Ji Hyun terus merasa takut saat melihat lapangan basket, dan Dong Hae disana.. This is it In My Dream Part 4.. Happy Reading...
Dan entah kenapa aku
mendapatkan nafasku kembali. Untuk beberapa saat aku melupakan semua
ketakutanku. Entah kenapa semua bayangan tentang lubang berdarah di kepalaku
lenyap begitu saja. Ini benar-benar aneh.
“Arayo,”
Dia hanya berkata itu
dan menepuk-nepuk punggungku pelan. Menurutku ini sangat berlebihan, aku
ketakutan akan suatu hal yang seharusnya kuimpikan dan seseorang memelukku saat
ketakutanku berada pada titik paling tinggi. Kami tidak mengatakan apapun untuk
beberapa saat.
“Kau tidak harus
memaksakan dirimu, tapi bisakah bayangan lubang dikepalamu menjadi bayangan
sebuah lubang untukmu keluar dari ketakutanmu?”
Aku diam.
“Bayangkanlah itu
adalah lubang untukmu keluar dari bayangan masa lalumu, bagaimana bisa sebuah
lubang di kepala mengubur impianmu? Lalu kau piker kau bisa melanjutkan hidup
dengan ketakutan pada impianmu sendiri? Kau harus lawan ketakutanmu, aku ingin
melihatmu bermain basket lagi, araji?”
Aku diam dalam
pelukannya. Apa yang dia katakan ada benarnya, selama ini aku tersiksa dengan
menahan diriku untuk bermain basket. Aku sangat ingin mencoba untuk bermain
basket lagi. Apa ini saatnya aku mencoba lagi? Akhirnya aku mengangguk dalam
pelukan Dong Hae.
******************************************************************
Aku berdiri di lapangan
basket sekarang. Di depanku ada sebuah bola basket. Itu milik Dong Hae. Entah
kenapa dia meninggalkan bola itu di sini. Semalam saat kembali ke asrama, aku
benar-benar memikirkan perkataan Dong Hae. Aku hampir tidak tidur semalaman.
Aku tertidur dengan fotoku saat memenangkan turnamen basket tingkat SMP. Dan
sekarang aku ingin keluar dari lubang kepalaku. Aku ingat saat tiba-tiba Dong
Hae memelukku dang mengatakan semua hal itu. Aku ingin Dong Hae melihatku
bermain basket dengan baik tanpa ketakutan.
Aku melangkah pelan
mendekati bola basket itu. Kepalaku kembali berputar, lubang dan darah kembali
memenuhi otakku. Aku membuat diriku tetap berdiri tegak. Aku membungkuk dan
memegang bola itu. Seperti di fast rewind, semua ingatan saat aku jatuh kembali
berputar-putar di kepalaku. Aku memejamkan mataku, aku mula tapi kuambil bola
itu dan berlari sambil mendriblenya. Semua terlihat gelap pada awalnya, aku
melempar bola ke arah ring, meleset. Nafasku tidak beraturan, sebagai permulaan
sepertinya aku berhasil. Pandanganku masih berkunang-kunang, tapi aku tetap
memaksakan diriku untuk terus memegang bola dan memainkannya. Aku hanya
melempar bola secara tak beraturan pada awalnya. Aku masih sangat pusing. Aku
mual, aku hampir saja muntah dan hilang keseimbangan tapi aku terus mencoba.
Pada akhirnya, aku berhasil menguasai diriku, aku berlari mendrible bola dan
melompat ke arah ring. Untuk pertama kalinya setelah empat tahun ketakutanku,
aku bisa memasukan bola ke dalam ring. Dan sisa malam itu, aku bisa memasukkan
tiap tembakanku ke dalam ring.
Aku merasa seperti
hidup kembali. Setidaknya permaianan basketku sempat mati dan saat ini aku seperti
dilahirkan kembali. Aku merasa sangat senang. Neomu haengboke. Aku bahkan
sampai melompat-lompat dan berteriak kegirangan. Aku terus melompat dan
berteriak. Tubuhku penuh keringat, nafasku naik turun tak beraturan. Setlah
beberapa saat aku dengan kegilaan aku terlentang di lantai lapangan dan
memandang langit malam. Senyumku terus menghiasi wajahku, aku benar-benar
bahagia. Aku ahrus bisa terus seperti ini. Aku memejamkan mataku beberapa saat
dan saat kubuka mataku kembali ada wajah Dong Hae di hadapanku. Aku hampir saja
berteriak.
“Kau membuatku hampir
mati jantungan,” kataku,
“Kenapa tidak mati
saja?”
“Apa kau bilang???”
Aku hampir saja memukul
lengan Dong Hae saat dia menyodorkan sebotol minuman dingin kepadaku. Aku
mengurungkan niatku untuk memukulnya dan menatapnya sejenak.
“Kau sudah berusaha
dengan keras minumlah, kau pasti hampir mati karena haus,”
Aku mengangguk dan
menerima minuman darinya lalu menenggaknya hingga hampir setengahnya.
“Uwaaaa, segar sekali,
gumawo,”
“Jadi kau akan ikut
latihan besok?” dia duduk disampingku.
Aku mengangguk penuh
percaya diri. Aku sudah memutuskan.
“Johae,”
“Gomawo, jongmal
gomawo, aku bisa bermain basket lagi sekarang, dan ternyata memang itu yang
kuinginkan,”
“Jangan senang dulu,
kau masih berhutang 1500 won padaku, kau harus membayarnya,”
“Kau ini kenpa selalu
memikirkan uang?? Bukankah kau sangat kaya?”
Aku mendengus kesal.
Dong Hanya diam.
“Aku tak sekaya yang
kau pikirkan, apa yang akan kau lakukan?”
“Apa maksudmu?”
“Dwaesso, apa yang akan
kau lakukan setelah ini?”
“Aku akan memberitahu
Pelatih Kim kalau aku akan berlatih,”
“Lalu apa yang kau
tunggu? Tahun baru China? Cepat temui dia,”
“Ah, geure, aku akan
menemuinya, kau tahu dimana dia?”
“Dia ada di gedung
olahraga, ga!”
“Ne, gumawo,” aku
berdiri dan berlari ke arah gedung olahraga.
“Jangan lupa hutangmu,”
Dong Hae berteriak kepadaku.
Aku melambaikan
tanganku dan terus berlari sampai di gedung olahraga aku segera menuju lapangan
basket. Kulihat Pelatih Kim sedang mengemasi tasnya bersiap untuk pergi.
“Pelatih Kim,” aku
hampir berteriak memanggilnya.
Pelatih Kim menoleh
padaku. Dia melempar senyum khasnya kepadaku.
“Kau datang untuk
membereskan ruangan ini?”
“Apa maksud Pelatih?”
“Kau datang saat
latihan selesai, bukankah berarti kau akan membereskan sisanya?”
“Anio. Aku kesini
karena aku ingin menyampaikan sesuatu kepada anda, Pelatih,”
“Ku harap kau akan
mengatakan padaku bahwa kau akan membereskan tempat ini,”
Aku menggeleng kuat.
“Ani, yang ingin
kukatakan kepada Pelatih adalah, aku akan bermain basket lagi, aku akan
berusaha melakukan yang terbaik, mohon bimbingannya,” aku membungkuk.
“Mwo?”
“Ne, aku akan bermain
basket lagi, mohon bimbing aku Pelatih Kim,” aku berkata dengan sangat pasti.
Pelatih Kim sepertinya sangat terkejut.
“Kau ini, kau membuatku
takut, kenapa kau ingin bermain lagi?”
“Aku punya alasan untuk
melakukannya lagi, dan juga aku ingin anda melihatku dengan mata terbelalak
saat aku bisa melakukan tembakan tiga pointku,”
“Aku tidak akan pernah
membelalakkan mataku padamu,”
“Kita lihat saja nanti,
kalau sampai Pelatih terbelalak, aku akan mendapatkan es krim gratis dari Pelatih,”
“Kau ini, es krim saja
yang ada di kepalamu, sekali-sekali isilah otakmu dengan sesuatu yang lain.”
“Ye, Pelatih,”
Kami berdua tertawa.
“Ya Ji Hyun-aa, apapun
alasanmu kembali bermain, aku senang kau kembali, lakukan yang terbaik,”
“Ye, Pelatih, aku akan
menuruti kata-katamu,”
“Baiklah, urus tempat
ini, jangan pulang sebelum semua beres,”
“Mwo? Semuanya???”
Pelatih melambaikan
tangan padaku dan pergi meninggalkanku dengan lapangan basket yang penuh dengan
bola berserakan. Apa-apan sih Pelatih Kim itu?? Menyebalkan sekali dia ini. Aku
mengambil sebuah bola di dekat kakiku. Darahku berdesir saat memegang bola,
lalu kulempar bola dan masuk ke ring.
“Ya, apa yang kau
lakukan? Kau sudah bertemu Pelatih Kim?” Dong Hae sudah berdiri di pintu ruang
olahraga.
“Ne, aku sudah
mengatakan padanya,”
“Lalu kenapa masih di
sini?”
“Pelatih meyuruhku
mebereskan semua ini, kau bantu aku ya?”
“Kau bercanda?”
Dan beberapa saat
setelah itu kami bersama-sama membereskan lapangan basket.
*****************************************************************
Hari ini aku, Hyuk Jae,
dan Hye Ri pergi ke pusat perbelanjaan. Sebenarnya ini ide Hyuk Jae, dia ingin
membeli sepatu baru, tapi kami harus ikut. Saat sedang memilih sepatu, aku
melihat Kai. Kali ini dia sendirian. Benar-benar sendiri, tanpa yeoja itu. Aku
harus bicara dengannya. Aku berlari ke arahnya, meninggalkan Hyuk Jae dan Hye
Ri.
“Ya, Kai,”
Kai menoleh dan
terkejut melihatku.
“Ji Hyun-aa, kau sedang
apa di sini?”
“Aku hanya membeli
sesuatu, Kai, odiyeyo?”
“Apa maksudmu? Aku
tidak kemana-mana, kau ini bicara apa?”
“Kau tidak pernah
menghubungi, kau juga tidak pernah menemuiku, apa yang terjadi?”
“Oppseoyo, aku hanya sedikit
sibuk,”
Kami diam beberapa
saat. Kai terlihat sedikit gelisah. Dia akan terus-terusan melihat jam
tangannya saat gelisah. Dan dia melakukan itu sekarang.
“Kai, geu yeoja neun,
nugu ya?”
“Umm, dia hanya chingu
di sekolah,”
“Jongmal? Kulihat kau
sering bersamanya,”
“Itu.. itu.. karena..
ah aku harus pergi, kita bicara lain kali,” setelah mengatakan itu Kai langsung
pergi begitu saja.
“Ya, Kai, gidariyo, aku
belum selaesai,”
Aku berteriak dan
berusaha mengejarnya, tapi dia cepat sekali menghilang. Aku berdiri mematung di
tengah kerumunan orang-orang. Dadaku terasa sesak sekali. Aku menggigit bibirku
menahan tangis. Apa Kai benar-benar telah melupakan aku? Kenapa dia bersikap
seperti itu? Kenapa dia tidak menjelaskan apapun padaku? Kenapa dia berubah seperti
ini? aku hampir saja menangis saat Hye Ri menepuk pundakku. Aku tesadarkan
kembali. Aku baru ingat kalau aku tadi tiba-tiba meninggalkan mereka.
“Ya, apa yang kau
lakukan disini? Kenapa tiba-tiba hilang?”
“Oh, aniyo, tidak, aku
hanya tadi melihat seseorang yang ku kenal, dan ternyata bukan, mianhae,”
“Ku kira kau tersesat,
kalian lapar? Ayo makan!” Hyuk Jae mengajak kami makan.
Aku dan Hye Ri
mengangguk. Aku masih terus memikirkan Kai. Kenapa dia bersikap seperti itu?
Kalau dia ingin berpisah kenapa tidak mengatakannya padaku? Sampai di tempat
makan pun aku masih melamun.
“Ya Ji Hyun-aa, kau mau
pesan apa?”
“Ah, mianhae. Aku pesan
soondubu jiggae saja.”
“Kenapa kau pesan
itu???”
“Ah, aku hanya ingin
makan itu saja,”
Kami makan pesanan kami
sambil mengobrol. Aku masih tetap memikirkan Kai. Apa yang harus kulakukan? Apa
karena aku masuk asrama sehingga dia menjauhiku? Atau karena dia memang mau
putus denganku? Tapi kenapa dia bersikap seperti itu? Kenapa dia tidak
mengatakannya padaku? Kenapa harus menghindariku?
“Kulihat dari tadi kau
melamun terus, apa yang terjadi?”
“Ah,” pertanyaan Hyuk
Jae menyadarkanku dari lamunanku, “Apa aku terlihat seperti melamun?”
“Matamu menatap kosong
pada sup tahumu, dan kau bahkan tak sedikitpun menyentuh sup mu, kalau bukan
melamun apa kau patung?”
“Ya Ji Hyun-aa, apa ada
sesuatu?” tanya Hye Ri.
“Oh, aniyo, gwaenchana,
aku hanya merindukan eonnieku, biasanya dia membuatkan sup tahu ini untukku,”
apanya yang sup tahu? Masuk dapur saja dia alergi.
“Teleponlah dia nanti,”
“Ne, aku akan
meneleponnya nanti, mog cha,”
Aku menghabiskan supku
tanpa mengatakan apapun. Aku tidak bisa menceritakan hal ini pada mereka.
Mereka tiddak ada hubungannya dengan ini. apa aku ahrus menelepon Sulli?
Tiba-tiba ponselku bordering. Ada pesan dari Henry.
Ya,
kemana Kai? Dia tidak pernah menghubungiku, kami bahkan tidak pernah bermain
sepakbola bersama lagi. Beritahu dia untuk menghubungiku.
Aku hanya terdiam
membaca pesan Henry. Kai juga tidak menghubungi Henry dan Sulli.
Aku: Ne, aku akan memberitahnya. Sepertinya dia
agak sibuk akhir-akhir ini.
Henry: Apa terjadi sesuatu?
Aku: Ani, kami hanya jarang bertemu karena dia sibuk. Tidak terjadi
apa-apa.
Henry: Geureyo, dia jarang sekali menghubungiku,
sejujurnya bogoshiposeokeuna.
Aku: Nado,aku akan menghubungi dia nanti, geokjheongmara.
Henry: Araso, jaga kesehatanmu.
Aku: Ne. kau juga.
Kami pulang dari pusat
perbelanjaan saat malam hari. Aku dan Hye Ri menuju asrama sambil ngobrol.
Sekolah sangat sepi mala mini, hampir tidak ada siswa yang melakukan kegiatan.
“Sepi sekali, jam brapa
ini?” Hye Ri melihat jam tangannya. “Ini baru jam 8,”
“Kau benar, sepi
sekali, ayo cepat, aku ingin segera tidur,”
“Ah Ji Hyun-aa, teman
sekamarku tidak pulang malam ini, kau mau tidur di kamarku, temani aku,”
“Kalau ketahuan
bagaimana?”
“Malam ini tidak ada
pemeriksaan, kita aman,”
“Araso. Aku akan
menghubungi Se Na,”
Malam itu aku tidur di
kamar Hye Ri. Kami ngobrol banyak sampai larut.
******************************************************************
Siang itu setelah
pulang sekolah, aku ke gedung olahraga. Aku memasukkan bola beberapa kali.
Setelah itu aku hanya duduk di tengah lapangan. Entah kenapa hatiku selalu
sakit saat ingat Kai. Aku ingin menangis saat ini. Apa aku harus menelepon Kai
dan mengatakan untuk mengakhiri hubungan kami saja? Aku capek terus menerus
bertanya kenapa. Aku tidak pernah mendapatkan jawaban atas semua kenapaku. Tapi
aku pasti akan menangis dan tidak bisa mengatakan apapun.
“Apa kau terlahir untuk
melamun?”
Aku menoleh dan Dong
Hae berdiri di pintu. Saat Dong Hae berjalan ke arahku, aku berdiri dan
berbalik membelakanginya. Aku sudah menangis. Aku tidak ingin dia melihatku
menangis lagi. Aku tidak mau berhutang lagi padanya. Dia mendrible bola
beberapa kali dan memasukkannya ke dalam ring. Aku masih membelakanginya.
“Dong Hae-ssi, bisakah
kau melakukan sesuatu untukku?”
“Kali ini apa lagi?”
dia masih memainkan bolanya.
Aku berbalik menatap
Dong Hae.
“Bisakah kau melihatku
dan memastikan aku tidak akan menangis?”
Bola ditangannya lepas.
“Mwo???”
Aku menekan nomor rumah
Kai. Aku tidak bisa menghubungi ponsel Kai. Aku sangat berharap Kai di rumah
dan mengangkat teleponku. Dong Hae bersandar pada pohon di taman sekolah.
Membelakangiku.
“Yoboseyo,” suara Kai
terdengar di seberang. Aku lega dia mengangkatnya.
“Umm… Kai ini aku, Ji
Hyun,”
Tidak ada suara di
seberang sana, tapi telepon masih tersambung.
“Umm… Sampai sekarang,
kau sudah selalu menjagaku, gumapta,”
Masih belum ada jawaban
dari Kai.
“Aku.. Aku sangat
senang saat kau mengatakan aku mirip pelangi, penuh warna dan ceria, kau juga
mengatakan kau menyukai pelangi, itu artinya kau menyukaiku, nan neun jongmal haengbokaeyo,”
Kami berdua diam. Aku berusaha
untuk tidak menangis. Aku merasa suaraku bergetar.
