coba-coba bikin Fan Fiction lagi... In My Dream,
Aaaaaah, aku benar-benar benci sekolah. Kenapa sih
aku harus sekolah?? Aku bisa belajar di mana saja. Tidak harus di sekolah kan?
Sebenarnya apa sih yang ada di pikiran eomma dan appa ku? Kenapa mereka
mengirimku ke sekolah asrama? Tidak cukup apa aku harus ke sekolah setiap hari?
Kenapa harus di asrama juga? Benar-benar sangat menyiksa. Aku jadi benar-benar
terkekang sekarang. Apa yang harus ku lakukan.
Aku tengah berkemas
saat ini. Besok sudah mulai pembukaan tahun ajaran baru. Dan baru saja aku
bertengkar dengan appa ku. Dia benar-benar jahat. Kenapa mengirimku ke asrama?
Memangnya kenapa kalau aku di rumah? Huh, menyusahkan saja.
Tok! Tok!
Pintu dibuka dan eomma
ku masuk. Dia membawakanku makan malam. Aku memang tidak sempat makan tadi. Aku
terlanjur bertengkar dengan appa sebelum aku makan.
“Eomma bawakan makan
malam, kau harus makan,” kata eomma sambil meletakkan makan malam di meja
belajarku.
“Eomma… Bisakah kau
bujuk appa untuk tidak mengirimku ke asrama? Ini tidak adil, kenapa eonnie
boleh sekolah di sekolah biasa, sedangkan aku harus di asrama, appa benar-benar
tidak adil!”
“Ji Hyun-aa, kau harus
mengerti sikap appa mu, kalau dia sudah membuat keputusan, tidak ada yang bisa
mengubahnya, terimalah kalau kau harus masuk asrama,”
“Wae?? Ini tidak adil
eomma,” aku duduk di sebelah eomma.
“Ji Hyun-aa, nado mola
sseo yo, wae appa mu mengirimmu ke asrama, dia tidak mengatakan apapun pada
eomma, ini sungguh aneh,”
“Georom, ini tidak
adil! Kalau aku masuk asrama, seharusnya eonnie juga masuk asrama, appa
menyebalkan!”
Aku menghempaskan
diriku ke tempat tidur. Aku tidak ingin berkemas. Aku tidak ingin pergi ke
asrama. Apa yang bisa ku lakukan di sana? Aku tidak akan bisa melakukan apa-apa
di sana, aku bahkan tidak bisa melihat konser Lee Dong Hae, pujaanku.
Menyebalkan. Appa, miwo ya!
Aku tidak ingin
terbangun pagi ini. Kenapa aku harus bangun? Itu berarti aku harus pergi ke
asrama menyebalkan itu. Sesorang mengetuk pintu kamarku.
“Ya! Ji Hyun-aa,
ierona! Kau harus segera bersiap ke sekolah barumu,” itu eonnie ku. Dia sanga
cerewet. Kenapa ada yeoja seperti dia di dunia ini?
Aku menarik selimutku
hingga menutupi kepalaku.
“YA! Pallee ierona,
kajja!” dia mulai menarik selimutku.
“Aku tidak mau,”
“Kau mau tidur sampai
kapan? Kau bisa telambat, cepatlah, appa neun gidarida yo, kajja,” sekarang dia
menarik tanganku.
Aku terbangun dengan
sangat malas. Harusnya sekarang aku sudah berangkat ke sekolah baruku bersama
Sulli dan Henry, tapi kenapa aku malah berurusan dengan kakakku yang
menyebalkan ini?? Aku sudah berdiri sekarang. Dia mendorongku ke kamar mandi.
Selama aku mandi entah apa yang dia lakukan di dalam kamarku. Aku selesai mandi
dan semua keperluanku sudah tersedia.
“Pallee, kau akan
terlambat,”
Eonnie membantuku
bersiap-siap. Dia memang sangat menyebalkan dan cerewet sekali, tapi dia juga
kakak yang sangat baik. Aku tidak akan pernah bisa tanpanya. Apa jadinya aku di
asrama tanpanya?
“Eonni..”
“Ne?”
“Aku akan sangat
merindukanmu kelak, apa kau akan rindu padaku?”
Eonnie yang sedang
menyisir rambutku berhenti dan duduk di sebelahku. Dia memukul jidatku pelan.
“Ya, babo ya? Kau
satu-satunya dongsaeng yang kupunya, bagaimana bisa aku tidak kehilanganmu saat
kau pergi? Aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan tanpamu di rumah? Eomma pasti
akan lebih sering memarahiku,”
“Eonnie, aku tidak
ingin masuk asrama,”
“Kau sudah mengatakan
itu ribuan kali, aku hampir muntah mendengarnya, sudahlah, kata-kata appa tidak
akan pernah bisa dibantah, kau baik-baiklah disana, sering-seringlah
menelfonku, kau harus menjaga kesehatan, jangan sampai kau sakit, araji?” kakak
ku kembali menyisir rambutku. Gerakannya agak gemetar. Aku tahu eonnie menahan
tangis.
