anak cantik?” tanya pria itu pada Chae Rin.
“Tidak apa-apa,” jawab Chae Rin.
“Apa kau masih marah?” tanya pria itu lagi.
“Aku tidak marah,” ujar Chae Rin.
“Memangnya dia kenapa Paman?” tanya Lee Joon.
“Kau tahu, masa sudah sebesar ini masih mengajak ke taman bermain,” ujar pria itu berkelakar.
“Appa!!!!” Chae Rin berteriak merajuk. Wajahnya merah.

Appa?? Yunho menoleh penuh keterkejutan. Appa?? Jadi pria ini ayah Chae Rin? Yunho menatap keduanya bergantian. Apa ini sebuah kebetulan? Tapi kenapa kebetulan seperti ini terlihat sangat tidak adil bagi Yunho? Kenapa Chae Rin harus menjadi anak pria itu? Kenapa Chae rin yang selama ini dikenalnya baik dan ramah itu anak pria kejam ini? Pikiran-pikiran itu berkecamuk di kepala Yunho. Tiba-tiba Yunho berdiri dan memohon diri untuk keluar. Lee Joon sempat bertanya tapi tak dihiraukan Yunho. Dia pergi meninggalka ruang makan menuju kamarnya. Paman Jungjin menatapnya sedih. Kebetulan memang terkadang terlihat mengerikan…

to be continued...
**********************************************************************

0 komentar:

Posting Komentar

 

Popo.. The Kite Runner Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea