Tampilkan postingan dengan label A Man in Love (Fan Fiction). Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label A Man in Love (Fan Fiction). Tampilkan semua postingan

Kamis, 25 April 2013

A Man In Love (Part 4)

Diposting oleh Popo... The Kite Runner di 06.02 0 komentar

Bagaimana Yunho menghadapi semua kenyataan yang ada? A Man In Love... 

Ujian sekolah pun tiba. Yunho telah mempersiapkan semua dengan baik. Hari ini hari terakhir ujian. Lembar jawaban sudah hampir sepenuhnya terisi. Waktu yang tersisa hanya 5 menit. Dia mengecek jawaban perlahan setelah itu mengangguk pelan. Dia merasa cukup puas dengan jawabannya. Dia mulai merapikan alat tulis dan soal-soal ujian lalu menutup lembar jawaban, memasukkan alat tulis ke dalam tas dan beranjak meninggalkan tempat duduknya. Beberapa temannya juga melakukan hal yang sama. Dia keluar dari kelas dan seseorang telah menunggunya.
“Ya, eottae? Kau bisa mengerjakannya?” tanya temannya itu, Changmin.
“Bagaimana menurutmu?” Yunho balik bertanya.
“Tunggu, kalau melihat raut wajahmu, sepertinya kau bisa menanganinya dengan baik,” kata Changmin mencoba menebak-nebak.
Yunho hanya tersenyum. “Kau sendiri?”
“Kau tahu kan otakku ini seperti kura-kura? Aku benar-benar butuh keajaiban untuk bisa lulus, kau sih enak, ah, kenapa kau ini pintar sekali?” Changmin menunjukkan wajah iri.
“Kau ini bicara apa? Sepertinya otakmu itu terlalu panas,”
“Geure, bahkan tadi kepalaku berasap gara-gara soal ujian,”
Yunho hanya menggeleng-gelengkan kepala.
“Kau mau pulang?” tanya Changmin. Mereka duduk di sebuah bangku di taman.
“Molla, aku ingin pergi ke suatu tempat, kepalaku benar-benar penuh saat ini, aku ingin mendinginkan kepalaku,” jawab Yunho sambil menerawang.
“Ne, kau benar, kita memang butuh penyegaran, sebaiknya kemana kita?”
“Ya, apa kita terlihat seperti sedang merencanakan sebuah kencan?”
“Busun mariya? Ya, kapan pengumuman penerimaan di Universitas Korea?”
“Ah, geure, aku hampir lupa, pengumumannya hari senin,”
“Apa menurutmu kau akan lolos?”
“Entahlah, ini tidak seperti ujian di sekolah, semua penuh ketidakpastian, tapi aku berharap bisa lolos, kalau tidak maka aku akan pergi ke Mokpo dan menangkap ikan di sana,” kata Yunho.
“Apa maksudmu menangkap ikan? Kau pikir kau ini nelayan? Sudahlah, yakinlah kau akan lolos, kecuali kalau kau ini adalah aku, maka bersiaplah ke Mokpo, hahaha,”
“Kau sendiri, apa rencanamu selanjutnya? Universitas mana yang kau pilih? Kau ini, seharusnya kau juga memikirkan masa depanmu, apa selamanya kau akan seperti ini?”
“Geokjongmara, kau tahu aku ini Mazinga Z, aku akan terus hidup,” kata Changmin.
“Itu bukan masalah kau akan terus hidup atau tidak, tapi apa kau tidak ingin melanjutkan sekolahmu?” tanya Yunho.
“Ya, kau tidak peduli aku mati atau hidup? Teman macam apa kau ini?” ujar Changmin. Dia terdiam sejenak. “Aku juga masuk Universitas Korea,” ujarnya pelan.
“Mwo? Kau ini bicara apa?” tanya Yunho heran.
“Aku juga mengikuti ujian masuk Universitas Korea, hanya saja aku tidak ingin kau tahu, aku juga waktu itu satu kelas denganmu, kau terlambat datang waktu itu, kau terlalu serius dan kau juga bersama seorang yeoja, aku ingin menyapamu, tapi lebih baik aku membuat kejutan kan?”
Yunho menoleh menatap Changmin dalam-dalam.
“Kenapa melihatku seperti itu?”
Yunho tidak menjawab dia hanya menatap Changmin.
“Aku ingin mengikutimu, kau satu-satunya temanku, kalau tak ada kau, aku bisa apa, jadi aku putuskan masuk Universitas Korea, sebenarnya aku sudah memikirkan ini sejak lama, maka dari itu aku mendaftar kesana, lolos atau tidak aku hanya berusaha,” kata Changmin.
Yunho masih menatap Changmin dalam-dalam.
“Ya, kau tidak naksir aku kan?”
Mata Changmin terbelalak.
“Mwo ya?? Kau pikir aku penyuka sesama jenis?”
“Kau tahu, tiba-tiba aku jadi merinding, tapi aku tetap berharap kau lolos,”
Yunho beranjak meninggalkan Changmin yang masih terbengong-bengong. Yunho tersenyum kecil sambil berjalan, Changmin beranjak menyusul Yunho.
**********************************************************************
Yunho berjalan pelan menyusuri deretan pertokoan di salah satu sisi kota Seoul. Tidak ada yang ingin dia beli, dia hanya ingin berjalan-jalan. Tiba-tiba langkahnya terhenti di depan sebuah gedung yang menjulang tinggi di ujung jalan. tempat ini adalah pusat hiburan terbesar di distrik ini. Dipenuhi fasilitas yang serba mewah dan berkelas. Orang-orang yang masuk pun tidak sembarangan, mereka harus punya tanda khusus agar bisa masuk.  
Yunho menatap bangunan itu dengan tatapan kosong. Tempat inilah dimana dia dulu sering meghabiskan kesehariannya sepulang sekolah. Bermain bola, bermain bersama teman-temannya. Tempat ini dulu adalah sebuah tanah lapang yang luas dengan taman kecil yang damai dan indah. Ayahnya selalu bermimpi ingin membangun rumah sakit di tanah ini. Tapi impian tinggallah impian, tanah itu terlanjur jatuh ke tangan orang lain dengan berbagai kekejaman.
Sebuah ingatan melintas di kepala Yunho. Saat itu dia masih kecil, masih sangat kecil. Dia baru berusia enam tahun dan dia baru saja masuk sekolah dasar. Dia selalu pergi ke tempat ini sepulang sekolah. Tempat ini cukup jauh dari rumahnya, tapi dia selalu menyempatkan diri ke tempat itu. Dia punya tempat rahasia, sebuah lubang untuk menyimpan uangnya. Uang saku yang selalu diberi ayahnya tiap pagi. Dia berniat membeli sebuah sepeda dengan uangnya sendiri. Dia masih sangat kecil, terlalu kecil untuk memiliki keinginan membeli sepeda dengan uangnya sendiri, tapi itulah Yunho, selalu punya keinginan yang kuat untuk mewujudkan mimpinya. Dengan memiliki sepeda, dia akan lebih mudah pergi kemanapun yang dia suka. Dia memilih tempat itu untuk menyimpan uang karena dia merasa lebih aman menyimpan di tempat itu dibandingkan menyimpannya di rumah. Kakaknya pasti akan mengambil uang itu. Kakaknya Yunho adalah orang yang sangat meyebalkan versi Yunho.