Akupun sebenarnya
sangat ingin menangis. Tapi aku tidak mau menangis di hadapan eonnie.
“Eonnie, bantu aku
memakai jasku ya,”
Eonnie hanya menganguk
sambil tersenyum.
Aku sudah sampai di
depan sekolah baruku. Kenapa aku merasa seperti mau mask penjara. Aku tidak
ingin selangkahpun masuk ke sekolah itu. Aku menggigit bibirku. Aku tidak ingin
berpisah dengan keluargaku, kenapa appa tidak mau mengerti itu? Aku melihat
beberapa siswa membawa koper sepertiku.
“Ji Hyun-aa, masuklah,”
appa memberikan koperku padaku.
Aku mengangguk pelan.
“Ku harus jaga
kesehatanmu, jangan sampai kau sakit, kau juga harus belajar dengan benar, kau
tidak boleh malas, kau dengar itu?” eomma mulai cerewet padaku.
Aku kembali mengangguk
pelan.
“Ingat selalu pesan
eomma, kau harus jadi anak baik, kau jangan sampai membuat masalah, telepon
kami sesekali, jangan buat kami khawatir, kau mengerti kan?”
“Eomma,” aku memeluk
eomma, aku sudah tidak bisa menahan air mataku lagi. Aku menangis terisak dalam
pelukan eomma. Aku tidak pernah membayangkan akan berpisah dengan keluargaku.
Sampai beberapa saat kau memeluk eomma.
“Sudah, kau masuklah,
kau akan terlambat,” kata appa.
“Ne,”
Aku menyeret koperku
dan mulai memasuki sekolah. Aku menoleh sekali lagi dan akhirnya aku masuk ke
sekolah. Sekolah ini besar sekali. Aku harus kemana?
“Kau murid baru juga?”
seorang joeya mengahmpiriku.
“Ne, kau?”
“Ne, aku juga murid
baru, Soo Eun Hye imnida,”
“Nan Shin Ji Hyun
imnida, kemana kita akan pergi?”
“Kita harus ke kamar
kita, upacara pembukaan akan diadakan jam 1, kita harus bersiap-siap, kau tahu
dimana kamarmu?”
“Ani, molasseoyo, noe
arayo?
“Georom, taerawa!”
Aku mengikutinya. Aku
tidak tahu apa-apa soal sekolah ini. Yang aku tahu sekolah ini luas sekali,
karena pada saat aku sampai di kamarku, kakiku rasanya mau patah. Kenapa sejauh
ini? Bagaimana kalo nanti aku terlambat? Aku ternyata sekamar dengan Eun Hye.
Dalam satu ruangan ini berisi empat murid. Dua murid lainnya telah membereskan
tempat tidur mereka. Aku sedikit canggung dengan situasi seperti ini. Aku tidak
pernah berhasil dalam pertemuan pertama dengan orang lain. Eonnie lah yang
selalu membantuku berkenalan dengan orang baru. Tiba-tiba saja aku
merindukannya.
“Nan Hong See Na
imnida, dan dia Kang Yu Mi, kalian siapa?”
“Oh, nan Shin Ji Hyun,
banggapseumnida,” aku memperkenalkan diri.
“Nan Soo eun Hye, mohon
bantuannya,”
“Ne,” kata See Na.
Aku mulai membereskan
tempat tidurku. Tempat tidurku dekat jendela. Dari jendela itu aku bisa melihat
hampir keseluruhan sekolah. Sekolah ini benar-benar besar. Apa aku harus
berjalan kaki setiap hari? Bisa-bisa aku lumpuh seketika. Aku mulai
mengeluarkan barang-barangku. Aku mengambil beberapa buku dan kuletakkan di
atas meja. Tepat dibawah buku ada beberapa bingkai foto, selain foto
keluargaku, ada juga fotoku bersama Sulli dan Henry. Mereka sahabatku sejak
kami di SD. Saat tahu aku akan berpisah dengan mereka, aku menjadi sangat
sedih. Mereka sekarang pasti sekelas lagi. Beruntung sekali mereka. Tiba-tiba
ponselku bordering.
“Yoboseyo?”
“Ya, Ji Hyun-aa, kau
sedang apa?”
“Sulli-aa, aku senang
sekali kau menelfonku, aku baru saja sampai di asrama, kau bersama Henry?”
“Tentu saja, kami satu
sekolah, sayang kami tidak sekelas, lebih disayangkan lagi kau tidak bersama
kami, aku rindu padamu Ji Hyun-aa,”
“Nado, aku benar-benar
ingin bersama kalian sekarang, kau tahu bagaimana perasaanku sekarang? Aku
ingin sekali menggelitik appa atas apa yang dia lakukan padaku,”
“Ne, paman benar-benar
kelewatan, seharusnya dia memasukkanmu ke sekolah yang sama dengan kami, paman
mikir apa sih?”
“Jongmal molla, aku
merasa aneh di tempat ini, apa yang bisa kulakukan di sini tanpamu?”
“Keluarlah di akhir
pecan, kita jalan-jalan di akhir pekan, ne?”
“Geureyo, aku harus
pergi sebentar lagi upacara pembukaan, kututup teleponnya,”
“Ne, jalgaji,”
“Nodo,”
Aku menutup telepon dan
mengganti bajuku dengan seragam. Aulanya jauh sekali dari kamarku. Sepertinya
aku harus naik bis untuk bisa kesana. Kenapa sekolah ini besar sekali? Dan
kenapa aku bisa masuk kesini? Aku masih belum bisa menerima ini semua. Apa yang
bisa kulakukan di sekolah ini? Daebak, aulanya besar sekali, sepertinya aula ini
bisa menampung semua orang di Seoul.
Tidak seorangpun yang
ku kenal di sini. Aku duduk di bagian belakang. Dari sini cukup untuk tidak
terlihat. Beberapa saat kemudian murid laki-laki memasuki ruangan. Kenapa ada
alai-laki kupikir ini adalah sekolah untuk perempuan. Lalu apa bedanya dengan
sekolah biasa? Dan kenapa kami harus masuk asrama?
Kepala sekolah sedang
memberikan sambutan sekarang. Aku mulai mengantuk. Kenapa sejak tadi pak kepala
sekolah membicarakan soal pertandingan basket dan team basket? Seharusnya aku
membawa earphone tadi. Aku bosan sekali. Kapan upacara ini akan berakhir? Aku
ingin memainkan game ku sekarang. Aku membuka sebuah game dari ponselku.
TRIIIING! TRIIIIIING!
Entah berapa decibel
suara ponselku, semua orang menoleh padaku. Dan seorang guru menunjukku dengan
tongkat panjangnya. Aku tenggelam di tempat dudukku.
Dan disinilah aku. Di
lapangan basket. Bersama Guru Tongkat Panjang itu. Kenapa wajahnya lebih angker
dibandingkan rumah dengan 1000 hantu. Ohhteokaji? Yang jelas aku akan dihukum.
“Ya, bocah nakal,
aigoooo, kenapa kau sudah membuat masalah di hari pertamamu? Apa yang ada di
otakmu itu? Apa kau tadi pagi sarapan semut merah, hah?”
“Jwosonghamnida Seung
Nim, aku tidak sengaja,”
“Apanya yang tidak
sengaja? Sekarang kau hormat pada tiang bendera itu,”
“Kenapa aku harus
hormat pada tiang bendera?”
“Kau berani bertanya?
Tentu saja itu hukuman untukmu! Pallee!!”
“Seung Nim, sampai
kapan aku harus begitu?”
Tiba-tiba dia tersenyum
walau sebenarnya tidak mengubah keangkeran wajahnya,
“Teruslah begitu sampai
tiang bendera itu melengkung,” lalu dia berlalu dan meninggalkanku.
“Mwo?? Kunde Seung nim,
itu berarti selamanya?”
Mwo ya? Kapan tiang
bendera itu akan melengkung? Kenapa Pak guru itu? Apa sih yang dia pikirkan?
Aku berjalan ke arah tiag bendera dan mulai melakukan sikap hormat. Ah panas
sekali di sini. Kenapa harus di hari pertamaku masuk sekolah? Seharusnya aku
tidak melakukan kesalahan. Untung saja hanya hormat pada tiang bendera?
Bagaimana kalau aku di keluarkan? Lalu munculah ide itu. Aku merasa saat ini
tumbul tanduk bewarna merah di kepalaku.
*********************************************************************
Aku berlari menuruni
tangga depan asramaku. Haisssh, kenapa tangga ini jumlahnya banyak sekali. Aku
semakin terlambat masuk ke kelas. Aku berlari menyelusuri jalan di samping
lapangan bola, lalu ke menyebrang lapangan basket dan masuk ke gedung utama.
Aku naik ke lantai. Gedung sudah sepi. Pasti saat ini semu orang sedang belajar
di kelas. Aku berhenti di depan kelasku. Aku mengatur nafas sebentar. Perlahan
kubuka pintu kelas. Tiba-tiba semua siswa melihat padaku. Aku semakin merasa
malu dan saat aku lihat guru yang mengajar aku rasa aku tidak hanya akan hormat
pada tiang bendera, tapi kini aku harus melengkungkan tiang itu. Pak Guru
Bertongkat melotot padaku.
“Annyonghaseyo, Seung
nim, jwosonghamnida, aku terlambat,”
“Ya, siapa yang Tanya
kau? Kau pikir kau mau apa jam segini baru datang ke kelas? Kau mau makan
siang?”
“Jwosonghamnida Seung
nim, boleh aku masuk?”
”Mulon imnida,” dia
tersenyum padaku.
“Ah, khamsahamnida
Seung nim,” aku masuk dan duduk di tempat dudukku.
“Ya, bocah tengik,
siapa yang menyuruhmu duduk?”
“Ka.. kau bilang aku
boleh masuk?”
“Ne, aku memang
menyuruhmu masuk, tapi bukan untuk duduk dan mengikuti pelajaranku, BAWA MEJAMU
DAN KELUAR!”
