Mobil yang membawa Ji Hyun pulang mengalami sebuah kecelakaan, Ji Hyun tak sadarkan diri dan terluka parah, apakah Ji Hyun akan selamat? This is it, In My Dream Part 12... Enjoy...
Aku merasakan sebuah cahaya
memasuki mataku. Apa aku sudah di surga? Aku membuka mataku pelan, sakit sekali
rasanya hanya untuk membuka mata. Aku melihat langit-langit yang putih. Dan bau
obat segera menyergap hidungku. Ini pasti klinik sekolah. Aku sudah terbiasa
dengan semua ini. Lalu Dokter Ji Hoon akan datang dan memarahiku karena
terlalu sering terluka. Tapi Dokter Ji Hoon tidak datang. Aku hanya melihat
seorang dokter dan beberapa suster. Aku menutup mataku lagi. Badanku terasa
berat, sakit, dan anehnya dingin.
Dadaku terasa sangat sakit. Aku
tidak bisa melihat dengan jelas. Ada sesuatu diatas mataku. Dan mulutku,
tertutup oleh sebuah mangkuk, tapi aku bisa menghisap udara dari sana.
Samar-samar aku mendengar pembicaraan dokter. Aku menutup mataku pelan. Terlalu
sakit untuk membuka mataku.
“Tuan Shin, ini sudah 4 hari Ji
Hyun koma, kita harus segera mengoperasinya, bagaimanapun juga dengan kaki
seperti itu, dan beberapa tulang rusuk yang retak, dia tidak akan bertahan
lama, dia akan segera meninggal” kata dokter.
Kudengar isak tangis eomma. Ah,
eomma disini? Masih belum ada jawaban dari siapapun. Apa benar aku akan
mati?
“Tuan, jika kita tidak mengambil
kakinya, maka akan sangat berbahaya untuk organ tubuh lainnya, dia bisa
meninggal kapan saja, cepatlah pikirkan sesuatu Tuan, dia tidak bisa terus
menerus seperti ini. Kalau kita tidak segera bertindak, dan mengambil kakinya,
walaupun dengan operasi kemungkinan dia akan hidup hanya 30%,” jelas dokter
itu, dia terdengar sangat khawatir.
Mwo ya? Kakiku? Kakiku harus
diambil? Apa maksudnya?
“Ya,
dokter!” tiba-tiba kudengar ayahku berteriak. “Anak ini harus terus berlari
dengan kakinya, dia seorang pemain basket. Anak ini adalah seorang yang
menjadikan basket sebagain impiannya, kalau kau memgambil kakinya itu artinya
kau mengambil semua miliknya, apa itu adil untuknya? Bagaimana dia bisa
melanjutkan hidupnya setelah ini?”
Appa.. Benarkah itu yang kau
katakan? Bukankah ayah yang paling menentang aku bermain basket? Tapi kenapa
dia mengatakan semua itu? Semua orang terdiam, bahkan tercekat mendengar
kata-kata appa. Tanpa sadar aku menitikkan air mata. Bahkan aku menangis
sesenggukan. Dadaku terasa sangat sakit menahan tangisku ini.
“Ya, Tuan Shin, michinggo anhya?
Anakmu hampir mati dan bagaimana bisa hal seperti basket menjadi soal yang
penting saat ini? Dia harus mendapatkan operasi sekarang juga,” dokter itu
berusaha membujuk ayah.
“Kalau kau harus mengambil
kakinya, tidak!,” ayah tetap pada pendiriannya.
Tiba-tiba kudengar seseorang
masuk. Aku tidak bisa melihat siapa dia. Mataku sekarang penuh air mata dan aku
bahkan tidak bisa membuka mataku.
“Ah, dokter Kim Young Pil, anda
sudah datang,” kata dokter yang pertama.
“Ne, aku akan mencari cara lain
untuk mengoperasi anak ini sehingga dia masih bisa bermain basket,” kata dokter
Kim, dia terdengar seperti seorang ayah yang bijaksana.
“Benarkah dokter?” tanya ayahku.
“Geokjeonghajimaseyo, aku akan
berusaha,”
Itu adalah hal terakhir yang
kudengar. Lalu kurasakan semua kembali gelap dan dingin. Aku jadi bertanya-tanya,
apa begini perasaan orang yang sedang sekarat? Kalau memang benar, kasihan
sekali orang-orang itu, karena ini sangat menakutkan dan sangat kesepian. Entah
sampai berapa lama aku di dalam kegelapan ini.