Hari itu, saat dia selesai dengan tabungan rahasianya, dia melihat seorang anak perempuan yang berlari dengan wajah ketakutan. Yunho kecil tidak pernah menyukai anak perempuan, menurutnya anak perempuan itu berisik. Tapi saat melihat wajahnya yang pucat ketakutan, Yunho menghampirinya. Belum sempat Yunho bertanya, dia melihat tiga anak laki-laki berari ke arah anak perempuan itu. Tanpa berpikir panjang Yunho berdiri di depan anak perempuan itu dan melindunginya. Dia mengambil sebatang kayu di sebelahnya dan berusaha mengusir anak-anak berandalan itu. Sempat terjadi perkelahian kecil diantara mereka, tapi Yunho dengan gigih berusaha melawan mereka. Tiga anak laki-laki itupun akhirnya menyerah dan meninggalkan Yunho beserta anak perempuan itu.
Anak perempuan yang tak dikenalnya itu terisak pelan di belakangnya. Yunho mendekatinya dan menatap anak perempuan itu. Dia menunduk dan badannya gemetaran. Yunho mengambil sesuatu dari dalam tasnya dan menyodorkannya ke anak perempuan itu.
“Minumlah,” kata Yunho riang.
Anak perempuan itu menoleh. Yunho tersenyum lebar, wajahnya sedikit memar di sana sini,  tanganya yang tergores di beberapa tempat menyodorkan sekotak susu strawberry ke arah anak perempuan itu. Perlahan tangan anak perempuan itu meraih kotak susu yang diberikan kepadanya dan mengambilnya. Dia membuka pelan kotak susu itu dan meminumnya perlahan.
“Enak? Kau suka?” tanya Yunho.
Anak perempuan itu mengangguk dan perlahan senyumnya mengembang. Yunho senang melihat senyum anak itu.
“Gomawo,”
Hanya itu yang diucapkan anak perempuan itu dan mereka hanya duduk di rerumputan tanpa mengatakan apa-apa lagi.
Keesokan harinya, Yunho kembali ke tempat itu, kali ini ada tujuan lain selain menyimpan uangnya. Dia ingin bertemu dengan anak perempuan itu. Entah kenapa dia ingin bertemu dengannya lagi, dia ingin berkenalan dan berteman dengan anak perempuan itu. Mereka tidak sempat berkenalan kemarin. Tapi hampir seharian dia menunggu anak perempuan itu tidak datang lagi. Hari berikutnya dia ingin menunggu anak perempuan itu lagi, tapi seorang yang jahat datang dan mengacaukan rumahnya. Dia tidak pernah bertemu lagi dengan anak perempuan itu. Bahkan sampai saat ini tempat itu telah menjadi tempat yang asing untuk Yunho, anak perempuan itu tak pernah datang. Yunho tersenyum kecil mengingat kenangan yang hanya setitik kecil itu. Perlahan dia berbalik meninggalkan tempat itu.
Sejenak setelah Yunho meninggalkan tempat itu, bahkan punggung Yunho masih telihat, sebuah mobil datang. Chae Rin turun dari mobil itu dan memandangi gedung itu selama beberapa saat. Ayahnya menyuruhnya untuk menunggunya agar bisa pulang bersama. Chae Rin duduk di taman depan gedung itu.
Dia membuka tasnya dan mengambil sebuah buku yang belum selesai dia baca. Dia membuka pembatas dan melanjutkan membaca, baru beberapa saat dia membaca, dia kembali membuka tasnya dan mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sekotak susu strawberry. Chae Rin membuka kotak susu itu dan meminumnya perlahan. Dia tidak melanjutkan membaca, tapi menerawang menatap langit. Sebuah kenangan tiba-tiba memaksanya untuk kembali ke ingatan beberapa tahun silam.
Saat itu dia berdiri di depan gerbang sekolahnya. Dia sedang menunggu supir yang menjemputnnya. Entah kenapa hari itu supirnya sangat terlambat, sekolah sudah sepi dan dia masih belum dijemput. Saat sedang menunggu, tiba-tiba tiga anak laki-laki menghampirinya dan memaksa Chae Rin untuk memberi mereka uang. Chae Rin yang ketakutan dengan ulah tiga anak itu segera berlari untuk menghindari mereka. Dia terus berlari, dia sangat ketakutan. Dia berlari tak tentu arah. Dia hanya ingin terbebas dari ketiga anak nakal itu. Dia melihat sebuah tanah lapang dengan taman kecil di dalamnya. Dia berlari kesana dan mencoba mencari tempat sembunyi. Saat itulah seorang anak laki-laki berdiri di depannya.
Anak laki-laki itu mengambil sebatang kayu di sebelahnya dan berusaha mengusir anak-anak berandalan itu. Sempat terjadi perkelahian kecil diantara mereka, tapi anak laki-laki itu dengan gigih berusaha melawan mereka. Tiga anak laki-laki itupun akhirnya menyerah dan meninggalkan Chae Rin beserta anak laki-laki itu.
Chae Rin terisak pelan di belakang anak laki-laki yang tak dikenalnya itu. Dia mendekatinya dan menatap Chae Rin. Cha Rin menunduk dan badannya gemetaran. Anak laki-laki itu mengambil sesuatu dari dalam tasnya dan menyodorkannya ke arah Chae Rin.
“Minumlah,” katanya riang.
Chae Rin menoleh. Anak laki-laki tersenyum lebar, wajahnya sedikit memar di sana sini,  tangannya yang tergores di beberapa tempat menyodorkan sekotak susu strawberry ke arahnya. Perlahan tangan Chae Rin meraih kotak susu yang diberikan kepadanya dan mengambilnya. Dia membuka pelan kotak susu itu dan meminumnya perlahan.
“Enak? Kau suka?” tanya anak laki-laki itu.  
Chae Rin mengangguk dan perlahan senyumnya mengembang. Anak laki-laki itu terlihat senang melihat senyum Chae Rin.
“Gomawo,”
Hanya itu yang diucapkan Chae Rin dan mereka hanya duduk di rerumputan tanpa mengatakan apa-apa lagi.
Keesokan harinya Chae Rin pindah ke luar negeri. Ayahnya memaksa mereka untuk tinggl di luar negeri dengaan alasan perusahaan mereka sedang mengalami masa kritis. Sejak saat itu, Chae Rin tidak pernah melihat anak laki-laki itu, dia hanya terus meminum susu strawberry untuk mengingat anak laki-laki itu.
“Apa kau akan terus minum susu itu?”
Chae Rin kembali ke masa kini, suara ayahnya menarikknya kembali ke dunia nyata.
“Susu ini tidak pernah meracuniku, kenapa aku harus berhenti meminumnya?” ujar Chae Rin.
“Terserah kau saja, ayo pulang,” kata ayah Chae Rin.
Chae Rin hanya mengangguk, dia memasukkan kembali bukunya, dan beranjak menggandeng tangan ayahnya meninggalkan gedung megah itu. Gedung yang tidak tahu apa-apa, tidak pernah mengerti arti sebuah kenangan. Tapi tempat itu, tempat itu menyimpan sebuah kenangan, mungkin untuk beberapa orang, termasuk anak laki-laki yang gigih dan anak perempuan dengan senyumnya yang selalu mengembang. Tanpa tahu bahwa jarak mereka tidak pernah sejauh yang mereka kira…
**********************************************************************

1.       Jung Yun Ho               0101300876
Yunho tersenyum di depan papan pengumuman, namanya tertera di peringkat pertama. Itu artinya dia akan kuliah di Universitas Korea dan tanpa biaya. Itu sudah cukup baginya. Sementara itu, Changmin masih sibuk mencari namanya di ratusan daftar nama yang diterima. Matanya terus mengamati tiap nama yang tertulis di papan itu. Lalu sampailah dia pada nomor 247.
247. Shim Chang Min      0101307889
Mata Changmin terbelalak tak percaya saat menemukan namanya ada di deretan nama-nama yang diterima di Universitas Korea. Yunho menghampiri Changmin yang masih berdiri mematung di depan papan pengumuman sambil terbelalak dan mulut yang sedikit terbuka.
“Ya, kau di terima?” tanya Yunho.
Changmin tidak menjawab. Dia masih saja berdiri mematung.
“Ya, gwaenchana? Kau diterima tidak?” tanya Yunho lagi keheranan dengan sikap Changmin.
Changmin menoleh kaku, lalu menunjuk ke papan pengumuman. Yunho mengikuti arah telunjuk Changmin dan melihat nama Changmin tertera di sana. Air mukanya berubah senang.
“Ya, kau di terima, kau benar-benar lolos,” ujar Yunho sambil menepuk pundak Changmin dengan perasaan senang.
Changmin hanya menunduk.
“Ya, kau diterima, kau seharusnya senang kan?”
Changmin mengangkat wajahnya, air matanya sudah mengalir seperti air hujan. Yunho kaget melihat tingkah Changmin.
“Yunho!!!!” teriak Changmin sambil memeluk Yunho.
Beberapa orang menoleh ke arah mereka. Yunho langsung malu dengan tingkah Yunho. Tapi Changmin mennagis semakin keras. Yunho hanya bisa menepuk-nepuk pundak Changmin. Kehidupan baru mereka pun akan segera dimulai…
**********************************************************************
“Jadi kalian berdua diterima di Universitas Korea?” tanya Paman Jungjin saat Yunho dan Changmin memberitahu Paman Jungjin.
“Geure, benar-benar kejaiban aku bisa masuk kesana paman, kalau Yunho tak perlu kaget begitu Paman,” ujar Changmin.
“Kau benar, aku masih belum percaya kau bisa diterima”
“Mwo ya? Apa aku sebodoh itu?” tanya Changmin.
“Kau sendiri yang selalu bilang otakmu itu lambat, tapi aku senang kalian bisa masuk, kuliahlah dengan baik, jangan permalukan orang-orang yang sudah menerima kalian,”
“Paman ini bicara apa sih?” tanya Changmin.
Mereka bertiga tertawa.
“Lalu apa kau masih akan tinggal di sini?” tanya Changmin.
“Busun?”
“Aku akan menyewa flat, aku ingin hidup mandiri, apa kau masih mau merepotkan Paman?” jelas Changmin.
Paman Jungjin menatap Yunho. Yunho berpikir untuk beberapa saat.
“Ya, kau tahu seberapa besar jasa Paman padaku, apa boleh aku meninggalkannya? Aku akan tetap tinggal di sini dan membantu Paman, kau juga harus membantunya,” ujar Yunho.
“Kau boleh saja pergi kalau kau mau,” kata Paman Jungjin.
“Ani, aku ingin tetap di sini, bagaimanapun juga, Paman sudah merawatku, sekarang giliranku yang menjaga Paman,” kata Yunho ringan.
 “Kau pikir aku ini anak kecil yang harus kau jaga?” tanya Paman Jungjin.
Mereka bertiga tertawa. Tiba-tiba terdengar seseorang masuk ke dapur. Chae Rin datang dengan wajah berseri-seri. Tanpa mengucapkan salam atau apapun dia duduk di sebelah Yunho.
“Bagaimana hasil pengumumanmu?” tanya Chae Rin bersemangat.
“Kami berdua diterima,” jawab Yunho.
“Berdua,” tanya Chae Rin.
“Denganku tentu saja, aku Changmin, annyeong,” jawab Changmin riang.
“Oh, ne, aku Chae Rin,” ujar Chae Rin.
“Kau sendiri?” Yunho balik bertanya.
“Kau tidak akan percaya ini, tapi aku benar-benar di terima, ah, aku benar-benar senang, mulai saat ini kita akan satu universitas, pasti menyenangkan,” kata Chae Rin.
“Geure,” ujar Yunho singkat. Entah kenapa sejak mengetahui tentang ayah Chae Rin, sikap Yunho perlahan berubah terhadap Chae Rin. Dia merasa harus menjaga jarak dengan gadis itu. Mengetahui semua hal itu membuat kepala Yunho sakit.
“Ya, jadi kalian bersenang-senang tanpaku?”
Lee Joon masuk dan bergabung dengan mereka.
“Busun ya?” tanya Chae Rin. “Kami sedang membicarakan tentang pengumuman Universitas Korea,”
“Jadi kau kesini untuk memberitahuku?” tanya Lee Joon.
“Begitulah, sekaligus aku ingin mengejekmu, apa kau tidak ingin kuliah?” tanya Chae Rin.
Yunho beranjak dan membantu Paman jungjin menyiapkan makan malam.
“Apa hidup ini hanya tentang kuliah?” Lee Joon balik bertanya.
“Kalaupun bukan tentang kuliah, apa iya kau akan terus bermalas-malasan?” Chae Rin balik bertanya.
“Apa aku semalas itu? Aku juga sedang memikirkan hal ini, mungkin aku akan ikut pendaftaran gelombang kedua, tunggulah aku pasti akan menyusulmu,” kata Lee Joon.
“Baguslah kalau begitu, sebaiknya kau diterima,” kata Chae Rin. “Jadi kau teman Yunho?” Chae Rin menoleh ke Changmin.
“Ne, kami sangat dekat,” ujar Changmin.
“Ya, kalau kau terus saja bicara seperti itu, aku akan benar-benar menendangmu keluar,” ujar Yunho.
“Wae? Dia sepertinya sangat manis,” kata Chae Rin.
“Geure, ya Yunho, dengar itu? Aku in sangat manis, aku juga heran kenapa kau selalu mengejekku, “
“Mwo ya? Aku benar-benar takut padamu sekarang,”
Mereka semua tertawa. Pembicaraan kecil itu berlangsung sampai beberapa saat kemudian. Tanpa saling menegtahui, setiapa dari mereka memperhatikan satu sama lain. Beberapa sempat mencuri pandang dan memperhatikan. 

to be continued....

Minggu, 10 Maret 2013

A Man in Love (Part 3)

Diposting oleh Popo... The Kite Runner di 17.30 0 komentar

Siapa pria itu? Kenapa Yunho menjadi sangat marah? A Man in Love akan menjawabnya...



……….
Sebuah rumah indah berdiri di deretan rumah-rumah indah lainnya. Tak terlalu besar tapi terlihat begitu nyaman dan bersih. Sang ibu selalu merawat taman mungil di depan rumah itu. Bisa dilihat bunga-bunga kecil bermekaran di taman itu. Sebuah kolam kecil juga menghiasi taman itu. Ada sebuah gazebo kecil di taman itu, dan empat orang penghuninya sedang minum teh bersama sambil bercanda riang.

Yunho yang saat itu berusia enam tahun berlari-lari kecil sambil memainkan mainan pesawatnya. Sang kakak bermain kartu bersama sang ayah, sementara sang ibu merajut sebuah sweater, atu mungkin syal, sesekali mengawasi Yunho yang berlarian ke sana kemari. Musim dingin akan segera tiba.

Ditengah kebahagiaan keluarga kecil itu, tibatiba pintu gerbang dibuka secara paksa. Terdengar pintu gerbang yang digedor-gedor. Mereka semua menoleh. Sang ayah dan kakak berhenti memainkan kartunya. Sang adik berhenti berlari dan segera memeluk ibunya. Sang ibu pun menghentikan rajutannya dan menenangkan sang adik yang hampir menangis. Ayah berdiri dan menghampiri pintu gerbang lalu membukanya. Tiba-tiba beberapa orang menyeruak masuk. Ayah terkejut dan mundur beberapa langkah ke belakang. Ibu, kakak, dan adik berpelukan satu sama lain.

