Setelah kejadian kemarin malam, apa yang akan terjadi selanjutnya? here In My Dream Part 11.. Enjoy... ^^
Lagi-lagi Hyuk Jae menatapku
dengan tatapan anehnya pagi ini. aku sedang malas menanggapinya. Tapi dia terus
menerus menatapku.
“Mwo ya?” tanyaku malas.
“Aku heran, apa sekarang make up
lingkaran hitam pada mata sedang trend? Kenapa setiap pagi kau memakainya?”
“Pertanyaan macam apa itu?
Sudahlah, aku mengantuk, bangunkan aku kalau bel,” aku menelungkupkan kepalaku
diatas meja.
“Ya, ireona!!”
Aku tidak mendengarkan kata-kata
Hyuk Jae. Bagaimana bisa aku bangun sekarang? Semalaman aku tidak bisa
sedikitpun memejamkan mataku. Apalagi kalau bukan karena apa yang terjadi
semalam. Membayangkan saja sekarang aku tak mampu. Bagaimanapun ini terlalu
mustahil untuk menjadi nyata. Seorang Lee Dong Hae? Dan aku? Dipikir dengan
akal apapun itu tidak masuk akal.
Aku hampir saja terlelap saat
Dong Hae datang dan menatapku beberapa saat, saat itu pula bel berdering. Hyuk
Jae menepuk pundakku pelan, membangunkanku. Aku mengangkat kepalaku dan melihat
sekeliling. Murid-murid yang lain sudah duduk di tempatnya masing-masing dan
kulihat Bu Guru Lee masuk ke dalam kelas. Aku terpaksa bangun.
“Annyeong haseyo semuanya,”
‘Annyeonghaseyo Sengnim,”
“Sebelum pelajaran, ibu ingin
mengingatkan kalian bahwa Pesta Olahraga akan dimulai satu minggu lagi, jangan
lupa dengan tugas kelas kita, kalian sudah mempersiapkan semua kebutuhannya?”
Hyuk Jae menjelaskan tentang
persiapannya. Sementara aku teringat ayahku, apa ayah akan datang? Seharusnya
kami tidak bertengkar seperti ini. Sampai kapan ayah akan seperti ini?
Pertandingan sudah dekat, tapi ayah tidak menunjukkan tanda dia akan datang.
Dia bahkan tidak pernah meneleponku. Kenapa semua ini harus terjadi? Sepertinya
aku masuk sekolah ini memang sebuah kesalahan, dari awal seharusnya aku tidak
masuk sekolah ini. Dengan begitu semua ini tidak perlu terjadi.
Aku meniup poniku pelan. Suara Bu
Guru Lee yang menyuruh kami mengeluarkan buku membuyarkan lamunanku. Aku tidak
mempunyai semangat untuk mengikuti pelajaran, seperti aku memang tidak pernah
punya semangat untuk belajar. Aku menatap ke luar jendela. Aku tidak sadar
kalau sejak tadi Dong Hae terus memperhatikanku.
Entah kapan pelajaran berakhir.
Sepertinya aku terus melamun sepanjang pelajaran. Aku tersadar dari lamunanku
saat kudengar suara teman-temanku yang mulai meninggalkan kelas. Aku memandang
sekelilingku, beberapa murid sudah meninggalkan kelas. Hanya beberapa murid
yang masih mengobrol. Aku tidak melihat Hyuk Jae. Apa dia sudah keluar duluan?
Aku menatap kosong. Aku ingin tidur. Aku menutup wajahku saat menguap dan saat
aku membuka mataku tiba-tiba Dong Hae sudah berdiri di depanku. Aku terkejut
setengah mati.
“Oh my ah..!!!”
“Ya, apa kau ini zombie atau
semacamnya?”
“Mwo ya? Apa aku telihat seperti
zombie?”
“Geure!! Ireona, palee ttaerawa!”
“Mwo?”
Aku masih kebingungan saat Dong
Hae menarik tanganku dan menarikku keluar kelas. Lebih tepat dia menyeretku
keluar. Aku sempat tersandung-sandung karena dia bersemangat sekali menarikku.
Kenapa dia ini?
Dan disinilah kami. Di akuarium
raksasa. Kenapa dia mengajakku kesini? Aku menatap akuarium besar dihadapanku,
ratusan mungkin ribuan ikan berenang di dalamnya. Benar-benar menyenangkan,
seperti berada dalam laut, hanya saja aku bisa berjalan dan bernafas.
“Ini,” Dong Hae memberiku
sekaleng minuman dingin.
Dong Hae memakai topi dan
kacamata untuk menyembunyikan wajahnya. Tapi dia masih saja tidak berbeda,
orang akan dengan mudah mengenalinya.
“Oh, gomawo,” aku menerima
minuman itu.
“Kajja!!!”
Dong Hae berjalan meninggalkanku.
Aku buru-buru mengikutinya. Kami mengelilingi akurium dan melihat-lihat ikan
yang ada di sana. Aku belum pernah kesini sebelumnya, aku pernah melihatnya di
televisi, tapi aku tak menyangka akan sangat menyenangkan disini. Kami melihat
berbagai macam ikan. Banyak sekali jenis ikan di sini. Kami melihat ubur-ubur,
kura-kura, buaya, dan ikan pedang. Kami juga melihat ikan hiu. Benar-benar
seperti di dalam laut, kami bahkan tidak perlu basah menyelam ke dalam air. Kami
saling menertawakan satu sama lain, saling mengejek, berfoto bersama ikan, aku
bahkan menggendong seekor penguin. Menyenangkan sekali berada di sana. Kami
juga sempat melihat pertunjukan lumba-lumba yang menggemaskan. Apa semua
lumba-lumba selalu sepintar itu? Mereka benar-benar ajaib. Para pengunjung
diizinkan untuk berfoto bersama dengan lumba-lumba. Aku tidak ingin
menyia-nyiakan kesempatan ini. aku menarik tangan Dong Hae dan mengajaknya
berfoto. Awalnya dia sempat menolak, tapi akhirnya dia bersedia berfoto dengan
lumba-lumba, menyenangkan sekali.
“Kenapa tiba-tiba mengajakku kemari?”
tanyaku saat kami duduk di depan akuarium ikan badut sambil makan es krim.
“Ummm, aku bosan melihatmu
seperti kucing yang malas, makanya aku mengajakmu kesini,”
“Ya, apa aku terlihat seperti
hal-hal yang tidak berguna dimatamu? Kau bilang aku zombis, kau bilang aku kucing
yang malas, sekarang apa lagi?” aku mendengus kesal.
“Geure, kau adalah orang paling
malas sedunia, kau seperti ikan itu, hanya bermalas-malasan,” Dong Hae menunjuk
sebuah ikan yang diam di balik tanaman, “Lihatlah ikan yang lain, mereka semua
berenang kesana-kemari, hanya ikan itu yang malas, seperti seseorang,” Dong Hae
menoleh padaku sambil tesenyum menyebalkan.
Aku melihat ikan yang ditunjuk
Dong Hae, apa yang dilakukan ikan itu disana?
“Aku tak semalas itu,” aku
memakan es krim cepat-cepat.
“Gumapta,” kata Dong Hae
tiba-tiba.
“Oh?” aku menoleh menatapnya.
“Aku tidak tahu, tapi mengetahui
kau berjaga saat aku operasi, membuatku senang, gumapta,” dia tersenyum sambil
menatap akuarium di depan kami.
“Oh,” aku menatap es krimku yang
meleleh perlahan-lahan.
“Saat operasi aku bermimpi, sepertinya
bukan mimpi, terlihat sangat nyata, aku jatuh ke sebuah jurang, aku hanya
berpegangan pada sebuah akar pohon yang sudah lapuk, kayu itu hampir patah, aku
berpikir apa aku akan jatuh? Sepertinya tidak ada kesempatan. Tapi saat itu,
aku mendengar sebuah suara, suara yang sangat menyebalkan, tapi entah kenapa
aku sangat senang mendengarnya, kau tau itu suara siapa?” Dong HAe berhenti dan
menatapku.
“Nugu?” tanyaku.
“Itu suaramu,”
“Ya, jadi suaraku ini
menyebalkan?” tanyaku sebal.
“Tentu saja, kupikir kau sangat
kecil tapi kau punya suara yang keras dan menyebalkan, kau suka sekali
berteriak,”
“Ya, jjinjja.. Geurego, apa yang
terjadi dalam mimpimu?”