“Kunde… Kunde nan.. Aku harus
berhenti menjadi pelangi untukmu.. Aku sudah membuatmu merasa tidak nyaman,
jadi aku pikir aku akan berhenti menjadi pelangi untukmu,”
Tidak ada yang bersuara diantara
kami.
“Lagipula.. Denganmu yang
sudah..”
“Araso, kau teruslah
bersemangat,”
Aku diam. Aku benar-benar ingin
menangis.
“Ne,”
Aku menarik nafas dalam-dalam.
“Annyeong,”
Aku menutup telepon dan
menghembuskan nafas panjang.
“Kau kejam sekali,” kata Dong Hae
tiba-tiba.
Aku menatap ponselku terdiam.
“Memutuskan dari satu pihak, dan
mengatakan selamat tinggal melalui telepon, kalau begitu caranya Kai bisa saja
menangis kan?”
Aku tersenyum menatap Dong Hae.
Dia masih bersandar pada pohon dan menatap ranting-ranting pohon.
“Mungkin saja,” jawabku.
“Jangan bohongi dirimu sendiri,
menangislah,” kata Dong Hae.
“Shiro! Aku tidak akan menangis,”
“Kau benar-benar sangat kejam,”
“Kunde… Aku tidak mau menambah
hutangku karena menangis di depanmu,”
Dong Hae menatapku dan tersenyum.
“Kau benar-benar sudah merencanakan
ini semua,”
Aku ikut tersenyum, mungkin masih
ada rasa sakit di hatiku, tapi aku sekarang merasa lebih baik. Aku lega bisa
mengakhiri semua tekanan dalam hatiku. Aku tidak menangis, bukan karena aku
tidak ingin berhutang pada Dong Hae, tapi aku memang tidak ingin menangis untuk
Kai. Aku pernah berjanji tidak akan menangis untuk Kai, aku ingin selalu
bahagia untuknya. Maka dari itu, sampai akhirpun aku tidak ingin menangis.
Aku dan Dong Hae berjalan pelan menyusuri
taman. Kami terdiam. Aku merasa lega. Aku akan melupakan Kai yang pernah
kusayangi. Aku berhenti dan menatap langit.
“Di langit yang biru, awan putih
berarakan, bukankah itu sangat indah?”
Dong Hae berhenti dan ikut
menatap langit.
“Kau benar, neomu yeppeotta,”
Kami menatap langit untuk beberapa
saat. Aku tersenyum bahagia.
***************************************************************
Aku bertemu dengan Sulli dan
Henry di akhir pekan. Mereka mengajakku menonton film. Kami menghabiskan waktu
seharian bersama. Kami mengambil banyak gambar hari ini. Kami ke pasar murah,
kami membeli beberapa barang bersama, kami bahkan makan sangat banyak. Kami membeli
es krim super besar dan memakannya bersama di taman. Henry terus saja bercerita
tentang pertandingan sepak bolanya kemarin. Dia memasukkan dua gol dan dia menjadi
sangat senang dan bangga.
“Seharusnya kalian melihatku
kemarin, aku benar-benar sangat hebat!” celotehnya dengan mulut penuh es krim.
“Kau ini, habiskan dulu es krim
di mulutmu itu,” kata Sulli.
“Di pertandingan berikutnya,
kalian harus datang melihatku, araji?”
“Itu tergantung, kau mau traktir
kami atau tidak, benarkan Ji Hyun?”
“Benar, kapan kau akan mentraktir
kami?? Kau selalu saja minta traktiran dari kami, tapi setiap kami minta
traktir, kau selalu saja kabur,”
“Itu karena aku pintar, sudahlah,
kalian harus datang ya,” kata Henry sambil terus makan es krim.
“Dasar kau ini,”
“Ah, ajak Kai juga, aku sangat
ingin bertemu dengannya,” kata Henry.
Aku terkejut mendengarnya. Aku terdiam
beberapa saat. Aku harus memebritahu mereka tidak ya? Sepertinya aku harus
memberitahu mereka.
“Ya, Ji Hyun-aa, ajak Kai juga,”
Henry menepuk pundakku pelan.
“Ummm… itu… aku tidak bisa,”
“Wae??”
“Kami sudah tidak bersama lagi,”
entah itu keluar begitu saja.
Sulli dan Henry tampak sangat
erkejut.
“Mwo???????”
“Geure, aku memutuskannya
beberapa hari yang lalu,”
“Ya Ji Hyun—aa! Apa maksudmu? Kenapa
kau melakukan itu??
Sulli tiba-tiba menjadi sangat
marah.
to be continued...
0 komentar:
Posting Komentar