“Kami sudah muak padamu, kenapa kau tidak mau menjual tanah itu pada kami?” salah seorang dari mereka berbadan besar berteriak ke arah ayah.
“Sampai kapanpun aku tidak akan menjual tanah itu!” ujar ayah tegas.
“Kami akan bayar berapapun yang kau minta, apa susahnya menjual tanah itu?” tanya orang berbadan besar yang lainnya.
“Tanah itu adalah warisan keluarga, tidak akan pernah aku menjualnya walau kau membayar dengan semua yang ada di dunia ini,” kata ayah lagi.
“Apa katamu?” orang berbadan besar lainnya kini menarik kerah baju ayah.
Ibu, kakak, dan adik malihat dengan penuh ketakutan di beranda rumah mereka.
“Kau mau memukulku? Aku bisa saja memanggil polisi dan melaporkan kalian,” kata ayah mulai gusar. Mendengar itu lelaki berbadan besar itu melepaskan cengkramannya.
“Buatlah ini jadi mudah, juallah tanah itu pada kami, dan kita selesaikan urusan kita,” kata lelaki berbadan besar yang pertama.
“Tidak, sampai kapanpun tidak akan,” kata ayah tegas.
“Arrgghh!!!! Kami harus minta seperti apa lagi hah? Kau ini keras kepala sekali!” mereka mulai berteriak.

Tapi sang ayah masih tetap teguh pada pendiriannya. Dia tidak akan pernah mau menjual tanah yang menjadi warisan keluarga mereka. Apalagi saat dia mendengar kalau di tanah itu akan dibangun kasino yang besar. Dia tidak rela tanah pemberian orang tuanya itu digunakan untuk hal-hal yang tidak pada temptnya. Tanah itu memang sangat strategis dan menjanjikan keuntungan yang sangat besar. Bisa saja dia menjual dengan harga yang sangat tinggi, tapi dia mempunyai rencana lain, semua demi masa depan kedua anaknya.

Saat hampir terjadi keributan, seorang pria masuk. Dia memakai sebuah tongkat kayu, wajahnya tersenyum ramah. Para pria berbadan besar cepat-cepat membungkukkan badan mereka dan mundur beberapa langkah dan memberi jalan untuk pria bertongkat itu. Sang ayah memendangnya tajam.

“Kau masih belum menyerah juga?” tanya sang ayah sambil melepas cerutu dari mulutnya.
“AKu tidak akan menyerah, aku punya penawaran baru,” kata pria bertongkat itu tenang.
“Aku tidak tertarik dengan apapun penawaranmu,” ujar ayah ketus.
“Tapi kali ini kau pasti akan menyetujuinya,” kata sang pria bertongkat tenang. “Juallah tanah itu padaku, dan aku akan membangunkan kau sebuah rumah sakit impianmu, dimanapun kau mau, aku bisa membuatnya untukmu, kau tinggal sebut tempat dan kapan aku harus menyelesaikannya, dan sebuah rumah sakit impian akan segera berdiri untukmu, anggap saja ini hadiah dari seorang teman lama,”

Ayah diam menatap pria bertongkat itu. Sepertinya dia mulai berpikirkan. Akankah pendiriannya goyah? Rumah sakit memang impiannya sejak masih kuliah di universitas kedokteran dulu. Sekarang dia sudah menjadi dokter dengan predikat yang baik, tapi dia masih belum mampu membangun rumah sakit impiannya itu. Masih banyak yang perlu dilakukan untuk membuat sebuah rumah sakit berdedikasi tinggi. Ini adalah kesempatan untuknya, dia bisa membangun sebuah rumah sakit pada akhirnya, tapi dia tidak ingin rumah sakitnya ini adalah sebuah bayaran untuk sebuah warisan. Dia tidak ingin mengotori rumah sakit dengan hal-hal seperti ini. pria bertongkat tersenyum melihat ayah yang mulai ragu memikirkan tawaran ini. Namun, tiba-tiba ayah tersenyum.

“Kalau kau ingin memberiku hadiah, bangunkan aku sebuah rumah sakit di tanah warisan orang tuaku itu, di tanah yang ingin kau beli, bagaimana kau berminat?” tanya sang ayah tenang.
“Apa katamu?” pria bertongkat mulai geram.
 “Kenapa? Bukankah kau yang menawarkan padaku?”
“Kau ini benar-benar keras kepala! Sombong sekali kau ini, hanya menjual tanah siala itu saja kau tidak mau, kau mau sesuatu yang buruk terjadi padamu?” ancam pria bertongkat.
“Aku tidak takut pada semua ancamanmu, tanah itu milikku, milik keluargaku, aku punya hak untuk melakukan apapun dengan tanah itu,” kata ayah keras.
“Kalian, buat dia mengatakan iya,” perintah pria bertongkat pada pengawalnya.

Mereka mengangguk lalu mencengkeram baju ayah. mereka mulai memukuli ayah. Ibu, kakak, ddan adik berteriak histeris melihat ayah dipukuli. Sang adik mulai menangis keras melihat semua pemandangan itu. Dia menatap sang pria bertongkat yang tersenyum licik melihat ayah dipukuli. Mulai saat itulah timbul kebencian di dalam hati sang adik.