“Hemm, aku terus mendengar
suaramu memanggil-manggil, “Dong Hae-sii.. Dong Hae-ssi..” aku mencoba untuk
berteriak memanggilmu, tapi tak ada suara yang keluar. Untuk pertama kalinya
dalam hidupku, aku merasa takut, aku takut tak seorangpun menemukanku. Kayu
yang kupegang patah semakin besar, sepertinya aku akan jatuh, aku pasrah, aku
memejamkan mata dan menunggu kayu itu patah, tapi saat itulah, sebuah tangan
memegang tannganku, erat sekali dan menarikku keatas. Dan saat kubuka mataku,
aku melihat ayahku, tersenyum padaku, dan saat aku benar-benar sadar, aku sudah
di ruang perawatan di rumah sakit. Aneh bukan? Benar-benar seperti nyata,
itulah yang mendorongku memutuskan untuk menemui ayahku,” Dong Hae diam
mengakhiri ceritanya.
Aku diam menatapnya. Dia hanya
tersenyum kecil.
“Lagipula, kau sangat cerewet
menyuruhku bertemu ayahku, kau tahu kau ini sangat berisik, makanya biar kau
tidak berisik aku putuskan untuk bertemu ayahku, kau puas kan sekarang?”
“Ya, apa tidak ada sisi baikku
yang kau lihat? Dari tadi kau terus mengejekku,”
“Obseoyo!” dia tertawa.
Aku mendengus kesal.
“Hanbondon, gumapta, jeongmal, Ji
Hyun-aa” kata Dong Hae pelan.
“Kalau kau berterima kasih,
belikan aku es krim lagi,” kataku sambil menyodorkan gelas es krimku yang sudah
kosong.
“Ya, apa di kepalamu itu hanya
ada es krim?”
Aku tersenyum. “Aku senang kau
menyelesaikan semuanya, melihat dua orang pria punya hubungan seperti kau dan
ayahmu itu sangat tidak menyenangkan, tapi aku lega kau menyelesaikannya,”
“Ne, kau mau es krim lagi?” tanya
Dong Hae.
Aku mengangguk.
“Kalau begitu terima takkbam
dariku dulu,” dan dengan sangat cepat dia memukul jidatku dan langsung berlari
meninggalkanku.
“Ya!!! Jugeole???”
Aku berlari mengejarnya. Dia
sepertinya berlari dengan sangat gembira, dan entah kenapa lagi-lagi jantungku
berdegup tidak karuan melihat tawanya. Apa harus selalu seperti ini saat
melihatnya tertawa, tapi debaran seperti ini menyenangkan bukan?
****************************************************************
Pesta olahraga sekolah kami
tinggal tiga hari lagi. Kami sangat sibuk mempersiapkan segala sesuatunya.
Kelas ditiadakan untuk sementara demi telaksananya acara ini. Pesta Olahraga
sekolah kami selalu menjadi sorotan public, bahkan ada beberapa stasiun
televisi yang secara khusus meliput acara ini. Berbagai SMA sekitar Seoul juga turut
memeriahkan pesta olahraga ini. Kami akan memperebutkan gelar juara antar SMA
di Seoul. Para guru sibuk mempersiapkan segala hal yang diperlukan untuk acara
ini. para pegawai di sekolah kami juga sibuk menghias sekolah dengan segala
macam hal. Berbagai bunga ucapanpun dikirim dari berbagai pihak. Kepala sekolah
terus menerus mengingatkan kami melalui pengeras suara agar kami bersiap-siap
untuk menghadapi pesta olahraga, kepala sekolah terus mengatakan agar kami
melakukan yang terbaik dan menjadi nomor satu di setiap pertandingan. Aku
berpikir apa dia tidak capek berkata seperti itu terus menerus?
Kami pun sibuk mempersiapkan
diri. Latihan basket masih tetap berlanjut meski tidak terlalu intens. Aku
sesekali membantu kelasku untuk membuat stand jus buah kami. Aku ingin sekali
membantu menjual jus, tapi dengan mengikuti pertandingan aku tidak punya waktu
untuk itu. Hari ini stand kami sudah selesai ditata, kami hanya tinggal
menunggu hari pesta olahraga datang. Semua orang telihat sangat sibuk dan
sangat senang. Mereka membicarakan pesta olahraga dengan penuh semangat.
Aku duduk di taman sendirian. Aku menggenggam
ponselku. Aku menekan nomor rumahku. Beberapa kali aku menekan nomor rumahku
dan beberapa kali pula aku mematikannya. Akhirnya aku memutuskan untuk
menelepon eonniee.
“Ya, Ji
Hyun-aa, lama sekali kau tidak pernah menelepon?”
“Mian, aku sangat sibuk
akhir-akhir ini, bagaimana kabarmu?”
“Aku
sangat sibuk karena ujian, sepertinya otakku akan meledak, kau?”
“Eonniee, pesta olahraga,..” aku
tidak melanjutkannya.
Tidak ada suara dari seberang.
“Kami
akan datang, tenanglah,’ kata eonniee tiba-tiba.
“Ne?”
“Kami
pasti akan datang melihatmu, aku dan eomma bahkan akan membuatkan bekal
untukmu, jadi kau jangan khawatir,” kata eonnie.
“Appa?”
“Tenanglah,
dia pasti akan datang bersama kami, kau fokuslah pada pertandinganmu, kami akan
datang, kalau sampai kau tidak menang, aku akan menggelitikmu sampai mati,
aaraji?”
“Araseo, kututup teleponnya,”
“Ne, jaga dirimu,’
“Araseo,”
Aku menutup teleponku dan
memandang ikan-ikan di kolam. Aku ingin menelepon appa, tapi aku bahkan tidak
punya keberanian untuk membayangkannya. Aku menyandarkan kepalaku di sandaran
kursi dan memejamkan mataku. Angin awal musim dingin berhembus pelan, kurasakan
udara dingin di sekujur tubuhku. Dan kurasakan sesuatu yang dingin menempel di
pipiku, aku membuka mataku. Kulihat Dong Hae menempelkan kaleng minuman dingin
dipipiku.
“Minumlah,”
“Gomawo,” aku mengambil minuman
kaleng dari tangan Dong Hae, tapi tidak meminumnya, aku hanya memegangnya.
“Ayahku akan datang ke
pertandingan, bukankah itu bagus?”
“Jjinjja? Itu bagus sekali, kau
senang?”
“Walaupun bagaimanapun juga, aku
senang, kau?”
“Oh, tentu saja mereka akan
datang,” aku tersenyum kecil.
“Dan kau tahu? Sepertinya aku
akan bernyanyi lagi,”
“Jjinjja?” aku menoleh kearahnya,
sepertinya mataku berbinar-binar.
“Apa kau begitu senang?”
“Geurom!!!! Hanya itu yang bisa
membuatku senang saat ini, aku sangat sangat sangat sangat senang,” tanpa sadar
aku menggenggam tangan Dong Hae.
Dong Hae menatap tangannya yang
sekarang kugenggam. Aku juga melihatnya dan sontak aku melepasnya. Aku
menggaruk kepalaku yang tidak gatal dan tersenyum canggung.
“Kalau kau senang traktir aku,”
“Ya, aku sedang tidak punya uang,
tapi aku akan memberimu sesuatu,” aku membuka tasku dan mengeluarkan sesuatu
dari dalamnya dan menyerahkannya pada Dong Hae.
“Tali sepatu?”
“Ne,” aku mengangguk. “Itu adalah
tali sepatu keberuntunganku, aku selalu menang saat bertanding basket bila
memakai tali sepatu itu, kau simpanlah, aku masih punya satu,” aku menunjukkan
satu tali sepatu padanya.
“Jadi seperti pasangan?”
“Oh, ani, hanya untuk
keberuntungan, semoga bisa memberimu keberuntungan,” kataku gugup.
“Oh, ne, gumawo,”
Aku mengangguk.
“Dong Hae Oppa!!!” tiba-tiba
seseorang memanggil Dong Hae.
Kami menoleh ke sumber suara dan
kami melihat Kim Ha ra berdiri sambil melambaikan tangannya ke arah kami, lebih
tepatnya ke arah Dong Hae. Dong Hae berdiri dan menghampiri Ha Ra. Mereka
terlihat sedang membicarakan sesuatu sambil berjala menjauh dariku. Ha Ra
terlihat sangat senang. Dia bahkan meletakkan kepalanya dipundak Dong Hae. Mwo
ya? Kenapa aku merasa seperti ini, kenapa aku tidak suka melihatnya? Aku
beranjak dari tempat dudukku. Kuputuskan untuk ke kantin, perasaan ini
membuatku ingin makan.
Aku melihat Hye Ri di kantin. Aku
membawa nampanku dan duduk di hadapannya. Tapi sepertinya dia tidak menyadari
kehadiranku. Pandangannya sedang teralih ke hal lain. Sementara dia terus
menerus tersenyum. Tangannya bertopang dagu dan tangan yang lainnya terus
menerus mengaduk minuman dalam gelas didepannya. Apa yang sebenarnya dia lihat?
Aku mengikuti pandangannya dan yang membuatku terkejut adalah dia sedang
menatap Hyuk Jae di meja seberang kami.
“Ya, lihatlah air liurmu
menetes,”
Hye Ri terkejut mendengar
perkataanku.
“Mwo ya?” dia reflex membersihkan
mulutnya. “Ya, siapa yang air liurnya menetes,” sadar hanya kukerjai Hye Ri
mendengus kesal. Aku hanya tertawa.
“Apa yang kau lihat, kedua matamu
hampir saja keluar,”
“Aniyo, aku tidak lihat apa-apa,”
“Jjinjja?” aku mulai menggodanya,
“Tapi dia memang terlihat tampan dari kejauhan,” aku menoleh ke arah Hyuk Jae.
Namun tiba-tiba Hye Ri menarikku untuk tidak melihat Hyuk Jae.
“Kau jangan melihatnya, nanti
ketahuan,” tiba-tiba wajah Hye Ri memerah.
“Jadi kau benar-benar
menyukainya?”
Hye Ri mengangguk pelan sekarang
wajahnya benar-benar merah seperti tomat.
“Apa kau sangat menyukainya?
Bagaimana kau menyukainya?”
“Kami sempat beberapa kali keluar
bersama, dan ternyata dia sangat baik, juga menyenangkan,”
“Kalian keluar bersama?” tanyaku
setengah berteriak. Hye Ri langsung menutup mulutku.
“Jangan berteriak,”
“Mian, jadi apa yang terjadi
dengan kalian?”
“Busun? Tidak terjadi apa-apa,
tapi sepertinya aku menyukainya,” Hye Ri kembali menatap Hyuk Jae.
“Ya, sadarlah,”
Aku hanya tertawa dan memakan
makananku, sementara Hye Ri terus memandangi Hyuk Jae. Aku terus saja
menggodanya.
Selasai dari kantin aku dan Hye Ri pergi ke
ruang loker. Aku harus membereskan seragamku, aku berencana mencunci semua seragam
dan sepatuku. Aku akan memakainya untuk pertandingan penting tidak mungkin
dengan keadaan seperti itu. Namun sesuatu yang tidak kubayangkan terjadi di
ruang loker, seseorang sedang melakukan sesuatu di lokerku.
“Ya, apa yang kau lakukan?” aku
hampir saja berteriak dan menarik tangan yeoja itu.
“Ga In-aa, apa yang kau lakukan?”
tanya Hye Ri tiba-tiba.
“Kau kenal dia?” tanyaku pada Hye
Ri.
“Dia teman sekelasku, dia juga
anggota tim basket, ya, apa yang kau lakukan?”
Ga In diam dan menundukkan
kepalanya, aku menatapnya dan tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku seperti tidak
asing dengan wajahnya. aku pernah melihatnya di suatu tempat. Di pusat
perbelanjaan, bersama Kai, geure, dia yeoja yang bersama Kai. Aku ingat.
“Ya, aku yang bersama Kai, ji?”
“Geure, aku adalah yeojachingunya
Kai, apa ada masalah?”
Aku benar-benar terkejut
sekarang.
“Jadi apa kau yang selama ini
melakukan hal-hal itu padaku?”
“Geure! Aku yang melakukan semua
itu, apa kau puas menangkapku seperti ini?”
“Wae?” tanyaku pelan.
‘Karena Kai, semua karena dia,
karena dia yang terus membandingkanku denganmu, dia yang setiap saat
membicaraknmu, dia.. dia.. aku bahkan tidak bisa menjadi diriku di depannya,
sedangkan kau, kau selalu sempurna dimatanya, apa itu adil?” dia mulai
berteriak dan menangis.
“Jadi karena itu? Aku tidak
menyangka kau adalah teman sekolahku, Kai bilang kau teman di sekolahnya, apa
karena ini kau melakukan semua ini?”
“Ne, aku melakukannya agar kau
tidak seperti yang dibicarakan Kai, tapi entah kenapa selalu saja kau beruntung,
aku benar-benar iri, aku sangat tertekan dengan semua ini, apa kau tahu? Ini
menyebalkan! Sekarang kau sudah tahu semuanya, laporkan saja ke Pelatih, aku
sudah tidak punya kesempatan lagi, aku juga hanya pemain cadangan,” kini Ga In
terisak pelan.
Aku diam mendengar semua
penjelasannya. Apa sebenarnya yang dipikirkan Kai? Kenapa membuat semuanya
menjadi seperti ini? kashan Ga In.
“Ga In-aa, aku tidak pernah
menganggap kau yang melakukan semua ini, aku menganggap semua yang terjadi
hanyalah kecelakaan, aku tidak akan melaporkanmu ke Pelatih, kita akan ada
pertandingan, kenapa kita membuatnya lebih buruk, kita tim, tidak ada pemain
inti tidak ada pemain cadangan, kita semua adalah pemain, araji?”
“Jadi…” Ga In menatapku.
“Sudahlah, lupakan semua ini, kau
tidak usah memikirkan kata-kata Kai, jadilah dirimu sendiri, cobalah berbicara
dengan Kai, kita harus focus pada pertandingan, benarkan?”
“Ji Hyun-aa, apa kau
memaafkanku?”
“Tidak ada yang perlu dimaafkan,
sudahlah, dwaesso, gachi kaja,”
“Gomawo, mianhe,”
Aku hanya tersenyum. Aku, Hye Ri,
dan Ga In pun meninggalkan ruang loker. Aku bahkan lupa tujuanku kesini untuk
apa, tapi semua itu apa masih penting sekarang? Bukankah seorang teman lebih
penting?
**************************************************************
“Dengarkan baik-baik semuanya,
apapun yang terjadi kalian adalah yang terkuat, kalian adalah pemain yang
terlatih nomor satu di Korea, kalian adalah tim yang kuat, kalian bermain
bersama, jadi ingat kalian adalah sebuah kesatuan dengan satu tujuan, araji?”
Pelatih Kim berbicara kepada kami dengan suara yang sangat keras seperti petir.
“Ne, aigesumnida, Pelatih!” jawab
kami bersamaan.
“Ingat kalian harus melakukan
yang terbaik, jangan takut apapun, kalian yang terbaik, araji?” kata Pelatih
Kim lagi.
“Ne, aigesumnida, Pelatih!” jawab
kami lagi.
Kemudian kami melakukan high five
bersama dan berakhirlah latihan sore itu. Ini adalah latihan terakhir kami
sebelum pertandingan. Kami sudah melakukan berbagai pengecekan. Mulai dari
seragam, kondisi fisik kami, strategi permainan, dan masih banyak lagi. Kami
juga sempat bertanding hari ini. kami yakin kami akan bisa bertanding dengan
baik. Menang bukan tujuan kami, Pelatih Kim selalu mengajarkan kami untuk
bermain dengan ahti dan melakukan yang terbaik. Menang atau kalah itu wajar
dalam pertandingan, tapi melakukan yang terbaik adalah yang utama. Kalau kami
melakukan yang terbaik, kami pasti menang.
Aku pun bertekad untuk melakukan
yang terbaik dalam pertandingan kali ini. aku tidak ingin mengecewakan keluargaku.
Dan yang paling penting aku ingin menunjukkan pada appa bahwa pilihanku tidak
salah, aku akan berhasil dalam basket, akan kubuat dia mengerti bahwa apa yang
dia pikirkan selama ini sudah salah.
Kami membubarkan diri dan
masng-masing dari kami melakukan sesuatu. Aku mengambil minuman dari dalam tasku.
Aku berjalan bersama Ga In menuju bangku temapt kami menaruh tas kami. Aku lega
semua ini sudah selesai, menyenangkan sekali bisa menemukan seorang teman.
Walaupun sebenarnya dia yang menyebabkan aku dan Kai putus, tapi kupikir ada
baiknya juga, entah apapun itu. Kulihat Hyuk Jae memberikan botol air minum
pada Hye Ri, aku tersenyum, pasti ada sesuatu diantara mereka. Aku menggendong
tas punggungku dan mendekati Hye Ri yang masih senyum-senyum sendiri.
“Ya, apa yang membuatmu terlihat
sangat bahagia?” aku menepuk pundaknya.
Dia terkejut untuk beberapa saat.
“Ji Hyun-aa, kau mengagetkanku, wae?
Apa tidak boleh aku senang?”
“Sejujurnya, apa yang terjadi
antara kau dan Hyuk Jae?” aku mendekatkan wajahku ke wajah Hye Ri, Hye Ri
mundur beberapa langkah.
“Umm, yang terjadi..” Hye Ri
melambaikan tangannya ke arah Hyuk Jae, Hyuk Jae tersenyum dan melayangkan
sebuah kedipan. Aku hampir saja muntah melihatnya. “Seperti baru saja,” Hye Ri
tersenyum.
“Apa kau sangat menyukai Hyuk
Jae?”
“Hmm,” Hye Ri mengangguk. “Aku
menyukainya sampai ingin mati,”
Ya, apa dia tidak terlalu
berlebihan? Tapi aku tersenyum mendengar jawabannya.
“Bagaimana kau tahu kau
menyukainya?” tanyaku penasaran.
“Umm, keunyang.. Aku sering
memikirkannya. Ketika ada hal baik terjadi, orang pertama yang ingin kuberi
tahu adalah dia, dan juga orang pertama yang ingin aku lihat saat aku sedih, aku
merasa jika dia ada disampingku, maka semuanya akan baik-baik saja, ya seperti
itulah,” Hye Ri terus tersenyum.
Aku memandang takjub padanya,
bagaimana dia bisa berkata semua itu?
“Ya, ada apa denganmu?”
“Ah, tiba-tiba aku merinding,”
aku berbalik meninggalkannya sambil merapatkan jaketku.
Apa yang dikatakan Hye Ri itu
benar? Aku memandang Dong Hae sekilas, dia sedang tertawa bersama
teman-temannya, dan lagi-lagi jantungku berdesir. Aku menggelengkan kepala dan
meninggalkan lapangan basket.
*********************************************************************
Besok hari pertandingan. Aku
semakin kalut dan gugup. Aisshh!! Kenapa aku ini? aku tidak boleh seperti ini,
aku harus siap menghadapi apapun besok. Lupakan soal appa, yang penting aku
bisa membuktikan pada appa aku bisa, aku harus bisa.
“Ya, kau ini punya berapa wajah
sebenarnya?” tiba-tiba Hyuk Jae sudah didepanku.
“Busun ya? Kenapa kau selalu
complain tentang wajahku?”
Dia hanya tertawa.
“Ya, kau sudah dengar? Tim basket
kita akan mengikuti seleksi tim tingkat nasional,”
“Jjinjja?? Uwaa.. Daebak!!”
“Setelah pertandingan sekolah,
kita akan mengikuti seleksi itu,”
“Itu bagus, aku harus
memberitahu..” aku tidak melanjutkan kata-kataku, aku hanya diam, jantungku
tiba-tiba berdegup kencang.
“Nugu? Hye Ri? Jangan beritahu
dia dulu, aku bermaksud membuat kejutan untuknya, araji?”
“Oh, ani, geurende, aku akan memberitahu…”
aku ragu untuk beberapa saat.
“Lalu siapa yang ingin kau
beritahu?”
Aku hanya diam. Aku teringat
kata-kata Hye Ri.
“Ah, aniyo, aku pergi dulu ya,”
Aku meninggalkan Hyuk Jae yang
masih keheranan. Kenapa aku tiba-tiba merasa aneh seperti ini? Ini aneh, kenapa
aku jadi berpikiran yang tidak-tidak? Aku berjalan di lobi sekolah, semua orang
masih sibuk mempersiapkan pesta olahraga. Kata-kata Hye Ri kemarin terus
menerus memenuhi kepalaku. Apa benar yang dikatakannya?
“Aku
sering memikirkannya. Ketika ada hal baik terjadi, orang pertama yang ingin
kuberi tahu adalah dia, dan juga orang pertama yang ingin aku lihat saat aku
sedih, aku merasa jika dia ada disampingku, maka semuanya akan baik-baik saja,”
Ah, eohtteokaji? Aku menghela
nafas panjang. Kenapa aku jadi terus memikirkan ini? Omo! Tiba-tiba aku melihat
Dong Hae bersama Pelatih Kim dan Dokter Ji Hoon. Mereka sedang membicarakan
sesuatu seepertinya. Dan tiba-tiba aku menjadi gugup dan kebingungan. Aku
menghentikan langkahku. Jantungku kembali berdegup kencang. Aigoo!! Aku mundur
beberapa langkah, lalu berbalik dan berlari masuk ke sebuah kelas yang kosong.
Aku menatap mereka melawatiku dari kaca pintu.
“Aahh, michonabwa!” gumamku,
kusandarkan kepalaku dipintu.
Kenapa aku jadi takut bertemu Dong
Hae? Apa yang sebenarnya kurasakan? Apa gara-gara waktu malam itu? Aaahhhh!!!
Aku mengacak rambutku pelan.
“Ya, Ji Hyun-aa, Dong Hae-ssi
keunyang chingu ya! Chingu!!” aku berkata pada diriku sendiri. “Sadarlah Ji
Hyun, dia itu penyanyi terkenal, kuasai dirimu!”
Aaahhh!! Tapi kenapa aku tidak
bisa berhenti memikirkannya? Bayangan Dong Hae terus melayang-layang
dikepalaku. Aku berdiri di pinggir lapangan sepakbola menatap kosong murid-murid
yang sedang berlatih. Aku meniup poniku pelan. Andwe! Aku tidak boleh seperti
ini, Dong Hae hanya teman, titik.
“Ya, Ji Hyun-aa!!” tiba-tiba
seseorang memanggilku dan aku melihaat Dong Hae berdiri diujung lapangan. Dia
membawa sebuah amplop berwarna putih.
Aku mundur beberapa langkah.
“Ya, aku ingin menunjukkan sesuatu
padamu,” dia mulai berjalan mendekatiku.
Dan secara spontan aku berbalik
dan berlari meninggalkan lapangan sepakbola, aku terus berlari walaupun Dong
Hae terus menerus memanggilku. Aku juga tidak mengerti kenapa aku tiba-tiba
lari.
“Ya, Ji Hyun-aaa, berhenti,
kenapa kau berlari?” Dong Hae terus berteriak memanggilku.
Aku terus berlari. Aku bahkan
mempercepat lariku. Aku tidak bisa menghadapinya sekarang. Aku terus berlari
tanpa arah dan tujuan, yang terpenting aku bisa menghindari Dong Hae, tapi
kenapa aku harus menghindarinya? Saat itulah Dong Hae sudah di depanku. Aku
menghentikan lariku dan memalingkan mukaku.
“Ya, kenapa kau lari?” tanya Dong
Hae sambil terengah-engah.
“Aku tidak berlari, aku hanya
latihan sedikit, jogging,” aku berbohong.
“Geure?”
Aku hanya mengangguk. Nafasku
seperti mau pecah, ditambah lagi jantungku yang berdetak semakin keras.
“Ada yang mau kutunjukkan padamu,
aku mendapat kontrak dengan Dreamworld Entertainment,” wajahnya terlihat
senang. Aku juga sangat senang mendengarnya.
“Oh, chukkaeyo,” tapi aku
memberinya selamat dengan nada yang datar. Aku terlalu sibuk mengatur detak
jantungku. Huft!
“Kau tidak terlihat seperti ingin
memberiku selamat?” tanya Dong Hae heran.
“Oh, aku biasa memberi selamat
dengan ekspresi seperti ini juga,” jawabku seadanya.
“Kau tahu, aku senang bisa
mendapatkan kontrak ini, dan kuputuskan aku akan terus bernyanyi, aku akan
segera pulih, dan aku akan kembali bernyanyi, apa kau senang?”
“Geure, tentu saja aku senang,” tapi
untuk sekarang itu tidak penting, yang lebih penting bagaimana jantungku ini
normal kembali?.
“Kau baik-baik saja?” tanya Dong
Hae.
“Ah, ne, gwaenchana,”
“Apapun itu, kau sedang berlaku
aneh sekarang,” kata Dong Hae.
Aku hanya tersenyum mendengar
kata-katanya. Apa aku terlihat jelas? Apa keanehanku terlihat sangat jelas? Aku
harus pergi dari sini, aku baru saja akan mencari alasan saat ponselku
bordering. Ah terimakasih Tuhan. Aku memberi tanda pada Dong Hae untuk pergi,
Dong Hae hanya mengangguk. Aku berjalan beberapa langkah untuk meninggalkan
Dong Hae.
“Yoboseyo?”
“Ji Hyun-aa, ini aku, gwaenchana?”
“Oh! Eonniee! Ne, gumapta!”
“Gumapta? Sudah jangan aneh, kau harus makan, istirahat, kau harus jaga
kondisi tubuhmu, besok kau harus melakukan yang terbaik, buat appa mengerti,
araji?”
“Ne, araseo, kau hanya ingin
bilang itu?”
“Ne, besok aku dan eomma akan datang, appa juga,”
“Jjinjja?”
“Geure, makanya kau jangan khawatir lagi, kau harus focus pada
pertandinganmu,”
“Ne eonniee, gumapata!”
“Kututup
teleponnya,”
Aku hanya mengangguk. Benarkah
appa akan datang? Sebaiknya aku bersiap-siap, aku harus menunjukkan yang
terbaik. Hwaiting!!!
******************************************************************
Pesta Olahraga pun tiba. Sekolah
kami menjadi sangat ramai. Selain murid dari sekolah kami, sekolah kami juga
dipenuhi oleh murid-murid dari seluruh SMA di Seoul. Suara gemuruh terdengar di
seluruh penjuru sekolahku. Entah ada berapa ribu orang yang memenuhi lapangan
utama sekolah kami. Semua orang tampak begitu semangat dan antusias. Sebentar
lagi kami akan mendengarkan pidato Direktur sekolah kami, dengan begitu pesta
olahraga akan segera dibuka. Aku berdiri dibarisan terdepan, aku bisa melihat
kepala sekolah yang sedang bersiap-siap untuk berpidato. Aku melihat
sekelilingku. Berbagai macam warna seragam sekolah lain terlihat disegala
penjuru.
Sekolahku lebih mirip sebuah
festival budaya daripada sebuah pesta olahraga. Ada lebih banyak pertunjukan
hari ini. Ada sebuah panggung yang sejak tadi menyuguhkan band-band sekolah
kami dan juga band dari sekolah tamu. Dan juga lebih mirip sebuah pasar, karena
berbagai stand yang didirikan oleh kelas-kelas kami berdiri berjajar
dimana-mana. Ada stand yang makanan, minuman, pakaian, aksesoris, stand ramal,
stand foto, dan masih banyak lagi. Aku sampai kaget melihat wujud sekolahku
hari ini.
Banyak wartawan dan reporter yang
juga lalu lalang kesana kemari meliput berita dan mengambil berbagai gambar. Suara
kamera dan lampu blitz ada dimana-mana. Aku bahkan sudah beberapa kali
diwawancara oleh berbagai majalah dan stasiun televisi. Apa festival olahraga
sekolah kami begitu terkenal? Pengunjungnya juga sangat banyak. Khusus hari ini
siapapun boleh datang ke sekolah kami untuk melihat pertandingan dan
mengunjungi stand kami.
Dan setelah pidato Direktur
sekolah kami yang cukup panjang, acara pesta olahraga pun dimulai. Ada berbagai
cabang olahraga yang dilombakan dalam acara ini. Mulai dari sepakbola, basket,
lompat tinggi, bulutangkis, baseball, taekwondo, lari jarak jauh, lari jarak
pendek, lari marathon, renang, senam indah, bahkan ada lomba marching band dan
cheerleaders. Semua lomba diadakan bersamaan, karena sekolah kami mempunyai
fasilitas yang mendukung setiap cabang olahraga, maka perlombaan bisa diadakan
secara bersamaan. Terkadang aku heran dan sekaligus takjub dengan sekolah ini,
melihat semua fasilitas yang ada.
Perlombaan basketpun akan segera dimulai.
Kami berkumpul di ruang loker kami dan bersiap-siap menghadapi lawan. Aku sudah
memakai seragamku. Aku hanya tinggal mengganti sepatuku. Aku memandangi
sepatuku dalam-dalam. Aku harus bisa, aku harus melakukan yang terbaik dan
menunjukkan pada ayahku kalau aku bisa. Aku mengambil tali sepatu merah dari
dalam tasku dan melepas tali sepatuku, lalu menggantinya dengan yang merah.
Sekarang tali sepatuku yang kiri bewarna putih dan yang kanan bewarna merah,
terlihat lebih stylish sekarang, menurutku.
“Ya, model apa itu? Kenapa tali
sepatumu berbeda?” tanya Hye Ri yang duduk disampingku.
“Apa kau tidak tahu? Ini sedang
ngetrend,” jawabku sambil mengemasi barang-barangku.
“Apanya yang ngetrend?” kami
berdua tertawa.
Pelatih Kim masuk dan menyuruh
kami untuk berkumpul. Kami berkumpul dan mendengarkan wejangan darinya.
“Aku tak punya apa-apa untuk
disampaikan, kurasa kalian sudah hafal dan sudah tertulis diotak kalian, menang
kalah bukan tujuan kita, tapi melakukan yang terbaik akan membawa kita menjadi
pemenang, araji”
“Ne, Pelatih Kim!” jawab kami
serempak,
“Jangan pernah bermain sendiri,
kalian adalah nadi yang memompa jantung secara bersamaan, kalian adalah tim,
dan tim tidak pernah bermain sendiri, kita bermain bersama, berlatih bersama,
berdiri dan berlari di lapangan yang sama, memegang bola yang sama, mamasukkan
ke ring yang sama, dan bersama menjadi yang terbaik. Apappun yang terjadi
kalian bukan satu diantara banyak, tapi kalian adalah berbagai orang yang
menjadi satu, kalian pahami itu dan kalian harus ingat, tim selalu bersama,
mengerti?”
“Mengerti, Pelatih” jawab kami
serempak.
Apanya yang tidak punya sesuatu
untuk disampaikan? Untuk beberapa menit selanjutnya Pelatih Kim terus saja
berbicara seperti seorang jenderal. Lebih tepatnya berteriak kepada kami.
Kenapa dia ini? Setelah memenuhi telinga kami dengan nasihat-nasihat militernya
yang menggelegar kami melakukan high five bersama.
“Menjadi yang terbaik!!!” teriak
Pelatih Kim.
“Menjadi yang terbaik!!!” ulang
kami serempak.
“1, 2, 3, HWAITING!!!!!!”
Kami mengangkat tangan kami
bersama-sama. Kamipun membubarkan diri dan menuju ke lapangan. Dong Hae
mendekatiku.
“Kau lihat?”
“Ne?”
Dia memperlihatkan sepatunya
padaku. Dan kulihat dia mengikatkan tali sepatu yang kuberikan padanya.
Sekarang sepatu sebelah kanannya bertali warna merah dan sepatu sebelah kirinya
bertali warna biru. Aku menatapnya. Dia memakainya?
“Ini jimat keberuntungan, kita
harus menang, ji?” katanya.
“Hmm!!” aku mengangguk mantap
padanya. “Kajja!!”
Kami berjalan menuju lapangan
basket. Saat itulah kulihat eomma dan eonnieku berdiri di samping pintu masuk
lapangan.
“Eomma, eonnie!!”
Aku berlari menghampiri mereka.
“Tada!!!” tiba-tiba Henry dan
Sulli muncul dari balik pintu.
“Henry-aa, Sulli-aa!!! Kalian
datang??”
“Ne!!” jawab mereka bersamaan.
“Aku ikut pertandingan sepakbola,
tapi aku ingin melihatmu tersangkut di ring, pasti itu akan memberiku semangat
saat bermain nanti,” dia langsung saja mengejekku.
“Tersangkut di ring tidak
termasuk kan?” katanku.
“Kau harus bermain bagus hari
ini, araji?” kata Sulli.
“Araseo,”
“Henry-aa, ayo cari tempat
duduk,” Sulli menyeret Henry untuk mencari tempat duduk.
“Au senang kalian datang,” aku
beralih menatap eomma dan eonnie.
“Bagaimana mungkin kau bertanding
dan kami tidak datang?”
“Gumawo,”
“Kau harus menang, kalau tidak
jangan jadi dongsaengku lagi, araji?” ancam eonnie.
“Mwo ya? Ah, appa neun odiga?”
tanyaku.
Eomma dan eonnie saling pandang.
Aku menunggu jawaban mereka.
“Ji Hyun-aa, ayahmu, dia masih
saja marah, aku sudah mengajaknya, tapi melihatmu bermain basket, lebih baik
dia tidak melihatnya sama sekali..”
“Dia akan menyusul,” eonnie
memotong perkataan eomma. “Geokjeongmara, appa akan datang, kau bermainlah
dengan baik,”
“Oh, ne, araseo!” aku tahu appa
tidak akan datang. “Oh, eonniee, kau mau kan merekam aku selama aku
bertanding?”
“Tentu, aku akan merekam adegan
kau terkena bola, wek!” dia menarik eomma masuk ke lapangan.
“Semoga berhasil Ji Hyun,” kata
eomma.
“Ne,” aku hanya tersenyum melihat
tingkah mereka. Appa, kenapa kau tidak datang? Aku berharap lebih kau akan
datang. Aku menghela nafas panjang dan berjalan gotai masuk ke lapangan. Tanpa kusadari
Dong Hae melihat semuanya.
Pertandingan basket sudah
dimulai. Pertandingan pertama adalah tim aki-laki sekolahku melawan sebuah
sekolah asrama laki-laki. Tim kami sudah siap di tengah lapangan, begitu juga
tim lawan. Dong Hae sempat melihat ke arahku sekilas, aku membisikkan kata
fighting dan dia mengangguk. Pertandingan berlangsung cukup ketat tetapi seru.
Kami sempat tertinggal delapan angka di babak pertama, tapi setelah istirahat
minum, kami bisa mengungguli mereka. Kami menang di pertandingan pertama.
Pertandingan selanjutnya adalah
tim sekolahku melawan tim sebuah sekolah khusus perempuan. Aku menghelas nafas
panjang, ini giliranku. Aku menyapu pandanganku ke bangku penonton, kulihat
eomma, eonnie, Sulli dan Henry berteriak memberiku semangat. Tapi tak kulihat
appa disana. Kenapa dia belum datang? Atau dia memang tidak akan datang? Aku
bersiap pada posisiku. Aku harus bisa melakukan yang terbaik. Aku menatap
lawan-lawanku, lalu teman-teman timku, Pelatih Kim, eomma, eonniee, Henry,
Sulli, penonton, dan Dong Hae. Dia mengangguk pelan. Lalu peluit dibunyikan.
Bermain basket selalu menjadi
sebuah kebahagiaan untukku. Aku ingat saat pertama kali aku melihat sebuah bola
basket menggelinding dan berhenti tepat dikakiku. Aku memungutnya dan bertanya
pada ayah itu bola apa. Dia menunjuk ke sebuah lapangan, dan kulihat seseorang
melompat kearah ring dan memasukkan bola kedalamnya. Saat itulah aku jatuh
cinta pada permainan ini. Lalu aku meminta ayahku untuk membeli sebuah bola
basket dan aku memainkannya setiap hari. Semakin hari aku semakin menyukai
basket, aku selalu bisa menemukan dunia yang baru saat bermain basket, saat aku
bermain basket aku selalu berfikir, apa ada yang bisa lebih baik dari ini?
Dan hal itulah yang kurasakan
sekarang, berlarian di tengah sebuah lapangan basket. Bersama timku, bersama
sorakan penonton, bersama lawanku, bersama diriku yang sangat bersemangat.
Mendrible bola, mengoper bola, melakukan tembakan, melompat kearah ring, dan
mencetak angka. Tepuk tangan dan semangat dari penonton, pelukan dari
teman-temanku, teriakan Pelatih, ketinggalan angka, semua terjadi hari ini. Suara
komentator, kilatan blitz kamera, apa aku akan masuk majalah? Aku sangat senang
membayangkan semua ini. Setiap keringat yang mengalir dan suara decit sepatuku,
apa ada yang bisa lebih baik dari ini?
Tim lawan sangat kuat. Sepertinya
mereka pemain basket pro. Mereka dengan mudah mencetak angka, dan kami harus
berjuang sedikit keras untuk menyamakan kedudukan kami. Babak pertama menjadi
sebuah pertandingan yang alot antara kami. Mereka begitu kuat dan cepat, sangat
terlatih. Saat babak kedua kami menjadi sangat cepat dan tepat, setiap operand
an tembakan selalu masuk, dan entah kenapa tim lawan menjadi sedikit melunak.
Dan pada akhirnya kami memenangkan pertandingan pertama untuk tim putri. Aku
tersenyum puas ditengah lapangan, aku mandi keringat, tapi aku juga mandi
kebahagiaan.
Kami harus menghadapi tiga
pertandingan lagi. Kalau kami bisa memenangkan tiga dari empat pertandingan
maka kami akan masuk ke final. Pertandingan-pertandingan selanjutnya tidak
menjadi mudah. Aku tidak pernah membayangkan kalau pertandinga antar sekolah
akan menjadi seserius ini. Kami harus mengeluarkan semua yang kami punya agar
kami bisa sampai ke final. Dan kami bermain dengan sangat bagus, walaupun di
pertandingan ketiga kami kalah tipis, tapi kami masih bisa terus berlanjut dan
memenangkan pertandnigan keempat. Dengan begitu kami masuk final.
Tak terasa kami telah melewati
seharian yang melelahkan dan menyenangkan. Baik tim laki-laki maupun perempuan,
kami masuk final. Tim laki-laki akan melawan sebuah sekolah terkenal di Seoul. Kami
masuk final melawan sebuah sekolah asrama perempuan. Pertandingan final akan
dilaksanakan satu jam lagi. Kami punya waktu untuk beristirahat sebentar.
“Ya, Ji Hyun-aa, kau daebak!!”
kata Henry tiba-tiba duduk di sebelahku. Dia memakai kostum sepakbola, sebauh
handuk menutupi rambutnya.
“Kau sendiri?” aku meneguk
minumanku.
“Tentu saja kami masuk final, dan
kami akan melawan sekolahmu,”
“Uwaa.. Aku ingin tahu siapa yang
akan menang?”
Kami berdua tertawa. Sulli datang
membawa makanan untuk kami. Kami memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar. Hyuk
Jae dan Hye Ri bergabung bersama kami. Kami menikmati stand-stand yang ada,
berfoto dan sekarang kami berdiri di stand ramal milik kelas Hye Ri.
“Ya, Ji Hyun-aa, cobalah,” kata
Hye Ri sambil mendorongku.
“Shiro!!” aku tidak mau, kenapa
aku harus mau?
Tapi Hye Ri terus mendorongku dan
memaksaku duduk di depan seorang murid laki-laki. Dia sedang menata kartu-kartu
diatas meja. Dia meletakkan tangannya diatas kartu-kartu itu.
“Ambilah satu kartu,” katanya.
Aku memandangnya beberapa saat,
lalu kartu-kartu itu. Ragu-ragu aku menarik sebuah kartu dari deretan
kartu-kartu itu. Aku menunggu apa yang akan dilakukan anak laki-laki itu.
“Huwaaa!!!!” tiba-tiba murid itu
berteriak saat membuka kartuku.
Kami semua kaget melihat
reaksinya. Terlebih aku. Lalu aku melihat kartuku. The Death. Apa maksudnya?
“Ya, kau dikelilingi
bayang-bayang kegelapan, ini yang terburuk, kau harus berhati-hati,” katanya
penuh ketakutan.
Aku hanya diam lalu menatap
sekelilingku. Teman-temanku menatapku dengan tatapan takut.
“Kau.. Kau buang jauh-jauh kartu
ini,” katanya sambil menyerahkan kartu itu padaku.
“Ani, shiro!” aku berdiri
meninggalkan tempat itu.
Apa-apaan itu. Kenapa harus percaya
pada sebuah kartu menyebalkan itu? Bayangan kegelapan? Apa lagi itu?
Bisa-bisanya mereka membohongi orang dengan cara seperti ini?
“Ya Ji Hyun-aa,” panggil Hye Ri.
Aku tidak menoleh, aku terus
berjalan menuju ruang loker. Pertandingan final akan segera dimulai, aku tidak
boleh terpengaruh, aku akan menang hari ini. Kenapa harus memikirkan hal-hal
seperi itu?
“Kau tidak perlu memikirkannya,
itu hanya sebuah ramalan bodoh,” kata Hye Ri saat diruang loker.
“Siapa yang memikirkan hal bodoh
seperti itu,” jawabku.
Tapi sebenarnya aku sedikit
memikirkan hal itu. Apa akan terjadi sesuatu yang buruk? Tapi untuk apa
memikirkan hal itu? Semua berjalan lancar hari ini. Aku bahkan mengalami hari
yang hebat. Kenapa harus rusak gara-gara sebuah kartu bodoh? Aku keluar dari
loker dan menuju lapangan. Kulihat eomma dan eonnie menungguku.
“kau hebat, sejak kapan kau bisa
sangat sehebat ini?” tanya eonnie sambil mengacak rambutku.
“Bukankah aku selalu hebat?”
“Ji Hyun-aa, setelah ini kau
final kan? Lakukan yang terbaik,” kata eomma.
“ne, eomma, aku pasti akan
memenangkan pertandingan ini,”
“Ah, kita harus mengambil
gambar,” eonniee mengeluarkan kameranya.
Kamipun berfoto bersama. Melihat
semangat disekelilingku, apa bisa dirusak oleh sebuah kartu? Pertandinganpun
dimulai. Aku sudah siap diposisiku. Kulihat Sulli, eonnie, eomma, dan penonton.
Semua memberikan semangat. Hanya satu yang tak kulihat. Sepertinya aku memang
tidak akan melihatnya. Tapi apa sekarang itu penting? Aku harus melakukan yang
terbaik, dan suatu saat akan membawanya ke lapangan ini dan tersenyum bangga
melihatku.
Peluit dibunyikan. Aku melompat
mengambil bola dan segera berlari. Dentuman bola yang memantul di lantai
seirama dengan dengan detak jantungku. Pertandingan sepertinya berlangsung
sangat cepat. Kami berlarian bersama, mengoper bola kesana kemari dan mencetak
angka. Tak pelak lagi kami unggul di babak pertama, dan kami masih terus unggul
di babak kedua. Dan bisa ditebak dengan mudah, kami memenangkan pertandingan
ini. Lapangan basket langsung dipenuhi oleh gemuruh suara penonton. Aku
tersenyum bahagia ditengah lapangan. Tiba-tiba Hye Ri datang memelukku. Dia
sangat bahagia, dia bahkan memnagis terisak.