Dia berteriak keras
sekali. Benar-benar membuat jantungku hampir keluar dari mulutku. Cepat-cepat
aku menyeret mejaku keluar. Guru macam apa sih dia ini? Akhirnya aku belajar di
lorong kelas. Apa yang harus kulakukan? Aku mengeluarkan bukuku dari tas.
Pelajaran apa sebenarnya sekarang ini? Seharusnya aku tadi bawa komik. Aku duduk
sambil mengangkat kaki kursiku. Aku mulai bosan. Aku berdiri dan melihat
suasana kelas. Dan dengan cepat kurasakan aura meyeramkan dari dalam kelas.
Guru apa sebenarnya dia? Kenapa guru menakutkan seperti itu ada di sekolah
sebagus ini?
“Ya, apa yang kau
lakukan? Keluar!”
Aku kembali duduk,
bukannya aku sudah di luar. Kenapa dia menyuruhku keluar? Apa yang harus
kulakukan? Benar-benar membosankan. Kenapa bell tidak juga berbunyi? Aku juga
mulai mengantuk. Ku baca bukuku, tapi aku sama sekali tidak mengerti tentang
sejarah Korea. Aku ingin segera akhir pekan. Aku ingin bertemu Sulli dan Henry.
Menyebalkan.
Brak!
Aku terbangun. Dan
wajah guru angker itu sudah tepat dihadapanku. Matanya benar-benar ingin
menelanku. Apa salahku harus selalu berhadapan dengan guru ini.
“Kau? Ireona?? Lari
keliling lapangan basket 5 kali!” sekali lagi dia berteriak.
Dan disinilah aku
sekarang. Berlari mengelilingi lapangan basket. Ah, aku lelah sekali. Aku belum
sarapan tadi. Dan udara sangat panas sekali. Pak guru benar-benar tega padaku.
Kenapa guru seperti itu diperbolehkan bekerja di sekolah? Ini putaran terakhir,
aku harus segera menyelesaikan dan kembali ke kelas. Aku tidak ingin dihukum
lagi.
Akhirnya sekolah usai.
Aku ingin tidur setelah ini. Seharian ini seoertinya aku hanya menjalani
hukuman. Aku berjalan pelan ke asramaku. Kenapa hari ini panas sekali? Aku baru
akan menelepon Sulli saat tiba- tiba terdengar keributan. Bukankah itu para
wartawan?? Ada apa mereka ke sekolahku? Mereka berlarian melewati. Ramai
sekali.
Aku sampai di kamarku.
Teman-temanku belum kembali. Aku naik tangga ke atas. Tempat tidurku di atas.
Aku langsung menghempaskan diriku ke tempat tidur saat kurasakan sesuatu ada di
tempat tidurku. Aku terbangun dan menyingkap selimutku.
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!!”
Aku berteriak. Namja
itu juga berteriak!
“Nugu ya?? Apa yang kau
lakukan di sini?” aku memukuli namja itu dengan gulingku. Apa yang ada
dipikirannya sehingga dia ada di tempat tidurku.
“Hentikan, hentikan,
Ya! Appa yo!”
Aku menatap wajahnya
dan aku terkejut setengah mati. Itu Lee Dong Hae. Lee Dong Hae penyanyi itu.
Dia idolaku. Dia impianku. Dan dia ada di hadapanku sekarang. Apa aku bermimpi?
“Ya, kau lihat apa?”
Tiba-tiba suara pintu
terbuka. See Na masuk. Aku kangsung mendorong Lee Dong Hae ke samping tempat
tidur dekat tembok. Disana dia tidak akan terlihat.
“Jangan membuat suara,”
bisikku padanya. “Ah, See Na-ssi, kau sudah pulang?”
“Ne, apa yang kau
lakukan diatas sana?”
“Obseoyo, aku hanya
mencoba untuk tidur, aku lelah sekali,’
“Oh, aku hanya
mengambil handuk, aku ikut club berenang hari ini, Yu Mi dan Eun Hye juga, kau
juga mau ikut?”
“Oh, ani, aku hanya
ingin tidur,”
“Geureyo, aku pergi,”
“Ne,”
See Na pergi. Aku
menghela nafas panjang. Aku melompat ke kasur dan melihat keadaan Lee Dong Hae.
“Ya, kau bisa keluar
sekarang,”
Dia keluar dari bawah
tempat tidur sambil memegang kepalanya.
“Noe, gwaenchana?”
“YA! Kenapa
mendorongku?” dia membentakku.
”Mwo? Jelas-jelas aku
menyelamatkanmu, kau bisa mati kalau kau ketahuan berada di kamar perempuan!
Hah, jangan-jangan kau memang mau melakukan sesuatu yang buruk?” aku meutup
bagian dadaku.
“Mwo? Otakmu terbuat
dari apa sampai bisa berpikiran seperti itu?”
“Aku tidak bisa
menjamin kau orang baik,”
“Aku harus pergi,” dia
menuruni tangga.
