Di cerita yang kemaren, saat Ji Hyun dan Sulli jalan-jalan mereka melihat Kai dan seorang yeoja, apa yag terjadi selanjutnya... Ikuti In My Dream Part 3...
Mereka sedang
melihat-lihat buku. Aku meletakkan buku yang kubaca dan segera menarik tangan
Sulli dan mengajaknya pergi.
“Ya, Ji Hyun-aa, aku
belum selesai membaca,”
“Kajja, kita harus
segera pergi, aku ingin membeli sesuatu,”
Aku dan Sulli masuk ke
sebuah toko jam. Dan kenapa aku masuk toko jam untuk namja? Apa aku harus
membeli jam untuk namja? Ah yang penting Sulli tidak melihat Kai dengan yeoja
itu.
“Kau mau beli jam
tangan?”
“Ah, ne, hadiah untuk appa,”
“Oh, paman ulang
tahun?”
“Ani, minggu depan aku
pulang, aku hanya ingin membawakan sesuatu untuk appa,”
Akhirnya mau tidak mau
aku memilih sebuah jam tangan dan membelinya. Mungkin akan berguna kelak. Sulli
mengajakku makan malam. Aku setuju saja aku juga sudah lapar. Kami ke sebuah
restoran cepat saji dan memesan pasta. Kami juga mengambil beberapa foto. Akan
sangat menyenangkan kalau kami bisa seperti ini terus.
“Ji Hyun-aa, kau ikut
apa di sekolahmu?”
Aku menghentikan
jalanku menyeruput pasta sejenak dan menatap Sulli lalu melanjutkan lagi
sebelum menjawab pertanyaan Sulli.
“Umm, aku belum
memikirkannya, mungkin aku akan ikut klub biologi,” jawabku seadanya.
“hahaha, apa itu?
Seharusnya kau ikut klub olahraga, kau bisa memilih lari mungkin, kau pelari
tercepat yang pernah ku kenal,”
“Menurutmu begitu? Aku
juga belum tahu mau ikut apa,”
“Kau bisa memikirkanya
nanti,”
“Sulli-aa”
“Ne?”
“Hehehe. Ani. Tidak ada
apa-apa,”
Aku hampir saja
menceritakan tentang keikutsertaanku dalam tim basket. Sulli pasti akan sangat
marah dan khawatir. Dan saat Sulli marah seisi restaurant ini akan segera
melarikan diri. Kami menghabiskan sisa hari itu dengan mengobrol panjang lebar.
Aku sebenarnya ingin menceritakan semua hal pada Sulli, tapi entah kenapa itu
hanya akan membuat masalah baru saja. Kami berpisah di halte bus dan berjanji akan
bertemu lagi. Bus cukup sepi, hanya ada beberapa penumpang yang tertidur. Aku
menatap jalanan di luar jendela dengan perasaan tidak menentu. Aku terus
memikirkan Kai. Kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkannya??
Aku turun dari bis dan
berjalan ke arah sekolahku. Aku berjalan pelan menuju asramaku. Sekolah sudah
sepi hanya beberapa siswa yang akan kembali ke asramanya. Aku berhenti di
pinggir lapangan sepak bola dan duduk di sana untuk beberapa saat. Aku suka
tempat ini. aku mencoba menelepon Kai lagi, tapi masih tidak tersambung. Pikiranku
melayang pada saat aku dan Kai bersama.
“Kau tahu aku sangat
suka hujan,” kata Kai saat itu. Kami sedang berteduh di depan sebuah toko yang
sudah tutup. Sepeda kami terparkir tak jauh dari kami berdiri.
“Wae?”
Kai memainkan jarinya
dibawah tetesan air hujan. Kemudian dia menjawab sambil tesenyum. Aku tak akan
pernah bisa lupa senyuman itu. Aku selalu menyuKainya, aku selalu menyuKai
senyumannya.
“Karena setelah hujan
aku akan melihat pelangi,”
“Tapi bukankah pelangi
tidak selalu muncul setelah hujan?”
“Itulah pelangi, dan
menunggu pelangi saat hujan benar-benar membuatku nyaman, tetesannya
menyegarkan, kau tahu pelangi adalah hal yang paling setia menurutku,”
Aku diam menunggu
kata-kata selanjutnya darinya.
“Dia akan setia
menunggu hujan reda, dan saat dia tidak diberi kesempata muncul, dia akan
menunggu hujan berikutnya agar dia bisa muncul, dia sangat setia kan?”
“Ne, geureyo. Kai,
siapa yang kau sukai?” entah kenapa aku bertanya seperti itu.
“Pelangi, aku sangat suka
pelangi,” katanya sambil tersenyum jahil.
“Ya, apa kau akan
berpacaran dengan pelangi???”
“Tentu saja tidak, aku
akan berpacaran dengan seseorang yang mirip pelangi,”
“Nuga?”
Dia diam sejenak dan menatapku.
“Kau, aku akan
berpacaran dengan kau yang mirip pelangi, penuh warna dan ceria, kau anugrah
setelah hujan,”
Aku terdiam mendengar
kata-katanya. Aku sangat terkejut dia mengatakan semua itu. Saat itu aku
benar-benar ingin menjadi pelangi. Dan mulai saat itu kami memiliki hubungan
special. Tentu saja aku tetap menjadi diriku dan bukannya menjadi pelangi.
Jigeum, semua itu
terasa menyakitkan. Apa sekarang warnaku telah pudar dan dia mencari warna
baru? Sekarang aku tidak lagi merasa seperti pelangi, aku merasa aku ini tembok
dengan cat yang sudah pudar. Sepertinya aku memang harus mengecat ulang diriku.
Menyebalkan sekali rasanya. Saat sedang melamun aku merasakan seseorang ada di
sebelahku. Saat aku menoleh,
“HWAAAAAA!!!!!!!”
Aku melihat sebuah
wajah dalam nyala sebuah cahaya. Aku menutup mataku. Dan segera setelah itu dia
tebahak-bahak. Saat kubuka mata, Lee Dong Hae tertawa puas melihatku ketakutan.
“Ya, michi go anhya??
Kau membuatku hampir mati jantungan,”
“Hahhaa. Mukamu sangat
aneh tadi, apa yang kau pikirkan sehingga mukamu benar-benar seperti seekor
ubur-ubur?”
“Kau pikir aku ini
ubur-ubur?”
“Mungkin saja kau
memang ubur-ubur,”
“Aishhh, kau ini..
jjinjja!”
“Kau mau mencabut
rumput lapangan ini?”
“Mwo ya? Siapa yang mau
mencabut rumput lapangan ini? Apa yang membuatmu berpikiran seperti itu?”
“Kalau begitu apa yang
kau lakukan disini kalau bukan untuk mencabut rumput lapangan ini?”
“Aku akan memberitahumu
apa yang kulakukan disini,”
“Mwo?”
Aku mendekatkan wajahku
ke telinga Dong Hae.
“Bukan urusanmu,”
“Aissshhh,”
Aku tertawa melihat
ekspresinya.
“Kudengar kau masuk tim
inti basket? Geureyo??”
“Woaaa, kau sudah
mendengarnya? Tak kusangka akan menyebar secepat itu, apa itu masuk berita
sekolah??”
“Kau ini bicara apa? Ya,
nugu ya? Kau pikir kau ini siapa sampai masuk berita sekolah?”
“Tapi kau tahu aku
masuk tim inti, bukankah itu berarti aku menjadi bahan pembicaraan, aku bukan
siapa-siapa di sini, tapi kau yang bintang terkenal saja mengetahuinya,
daebak!”
“Aishh jjinjja, kau
tahu aku menyesal menanyakan itu!”
“Mwo?”
Dia terdiam. Aku juga
diam. Entah kenapa perasaanku sedikit membaik. Aku sudah tidak merasa
setertekan tadi. Entah kenapa tiba-tiba jantungku berdebar sangat kencang. Apa
ada hantu yang sedang lewat? Aku menatap Dong Hae dan dia sedang memainkan
lampu senternya. Dia terlihat jauh lebih tampan daripada saat ku melihatnya di
televise, dan aku tidak pernah menyangka akan melihatnya sedekat ini. Rasanya
tidak bisa percaya kalau aku akan sedekat ini dengannya. Apa ini mimpi?
Tiba-tiba cahaya sangat silau masuk ke mataku.
“Ya, apa yang kau
lakukan?”
“Seharusnya aku yang
bertanya, ada apa di wajahku sampai kau melihatku seperti ingin memakanku?”
“Oh, ani yo.. Kenapa
aku ingin memakanmu?”
“Karena aku tampan dan
mungkin aku adalah es krim yang lezat di matamu,”
“Jih.. Mana ada es krim
seperti kau? Kalaupun aku ini makanan, kau pasti adalah kue ikan yang gosong,”
“Mana ada kue ikan
gosong setampan aku?”
“Kau ini, kau pasti
merasa dirimu sangat tampan sehingga kau sangat percaya diri, tapi percayalah,
kau adalah kue ikan yang gosong,”
“Gosong begini aku
terkenal di seluruh negeri dan semua orang menyanjungku, aku adalah kue ikan
gosong paling terkenal, sudahlah terima saja, araji?” dia tersenyum jahil.
Aku hanya merengut
mendengar perkataannya, karena sebenarnya dia memang benar. Dia benar-benar
menawan. Dan aku bisa sedekat ini dengannya. Kami kembali ke asrama kami
beberapa saat kemudian.
**************************************************************
Sejak diumumkan masuk
tim inti aku, Hyuk Jae, dan Hye Ri menjadi semakin akrab. Kami sering
menghabiskan waktu bersama. Mereka seperti Sulli dan Henry, sangat menyenangkan
saat bersama mereka. Apapun yang kami obrolkan menjadi hal yang menarik. Perlahan,
aku menyayangi keduanya. Mereka selalu ada untukku. Mereka benar-benar sahabat
baru untukku.
Hari ini adalah hari
pertama kami akan mendapat pelatihan untuk turnamen basket nasional. Aku masih
di kamarku. Di tempat tidurku, duduk menatap sebuah foto. Aku saat kecil,
memegang bola basket, berkeringat, dan sebuah senyum yang lebar. Tapi saat
menatap foto itu, sebuah ketakutan melintas dan tubuhku bergetar. Eohttokaji?
Eomma? Appa? Eonnie? aku memegang bekas luka di kepalaku, masih terasa sangat
nyata di jariku. Sangat menakutkan dan perih.
Aku masih belum memaKai
seragam olahragaku. Aku tidak ingi kesana. Lubang itu terus terbayang di
kepalaku. Darah itu seperti masih mengalir di kepalaku. Aku harus bagaimana?
Aku benar-benar takut. Kenapa aku harus masuk tim basket? Apa aku tidak sadar
waktu bermain basket kemarin? Dan sekarang aku harus menghadapi kenyataan bahwa
aku harus bermain basket. Aku hampir gila di tempat tidurku saat pintu kamarku
di ketuk. Aku berlari turun dan membuka pintu. Hye Ri tersenyum lebar di depan
pintu.
“Kau siap? Kajja!”
Aku diam sejenak.
“Ya, kau belum juga
mengganti bajumu?? Pallee, kita bisa terlambat,”
Hye Ri mendorongku
masuk dan menyuruhku untuk bergegas mengganti bajuku. Aku mengganti bajuku
dengan penuh keraguan. Sepanjang perjalanan ke gedung olahraga, aku tak
henti-hentinya berdebar. Keringat dingin mulai mengalir di sekujur tubuhku. Hye
Ri yang terus saja berbicara tidak kuhiraukan. Hyuk Jae yang menyapaku di depan
pintu juga tidak kuhiraukan, bahkan saat kulihat Lee Dong Hae berdiri di sana,
aku juga tidak memperdulikannya. Aku hanya memikirkan apa yang akan terjadi
padaku setelah ini?
Kami mulai berbaris di
lapangan. Kepalaku sudah mulai pusing. Berdiri di tengah lapangan seperti ini
membuatku mual dan ingin muntah. Orang-orang di sekelilingku mulai menggumamkan
sesuatu yang tidak jelas. Mereka bicara secara bersamaan dan membuat telingaku
berdengung. Tiba-tiba aku melihat diriku tergeletak dengan lubang di kepala dan
darah mengalir segar. Aku semakin ingin muntah dan kepalaku terasa sangat
berat. Aku berusaha menghilangkan bayangan itu. Tapi semakin aku mencoba, aku
semakin melihat lubang di kepala itu. Kemudian perlahan-lahan semua mengabur,
sebelum semua benar-benar gelap, aku melihat orang itu. Dan setelah itu
kesunyian menyergapku.
“Pelatih, izinkan aku
bermain kali ini,”
“Andwe, kau belum
saatnya bermain saat ini,”
“Kunde, aku ingin
masuk, Pelatih, jebal.. Izinkan aku bermain,”
Pelatih menatapku
sejenak. Aku menunjukkan wajah inginku.
“Geure, kau masuklah,”
Aku bersorak. Pelatih
memanggil seorang pemain dan menyuruhku berganti denganku. Aku sangat senang,
aku mulai berlari ke tengah lapangan. Aku siap mencetak angka. Aku mulai
mendrible bola dan saat aku ing memasukkakn ke dalam ring, aku sudah hampir
setengahnya, aku sudah melompat dan aku sudah melempar bola saat seorang pemain
lawan menarikku keras, aku kehilangan keseimbangan, dan aku terjatuh membentur
besi penyangga ring. Aku merasa tubuhku hilang. Kepala seperti ditusuk ribuan
jarum, bukan mungkin ribuan tombak, sesat sebelum semuanya benar-benar gelap
aku melihat orang itu.
Perlahan-lahan aku
membuka mataku. Bau obat-obatan menyergap hidungku. Rumah sakit? Apakah aku di
rumah sakit? Aku tadi membentur tiang. Seseorang menarikku dan aku merasakan
tubuhku hilang. Apa aku sekarang di rumah sakit? Aku membuka mataku lebih lebar
lagi. Dan dia berdiri di sana, wajahnya masih sama, wajah khawatir yang sama.
“Pelatih Kim? Kaukah
itu?” tanyaku pelan.
“Kau benar-benar ingat
padaku, Bocah Balon?”
“Benarkah itu kau?”
Itu Pelatih Kim Soo
Hyun. Dia lah orang terakhir yang kudengar suaranya sebelum aku tak sadarkan
diri. Suaranya penuh kekhawatiran. Dia yang berteriak untuk menghentikan
permainan, dia yang menggendongku dan membawaku ke rumah sakit. Setelah aku
sadarkan diri, aku tak pernah melihatnya lagi. Diakah yang menyuruh untuk ikut
seleksi tim inti? Aku tiba-tiba terbangun
“Ya, kenapa menyuruhku
ikut seleksi?”
“Mwo? Siapa yang
menyuruhmu?kau sendiri yang ikut, kau tidak ingat bermain saat hari seleksi?”
gayanya masih sama, sombong dan banyak gaya.
“Seorang guru
mengatakan, kau menyuruhku ke gedung olahraga da mengikuti seleksi itu, itu
benar kan?”
“Apa maksudmu? Pasti
kepalamu itu belum benar-benar pada tempatnya, istirahatlah dulu sebentar, kau
bisa menyusul nanti,”
Dia beranjak
meninggalkanku dengan gayanya yang sangat santai.
“Andwe, aku tidak mau
menyusul, aku sudah tidak mau main basket, aku tidak mau!” entah kenapa aku
berteriak.
“Kau tidak bisa
menolak, kau masuk tim inti, dan jika kau mangkir dari latihan, maka
konsekuensinya adalah berhadapan dengan kepala sekolah, itu terserah kau,”dia
keluar dari klinik meninggalkanku penuh keterkejutan.
Aku tidak mengikuti
latihan hari ini. masa bodoh, aku tidak peduli. Aku akan menghadapi kepala
sekolah. Aku tidak menyangka reaksiku akan seperti itu saat masuk lapangan
basket. Kenapa saat seleksi aku baik-baik saja? Kenapa tadi aku sangat
berlebihan? Kenapa Pelatih Kim disini? Arrrgghh, aku mengacak-acak rambutku
sendiri. Kenapa semua jadi seperti ini???
“Kau pantas sekali
dengan rambut seperti itu,”
Aku menengok kebawah.
Aku memang sedang diatas pohon saat ini. Aku melihat Dong Hae tertawa di bawah
sana. Kenapa dia ada di sini? Kenapa dia ada dimana-mana? Aku merapikan
rambutku seadanya.
“Tentu saja, aku pantas
dengan model rambut apapun, kenapa kau disini?”
“Wae? Tidak boleh? Apa
yang kau lakukan diatas sana?”
“Aku sdang melihat
pemandangan kota Seoul dari sini, kau mau lihat?”
Dia pun memanjat pohon
ini. Dia duduk satu ranting diatasku.
“Wah, daebak!”
“Yeppeotta,”
Dong Hae memandangku
sebentar.
“Kenapa tadi tidak ikut
latihan?”
Aku mendongak
memandangnya.
“Kenapa kau bertanya
begitu? Latihan apa?”
“Tentu saja latihan
basket, kau tadi pingsan dan tidak kembali, gwaenchana?”
Apa dia mengkhawatirkan
aku?
“Memangnya kau juga
ikut latihan basket?”
“Geurom, aku juga masuk
tim inti,”
“Jjjinjja?”
“memangnya kau tidak
lihat aku tadi? Apa kau terlalu sibuk menyiapkan pingsanmu hingga tidak
memperhatikan aku?”
“Jih, kau ini terlalu
percaya diri, kenapa aku harus bersiap diri untuk pingsan?”
“Lalu kau kenapa?”
Aku terdiam. Haruskah
aku menceritakan apa yang terjadi denganku pada Dong Hae? Apa dia akan mengerti
dan mendengarkanku, dia kan menyebalkan. Dia pasti tidak mau mendengarkan orang
lain. Aku memandang dia sejenak. Dia menunjukkan wajah ingin tahunya.
“Aku tidak bisa bermain
basket,” kataku pelan.
“Kotjimara, kalau kau
tidak bisa bermain basket, bagaimana bisa kau masuk tim inti?”
“Bukan tidak bisa yang
seperti itu, tapi tidak bisa karena aku takut,”
Lalu mengalirlah cerita
itu. Entah kenapa begitu ringan menceritakan semua ini pada Dong Hae. Begitu
mudahnya menggambarkan setiap kejadian yang kualami saat itu. Aku bahkan
menangis, aku tahu ini berlebihan, tapi air mataku benar-benar mengalir. Semua
ini seperti lukaku mengalir bersama dengan air mataku.
“Mianhae, kenapa aku
malah menangis seperti ini?” aku buru-buru menghapus air mataku.
Dong Hae diam tanpa
mengatakan apapun.
“Sampai saat ini aku
masih sangat takut membayangkan aku harus bermain basket, aku sangat takut,
lubang dikepalaku selalu membayangiku. Appa akan sangat marah mengetahui aku
masuk tim basket, dia pasti akan mengamuk,” aku masih sedikit terisak.
Aku menatap tanah. Dong
hae masih belum mengatakan apapun padaku. Dia hanya menatapku dengan ekspresi
yang tidak dapat ditebak. Apa aku cerita terlalu banyak? Apa aku berlebihan
karena aku menangis. Aku menangis bukan karena ceritaku, tapi karena kau memang
ingin menangis, aku sudah tak bisa menahan tangisku lagi. Tapi kenapa harus di
depan Dong Hae?
“500 won, kau harus membayarku
500 won,”
“Mwo?” kenapa dia
memikirkan uang disaat seperti ini?
“Kau belum membayar
yang kemarin, jadi semuanya 1000 won, cepat bayar padaku,”
“Kau ini perhitungan sekali???”
“Kau bilang kan aku
mesin minuman, mesin minuman tidak ada yang gratis, jadi kau harus membayarku,”
Aku tersenyum simpul
padanya, hampir tertawa melihat tingkahnya. Lagi-lagi begini, aku merasa baikan
saat bisa tertawa bersamanya. Dia selalu membuat perasaan tak nyamanku menjadi
tawa. Aku kembali berdebar-debar. Apa ini? ini menyebalkan.
“Ya, kau harus
membayarnya, kau berhutang padaku,”
Lalu dia kembali
menatap seluruh Seoul. Wajahnya sangat menyenangkan saat tertawa. Aku juga
menatap seoul yang penuh lampu. Hatiku terasa hangat.
*************************************************************
Aku menghabiskan
seharian di perpustakaan pada hari berikutnya. Aku harus mengerjakan tugas dari
Pak Guru Angker itu. Kenapa dia dendam sekali padaku. Selalu saja menghukumku
dengan setumpuk tugas. Aku hampir menyelsaikannya. Tapi aku sudah sangat
pusing, lebih baik kupinjam saj buku ini. aku mengemasi buku-bukuku dan menuju
ke mesin peminjam otomatis. Selama mesin memproses bukuku, aku mengecek
poselku. Ada beberapa pesan dari eomma dan Sulli, tapi tidak ada yang dari Kai.
Aku masih saja terus memikirkan Kai.
Aku berjalan menuju
asramaku. Hari sudah mulai gelap. Aku ingin segera mandi. Tapi saat sedang
membalas pesan, sesorang menarikku. Dong Hae membawa sebuah bola basket dan
tersenyum lebar. Dia kenapa lagi?
“Tarawa!”
Aku masih belum
mengerti maksudnya.
“Ya, pallee tarawa!”
Dia menarik tanganku
dan membawaku ke lapangan basket belakang sekolah. Ada dua lapangan basket di
sekolah kami. Di dalam gedung olahraga dan di belakang sekolah. Lapangan basket
disini jarang digunakan, selain panas, tempat ini jauh dari mana-mana.
“Ya, kenapa mengajakku
kesini?”
“Kau masih berhutang
1000 won padaku, kau harus membayarnya dengan bermain basket bersamaku,” dia
mulai mendrible bola.
Suara bola yang
memantul membuatku gemetar.
“Shiro! Aku harus
mengerjakan tugas,”
Aku berbalik hendak
pergi meninggalkannya.
“Sampai kapan kau akan
bersembunyi di balik ketakutanmu?”tiba-tiba dia berteriak.
Aku berhenti dan
berbalik.
“Itu bukan urusanmu,
kau tahu apa soal ketakutanku? Asal kau tahu saja, aku bisa mengurus diriku
sendiri,”
“Geure, itu memang
bukan urusanku, aku juga tidak tahu tentang ketakutanmu, kenapa aku harus tahu
itu? Tapi melihatmu mengubur impianmu sendiri, siapapun tidak akan tinggal
diam!”
“Kau tahu apa tentang
impianku? Kau tidak akan pernah mengerti,”
“Apa melihatmu menangis
saat bercerita tentang impianmu tidak cukup untuk membuatku mengerti?”
Aku terdiam untuk
beberapa saat. Aku tidak tahu harus melakukan apa. Aku bingung, aku sangat
takut bayangan itu akan datang lagi. Menatap lapangan basket, menatap ring
basket, menatap bola basket, membuatku semakin ingin berlari sejauh mungkin. Aku
tidak bisa melihat hal lain selain lubang di kepala dan darah yang mengalir
saat aku berdiri di tengah lapangan basket. Kepalaku kembali berputar-putar,
akankah aku mengalami hal itu lagi? Sebenarnya apa maksud Dong Hae membawaku
kesini? Aku gemetar, aku sudah tidak kuat menahan berat tubuhku. Aku jatuh
terduduk di lapangan. Aku akan seperti ini sampai kapan? Aku terdiam menatap
kekosongan.
“Aku tidak bisa,
jongmal, aku benar-benar tidak bisa,” aku mulai merasa mual sekarang. Darah itu
seperti membungkusku. Aku tidak tahan. Kenapa aku tidak bisa seperti saat
seleksi? Kenapa harus selalu seperti ini?
Dong Hae jongkok tepat
di hadapanku. Aku menunduk dalam-dalam. Aku tidak ingin dia melihat wajahku
saat ini. wajahku pasti pucat seperti hantu. Aku juga berkeringat. Ketakutan
macam apa ini? kenapa takut pada sebuah lapangan basket? Apa sebuah lapangan
basket akan memakanku? Tapi lapangan basket benar-benar telah menelanku pada
ketakutan.
“Apa yang kau
takutkan?”
Entah hanya perasanku
saja atau memang suara Dong Hae menjadi sangat lembut? Aku menggeleng pelan. Dong
Hae mendrible bola tepat di sampingku. Suara desingan bola basket semakin
membuatku bergetar. Tiap pantulan bola basket itu seperti membuka tiap luka di
kepalaku.
“Hentikan, jebal,
hentikan,” aku bahkan sudah tidak mampu bersuara.
Dong Hae menghentikan
driblean bola. Aku sepertinya mulai menangis. Aku sudah tidak merasakan apa-apa
sekarang. Aku ini kenapa sih? Tubuhku terasa sangat lemas dan aku berkeringat
dingin. Kumohon hentikan semua ini. hentikan darah-darah itu. Hentikan suara-suara
itu. Tiba-tiba Dong Hae memelukku.
To be continued....
0 komentar:
Posting Komentar