“Ya, uljima, kita menang, kenapa
kau menangis?”
“Bodoh, aku menangis bahagia,”
katanya sambil terisak.
Kami merayakan kemenangan kami.
Pelatih Kim mendatangi kami dan berteriak kegirangan, dia bahkan
melompat-lompat. Dia memberi kami high five satu persatu.
“Kalian semua hebat, hebat
sekali, yang terbaik!” katanya berulang-ulang.
Pengeras suara memberitahu kami
pertandingan final tim laki-laki akan segera dimulai. Kamipun keluar dari
lapangan dan menuju bangku pemain. Hyuk Jae tiba-tiba memelukku.
“Hebat Ji Hyun-aa, kau hebat,
kalian semua hebat!!” kata Hyuk Jae senang.
“Kau juga harus menang kalau
begitu,”
“Geurom, akan kuperlihatkan kau
Air Hyuk Jae,” katanya sambil tersenyum lebar.
“Apanya yang Air Hyuk Jae?” aku
tersenyum dan duduk di baangku pemain.
“Sepertinya jimatmu bekerja,”
kata Dong Hae tiba-tiba.
“Oh, sudah kubilang, aku selalu
menang saat memakainya,” kataku.
“Kalau begitu apa ini akan
bekerja untukku juga?” tanya Dong Hae.
“Itu tergantung kau,” jawabku
singkat. “Berjuanglah,”
“Apa perlu kau mengatakan itu?”
tanya Dong Hae sambil berlalu.
Apa maksudnya?
“Ji Hyun-aa,” Sulli memanggilku
dari bangku penonton.
Aku menoleh.
“Kau daebak, yang terbaik,”
teriaknya.
Eomma dan eonnie melambaikan
tangan padaku. Aku tersenyum dan balas melambai pada mereka. Pertandingan
dimulai. Tidak seperti pentandinganku, pertandingan ini lebih sulit. Masing-masng
dari tim berusaha melakukan yang terbaik. Angka-angka tercetak tidak terlalu
cepat karena pertahanan yang sama-sama kuat. Mereka sama-sama mempunyai
strategi yang saling bisa menjatuhkan lawan satu sama lain. Skor kami seri
sampai istirahta minum.
Pelatih Kim memberikan
arahan-arahan kepada mereka. Di babak kedua pertandingan terjadi lebih sengit.
Kedua tim sama-sama kuat. Tidak ada tim yang bertahan dengan angka yang lebih
unggul, mereka saling mengejar angka. Benar-benar pertandingan yang sulit. Para
penontonpun sampai harus menahan nafas saat melihat mereka bertanding. Belum
bisa ditebak siapa yang akan memenangkan pertandingan ini. waktu tinggal satu
menit lagi dan skor masih imbang. Mereka masih saling merebut bola, mengoper
kesana-kemari, dan saat itulah kulihat Dong Hae berlari kearah ring, tangannya
melambai-lambai minta operan, Hyuk Jae mendrible bola beberapa kali lalu
melemparnya kearah Dong Hae. Bola melambung tinggi, Dong Hae siap melompat dan
menangkap bola. Ruangan tiba-tiba hening semua menanti. Dong Hae melompat dan
menangkap bola, mendrible beberapa kali sambil berlari dan melompat kearah
ring. Seorang pemain menarik Dong Hae dari belakang. Duapuluh detih lagi, dan
dengan cepat Dong Hae melempar bola, bola berputar-putar dibibir ring, kami
semua diam menunggu, semua mata tertuju pada bola yang berputar itu. Masuk,
masuk, masuk, masuk, aku terus berkata dalam hati. Seiring dengan kembalinya
Dong Hae dan pemain lawan ke lantai, bolapun masuk kedalam ring dan jatuh
memantul beberapa kali kelantai. Peluitpun berbunyi dan ruangan dipenuhi
gemuruh sorak sorai penonton.
Kami semua berlonjak kegirangan.
Kami berlarian kedalam lapangan dan merayakan kemenangan kami. Kertas
warna-warni keluar dari atap ruangan, bendera sekolah kamipun dikibarkan. Pelatih
Kim menangis ditengah lapangan. Kami saling berhigh five dan berpelukan.
Sekarang kami semua tahu, inilah rasanya terbang.
Akhirnya tiba saatnya penutupan
acara. Kami memenangkan beberapa cabang olahraga. Kami memenangkan basket,
renang, lompat tinggi, sepakbola, dan lari marathon. Dengan begitu kami menjadi
sekolah yang memenangkan cabang perlombaan terbanyak. Penyerahan piala sedang
berlangsung. Kami menerima piala dengan perasaan yang sulit diungkapkan. Kami
tidak henti-hentinya berfoto dengan piala kami. Wajah kami terlihat sangat
lelah, tapi apa itu yang harus ditunjukkan sekarang? Wajah kami tidak bisa
lepas dari seyum. Eomma, eonnie, terlihat binar bahagia dimata mereka. Saat
memegang piala itu, aku pastikan tidak ada yang lebih baik lagi dari ini.
*******************************************************************
Aku terbangun keesokan harinya
saat jam dimejaku menunjukkan pukul 12 siang. Aku menggeliat pelan. Aku ingat
kemarin setelah mengantar eomma, eonnie, Henry, dan Sulli ke gerbang, aku
kembali ke ruang loker, mengemasi barang-barangku, mendengarkan pelatih tentang
pesta kemenangan yang akan diadakan nanti malam, lalu aku kembali kekamarku dan
setelah itu aku tak ingat apapun, sepertinya aku tertidur sangat pulas. Ah,
badanku sepertinya remuk. Aku mengambil ponselku. Ada beberapa pesan. Aku
membukanya, dari eonnie, Sulli, Henry, Hyuk Jae, Hye Ri, dan sebuah nomor baru.
Tiba-tiba seseorang masuk. Dan kulihat Hye Ri datang sambil membawa sebuah
kotak.
“Ya, sampai kapan kau mau tidur?”
tanyanya lalu duduk di tempat tidurku.
Aku bangun dan duduk
disebelahnya.
“Apa yang kau bawa? Kuharap kau
membawa makanan karena aku sangat lapar,” kataku.
“Makanlah sepuasmu,” Hye Ri
membuka kotak makannya dan menyerahkannya padaku.
Aku tersenyum padanya dan mulai
memakan sandwich yang dibawa Hye Ri.
“Nanti malam pesta kemenangan,
kita pergi bersama?”
Aku mengangguk, mulutku penuh
sandwich.
“Kau mau pake baju apa?” tanya
Hye Ri tiba-tiba.
Aku tersedak pelan.
“Apa maksudmu pake baju apa?
Bukankah memakai seragam?” tanyaku.
“Memangnya kau ini polisi pergi
ke pesta memakai seragam? Tentu saja kita harus memakai baju yang bagus, apa
kau tidak pernah pergi ke pesta?”
“Tapi kan kita disekolah?”
“Lalu kenapa kalau disekolah?
Bagaimana kalau kita mencari baju setelah ini?”
“Mwo?”
Dan disinilah kami. Berdiri di
pintu sebuah butik. Apa yang dipikirkan Hye Ri?
“Ya, kenapa menyeretku kemari?”
“Diamlah, ttaerawa!!”
Lalu tiba-tiba kami, tepatnya
aku, menjadi korban penyiksaan seorang peñata busana dan peñata rambut jadi-jadian.
Aku penasaran, dulu itu mereka terlahir sebagai wanita atau pria? Kenapa
menyeramkan seperti ini? Dan untuk empat jam selanjutnya, aku benar-benar
menjadi sasaran penyiksaan mereka. Aku harus bolak-balik mengepas gaun, aku
harus bersin-bersin karena bedak, dan rambutku terus saja ditarik-tarik. Mereka
pikir aku ini mainan?
Akhirnya setelah sekian kalinya
aku mencoba sepatu, akhirnya selesai juga penderitaanku. Sekarang aku
bersembunyi dibalik sebuah gorden ruang gangti.
“Ya, Ji Hyun-aa, keluarlah,
palee!!” Kata Hye Ri dari luar.
Kenapa aku harus berpakaian
sperti ini? Aku sangat malu. Aku belum penah memakai baju seperti ini dan
berdandan seperti ini, apalagi dengan rambut yang entah model apa ini. aku
tidak diizinkan untuk memakai kaca sejak tadi, jadi aku juga tidak tahu wujudku
ini seperti apa.