Aku mengejarnya dan
menarik tangannya.
“Ya, kau tidak bisa
keluar begitu saja, kalau seseorang melihatmu, kau dan aku bisa dalam masalah,
lagipula apa yang kau lakukan di sekolahku?”
“Aku juga sekolah di
sini,”
Hah???? Dan akhirnya
sisa hari itu aku dan Dong Hae kucing-kucingan agar bisa keluar dari asramaku.
Setelah berhasil keluar dia langsung pergi. Haiiisssh, jjinjja! Paling tidak
dia harus mengucapkan terimakasih padaku. Ternyata dia galak sekali. Apa
bagusnya orang seperti itu? Kenapa dia bisa sangat terkenal? Dan kenapa aku
menyukainya?
******************************************************************
Keesokan harinya aku
berusaha bangun pagi. Aku tidak ingin terlambat. Aku tidak jadi meneruskan
niatku untuk melanggar peraturan. Aku melanggar peraturan agar aku dikeluarkan
dan bukannya dihukum. Aku sampai di kelas akhirnya. Hanya beberapa siswa yang
sudah datang. Aku duduk di mejaku di dekat jendela. Aku berencana untuk tidur
lagi saat seorang namja menyapaku.
“Ya, kau yang kemarin
dihukum Pak Gun Woo, Lee Hyuk Jae imnida, noe?” dia mengulurkan tangannya.
“Ne, Shin Ji Hyun
imnida,”
“Kau mau ikut club
basket?”
“Ne? aniyeyo, aku tidak
bisa main basket,”
“Gwenchana, pelatih di
sini sangat hebat, kau harus ikut, kita pergi bersama, araji?”
“Andwe, aku tidak ikut,”
“Wae?”
“Aku tidak bisa bermain
basket, mianhae,”
“Ne, araseo, ah bel
sudah berbunyi,”
Siswa-siswa masuk kelas
dan juga wali kelas kami, Bu Guru Ga In. Kami mulai pelajaran matematika. Aku
benci pelajaran ini. Apa gunanya menumpuk angka di kehidupan nyata? Saat sedang
belajar, tiba-tiba seorang namja masuk. Omo, itu Lee Dong Hae, jadi aku sekelas
dengannya? Dia membuka pintu dan tanpa berkata apa-apa dia langsung duduk di
meja di belakangku. Dia benar-benar tidak punya sopan santun. Kenapa di dunia
nyata dia sangat menyebalkan? Bukankah dia selalu tersenyum di televise. Kenapa
di kehidupan nyata dia sama sekali berbeda? Tanpa sadar aku terus menatapnya.
“Mwo ya? Kau lihat
apa?”
“Ah, aniyeyo,”
Ya, babo ya? Kenapa aku
menatapnya seperti itu? Kalau akan tahu dia sangat menyebalkan, aku tidak akan
menjadikan dia idolaku. Aku tidak konsentrasi pada pelajaran hari itu. Aku
memang tidak penah konsentrasi pada pelajaran apapun. Ah aku harus segera menceritakan
ini pada Sulli. Aku mengambil ponselku dari saku jasku, aku mengetik pesan pada
Sulli.
Kau
tahu? Aku bertemu dengan Lee Dong Hae, kau percaya itu? Kau harus ke sekolahku
dan melihatnya sendiri.
Pesan terkirim.
“Noe! Kau pikir kau
dimana sekarang? Apa sekarang saatnya menggunakan ponsel?” tiba-tiba bu guru Ga
In sudah di depanku. Ani, apa yang ku lakukan? Aku menyembunyikan ponselku di
laci. Seluruh kelas melihatku. Kena lagi!
Sebagai hukuman aku
harus membereskan ruang perpustakaan. Hal itu akan jadi mudah bila perpustkaan
hanya sebesar kamarku, tapi perpustakaan di sini seperti museum buku nasional.
Terlalu luas untuk ukuran sebuah perpustakaan. Setelah lebih dari satu jam, aku
hampir selesai, tinggal bagian belakang. Aku harus mengurutkan buku sesuai
abjad. Hal ini akan menjadi hal yang mudah jika aku punya tubuh yang tinggi,
tapi dengan tinggi badan yang pas-pasan seperti ini, sepertinya ini akan
menjadi hal yang sulit. Aku sedang berusaha menarik sebuah buku saat tiba-tiba
buku yang lain ikut terjatuh.
“WAAAAAAAAAA!!!” aku
mundur beberapa langkah. Sebuah buku tebal jatuh di kakiku. “Ah!” aku memegang kaki
yang sakit. Sebuah buku yang cukup tebal tiba-tiba terjatuh. Aku tidak bisa
menghindar. Aku memejamkan mata dan menunggu buku itu jatuh. Tapi tidak ada
suara buku terjatuh. Pelan-pelan aku membuka mataku.
“Oh,” ada Lee Dong Hae
disana. Dan dia memegang buku yang terjatuh tadi.
“Ya, mwo haseyo? Kenapa
berisik sekali?”