Tiba-tiba lampu dinyalakan, aku
duduk di jendela kamarku. Seseorang menepuk pundakku, aku menoleh, dan kulihat
ayah tersenyum padaku.
“Kenapa masih disini? Bukankah
kau akan berlatih basket bersama teman-temanmu,”
“Appa, mereka bilang aku pendek,
aku tidak akan mungkin bisa jadi pemain basket hebat,” kataku. Kenapa suaraku
seperti anak kecil?
“Ya, anak bodoh, apa kemampuan
bermain basket ditentukan oleh tinggi badan? Orang bodoh macam apa yang
mengatakan itu?”
“Tapi tidak ada pemain basket
yang pendek, appa,” aku kembali merajuk.
“Maka jadilah yang pertama,
pergilah,” kata ayah.
“Benarkah? Aku bisa jadi yang
pertama?”
“Asal kau tidak hanya duduk
seperti anak bodoh dijendela,”
Aku tersenyum lebar, dan
mengambil bolaku.
“Appa, aku akan menjadi pemain
basket yang hebat!”
“Dan aku akan menjadi ayah pemain
basket yang hebat,”
“Aku pergi appa!!”
Appa tersenyum. Aku berlari
sambil memegang bolaku. Aku terus berlari. Tiba-tiba aku tersandung. Aku
meringis kesakitan dan saat aku membuka mataku, aku sudah di rumah sakit. Aku
mengerjapkan mataku pelan. Rasa sakit mulai menjalar di sekujur tubuhku. Aku
memandang sekelilingku, aku melihat eomma menatapku penuh kecemasan.
“Ji Hyun-aa, Shi Ji Hyun, kau
bangun nak?” tanya eomma, suaranya bergetar.
Aku mengerjap pelan. Kulihat
eonnie juga menghampiri tempat tidurku. Matanya bengkak dan merah. Dia langsung
menggenggam tanganku. Air mata keluar dari matanya. Dia tidak mengatakan
apa-apa dia hanya tersenyum penuh kelegaan.
“Sayang.. Sayang… Ji Hyun bangun,
dia sudah sadar.” Dia memanggil ayahku sambil tetap menatap padaku.
Kulihat ayah buru-buru datang
padaku dan tersenyum bahagia, aku bahkan bisa melihat airmata disudut matanya
yang lelah.
“Khamsahamnida.. Khamsahamnida…”
kata ayah sambil terisak.
Aku tersenyum melihat ayah dan
ibuku. Aku belum mati, dan aku tidak ingin mati dulu, bukankah aku harus
menjadi pemain basket hebat seperti keinginan ayah?
******************************************************************
Aku belum bisa bergerak untuk
satu minggu kedepan. Aku hanya berbaring selama seminggu ini. Aku bahkan belum
boleh makan apapun. Tenggorokan dan dadaku masih belum kering bekas jahitannya.
Ah, aku ingin sekali makan es krim. Beberapa teman mengunjungiku. Henry dan
Sulli bahkan sempat menginap. Tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa.
Tapi satu minggu yang menyiksa
sudah berlalu. Mangkuk dimulutku sudah diambil dan aku sudah bisa bangun. Aku
duduk di tempat tidur pagi ini. Kakiku belum bisa digerakkan. Tiba-tiba pintu
terbuka dan kulihat ayah masuk sambil membawa seikat bunga. Dia mendekati
tempat tidurku dan memberikan bunga itu padaku.
“Gumapsemnida,” aku tersenyum dan
mencium bunga itu. Harum.
“Bagaimana keadaanmu?” tanya ayah
sambil duduk dikursi sebelah tempat tidurku.
“Aku ingin makan es krim,”
jawabku.
“Kelihatannya kau sudah lebih
baik, sepertinya benar kalau kau ini adalah Mazinga Z, kau terbuat dari besi
baja”
Kami berdua tersenyum. Aku
menatap ayahku sesaat.
“Khamsahamnida appa,”
“Kau ini bicara apa?”
“Appa sudah melindungi impianku,
khamsahamnida, jeongmal,”
“Sepertinya luka dikepalamu
membuat otakmu sedikit tidak beres,” ayah tiba-tiba menjadi serba salah, dia
bahkan merapikan selimutku.
