Apa yang terjadi pada Dong Hae??? Here In My Dream Part 10
Aku berlari mengikuti Dong Hae
yang dibawa oleh para dokter dan para perawat ke ruang gawat darurat. Ayah Dong
Hae ikut berlari disisi lain tempat tidur. Wajahnya sangat pucat. Terlihat dari
sorot matanya kalau dia sangat khawatir. aku sudah tidak bisa berpikir apa-apa
lagi. Suara derap langkah kami memenuhi lorong rumah sakit. Saat memasuki ruang
gawat darurat, perawat menyuruh kami untuk menunggu di luar. Aku berhenti di
depan pintu UGD dan berdiri mematung. Dokter Ji Hoon datang, dia menatap aku
dan ayah Dong Hae beberapa saat sebelum masuk ke ruang UGD.
Ayah Dong Hae jatuh terduduk di
bangku panjang depan UGD. Badannya gemetar dan wajahnya tertunduk menatap
lantai rumah sakit. Aku berjalan pelan mendekatinya dan duduk di sebelahnya.
“Ini salahku, ini semua salahku,”
katanya tiba-tiba.
“Ahjussi, kenapa kau berkata
seperti itu?” tanyaku heran.
“Aku tahu Dong Hae punya kelainan
dengan tenggorokannya sejak kecil, maka dari itu aku melarangnya bernyanyi, aku
takut sesuatu terjadi padanya, dan sekarang semua ketakutanku menjadi
kenyataan, semua memang salahku,” kini dia terisak pelan.
Aku menatapnya tak percaya.
“Jadi paman tahu dia punya
penyakit itu?” mataku mulai berkaca-kaca, “semua ini bukan salah paman, paman
hanya berusaha melindungi dia, mungkin memamng harus seperti ini, tapi semua
akan baik-baik saja, paman harus kuat dan berdoa yang terbaik untunya,” aku
menggenggam tangannya, berusaha menguatkannya.
Ayah Dong Hae hanya mengangguk
pelan sambil terus terisak. Tiba-tiba seorang dokter keluar. Kami srentak
berdiri dan menghampirinya.
“Dokter, nagaimana keadaanya?”
“Tuan, kita harus segera
mengoperasinya, sudah tak ada waktu lagi, anda harus segera memutuskan dan
menandatangani surat-suratnya,”
Belum sempat ayah Dong Hae menjawab,
seorang suster keluar.
“Dokter, darah dengan golongan yang
sama dengan pasien Dong Hae tidak ada persediaan, tidak mungkin menghubungi
pusat, apa yang harus kita lakukan?”
“Apakah benar-benar tidak ada
persediaan?”
“Tidak ada, dokter”
“Gunakan saja darahku, darahku
sama dengan anak itu, cepat lakukan operasi sesegera mungkin, kalian tunggu apa
lagi,” kata ayah Dong Hae penuh kepanikan.
‘Baiklah, tuan. Suster, bawa
bapak ini dan lakukan pemeriksaan darah, hubungi emergensi, kita akan segera
melakukan operasi,”
Suster itu mengangguk dan membawa
ayah Dong Hae masuk ke dalam UGD diikuti oleh dokter itu. Aku melihat semua itu
dengan pandangan penuh harap. Aku tidak bisa melakukan apa-apa sekarang. Aku
duduk di ruang tunggu dengan perasaan campur aduk. Bukankah sangat mengerikan
menjalani operasi? Bagaimana keadaan Dong Hae? Kenapa semua terjadi sangat
cepat? Aku tidak pernah tahu apa yang terjadi pada Dong Hae, aku tidak pernah
menyangka akan seburuk ini.
Waktu sepertinya berjalan sangat
lambat. Ayah Dong Hae keluar dari UGD dan menunggu bersamaku. Wajahnya tambah
pucat dan tubuhnya sangat lemah. Kami sudah hampir satu jam menunggu, namun belum
ada tanda-tanda operasi telah selesai. Aku terus berdoa yang terbaik.
Bagaimanapun juga Dong Hae temanku, aku tak ingin sesuatu yang buruk terjadi
padanya. Aku terus-menerus berdoa.
“Dia akan baik-baik saja,” kata
ayah Dong Hae tiba-tiba.
Aku membukamataku dan menoleh
padanya.
“Geokjeonghajimaseyo, dia anak
yang kuat, dia akan bisa melalui semua ini,”
Aku berusaha menahan tangisku dan
mengangguk pelan.
“Aku ingat saat dia bilang padaku
ingin menjadi penyanyi, dia bilang dia akan ke Seoul dan mengikuti audisi,
namun aku melarangnya, aku tahu keadaan tenggorokannya, aku bilang apadanya
kalau penyanyi tidak punya masa depan, aku bermaksud membuatnya mundur, itu
kulakukan demi dia, tapi akau lupa kalau dia itu keras kepala, keesokan harinya
dia benar-benar pergi dari rumah dan ke Seoul, aku heran bagaimana dia bisa
sampai Seoul,”
Ayah Dong Hae berhenti dan
menghela nafas panjang.
“Beberapa bulan kemudian aku
melihatnya di televisi, dan dia bernyanyi dengan sangat memukau, aku bahkan
menangis saat melihatnya, saat itu aku berpikir bahwa semuanya akan baik-baik
saja, tapi dia tidak pernah kembali ke rumah setelah itu, kami benar-benar
ingin dia pulang, aku ingin minta maaf padanya, aku akan melakukan apa saja
untuk bisa mengatakan padanya bahwa aku ingin dia terus menjadi penyanyi, aku
ingin dia terus menggapai impiannya, tapi aku terlalu bodoh, aku sampai sampai
saat ini belum bisa mengatakannya,”
Aku hanya diam mendengar cerita
ayah Dong Hae. Ayah Dong HAe hanya berusaha melindungi Dong Hae, tapi mungkin
caranya agak salah dan Dong Hae, apa yang bisa dipikirkan anak berusia 12
tahun? Kami hanya diam stelah itu. Kami terus menunggu operasi berlangsung.
Waktu benar-benar berjalan sangat lambat. Bahkan sampai dua jam kemudian aku masih
terus berdoa. Aku tidak ingat berapa lama kami terus menunggu. Aku hampir
memjamkan mataku saat pintu ruang UGD terbuka. Ayah Dong Hae berdiri dan
menghampiri dokter, Dokter Ji Hoon juga keluar. Aku ikut menghampiri mereka.
“Dong Hae, dia, operasinya berjalan
lancar, sangat beruntung pita suaranya bisa diselamatkan, dia akan sadar sampai
efek obat bius habis, selama itu biarkan dia istirahat,” jelas dokter kepada
kami.
Aku meneteskan airmata.
“Jamietta, syukurlah dia
baik-baik saja,” aku terisak pelan. Aku lega semua baik-baik saja. Sepertinya
beban yang sejak tadi menggelayuti kepalaku hilang begitu saja.
Ayah Dong Hae memeluk Dokter Ji
Hoon. Dokter Ji Hoon tersenyum dan mengangguk padaku. Aku balas mengangguk
padanya.
***************************************************************
Dong Hae sudah dipindahkan ke
ruang perawatan. Namun dia masih belum sadar.
“Kau sebaiknya kembali ke asrama,
kau terlihat sangat lelah, dan tak mungkin kau menginap di sini,” kaya Dokter
Ji Hoon.
“Ah, baik,”
“Ji Hyun-aa, terimakasih ya, Ji
Hoon-aa, antar dia,” kata ayah Dong Hae.
“Ne, ahboji, ayo Ji Hyun,”
“Paman aku pulang dulu,
annyeonghigyeseyo,”
Aku membungkuk sebentar dan
meninggalkan kamar mengikuti Dokter Ji Hoon yang telah lebih dulu keluar kamar.
Kami berdua hanya diam sepanjang perjalanan. Aku sangat capek dan lelah. Aku
mengantuk, tulang-tulangku sepertinya terpisah satu sama lain, dan kepalaku
berat sekali. Aku ingin sekali tidur. Aku hampir saja tertidur saat tiba-tiba
Dokter Ji Hoon bertanya.
“Kau benar-benar melakukan
sesuatu untuk Dong Hae?”
“Ne?” aku menoleh padanya, aku
sedikit membuka mataku, aku tidak mengerti maksudnya.
“Apa kau menyukainya?”
Kali ini aku benar-benar membuka
mataku.
“Musun sorieyo?” aku berpaling
menatap jalanan diluar. Dokter Ji Hoon ini kenapa sih?
“Kau tidak beranjak sedikitpun
dari ruang tunggu, kau terus memejamkan mata dan menyatukan kedua tanganmu, itu
menandakan ada sesuatu kan?”
“Mwo ya? Keunyang.. Aku.. Aku..
Dia.. Dia kan temanku, tentu saja aku tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk
padanya, kau ini mikir apa sih?”
“Wajahmu merah tuh,” dia tertawa
melihatku salah tingkah.
“Mwo ya?? Jangnanhajima, aishh
menyebalkan,” aku semakin salah tingkah dan Dokter Ji Hoon tertawa semakin
keras.
“Gomapta, kau sudah menemaninya,”
Aku hanya mengangguk pelan.
Keeseokan harinya aku bangun
sangat siang. Aku ingat semalam aku sampai kamar dan langsung tidur. Aku malas
bangun. Tapi aku harus ke rumah sakit. Aku ingin tahu keadaan Dong Hae. Aku
bangun dan turun untuk ke kamar mandi. Hanya ada Se Na yang sedang membaca
buku.
“Ah, ireona?” dia menoleh padaku.
“Ne, hanya kau yang di sini?”
“Geure, Eun Hae dan Yu Mi pergi
entah kemana, kau sendiri?”
Aku duduk di depannya.
“Molla, aku ingin tidur lebih
lama, tapi aku harus ke rumah sakit,”
“Siapa yang sakit?”
“Oh, hanya teman saat SMP, dia
operasi usus buntu, dan dia harus dirawat, lalu kau tidak keluar?” itu benar
kan?
“Ani, aku hanya ingin disini,
kegiatan selama di sekolah membuatku pusing, aku ingin istirahat hari ini,”
“Geure, aku juga merasa seperti
itu. Ya, apa kau juga bersiap-siap untuk pesta olahraga nanti?”
“Ne, kami tim renang berlatih
sangat keras agar bisa menang. Tim renang tidak pernah membawa prestasi yang
memuaskan, geurigo, tahun ini kami harus bisa jadi juara, aku sudah tidak
sabar, kau juga kan?”
“Ne,” aku mengangguk bersemangat.
“Kami dari tim basketpun sama, hampir setiap hari kami melakukan pelatihan
neraka,”
“Pelatihan neraka?”
“Geure!! Pelatih kami adalah
titisan api neraka, dia membuat kami berlatih sangat keras, dia juga suka
sekali berteriak dengan keras, tapi tanpanya kami tidak akan bisa seperti ini,
kita harus berjuang, hwaiting!!” aku mengangkat tanganku ke udara.
“Geurom, hwaiting!!!”
Kami berdua tertawa.
“Baiklah, aku mandi dulu ya,”
Dia hanya mengangguk. Aku mandi
sambil terus memikirkan Dong Hae. Dia sudah sadar belum ya? Apa yang terjadi
dengannya nanti? Selesai mandi aku bersiap berangkat. Aku membeli bunga saat
dalam perjalanan ke rumah sakit dan disinilah aku sekarang, di depan kamar Dong
Hae. Aku baru menggeser pintu sedikit saat kulihat Dong Hae dan ayahnya saling
diam.
“Apa yang kau lakukan disini?”
tanya Dong Hae, suaranya serak . aku mengurungkan niatku untuk masuk.
“Yang pasti tidak untuk
bertengkar denganmu,” jawab ayah Dong Hae tenang.
“Kau disini semalaman?”
“Seperti yang kau lihat,”
“Jadi pada akhirnya aku
dioperasi, kau senang sekarang aku sudah tidak bisa bernyanyi lagi?”
Aku terkejut mendengar kata-kata
Dong Hae. Apa maksudnya?
“Malah sebaliknya, aku menyetujui
kau dioperasi agar kau tetap bisa bernyanyi lagi,” ayah Dong Hae beranjak dari
kursinya. “Lebih baik kau biarkan seseorang melakukan sesuatu untukmu,
pikirkanlah perasaan orang-orang yang menyayangimu. Beristirahatlah, kau tidak
boleh terlalu banyak bicara, aku akan pergi,”
Ayah Dong He berjalan menuju
pintu. Aku berlari untuk bersembunyi. Pintu kamar dibuka dan kulihat ayah Dong
Hae menghela nafas. Lalu dia pergi. Aku keluar dari persembunyianku dan menuju
kamar Dong Hae. Aku menggeser pintu pelan-pelan, aku melongok kedalam dan Dong
Hae menoleh padaku.
“Annyeong,” aku tersenyum padanya
dan menunjukkan bunga yang kubawa. Aku masuk dan menutup pintu kembali. “
Bagaimana keadaanmu?”
“Bagaimana kau tahu aku di sini?”
Jadi Dong Hae tidak tahu aku
menunggu dia dioperasi? Aku meletakkan bunga yang kubawa di meja samping tempat
tidur. Lalu aku duduk di kursi yang tadi diduduki ayah Dong Hae.
“Kau pasti tahu kan kenapa rumah
sakit punya resepsionis?”
“Oh, geure,”
“Apa yang kau rasakan? Apa semua
baik-baik saja?”
“Entahlah, masih sangat sulit
untuk bicara, aku merasa leherku sangat tebal,”
“Kalau begitu kau jangan banyak
bicara, diamlah sebanyak yang kau bisa, itu bagus untukkmu”
Aku lega Dong Hae baik-baik saja,
walaupun masih belum tahu apa yang akan terjadi nanti, tapi melihatnya sadar
kembali sudah cukup membuatku bernafas lega. Dia hanya diam untuk beberapa
saat. Mungkin tenggorokannya memang masih belum bisa untuk bicara terlalu
banyak. Aku juga tidak tahu untuk bicara apa dan berbuat apa, kamipun hanya
saling berdiam diri untuk beberapa saat.
Tiba-tiba seorang dokter masuk.
“Oh, kau ada tamu rupanya, tapi
kau harus melakukan pemeriksaan untuk memeriksa lebih lanjut keadaanmu,’’ kata
dokter itu sambil mengamati infuse Dong Hae.
“Oh, tidak apa-apa, aku juga akan
pulang,”
Dokter itu tersenyum padaku, lalu
melihat catatannya.
“Aku pulang dulu, jarisseo,”
Dong Hae hanya mengangguk pelan.
Dia terlihat sangat menyedihkan. Aku belum ingin pulang sebenarnya, tapi lebih
baik aku pulang saja. Aku berjalan menyusuri jalan menuju halte bus. Henry
ternyata sudah pulang, aku ingin mengunjunginya sebenarnya. Tapi ya sudahlah.
*****************************************************************
Hari-hari berikutnya disibukkan
dengan latihan basket selama satu minggu penuh. Aku bahkan tak sempat menjenguk
Dong Hae di rumah sakit. Aku tak sempat melakukan apa-apa selain berlatih
basket. Sebenarnya kami tak perlu berlatih sekeras itu, kami sudah cukup kuat
dan siap menghadapi pertandingan, tapi Pelatih Kim sepertinya sangat
bersemangat dan antusias. Pada akhirnya kamilah yang menjadi korban pelatihan
dari neraka itu.
Sepulang dari berlatih basket aku
langsung mandi, makan malam dan tidur. Tenagaku terkuras untuk berlatih basket.
Benar-benar mengerikan Pelatih Kim itu. Dikelaspun aku hanya asal-asalan
mengikuti pelajaran. Apa yang dijelaskan oleh guru tidak pernah bisa kupahami,
bahkan sampai Dong Hae masuk kelas dan duduk di belakangku akupun tidak menyadarinya.
Siangnya kami juga tetap berlatih basket. Semua orang sepertinya sangat
bersemangat. Aku berusaha untuk terus melakukan sekuat tenagaku, tapi entah
kenapa kepalaku terasa sangat berat. Berkali-kali aku hampir terjatuh, dan saat
kudengar teriakan Pelatih Kim, semua menjadi gelap.
Aku membuka mataku pelan. Bau
obat menyergap hidungku. Kepalaku terasa berat dan badanku benar-benar sakit.
Ah lagi-lagi klinik, pasti aku pingsan lagi.
“Ah, Ji Hyun-aa, ireona?
Gwaenchana?” suara Hye Ri terdengar khawatir.
Aku mengangguk pelan.
“Syukurlah, kata Dokter Ji Hoon
kau terlalu lelah, tekanan darahmu sangat rendah, sekarang kau istirahatlah,
aku harus mengurus sesuatu di luar, kau tidak apa-apa kutinggal sendiri?”
Aku hanya mengangguk pelan.
“Geure, istirahatlah, jalrisso,”
Dan Hye Ri pun pergi. Klinik
sepi. Hanya ada aku. Aku memejamkan mataku. Berat sekali rasaya kepalaku. Pasti
karena berlatih terlalu keras aku jadi seperti ini. Lebih baik aku tidur saja
dan menunggu Dokter ji Hoon, minta obat lalu kembali ke kamarku. Baru saja aku
memejamkan mataku seseorang masuk, tapi aku malas membuka mataku, aku pura-pura
sudah tidur saja.
“Kau tidak bakat pura-pura tidur,
seharusnya kau tidak menggerakkan bola matamu,”
Aku membuka mataku.
“Dong Hae-ssi,” aku tersenyum
senang melihatnya disini. Aku lega sekali dia sudah kembali dari rumah sakit.
Tiba-tiba kepalaku terasa ringan.
“Kapan kau kembali?”
“Apa kau terlalu sibuk sampai
tidak menyadari kedatanganku?”
Aku hanya tersenyum lebar. Aku
benar-benar senang dia kembali, aku bisa melihatnya lagi.
“Apa kau sangat senang
melihatku?”
“Geurom!! Kukira kau tidak akan
pernah kembali, bagaimana keadaanmu?”
Dong Hae hanya diam menatapku.
“Wae? Kenapa melihatku seperti
itu? Bagaimana keadaanmu?” aku mengulangi pertanyaanku.
“Oh? Ani, gwaenchana, aku masih
menjalani rehabilitasi untuk memulihkan tenggorokanku, sementara ini aku tidak
boleh bernyanyi,”
“Mwo? Itu artinya aku tidak bisa
mendengar nyanyianmu, sayang sekali,” aku merasa sedikit kecewa.
“Ya, aku bukannya tidak bernyanyi
untuk selamanya, kenapa wajahmu itu?”
Aku hanya tersenyum. Melihatnya,
mengobrol dengannya, mengetahui dia baik-baik saja, membuatku senang dan lega.
Aku seperti bisa tersenyum lebar sepanjang hari. Jamkanmannyo, apa ini? kenapa
aku bahagia melihatnya seperti ini? aku terlalu berlebihan, ah kenapa aku ini?
“Dong Hae-ssi, ayahmu?”
“Kenapa membicarakannya?”
“Mungkin aku tidak pantas
mengatakan ini, aku sudah lancang mencampuri urusanmu dan ayahmu, tapi aku akan
lancang sedikit lagi, aku berharap kau berdamai dengan ayahmu,”
“Sudahlah, tidak ada gunanya
membicarakan ini,”
“Tapi.. Saat mendengar cerita
ayahmu, aku tahu kalian mempunyai salah paham, sampai kapan kau akan memusuhi
ayahmu? Geurenika, dia kan ayahmu..”
“hentikan, kalau kau terus bicara
aku akan keluar,”
Dan dia benar-benar keluar dari
ruangan klinik. Apa lagi yang kukatakan? Seharusnya aku tidak perlu
membicarakan ini.
“Kuharap kau terbiasa dengan sifat
keras kepalanya,”
Aku menoleh, Dokter ji Hoon sudah
berdiri di samping ranjangku. Dia seperti biasa selalu tersenyum.
‘Tapi sekeras apa sebenarnya
kepalanya itu? Apa dia akan selamanya seperti itu?” aku mengehela nafas
panjang.
“Sangat keras, sepertinya terbuat
dari besi baja,” kata Dokter ji Hoon sambil mengecek pergelangan tanganku, lalu
mata dan leherku. “Kau sudah lebih baik sekarang, minumlah beberapa obat dan
istirahat, latihan basket selesai hari ini, kalian harus mempersiapkan stamina,
araji?”
“Araseo, gumapsemnida,”
Dokter Ji Hoon hanya mengangguk
lalu memberiku obat.
********************************************************************
Aku sengaja keluar dari kamar dan
berjalan-jalan di luar. Udara sudah mulai dingin, musim gugur hampir berakhir
dan akan segera musim dingin. Aku merapatkan jaketku dan terus berjalan
menyusuri jalan di sebelah lapangan basket. Sekolah sudah cukup sepi, bahkan
hampir tak ada yang di luar. Aku melihat jam di tangan kananku, sudah hampir
jam 10, pantas saja. Tiba-tiba langkahku terhenti saat aku melihat Dong Hae
berdiri tak jauh dariku.
‘Dong Hae-ssi, yogi mwo haeyo?”
aku berlari menghampirinya.
Aku berhenti di depannya dan
menatapnya cemas. Dong Hae tidak menjawab, dia hanya diam menatapku, matanya
berkaca-kaca.
“Ya, Dong Hae-ssi, kau..??”
“Aku… aku bertemu ayahku,”
Aku terkejut mendengar
kata-katanya dan lebih terkejut lagi saat tiba-tiba dia terisak. Aku menatapnya
beberapa saat, isakannya bertambah keras, lalu entah kenapa aku memeluknya. Aku
bisa merasakan tubuhnya yang gemetar, dia menangis seperti anak kecil. Aku
menepuk-nepuk punggungnya pelan. Kami tidak mengatakan apa-apa. Yang aku tahu,
sepertinya dia telah menyelesaikan kesalahpahaman dengan ayahnya. Kami berdiri
dibawah lampu itu untuk beberapa saat.
“Selama ini aku tidak mengetahui
apapun, aku hanya memikirkan diriku sendiri,”
Kami duduk di tengah lapangan
sepakbola. Masih tersisa air mata di wajah Dong Hae. Aku hanya diam
mendengarkan dia. Dia sepertinya sangat terpukul.
“Aku berdiri di depan rumahku,
aku bahkan tidak berani memencet bel, lalu kulihat ayahku, berdiri di gerbang
rumahku, dia sepertinya terkejut melihat kedatanganku. Aku sudah tidak bisa
mundur lagi, aku harus menghadapi ayahku, dan saat itulah aku mengetahui
semuanya,”
Dong Hae berhenti untuk beberapa
saat. Aku masih diam menunggu ceritanya.
“Aku tidak pernah tahu ayah akan
melarangku bernyanyi menyelamatkanku, dia tahu aku punya peyakit itu, dia tahu
kalau aku bernyanyi akan berbahaya untukku, aku juga tidak tidak tahu kalau
ayah sebenarnya sangat mendukungku, aku tidak tahu ayah memberikan darahnya
untukku, aku tidak tahu kalau dia menjagaku semalaman di rumah sakit. Ji
Hyun-aa, aku sangat bodoh kan?”
Aku hanya diam mendengar
kta-katanya.
“Apa bisa aku memaafkannya? Kenapa
dia tidak pernah mengatakannya padaku? Tapi aku memang tidak memberinya
kesempatan untuk mengatakannya, aku terlalu marah pada sesuatu yang tidak
seharusnya,”
“Tidak ada yang perlu disalahkan,
kalian hanya perlu membuka hati dan memulai lembaran baru, semua itu memang
harus terjadi, kenapa disesali, bukankah dengan begitu kau kembali pada
ayahmu?”
“Tapi apakah semua akan kembali
seperti dulu?” tnya Dong Hae pelan.
‘Mungkin tidak akan sama, tapi
pasti akan lebih baik,”
‘Jeongmal yo?” dia menoleh
padaku.
Aku mengangguk dan tersenyum
padanya. Dia hanya terdiam menatapku. Masih telihat sisa air mata, wajahnya
terlihat sayu. Tapi aku juga bisa melihat sebuah kelegaan disana, tekanan yang
selama ini dia pendam seperti hilang begitu saja dari wajahnya. Dan saat itulah
aku merasakan wajah Dong Hae di wajahku. Omo!!!! Apa ini? Sebuah perasaan aneh
mengalir ke seluruh tubuhku. Jantungku berdetak tidak karuan. Wajahku tiba-tiba
panas. Dan saat aku sadar, Dong Hae menciumku. Di bibir. Dan apa yang bisa
kulakukan? Dan yang bisa kulakukan adalah menarik wajahku.
“Oh,” dia terlihat sangat
terkejut.
Kami berdua diam. Kami berdua
salah tingkah. Wajah kami sama-sama merah.
“Aku.. Aku.. Kembali ke kamar
dulu,” aku berdiri kebingungan, apa yang harus kulakukan.
‘Oh, ne,”
Aku berlari meninggalkan Dong
Hae. Yang barusan tadi itu apa?
to be continued...
0 komentar:
Posting Komentar