“Oh, aku sedang
merapikan buku-buku ini, mianhae sudah menggaggumu,”
Dia menatapku.
“Ya, kau kan yag
sekelas denganku, kau yang dihukum karena bermain ponsel kan?”
“Geure, wae?” aku
kembali merapikan buku-buku itu. Tapi bagian atas aku tidak bisa menjangkaunya.
“Ani, ingatlah, ini
perpustkaan, jangan bikin ribut,”
“Ya, daripada kau
mengoceh saja, lebih baik kau bantu aku,”
“Kenapa aku harus
membantumu, itu kan pekerjaanmu,”
“Jebal, aku tidak bisa
mencapai bagian atas, dowajuseyo,”
Dia diam beberapa saat.
Tapi kemudian dia membantuku merapikan buku-buku itu. Setelah semua selesai dia
pergi begitu saja. Aku membereskan sisanya dan kembali ke asramaku. Aku
merebahkan diri di tempat tidur. Sepi sekali, kemana teman-temanku? Aku iseng
membuka Tabletku dan mulai menjelajahi internet. Aku mencari berita Lee Dong
Hae.
Bermasalah
dengan Manajeme, Karir Lee Dong Hae Terancam
Apa ini? Dalam berita
itu tertulis bahwa Lee Dong Hae terlibat dalam suatu masalah dengan manajemen
yang menaunginya dan terancam dikeluarkan dari manajemen. Kenapa aku baru tahu?
Dan kenapa harus dikeluarkan? Apa itu alasan dia bersekolah di sini? Tiba-tiba
ponselku berbunyi.
Sulli: Ya Ji Hyun-aa, benarkah Dong Hae di
sekolahmu? Dia sepertinya sedang ada masalah.
Aku: geure,
kami bahkan satu kelas. Aku juga baru
saja membaca beritanya.
Sulli: bagaimana dia di sekolah? Ada apa
sebenarnya?
Aku: entahlah, aku tidak terlalu mengenalnya.
Sepertinya dia agak aneh.
Sulli: aku akan latihan cheerleaders setelah ini.
Kau ikutlah sesuatu.
Aku: aku tidak ingin mengikuti apapun. Di sini
meyebalkan.
Sulli:
ya, apa kau mau membusuk di kamarmu? Keluarlah saat akhir pekan. Kita akan
menonton film, kau mau?
Aku:
Geurom, sampai ketemu ya.
Apa yang harus kuikuti?
Aku tidak ingin mengikuti apapun. Aku ingin lulus secepatnya.
*****************************************************************
Kami sedang olahraga di
hari berikutnya. Sebagai permulaan kami harus mengelilingi lapangan sepakbola.
Aku berlari dengan malas. Dari dulu aku tidak menyukai olahraga. Sebenarnya aku
sangat menyukai olahraga. Sepertinya aku sudah olahraga sejak dalam kandungan,
tapi sejak saat itu aku benci olahraga. Terutama basket. Sepertinya aku lari
sambil melamun saat kakiku tersandung. Aku jatuh tersungkur di pinggir
lapangan. Aku segera bangun dan lari lagi, aku tidak mau dihukum lagi.
Pelajaran olahraga
berjalan sangat membosankan. Kami harus melakukan beberapa latihan atletik.
Kami juga harus saling melemapar bola. Juga menendang bola ke arah gawang.
Seseorang sedang menendang bola ke gawang saat ponselku berdering. Ada pesan
gambar. Dan saat aku buka dan melihatnya, bola yang mental di mistar gawang
tepat mengenai kepalaku.
Aku membuka mataku
perlahan. Bau obat. Kini aku sepenuhnya sadar. Ah, sakit sekali kepalaku.
Tiba-tiba aku teringat isi pesan tadi. Itu kan Kai. Dan dia bersama seorang
yeoja. Tiba-tiba rasanya aku ingin menangis. Dan memang sepertinya aku
menangis. Dan saat kutahu aku sudah terisak keras. Kenapa dia berbuat seperti
itu? Dia benar-benar menyebalkan. Jadi itu alasan dia tidak menghubungiku
selama ini? Dia juga tidak datang saat aku masuk asrama, jadi karena yeoja itu?
Dasar menyebalkan! Aku benci dia! Aku kembali menangis, kali ini cukup keras
sepertinya, sampai seseorang berteriak padaku,
“YA! Kenapa berisik
sekali?”
Lee Dong Hae duduk di
tempat tidur sebelahku. Aku menghentikan tangisku dengan masih tetap terisak.
Aku memalingkan mukaku. Aku pasti jelek sekali saat menangis. Ini semua
gara-gara Kai.
“Benar, kau memang
jelek sekali saat menangis, maka dari itu, berhentilah menangis, kau berisik
sekali,” dia kembali merebahkan diri di tempat tidur.
“Kau, kau membaca
pikiranku?”