“Appa, itu sangat berarti
untukku. Aku tahu mungkin aku mengecewakan appa, tapi bukankah aku berjanji
akan menjadi pemain basket hebat? Pemain basket pendek yang pertama yang pernah
ada, aku belum memenuhi janjiku, jadi aku mohon appa, izinkan aku tetap bermain
basket, itu impianku appa, jebal,” aku
memohon kepada ayahku.
Ayah diam untuk beberapa saat. Aku
meraih tangan ayah dan menggenggamnya.
“Aku janji, aku tidak aka
terluka, aku tidak akan membuat ayah khawatir, aku akan bermain dengan hebat
sampai ayah benar-benar terpana melihatku,”
Ayah masih saja diam. Aku
menunggu jawaban ayah.
“Buat apa kau bangun kalau tidak
bermain basket,” kata ayah pada akhirnya.
“Appa!!” senyumku mengembang.
Jawaban apa seperti hujan di
musim panas. Begitu melegakan.
“Khamsahamnida.. Jeongmal
khamsahamnida,”
Ayahku tersenyum dan menatapku.
Aku hampir saja menangis karena bahagia. Sepertinya semua beban di pundakku
hilang begitu saja. Kepalaku terasa ringan dan kurasakan semua sakit ditubuhku
hilang.
“Kau benar-benar ingin makan es
krim?” tanya ayah.
Aku mengangguk senang. Apa ada
yang bisa lebih baik lagi dari ini? Tiba-tiba ada suara rebut-ribut.
“Ji Hyun-aa!!!!” kulihat Sulli
berlari kearahku.
“Sulli-aa”
“Ya, kukira kau benar-benar akan
mati, aku benar-benar takut, aku menangis tiap malam selama kau koma, aku
kemari setiap pulang sekolah untuk melihatmu sudah sadar atau belum, aku terus
seperti itu selama tiga minggu, dan saat kudengar kau sudah sadar, kau tahu,
aku ingin benar-benar memukulmu, hiks…,” lalu Sulli pun menangis dan memelukku.
Ayah hanya tersenyum melihat
tingkah Sulli. Kulihat Henry, Hyuk Jae, dan Hye Ri serta eonnie berdiri
mengelilingiku. Aku tersenyum melihat mereka. Aku seperti benar-benar mendapat
kesempatan kedua untuk hidup.
“Oh, banyak sekali orang disini,
aku tidak yakin kue ini cukup untuk semua orang,” eomma muncul sambil membawa
sebuah kotak berisi kue.
Kamipun makan kue sambil
mengobrol. Kami bercanda dan tertawa. Terimakasih Tuhan, aku bisa hidup kembali
dan berkumpul bersama mereka. Ini lebih dari cukup dan aku benar-benar
bersyukur untuk ini.
******************************************************************
Aku masih belum bisa turun dari
tempat tidurku. Aku harus menggunakan kusrsi roda kemana-mana. Dan aku masih
harus tinggal di rumah sakit. Dokter masih sering memeriksa keadaanku untuk
melihat kaki, dada, dan tenggorokanku. Beberapa jahitan sudah mulai mengering,
tenggorokan dan dadaku perlahan mulai pulih. Tapi kakiku masih belum
menunjukkan keadaan akan membaik. Masih sangat sakit untuk digerakkan. Dokter
menawarkan terapi untuk kakiku. Akan membutuhkan waktu satu sampai tiga bulan
untuk pemulihan kakiku. Aku menyetujui tawaran dokter, apa saja yang terbaik.
Aku ingin bisa kembali berlari.
Pagi ini suster sudah selesai
mengecek keadaanku. Aku masih duduk di tempat tidurku saat seseorang menggeser
pintu. Aku menoleh kearah pintu tapi tak kulihat seorangpun yang masuk. Aku
menunggu beberapa saat tapi masih juga tak tanda orang yang masuk.
“Nuguseyo?” aku mencoba bertanya.
Lalu masuklah seorang yeoja. Dia
Kim Hara. Dia berdiri canggung di depan pintu. Ditangannya terdapat sebuah
buket bunga mawar kuning. Dia menatapku canggung. Aku juga menatapnya canggung.
“Annyeonghaseyo, aku datang
menjengukmu,” sapanya pelan.
“Annyeonghaseyo, gomawoyo, pasti
sangat merepotkan,”
Dia berjalan menghampiri tempat
tidurku. Lalu dia memberikan bunga yang dia bawa padaku. Aku menerimanya dan
mengucapkan terimakasih. Dia masih terlihat canggung. Aku menatapnya. Dia
cantik sekali kalau diperhatikan dan dilihat dari dekat seperti ini. Seandainya
kami punya sesuatu untuk dibicarakan. Aku benar-benar merasa tidak enak dengan
semua kecanggungan ini.
“Bagaimana keadaanmu?” tanyanya
kemudian.
“Oh, sudah lebih baik, tapi
kakiku memerlukan waktu cukup lama untuk pulih, sangat membosankan sekali
disini,”
Dia hanya diam. Lalu dia duduk di
kursi di samping tempat tidurku. Untuk beberapa saat dia tidak mengatakan
apa-apa, aku menunggunya mengatakan sesuatu.
“Apa kau begitu dekat dengan Dong
Hae oppa?”
“Ne?” aku tekejut dengan
pertanyaannya yang tiba-tiba.
“Aku merasa kalian berdua sangat
dekat,”
“Apa maksudmu? Kami hanya
berteman, itu saja,” kenapa dia tiba-tiba bertanya tentang ini??
“Aku tidak tahu ada apa diantara
kalian, tapi kau tahu? Saat mendegar kau kecelakaan, dia benar-benar ketakutan
setengah mati, saat itu masih di pesta sekolah, saat tahu tentangmu, dia
berlari seperti petir, wajahnya sangat merah, aku belum pernah melihat oppa
seperti itu,”
Aku terkejut mendengar ceritanya
yang semuanya serba tiba-tiba ini.
“Oppa terus menerus di rumah
sakit semalaman, dia tidak mau disuruh pulang, dia terus di sini, dan terus
setiap hari dia kerumah sakit, kau koma selama 4 hari, saat dia tahu kau harus
diamputasi, dia menjadi sangat marah, entah kenapa dia seperti begitu
ketakutan. Dia memanggil pamannya yang
seorang dokter di Amerika untuk menanganimu, awalnya dokter itu menolak karena dokter itu sangat
sibuk, dokter itu juga seorang dosen di sebuah universitas kedoteran di
Amerika, tapi dia memohon padaku,”
“Memohon padamu? Apa maksudmu?”
tanyaku heran.
“Karena dokter itu adalah
ayahku,”
Hal ini membuatku sangat
terkejut. Apa artinya semua ini? Kenapa dia tiba-tiba datang dan memberitahuku
semua ini?
“Ayah sangat sibuk, tapi melihat
oppa memohon seperti itu, sebenarnya itu membuatku marah, kenapa hanya demi kau
dia rela melakukan semua itu? Aku memenuhi permintaanya dengan syarat dia harus
menjadi namjachinguku,”
Apa lagi ini?
“Dia sempat ragu, tapi akhirnya
dia menyetujuinya. Aku sangat terkejut mendengarnya, kukira oppa akan menolak
seperti dulu, tapi dia menyetujuinya. Aku sempat merasakan sesuatu yang aneh. Aku
marah dan sedih pada saat yang bersamaan. Dan akhirnya aku membujuk ayahku
untuk bisa menanganimu, dan dia mau kembali ke Korea dan mengoperasimu. Ayahku
pernah menjadi spesialis tulang, maka dia bisa melakukan sesuatu untukmu,”
Aku diam tak bisa mengatakan
apapun. Ini semua terlalu mengejutkan. Kenapa Dong Hae melakukan semua ini?
“Jeongmal gomawoyo, berkat ayahmu
aku bisa dioperasi dan tak perlu kehilangan kakiku, aku benar-benar
berterimakasih,” kataku pelan. Aku tak tahu harus mengatakan apa.
“Jangan berterimakasih padaku,
berterimakasihlah pada oppa, karena dia aku mau melakukan semua ini,”
“Ne,” aku diam sesaat. “jadi
sekarang kau dan Dong Hae berpacaran?”
Dia tersenyum sebentar. Tapi
bukan senyuman bahagia.
“Aku tidak pernah merasa seperti
itu. Oppa memang selalu memenuhi keinginanku, tapi melihatnya setiap malam ke
rumah sakit dan melihatmu, apa aku bisa menyebutnya namjachinguku, aku tidak
pernah tahu apa yang dipikirkan oppa, tapi aku merasa seperti orang bodoh, aku
seperti orang jahat yang memanfaatkan orang lain demi kepentinganku sendiri.