“Ya!! Shin Ji Hyun, keluarlah,
kita akan terlambat kalau kau seperti ini,” sekarang Hye Ri sudah mulai
berteriak.
Aishh! Aku keluar dari balik
gorden pelan-pelan. Dengan sepatu seperti ini mustahil aku bisa berjalan
normal. Aku mengintip dan melihat Hye Ri yang juga sudah berubah. dia cantik.
Akhirnya aku benar-benar keluar dari ruang ganti itu.
“Ji Hyun-aa!!!!” tiba-tiba Hye Ri
berteriak.
Aku menatapnya kaget.
“Kenapa berteriak?”
“Apa itu kau? Jjinjja.. Jjinjja
yeoputta!!!!”
Dia menarikku dan mendorongku
kesebuah cermin. Aku ternganga melihat bayanganku dicermin. Benarkah itu aku?
Aku berdiri malu-malu dengan gaun warna biru muda selutut, sebuah corsage bunga
menempel didadaku. Rambutku diikat beratakan dan wajahku, apa itu aku?
Sepertinya dua mahkluk alien itu melakukan banyak hal diwajahku, tapi sekarang
terlihat sangat natural, apa aku secantik itu? Aku tersenyum.
“Apa yang kau lakukan dengan
tersenyum seperti itu? Kajja!!”
Kami keluar dari butik dan ternyata
turun salju. Aku memandang butiran salju yang turun dan tersenyum. Aku
cepat-cepat memakai mantelku. Dingin sekali. Kami kembali kesekolah diantar
oleh sebuah mobil.
“Ya, apa kau yang membayar semua
ini?”
“Semua ini milik orangtuaku, apa
perlu aku membayar?” jawab Hye Ri ringan.
“Mwo?”
Dia hanya tersenyum.
Kami sampai disekolah saat malam
tiba. Kami menuju ruang aula. Berbeda dengan diluar, sangat hangat didalam
aula. Dan sepertinya semua orang sudah berkumpul disana. Dan entah kenapa saat
kami sampai, semua orang menatap kearah kami. Aku merasa aneh dipandangi
seperti itu. Aku melihat bajuku, dan meraba wajahku.
“Apa ada sesuatu diwajahku?
Kenapa mereka melihatku seperti itu?”
“Ya, apa kau masih belum sadar?”
Apa maksudnya? Kami berjalan
menuju teman-teman kami yang sudah berkumpul. Kami saling menyapa dan
mengobrol. Kepala sekolah baru saja memberikan sambutan dan sekarang sebuah
boyband sedang beraksi diatas panggung. Aku mengambil segelas jus jeruk dan
meminumnya.
“Uwaaa, kau benar-benar wanita Ji
Hyun, kupikir dulu kau laki-laki,” kata Hyuk Jae.
“Mwo? Apa aku terlihat seperti
laki-laki bagimu?” aku mendengus sebal.
“Tapi aku senang kau seorang
perempuan,” kata Hyuk Jae, lalu dia tertawa.
“Apa maksudmu? Jangan bicara yang
aneh-aneh ya,”
Beberapa murid menari mengikuti
irama music yang diabwakan boyband itu. Bagus juga boyband ini. Aku menggerakkan
kepalaku mengikuti music yang mereka nyanyikan.
“Kau terlihat seperti orang
sekarang,” Dong Hae sudah disebelahku sekarang.
Aku menoleh. Melihatnya dengan
setelan jas malam ini, apa tidak apa-apa jantungku berdegup lebih kencang?
“Mwo ya? Memangnya dulu aku
terlihat seperti apa biasanya?” tanyaku gugup.
“Seragam sekolah, baju olahraga,
kaos, dan celana pendek, kau seperti murid abadi,” dia tersenyum mengejekku.
“Apa perlu mengatakan itu
sekarang?”
“Ya, apa seperti itu orang yang
cerewet menyuruh orang lain untuk berdamai dengan ayahnya?”
Aku menoleh kearahnya.
“Busunmariya?”
Dong Hae menggeleng-gelengkan
kepalanya.
“Ya, kau sangat cerewet
menyuruhku berbaikan dengan ayahku, kau sendiri bagaimana? Apa bisa mengurus
hubunganmu dan ayahmu? Cih, kau ini berlagak sekali,”
“Itu urusanku, bukan urusanmu,”
bagaimana dia tahu?
“Sekarang kau tahu kan rasanya?
Kau tahu kan apa yang harus kau lakukan?”
Aku hanya diam. Tiba-tiba
seseorang berbicara dibelakangku.
“Nona Ji Hyun, saya diminta ayah
nona untuk mengajak nona pulang.”
“Pak Han? Kenapa disini?” Pak Han
adalah supir ayah.
“Ayah nona menyuruh saya
menjemput nona untuk pulang,”
“Wae?”
“Saya tidak tahu nona, tapi anda
harus pulang,”
Tiba-tiba ponselku bordering.
“Yoboseyo?”
“Pulanglah,
kau sudah tidak bisa sekolah disana lagi, aku akan mengirimmu ke sekolah lain,
kau senang kan? Bukankah kau dulu tidak mau masuk sekolah itu”
Telepon dimatikan.
“Yoboseyo? Yoboseyo? Appa? Appa?”
Ya, apa maksudnya ini? apa ayah
benar-benar ingin memindahkanku? Aku menatap Pak Han, lalu Dong Hae. Dia hanya
diam, tapi matanya mencari tahu apa yang terjadi. Aku mengangguk kepada Pak
Han. Pak Han juga mengangguk dan pergi meninggalkanku.
“Wae yo?’ tanya Dong Hae.
“Aku harus pulang, sepertinya
ayahku tidak bisa berpikir dengan sehat, aku pergi,”
Aku pergi meninggalkan pesta dan
mengikuti Pak Han. Apa-apaan ayah ini? kenapa dia bertindak seenaknya sendiri? Aku
memakai mantelku dan berlari menuju mobil. Salju masih tetap turun. Selama
perjalanan aku terus bertanya dalam hati kenapa ayah seperti ini? Aku mulai
menyukai sekolah ini, kenapa ingin memindahkanku? Aaahh, aku bisa gila
menghadapi ayah. Aku memasang earphone dan mencoba mendengarkan music.
Perjalanan kerumahku masih cukup lama. Aku memejamkan mataku mencari
ketenangan.
Kemudian tiba-tiba semua terasa
seperti terpental didalam mobil. Aku mencabut earphoneku dan tedengar suara
yang sangat keras. Lalu kurasakan mobil mulai berputar-putar. Aku merasa pusing
dan belum sempat aku mengetahui apa yang terjadi, mobil menabrak sesuatu, entah
mobil entah apapun itu suara sangat keras dan aku terpental menabrak pintu
mobil. Aku berteriak. Tiba-tiba pintu mobil terbuka dan aku jatuh di aspal
jalan. Aku merasakan kakiku terjepit, aku berusaha menariknya sementara mobil
terus bergerak. Aku memaksa kakiku keluar dan aku terguling beberapa kali di
jalan sebelum akhirnya aku menabrak pembatas jalan. Mobil akhirnya berhenti
berguling dan menabrak sebuah pohon. Aku hilang kesadaran. Kurasakan gelap
disekelilingku.
Setelah beberapa saat aku sadar
kembali. Kurasakan darah mengalir dipelipisku. Aku masih belum mengetahui apa
yang terjadi, aku melihat ke sekelilingku. Kulihat Pak Han berusaha keluar dari
mobil yang sudah rusak parah itu. Aku mengalami kecelakaan mobil sepertinya. Aku
berusaha bangun dan duduk dipinggir jalan. Tapi aku tak dapat merasakan kakiku.
Tubuhku sangat sakit. Salju di sekitarku berubah menjadi merah karena darahku.
Dingin, sangat dingin. Tiba-tiba pandanganku kabur. Dan aku melihat bayangan
masa kecilku, saat pertama kali aku masuk sekolah dasar, saat aku bermain
basket bersama ayah, saat aku menangis dipelukan eomma karena digoda eonnie,
saat aku jatuh bermain basket, semua muncul begitu saja dihadapanku. Ah, beginikah
aku akan meninggalkan dunia ini? Apa aku akan mati sekarang?
Saat itulah Pak Han meraih
tanganku dan memelukku. Tiba-tiba aku ingin menangis, dan aku menangis
dipelukan Pak Han. Aku masih ingin hidup, masih banyak yang ingin kulakukan.
“Pak Han, apa aku akan mati? Pak
Han, aku.. aku.. aku ingin tetap hidup,” kataku terbata-bata. Dadaku terasa
sakit sekali.
“Nona, apa yang nona bicarakan?
Nona akan tetap hidup,”
Beberapa orang mendatangi kami.
Dan saat kudengar suara sirine aku benar-benar tidak sadarkan diri.
to be continued...
0 komentar:
Posting Komentar