Beberapa hari kemudian, masih terlihat beberapa luka memar di wajah sang ayah. Ayah tetap tidak menyetujui tanahnya dijual. Orang-orang itu pergi meninggalkan ayah yang luka parah, ibu segera menghampiri ayah dan membawa ayah masuk dan merawat luka ayah. sang adik menangis tersedu-sedu, sementara kakak menenangkan adik. Ayah sudah siap akan berangkat ke rumah sakit saat pintu diketuk dari luar. Ibu berlari dari dapur dan membuka pintu. Lalu semua hal itu terjadi, tanpa alasan yang pasti, ayah dipecat dari rumah sakit, rumah mereka di sita oleh bank, dan mereka harus meninggalkan rumah hari ini juga. Semua orang terkejut dan terpukul.

Mereka tidak mengerti apa yang terjadi, terutama sang adik, sampai akhirnya pria bertongkat datang dan menawarka kebaikannya asal mereka mau menjual tanah itu. Mereka menyadari kalau semua ini adalah trik dari pria bertongkat. Pria bertongkat itu adalah orang yang memiliki kuasa dan wewenang yang besar di negeri ini. akan mudah untuknya membuat semua ini terjadi. Namun ayah masih tetap teguh pada pendiriannya. Mereka lebih memilih tinggal di apartemen kecil di pinggir kota dan memulai kehidupan baru. Sang ayah dan ibu harus bekerja keras untuk menghidupi keluarga, terutam kedua anak mereka. Kehidupan mereka yang nyaman dan bahagia, kini hanya tinggal kenangan, mereka harus melakukan segala hal untuk bertahan hidup.

Lalu terjadilah kecelakaan itu. Semua keluarga sedang dalam perjalanan hendak ke sekolah sang adik untuk melihat pertunjukan music sekolah. Tiba-tiba sebuah mobil menabrak mobil mereka. Ayah yang sedang menyetir terkejut dan tidak sempat melakukan apa-apa. Mobil mereka terguling ke samping dan berputar-putar di jalan beberapa kali. Bersamaan dengan itu ada sekawanan polisi yang sedang mengejar penjahat. Adik yang masih tersadar berusaha keluar dari mobil. Dilihatnya sang ibu juga keluar dari mobil. Tapi ibu luka parah. Ayah bahkan tak bisa tertolong lagi. Sang ayah menghembuskan nafas terakhirnya di tempat kejadian. Jalanan ramai dan macet tiba-tiba.

Polisi itu berlari melewati kecelakaan yang terjadi. Adik menggenggam tangan ibunya yang sudah setengah sadar. Luka di kepalanya sangat parah. Dia harus segera di tolong. Polisi itu menatap sang adik sejenak.

“Ahjussi, tolong kami, ibuku luka sangat parah,” kata adik terisak pelan.
“Sebentar lagi ada ambulan, tunggulah,” kata polisi itu sambil melihat sekitar, mencari penjahat yang kabur tadi.
“Tapi ibuku harus segera ditolong,” kata adik memohon.
“Berisik, kau ini mengganggu saja,”

Lalu pergilah polisi itu. Polisi berwajah seram itu meninggalkan adik yang menaingis tersedu-sedu. Lalu saat itulah genggaman sang ibu mengendur. Dan sejak saat itulah sang adik kehilangan orang tuanya untuk selama-lamanya. Suara sirine terdengar dari kejauhan. Sang adik memandang sekelilingnya. Orang-orang ramai berkumpul di tempat itu. Lalu disana, adik melihat pria itu, memakai kacamata hitam dan berdiri dalam diam dengan tongkat kayunya. Saat itulah kobara dendam menyala di dalam dada sang adik, dia bersumpah suatu saat akan membalaskan dendam orangtuanya pada pria itu. Pria yang telah mengambil semua yang dia punya, pria dengan tongkat kayu. Seseorang berlari ke arah sang adik, seorang pria setengah baya, seorang pelayan keluarga, Pak Jungjin.
“Yunho-aa,” teriak pria itu.

Lalu semua menjadi gelap untuk sang adik, Yunho..
……..

             “Wah kalian sedang apa?” tanya pria bertongkat itu ramah.
             “Kami sedang membicarakan soal ujian masuk universitas Paman,” jawab Yunho.
“Benar, sebentar lagi kalian akan masuk perguruan tinggi, kalian sudah besar ternyata,” kata pria itu.
Yunho menelan ludah menatap pria itu. Pria kejam yang mengambil semua yang dia punya. Sampai kapanpun Yunho tidak aka pernah memaafkan pria itu.
“Siapa ini?” tanya pria bertongkat sambil menatap Yunho.
“Dia keponakan saya Tuan,” jawab Paman Jungjin.

Yunho hanya diam. Bahkan saat pria itu tersenyum padanya, dia memalingkan wajahnya. tidak seperti biasanya Yunho seperti itu. Biasanya dia akan menyapa orang dengan ramah, bahkan terkadag dia kan memberi gurauan. Tapi mengingat pria ini adalah penyebab hidupnya berantakan, apa bisa dia bersikap ramah penuh kelembutan pada pria itu. Paman Jungjin menatap Yunho yang berbeda dari bisanya, namun dia segera mengalihkan pandangannya pada teh yang sedang dia buat.

“Paman tidak tahu kan? Paman kan lama di luar negeri, jadi tidak tahu apa yag terjadi, kapan Paman pulang?” tanya Lee Joon.
‘Beberapa bulan yang lalu, tapi Paman harus menjalani pengobatan, jadi baru bisa kemari sekarang, mana ayahmu?” ujar pria itu.
“Dia sedang menerima tamu, tunggulah sebentar,” kata Lee Joon.
“Baiklah,” pria itu duduk bergabung bersama mereka.  Kenapa kau diam saja anak cantik?” tanya pria itu pada Chae Rin.
“Tidak apa-apa,” jawab Chae Rin.
“Apa kau masih marah?” tanya pria itu lagi.
“Aku tidak marah,” ujar Chae Rin.
“Memangnya dia kenapa Paman?” tanya Lee Joon.
“Kau tahu, masa sudah sebesar ini masih mengajak ke taman bermain,” ujar pria itu berkelakar.
“Appa!!!!” Chae Rin berteriak merajuk. Wajahnya merah.