Oppa bersamaku karena dia merasa dia harus bersamaku. Dia harus membayar sebuah
hutang padaku. Dia selalu bilang, karena akulah paling tidak kau selamat, tapi
bukan itu yang kuinginkan,”
Ha Ra berhenti beberapa saat. Dia
menangis. Aku mendengarkannya dengan perasaan campur aduk. Dan aku tak tahu
harus bagaimana.
“Ternyata ini menyakitkan,”
lanjutnya. “Ini lebih menyakitkan dari apapun. Aku merasa oppa tersakiti karena
aku, dan melihat semua itu membuatku seperti seorang yang sangat jahat. Aku
telah menyakiti oppa yang sangat kusayangi,” kini dia benar-benar menangis.
Aku memegang tangannya dan
menggenggamnya. Entah kenapa melihatnya seperti ini sangat menyedihkan. Kasihan
sekali dia ini.
“Aku sudah bersama sejak aku
lahir, dia selalu ada untukku, dan aku sangat senang karena dia yang ada
disisiku dan bukan orang lain, tapi semua sudah berbeda sekarang, kami bukan
anak kecil lagi, dan sepertinya ini saatnya aku melepaskan oppa, aku harus bisa
tanpanya, dan dia bisa melakukan apapun yang dia inginkan,”
Aku hanya diam. Aku memang hanya
bisa diam. Apa yang bisa kukatakan?
“Aku senang kau bisa sembuh
kembali, kau harus cepat sembuh, kau sudah tahu kan apa yang telah dilakukan
oppa demi kau? Aku bukan orang yang mudah berbaik pada orang lain, tapi
cepatlah sembuh dan berjalan dengan kakimu. Mianhe aku sudah membuat pagimu
penuh kejutan, aku akan pergi sekarang,”
Dia beranjak dari kursinya dan
berjalan kearah pintu.
“Ha Ra-ssi, gomawo,”
Dia menghentikan langkahnya.
“Jeongmal gomawoyo, untuk apapun
itu, untuk apa yang telah kau lakukan padaku, gomawo,”
Dia tidak mengatakan apapun, juga
tidak memberiku respon. Dia hanya diam dan melanjutkan langkahnya keluar dari
kamarku. Aku tahu dia pasti akan tersenyum.
Aku duduk di kursi roda di dekat
jendela. Memikirkan semua perkataan Ha Ra. Benarkah semua itu? Kenapa dengan
Dong Hae itu? Kenapa selalu melakukan semuanya semaunya sendiri? Kenapa dia
melakukan semua ini? Aku melayangkan pandanganku keluar jendela. Di luar pasti
dingin sekali. Kulihat tumpukan salju dibingkai jendela. Sudah berapa lama
sejak pertama kali aku melihat salju saat itu?
“Itu sudah satu bulan,”
Aku menoleh, dan kulihat Dong Hae
berdiri di belakangku, membawa sebuah buket bunga. Ya, apa dia membaca
pikiranku?
“Lama tak jumpa, Ji Hyun,”
Aku memutar kursi rodaku. Aku
menatapnya beberapa saat. Kenapa dia baru muncul? Apa dia tidak tahu, aku
sangat ingin melihatnya. Bahkan saat mataku masih tertutup aku sangat ingin
melihatnya. Aku benar-benar ingin menghajarnya sekarang. Kalau saja kakiku
tidak dibebat seperti ini, dia pasti sudah babak belur karena kuhajar. Kemana
saja dia ini? Apa tidak sedikitpun kahawatir padaku?
“Kenapa kau melihatku seperti
itu?”
“Babo! Selalu melakukan apapun
sesukamu, kau pikir kau ini siapa?” aku tiba-tiba berteriak. “Apa kau tidak
tahu, aku sangat ingin melihatmu,”
Dong Hae diam menatapku.
Kata-kataku keluar begitu saja.
“Mwo ya?”
“Aku ingin melihatmu, aku ingin
menunjukkanmu, ini,” akau menunjukkan kakiku yang digips. Alasan bodoh apa ini?
“Mwo? Kau ingin melihatku karena
ingin menunjukkan ini padaku?”
“Ne, aku keren kan dengan kaki
seperti ini?”
Dia meletakkan bunga di
pangkuanku. Lalu memukul dahiku pelan.
“Apa itu?”
Aku hanya tersenyum. Aku tidak
mungkin mengatakan yang sebenarnya. Lagipula apa yang sebenarnya? Akhirnya kami
mengobrol saja. Dia duduk di sofa dan aku tetap di kursi rodaku.
“Apa yang kau lakukan selama aku
tidur?” tanyaku.
“Wae?”
“Hanya ingin tahu saja,” jawabku.
Aku berdebar menunggu jawabannya.
“Aku melakukan hal-hal seperti
biasanya,”
“Kau tidak melakukan hal lain?”
“Hal lain apa? Memang apa yang harus
kulakukan?”
Kenapa dia tidak menceritakan apa
yang sebenarnya terjadi antara dia dan Ha Ra?
“Benar-benar tidak ada?”
“Obseoyo, apa yang kau harapkan,
apa kepalamu baik-baik saja? Ah, aku ingat”
“Ne?”apa dia akan
menceritakannya?
“Saat inspeksi kamar aku ketahuan
menyimpan majalah dewasa yang kupinjam dari Hechul Sunbae, aku sudah
menjelaskan bahwa itu bukan punyaku, tapi tetap saja aku disuruh berlari,” dia
tertawa terbahak-bahak. Apa-apaan dia ini?
“Ya! Apa perlu kau menceritakan
hal itu?” aku berteriak padanya.
“Kau ini kenapa sih? Aku punya
kejutan untukmu, aku mempersiapkan album baruku dengan Dreamworld Entertainment,
aku akan terkenal lagi setelah ini,”
“Jjinjja? Kau dapat kontrak?”
“Ya, apa kau lupa ingatan?
Bukankah aku sudah memberitahumu?”
“Jjinjja? Kapan?”
“Saat itu, kau tiba-tiba berlari
seperti melihat hantu! Ya, apa pihak rumah sakit tidak memeriksa kepalamu, kau sepertinya
mengalami gegar otak,” dia memegang kepalaku, aku menepisnya pelan.
“Kau berdoa aku gegar otak? Tentu
saja aku ingat itu,” mana mungkin aku lupa saat lari menghindarinya,
mati-matian aku mengatur jantungku.
“Lalu kenapa kau masih terkejut?”
“Karena aku senang, apa tidak
boleh aku senang, kau bisa bernyanyi kembali, dan pasti aku bisa melihatmu
bernyanyi lagi, ah senangnya,”
“Senang melihatmu kembali,”
“Apa maksudmu?”
“Kau bertingkah aneh akhir-akhir
ini,”
“Apanya yang aneh? Aku merasa
biasa saja,”
Dong Hae hanya tersenyum. Aku
menatap bunga yang diberi Dong Hae. Lili putih.
“Kau dan ayahmu?”
“Oh?” aku menatapnya sesaat. “Oh,
kami baik-baik saja, entah kenapa ayah sangat melindungi impianku, kau tahu,
seandainya saja dia tidak melawan dokter mungkin sekarang aku hanya punya satu
kaki,”
“Mworago? Satu kaki?” tanyanya
heran.
Pandai sekali dia berakting. Dia ini
tidak tahu atau pura-pura tidak tahu sudah pasti kan dia ini tahu semuanya.
“Ayah berteriak pada dokter pada
dokter, dia berskeras untuk mempertahankan kakiku, kau tahu, hampir saja kakiku
diamputasi, tapi seorang dokter datang,” aku berhenti melihat reaksinya, tidak
ada yang berubah, “Dia dokter dari Amerika dan menawarkan solusi lain, dan
entah apapun itu caranya, aku beruntung kakiku masih lengkap, aku tidak bisa
membayangkan akan seperti apa hidup tanpa kaki, apa kau tahu rasanya?”
Dong Hae hanya diam. Apa dia akan
menyembunyikan semua ini?
“Aku tidak tahu bagaimana seorang
dokter dari Amerika tahu ada seorang yang membutuhkannya di Korea. Setahuku Korea
dan Amerika itu sangat jauh. Pastinya insting dokter itu sangat tajam, benarkan
Dong Hae-ssi?”
“Mana ada yang seperti itu? Pasti
pihak rumah sakit yang menghubungi dokter itu,” jawabnya.