“Kau mengucapkan dengan
sangat jelas, siapapun pasti mendengarnya,”
Aku diam. Sepertinya
memang dari tadi aku menggerutu dan menggumam tidak jelas. Aku juga merebahkan
diri di kasur. Aku mengambil ponselku dan membuka pesan tadi. Aku melihat Kai
dan seorang yeoja sedang berangkulan. Siapa yeoja ini? Kemudian aku mencoba
menelepon Kai. Kenapa tidak nyambung? Apa Kai sudah merencanakan ini? Kenapa
dia tega sekali? Aissssshhh, jjinjja!
“Ya! Kau bisa diam
tidak? Kenapa dari tadi mengomel??”
“Siapa yang mengomel?
Aku dari tadi diam saja,”
“Terserah, awas saja
kalau kau berisik lagi,”
“Aiiish, kau ini..
Kenapa kau ada di sini dan bukannya ikut pelajaran?”
“Bukan urusanmu!”
Huh dasar menyebalkan.
Aku saja yang kembali ke kelas. Sepertinya aku sudah baik-baik saja. Hatiku
yang tidak baik-baik saja. Aku sudah turun dari tempat tidur dan memakai
sepatuku saat seorang yang berpakaian dokter masuk. Sepertinya dia seorang
namja yang tampan. Aku tersenyum padanya.
“Kau sudah merasa
baikan?”
“Ne, gwaenchana,
khamsahamnida,” aku membungkuk sebentar.
“Mungkin beberapa hari
ini kau akan sering merasa pusing, tapi itu wajar, akan hilang dengan
sendirinya nanti, kau mau kembali ke kelas?”
“Oh, ne, aku akan kembali
ke kelas,”
“Kalau begitu, ajaklah
seseorang juga, sepertinya dia akan menempel dengan tempat tidur kalau lebih
lama disana,”
“Ne?” aku bingung
dengan ucapan dokter itu.
Bukannya menjawabku
dokter itu menuju ke tempat tidur Dong Hae dan memukul keras kepala Dong Hae.
Dong Hae terbangun dan duduk.
“Ya! Kau mau sampai
kapan disini? Pergi sana, kembali ke kelasmu, kau pikir tempatku ini tempat
penginapan? Ga!”
“Ya, ijinkan aku disini
sebentar lagi,”
“Kau ini, anak nakal,
kembali ke kelasmu,” dokter itu memukul kepala Dong Hae lagi.
Akhirnya Dong Hae
beranjak dari tempat tidur.
“Kau, pastikan dia
kembali ke kelasnya,”
Aku mengangguk dan
mengikuti Dong Hae yang telah lebih dulu keluar dari ruang kesehatan.
“Ya, Dong Hae-ssi,
kenapa kau di klinik?”
“Sudah kubilag itu
bukan urusanmu, kau ribut sekali,” tiba-tiba dia membelok ke arah pintu keluar.
“Ya, kau mau kemana?”
aku dengan reflek menarik tangannya. “Kita harus kembali ke kelas,”
“Kau saja yang
kembali,” dia menghempaskan tanganku dan pergi begitu saja.
Dia ini kenapa sih?
Aneh sekali. Ah, aku harus segera kembali ke kelas.
*****************************************************************
Sudah hampir dua minggu
aku di sekolah. Aku belum punya teman sampai saat ini. Aku terus-terusan
menelepon Sulli dan Henry. Besok hari sabtu. Aku berencana keluar dan menemui
Kai. Kenapa dia susah sekali dihubugi? Sulli dan Henry juga tidak mendengar
kabar darinya. Aku juga menjalani hari penuh kebosanan. Beberapa kali aku masih
menerima hukuman. Kenapa aku sering sekali dihukum?
“Itu karena kau bodoh,”
Aku menoleh, itu Dong
hae.
“Wmo ya go? Siapa yang
bodoh?”
“Tentu saja kau, karena
kau bodoh, kau sering kali dihukum,”
“Itu bukan urusanmu,”
Aku kembali menatap
tabletku. Tiba-tiba ada fotoku dan Kai. Aku kembali teringat kesedihanku. Tanpa
sadar aku terus menatap foto kami berdua.
“Itu namjachingumu?
Jelek sekali dia,”
“Sudah kubilang bukan
urusanmu, kenapa kau ribut sekali?”
“Kau ini,”
Dia memukul jidatku
keras sekali.
“AAAA, apaaa!!! Kau ini
apa-apaan?” aku ingin membalas, tapi tiba-tiba ponselku jatuh, mental beberapa
kali di tangga, dan masuk selokan. “Ya, kau lihat, semua ini gara-gara kau,”
Aku berlari menuruni
tangga dan membungkuk di atas selokan. Selokan itu tertutup jeruji besi. Aku
memasukkan jari-jari ku ke sela-sela jeruji, tapi tidak bisa. Aku berusaha
mengangkat besi itu tapi tentu saja aku tidak kuat. Bagaimana ini??
“Ya, kau tidak mau
membantuku? Ini semua kan gara-gara kau, pallee!!!”
“Itu bukan urusanku!”
Mwo ya? Aku
menghampirinya dan memukul kepalanya keras.
“Ya, apa yang kau
lakukan?”
“Cepat ambilkan
ponselku! Atau aku akan memukulmu lebih keras lagi,”
“Coba saja kalau kau
berani,”
Aku memukul kepalanya
lagi.
“Ya!”
“Mwo????”
Dia mendengus dan
berlari menuruni tangga, dia segera mengangkat besi itu tapi sepertinya besi
itu tidak bisa diangkat. Haisshh, bagaimana ini?
“Bisa tidak?”
“Kau tidak lihat? Besi
ini sudah menempel pada pondasinya. Sudahlah, lupakan saja!”
“Enak saja kau ini, itu
ponselku satu-satunya, pokoknya kau harus bertanggung jawab! Aku tidak mau
tahu,”
“Mwo? Aku tidak mau!”
“Aiiisshh, kau ini,
jjinnjja!”
Aku berusaha mencari
sesuatu untuk mengambil ponselku. Aku melihat ranting dan mengambilnya, aku
mencari satu lagi agar bisa kujadikan sebagai sumpit. Aku mencoba untuk
mengambil ponselku pelan-pelan. Setelah beberapa kali gagal akhirnya aku bisa
mengambil ponselku. Untung saja ponsel jaman sekarang sudah sangat tipis. aku
melihat ponselku dan ada beberapa goresan di layarnya. Aku mengambil tasku dan
segera pergi meninggalkan Dong Hae. Dia menyebalkan.
Hari ini aku bersiap
keluar. Aku harus membetulkan ponselku. Semalam layarnya mengeluarkan
bercak-bercak aneh, pasti karena benturan. Aku juga harus menemui Kai. Aku
menunggu bis di halte depan sekolahku. Aku mencoba menelepon Sulli dan
mengajaknya keluar. Tapi dia ada latihan cheerleader sampai sore. Henry juga
ada latihan sepak bola. Akhirnya aku pergi sendirian.
Aku dipusat
perbelanjaan sekarang. Aku akan membetulkan ponselku dan segera ke rumah Kai. Ramai
sekali di sini. Dan kenapa foto Dong Hae ada di mana-mana? Dan saat kulihat
antrean, aku tahu, sepertinya ada acara tanda tangan untuk fans. Berarti dia
juga di sini? Aku harus cepat-cepat pergi, tapi aku juga ingin dapat tanda
tangannya. Tapi bagaimana ini? Dia bisa mengenaliku. Ah, aku punya kacamata
hitam di tasku. Aku segera memakainya dan masuk dalam antrean. Akhirnya seorang
lagi giliranku. Saat orang di depanku berbalik dan aku melihat Kai.
“Kai, kau di sini?” aku
melepas kacamataku.
“Ji Hyun-aa, apa yang
kau lakukan disini?” tiba-tiba dia memandang sekelilingnya.
“Seharusnya aku yang
bertanya, kau kemana saja? Ponselmu tidak bisa dihubungi,”
“Ponselku hilang, aku
akan menghubungimu setelah beberapa saat, tapi aku sibuk sekali, miahae,”
“Gwaenchana, sekarang
aku sudah bertemu kau, aku lega, mau pergi bersama?”
“Ah, mianhae, aku harus
pergi,”
Kai berlari ke arah
kerumunan orang-orang. Aku berusaha mengejarnya. Tapi tidak berhasil. Kemana
dia? Aku mencoba mencarinya. Tapi setelah berputar-putar, aku tidak bisa
menemukannya. Aku sampai di depan tempat aku meninggalkan ponselku. Aku
bertanya apa sudah selesai an ternyata sudah. Aku membayar dan segera pergi
untuk mengejar Kai. Aku berputas-putar di dalam pusat perbelanjaan. Aku naik ke
lantai 4 kembali lagi turun ke lantai 1, tapi aku tetap tidak menemukan Kai.
Aku hampir putus asa saat aku melihat Kai dan yeoja itu di tempat makan. Dan
mereka bergandengan tangan.
Apa yang harus
kulakukan? Dan pada saat yang bersamaan Kai melihat padaku dan dia hanya
terdiam, menatapku kosong, dan berlalu. Apa ini? Apa yang dia lakukan? Kenapa
dia melakukan ini? Tanpa kusadari air mataku mengalir. Aku menangis. Entah
kenapa aku menangis. Semua orang melihat ke arahku, aku tidak ingin menangis,
tapi air mataku terus mengalir. Aku ingin beranjak da berlari, tapi badanku
kaku. Akhirnya aku hanya menangis terisak sampai seseorang tiba-tiba memelukku.
“Ya! Kenapa menangis di
tempat seperti ini?”
“Nugu ya?”
Dia tidak menjawab.
Hanya membelai rambutku pelan. Entah berapa lama kami seperti itu. Yang pasti
aku menangis lama sekali. Entah kenapa aku ingin terus menangis di pelukan
orang ini. Begitu nyaman dan menenangkan.
“Ya, kau mau menangis
sampai kapan?”
“Ah, mianhae, kau bisa
melepasku sekarang,”
Dan Lee Dong Hae
berdiri tepat di hadapanku.
0 komentar:
Posting Komentar