Appa?? Yunho menoleh penuh keterkejutan. Appa?? Jadi pria ini ayah Chae Rin? Yunho menatap keduanya bergantian. Apa ini sebuah kebetulan? Tapi kenapa kebetulan seperti ini terlihat sangat tidak adil bagi Yunho? Kenapa Chae Rin harus menjadi anak pria itu? Kenapa Chae rin yang selama ini dikenalnya baik dan ramah itu anak pria kejam ini? Pikiran-pikiran itu berkecamuk di kepala Yunho. Tiba-tiba Yunho berdiri dan memohon diri untuk keluar. Lee Joon sempat bertanya tapi tak dihiraukan Yunho. Dia pergi meninggalka ruang makan menuju kamarnya. Paman Jungjin menatapnya sedih. Kebetulan memang terkadang terlihat mengerikan…

to be continued...
**********************************************************************

Selasa, 05 Maret 2013

A Man in Love (Part 2)

Diposting oleh Popo... The Kite Runner di 18.34 0 komentar

Pertemuan yang salah….

Yunho berjalan mantap menuju gerbang Universitas Korea. Akhirnya dia memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya. Paman Jung Jin mengizinkannya untuk melanjutkan sekolah. Yunho memilih untuk masuk universitas melalui jalur ujian untuk mendapatkan beasiswa. Dia tidak ingin menyusahkan pamannya yang selama ini telah merawatnya. Dia akan kuliah sambil bekerja dan berusaha untuk membiayai kuliahnya sendiri. Tuan Lee sudah menawarkan akan membayar semua biaya kuliahnya, tapi Yunho menolak dengan keras. Dia tidak ingin merepotkan siapapun.
Yunho memasuki gerbang universitas sambil membaca buku kumpulan soal-soal ujian Negara. Hal itu membuatnya tidak memperhatikan langgkahnya. Tiba-tiba seseorang menabraknya dengan sangat keras, atau dia yang menabrak orang itu? Dia sendiri bahkan tidak tahu karena saat dia mengetahui, dia sudah jatuh terduduk di lantai. Dia mengaduh pelan dan seorang yeoja mendekatinya dan membantunya berdiri.
“Ya, gwaenchana? Ah, jeosonghamnida, aku terburu-buru, aku tak melihatmu, jeosonghamnida,” kata yeoja itu minta maaf kepada Yunho.
“Ah, gwaenchana, tidak perlu khawatir,” Yunho sibuk membereskan bukunya yang berserakan.
“Tapi benar kau tidak apa- apa?” tanya yeoja itu lagi.
“Aku tidak apa-apa,”
Lalu pandangan keduanya bertemu. Yunho terkesiap selama beberapa saat. Begitu juga dengan yeoja itu.
“Nona?” kata Yunho masih dalam keterkjutannya.
“Kau, kau yang di rumah Lee Joon kan?” tanya yeoja itu.
“Geure, kau Nona Chae Rin?” tanya Yunho memastikan.
“Ne, dan kau Yunho kan?” tanya Chae Rin.
“Geure,” jawab Yunho. Dia merasakan dadanya berdetak sedikit lebih cepat.
“Kenapa di sini? Kau ikut ujian masuk juga?” tanya Chae Rin.
“Benar, Nona, aku mengikuti uji, an masuk,” jawab Yunho.
“Wah, kebetulan! aku juga mengikuti ujian masuk, aku tadi berlari karena aku sudah telat, aku tadi tidak melihatmu,” jelas Chae Rin.
“Chankamannyo, kau bilang sudah telat?” tanya yunho memotong penjelasan Chae Rin.
“Ne,”
“Jam berapa ini?” tanya yunho lagi.
Chae Rin melihat jam tangannya, “Jam sepuluh lewat limabelas,”
“Mwo? Kita terlambat!!!”
“Mwo?”
Chae Rin secara reflex menarik tangan Yunho dan berlari menuju gedung tempat ujian. Yunho terkesiap untuk beberapa saat. Namun dia mengikuti Chae Rin berlari. Mereka mencari kelas tempat ujian berlangsung. Saat menemukan kelas, ujian sudah berlangsung selama 15 menit. Mereka sempat membuat keributan beberapa saat karena masuk dengan tergesa-gesa.  Setelah minta izin dengan pengawas ujian mereka bisa mengikuti ujian dengan syarat tanpa perpanjang waktu.
Mereka mencari tempat duduk yang kosong.
“Ah, dimana pulpenku?” kata Chae Rin smabil mengaduk-aduk tasnya. Yunho menoleh.
“Pakai punyaku saja,” kata Yunho sambil menyerahkan sebuah pulpen.
“Oh, gumawo, akan kukembalikan nanti,” kata Chae Rin.
 Setelah, itu merekapun mulai mengerjakan soal-soal yang ada di lembar soal. Yunho yang memang memiliki otak yang cerdas, mengerjakan soal-soal dengan mudah walaupun beberapa kali dia sempat mengernyitkan dahi. Dia harus berusaha keras untuk bisa lulus ujia masuk ini dengan nilai yang sempurna. Hanya peringkat pertama dan kedua yang bisa mendapatkan beasiswa. Oleh karena itu, Yunho harus berusaha keras.