“Geure, pasti ada seseorang yang
memberitahunya, siapapun itu aku sangat berterimakasih padanya, seharusnya
orang iti menceritakannya padaku saat aku sadar, tapi karena aku tidak tahu
orangnya, apa boleh buat,” aku melirik kearah Dong Hae, dia hanya diam sambil
menatap sepatunya.
“Tapi siapapun dia, aku harus
berterimakasih padanya, pada semua orang yang sudah memberiku kesempatan kedua
untuk hidup, bisa melihat keluargaku, melihat teman-temanku, tertawa, makan,
minum, kelak aku akan bisa berlari lagi, dan bahkan aku bisa melihatmu
bernyanyi lagi, bukankah itu menyenangkan? Aku benar-benar bersyukur dan
berterimakasih untuk apapun yang kuterima,” aku merasakan butiran kristal
mengalir dipipiku.
“Geure, kau harus membayar semua
hutangmu kalau begitu,”
“Ne?”
“Hiduplah dengan baik, buatlah
banyak kenangan indah, sayangi orang-orang disekelilingmu, araji?”
Aku hanya tersenyum dan
mengangguk.
“Gomawo, kau sangat menyebalkan,
tapi disaat sepeti ini ternyata kau sangat berguna,”
“Ya, apa kata-kata itu pantas
terucap?”
Kami berdua tertawa kecil.
“Ya, Dong Hae-ssi, aku ingin
melihat slaju, kau mau mengantarku keluar?”
“Shiro! Kau mau membeku diluar
sana?”
“Kalau tidak mau ya sudah, aku
bisa pergi sendiri,”
Aku mendengus sebal. Aku memutar
kursi rodaku dan memutar roda. Tapi tiba-tiba Dong Hae mendorong kursi rodaku
menuju keluar kamarku. Aku hanya tersenyum. Kami menuju berjalan menuju
beranda. Kurasakan udara dingin dikulitku. Akhirnya aku bisa kembali melihat
dan merasakan dinginnya. Kurapatkan kardiganku.
“Berapa banyak yang kulewatkan?
Aku melewatkan natal dan tahun baru. Aku meninggalkan sekolah dalam waktu yang
cukup lama. Apa tidak apa-apa membolos selama ini? Apa Bu Guru Lee dan Pak Guru
Angker akan memarahiku dan memberiku banyak tugas? Pelatih Kim? Pasti dia akan
benar-benar mengirimku ke neraka dan menyiksaku habis-habisan di sana karena
aku mangkir latihan. Pasti mengerikan.”
Aku menatap salju yang jatuh satu
persatu. Dong Hae yang duduk disebelahku hanya diam dan memandangi salju.
“Tapi saat ini aku seratus kali
ingin merasakan pelatihan neraka Pelatih Kim dan menerima teriakan Pak Guru
Angker, itu artinya aku masih bisa bertemu mereka di kehidupan yang sama, aku
sangat beruntung kan?” aku menoleh untuk meminta persetujuan Dong Hae.
Dong Hae menatapku sesaat lalu
mengangguk pelan. Aku tersenyum lalu kembali menatap salju. Seseorang pernah
mengatakan padaku, suatu saat aka nada seseorang yang membawa keajaiban
untukku. Dan aku merasa saat ini bukan hanya seseorang yang membawa keajaiban
untukku. Entah berapa banyak orang yang membawa keajaiban untukku. Dan itu
membuatku percaya bahwa keajaiban itu memang ada. Dan akupun paham kenapa
setiap orang mengharapkan keajaiban, karena keajaiban itu benar-benar indah.
****************************************************************
Dua bulan kemudian.
“Selamat datang di rumah!!!!!!”
Akhirnya aku bisa kembali berdiri
dengan kakiku sendiri. Aku sudah bisa kembali berjalan. Aku bahkan sudah bisa
berlari. Rumah sakit telah mengatakan bahwa aku sudah sembuh total. Tiga bulan
lamanya aku tinggal di rumah sakit menjalani segala rehabilitas dan terapi. Awalnya
sangat menyakitkan memaksa kakiku untuk bergerak kembali. Ini lebih menyakitkan
dibandingkan saat kaki terseret mobil. Tapi keluarga dan teman-temankulah
alasan terbesar aku terus berjuang. Apalagi impianku menjadi pemain basket aku
terus menjalani pemulihan yang sangat berat.
Ahli terapiku berasal dari Jepang
bernama dokter Mizuno Fumiya. Dia adalah lulusan terbaik di sebuah universitas
kedokteran ternama di Jepang. Dia benar-benar melakukan yang terbaik untukku. Dengan
sabar dia terus membantuku melakukan penyembuhan kakiku. Dia dokter yang sangat
menyenangkan dan baik hati. Dia tidak pernah marah sebesar apapun aku ingin menyerah.
Dia hanya sering mengomel karena aku selalu telat datang ke tempat terapi. Dan sepertinya
dia memang sangat cerewet sekali. Dia selalu berbicara panjang lebar, tapi aku
suka saat dia sudah membicarakan sesautu, paling tidak rasa sakit dikakiku bisa
teralihkan. Dia sering memberiku hadiah dan mengajakku jalan-jalan mengelilingi
rumah sakit saat aku bosan. Berkat dia pula, aku bisa pulih lebih cepat dari
yang diperkirakan.
Teman-temanku selalu datang ke
rumah sakit. Bahkan Henry dan Sulli sering sekali menginap. Mereka sering kali
membuat keributan hingga suster harus marah-marah kepada mereka. Hyuk Jae dan
Hye Ri datang dengan cerita-cerita basket mereka. Sekolah kami memenangkan
beberapa kejuaraan nasional dan mungkin akan bisa mengikuti olimpiade. Aku benar-benar
merindukan basket. Dong Hae juga sesekali datang. Dia sangat sibuk
mempersiapkan album barunya. Dia juga sudah beberapa kali keliling Korea untuk
promosi album barunya. Dan orang-orang di rumah sakit selalu mengejar-ngejarnya
saat dia berkunjung. Jadi dia harus selalu menyamar saat mengunjungiku.
Soal sekolah, aku pasti
tertinggal jauh. Tapi ayah memanggil seorang guru yang mengajariku di rumah
sakit, jadi aku tetap harus belajar selama di rumah sakit. Aku juga melakukan
ujianku di rumah sakit. Dengan begitu aku masih tetap mengikuti sekolah tanpa
harus mengulang lagi di tahun pelajaran berikutnya. Dan aku sudah bisa bermain
basket lagi. Di rumah sakit pun aku menjalani terapi dengan bermain basket. Dan
aku siap untuk bermain basket lagi.
Aku tersenyum menatap keluarga
dan teman-temanku. Mereka menyiapkan sebuah pesta kecil untuk menyambut
kepulanganku. Kami bersenang-senang hari ini. Eomma bahkan sudah mempersiapkan
sebuah barbeque untuk kami. Kami mengobrol dan tertawa. Aku bahka mendapat
banyak hadiah. Aku duduk di gazebo memandangi mereka yang sedang memanggang
daging dan makanan lain. Tiba-tiba Dong Hae mendekatiku dan duduk di sebelahku.
“Jadi bagaimana rasanya kembali
ke dunia luar?”
“Jauh lebih menyenangkan
dibandingkan harus bertengkar dengan para suster di rumah sakit, mereka itu
cerewet sekali, tapi aku merindukan omelan dokter Mizuno, kalau aku belum minum
obatku sekarang, dia pasti akan mengomel sepanjang terapi,”
“Lalu kenapa tidak kembali saja
ke rumah sakit, kau bisa bertemu dengannya setiap saat dan mendengarkan
omelannya,” dia tiba-tiba kesal.
“Mwo ya? Apa kau cemburu padanya?”
“Omong kosong apa yang kau
bicarakan itu?”
Aku tertawa melihat tingkahnya. Dia
semakin terlihat lucu dengan wajahnya itu. Jantungku mulai tidak normal lagi. Selalu
saja seperti ini.
“Kau akan bermain basket lagi?”
Aku mengangguk pelan.
“Aku memutuskan untuk tidak
berhenti, aku tidak ingin usaha seseorang demi kakiku ini sia-sia saja,” aku
menyindirnya.
“Geure?”
Aku tersenyum. Kami berdua diam untuk beberapa saat. Ada kalanya kami berbicara sangat banyak, bahkan tanpa perlu ada yang memulai. Tapi kadang kami bahkan tidak punya apapun untuk dibicarakan.
“Ji Hyun-aa,” panggil Dong Hae tiba-tiba.
Aku menoleh padanya. “Wae?”
Dong Hae dia beberapa saat.
“Aku akan ke Amerika,”
to be continued...
0 komentar:
Posting Komentar