Sedangkan Chae Rin harus berpikir sedikit lebih keras untuk menyelesaikan semua soal itu. Dia memang tidak harus menjadi urutan yang pertama. Tapi dia harus berusaha keras untuk ,asuk ke universitas ini. sebenarnya tidak masalah dia mau masuk kemana saja. Tapi dia ingin membuktikan bahwa dia punya sesuatu untuk ditunjukkan. Dia selalu menjadi omongan teman-teman dan tetangga-tetangganya kalu selama ini dia melakukan sesuatu karena keluarganya mampu memberinya sesuatu. Semua dilakukan dengan uang. Maka dari itu Chae Rin ingin memperlihatkan kepada mereka bhawa diapun mempunyai kemampuan.
Satu jam kemudian, ujian berakhir. Setelah mengumpulkan kembali soal dan jawaban, Yunho keluar dari ruangan dan meregangkan otot-otoy badannya. Dia memutuskan untuk ke toko alat tulis sebelum pulang. Ujian kelulusan sekolah akan diadakan satu minggu lagi. Dia harus mempersiapkan dengan sebaik-baiknya. Saat hendak melangkah, Chae Rin menepuk pundaknya pelan. Yunho menoleh.
“kau mau pulang?” tanya Chae Rin.
“Oh, Nona Chae Rin, tidak, aku mau ke toko buku sebentar,” kata Yunho.
“Ya, kenapa memanggilku nona? Memangnya aku ini majikanmu? Kita akan menjadi teman kelak, panggil saja aku Chae Rin, “
“Ne, Nona Chae Rin, maksudku Chae Rin,” kata Yunho kaku.
Chae Rin tertawa sebentar.
“Baiklah, aku harus pulang, kau mau pergi bersama, aku melewati toko buku,” Chae Rin menawarkan.
“Oh, tidak perlu, aku harus ke tempat administrasi juga, aku harus mengurus sesuatu, pergilah duluan,” tolak Yunho.
“Oh, geure, aku pergi dulu kalau begitu, annyeong,” Chae Rin melambaikan tangan.
Yunho hanya mengangguk. Chae Rin berbalik meninggalkan Yunho. Yunho memandang kepergian Chae Rin sesaat lalu menuju ke ruang administrasi.
*********************************************************************
“Bagaimana ujianmu hari ini?” tanya Paman Jungjin saat mereka sedang minum teh di dapur.
“Aku harus memeras otak Paman, benar-benar sangat sulit, kau harus berpikir seratus kali lipat untuk mengerjakan semua soal itu,” kata Yunho.
“Kenapa aku harus berpikir keras? Aku kan tidak perlu mengerjakan soal-soal itu,” ujar Paman Jungjin bercanda.
“Ah, Paman ini,”
“Ya, Yunho-aa, kenapa kau harus masuk universitas itu?” tanya Paman Jungjin lagi.
“Gadis-gadis di sana sangat cantik-cantik Paman,” jawab Yunho.
“Kau ini,” Paman Jungjin memukul kepala Yunho. “Apa kau kuliah hanya untuk mencari gadis?”
“Araso! Aku hanya bercanda Paman,” kata Yunho sambil mengusap-usap kepalanya. “tentu saja aku mencari kualitas Paman, di sana sangat bagus, aku akan menjadi lulusan yang baik setelah dari sana,”
“Semoga saja memang begitu, awas saja kalau kau macam-macam,”
“Iya Paman, aku tidak akan macam-macam, mungkin sedikit,” kata Yunho jahil.
“Anak ini,” Paman Jungjin akan memukul kepala Yunho lagi saat seseorang masuk.
“Annyeonghaseyo, Paman Jungjin,” Chae Rin mendekati mereka.
Paman Jungjin menoleh, “Oh, Nona Chae Rin, kau mencari Tuan Muda?”
“Annyeong Nona Chae Rin,” sapa Yunho.
“Ya! Berapa kali kubilang padamu? Panggil aku Chae Rin, kenapa kau masih saja memanggilku Nona?” Chae Rin berkacak pinggang sambil menegur Yunho.
“Mian, Chae Rin,” kata Yunho.
“Akan kupanggilkan Tuan Muda,” kata Paman Jungjin sambil beranjak dari kursinya.
“Oh, tidak perlu Paman,” cegah Chae Rin.
“Benar Paman, tidak perlu karena aku sudah di sini,” Lee Joon muncul dari ruang tengah. “Hai, Chae Rin,”
“Hai, Joon,”
“Bagaimana ujianmu kemarin?” tanya Lee Joon sambil duduk di meja makan.
“Sangat sulit, aku harus berpikir keras,” kata Chae Rin juga ikut duduk di sebelah Yunho.
“Kalau aku sekeras apapu mencoba, tak akan bisa masuk,” Lee Joon tertawa.
Paman Jungjin membuat teh untuk Lee Joon dan Chae Rin.
“Lalu kau mau masuk mana?” tanya Chae Rin.
“Entahlah, aku belum begitu yakin,”
“Ya, kau harus segera menentukan pilihanmu, sebentar lagi kita ujian, bagaimana bisa kau sesantai itu?”
 “Bukankah Tuan Muda memang selalu santai?” seloroh Yunho.
“Kau benar, dia benar-benar ceroboh,” sambung Chae Rin.
“Jadi kalian bersekongkol menjatuhkan aku?” tanya lee Joon.
Yunho dan Chae Rin tertawa. Lee Joon pun ikut tertawa. Tiba-tiba seseorang datang menghampiri mereka. Seorang laki-laki 50 tahunan datang sambil tersenyum kearah mereka. Yunho menatap pria itu lalu wajahnya menegang. Ingatang masa lalunya pun timbul tanpa ampun. Pria ini, wajah itu, cerutu itu, semuanya begitu jelas di ingatan Yunho. Ingatan yang tidak begitu baik untuk diingat. Lalu timbullah rasa itu, rasa amarah, amarah yang meluap-luap dalam diri Yunho… 
 

Popo.. The Kite Runner Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea