Pengen bikin cerita aja... Tapi lum ada ide gimana-gimana ntar nya.. Yang penting ini awalannya, hope you enjoy it.. ^^
Prolog…
Sebuah kenangan…
Sebuah gedung berhiaskan berbagai
macam bunga. Rangkaian bunga berisi ucapan selamat berbahagia menghiasi bagian
depan gedung itu. Tamu-tamu keluar masuk silih berganti. Empat orang orang tua
tersenyum bahagia menyambut para tamu yang memberi mereka ucapan selamat.
Sementara di dalam hall, di ujung ruangan, dua mempelai pria dan wanita
tenggelam dalam kebahagiaan. Para tamu silih berganti memberi mereka selamat.
Beberapa teman dekat sempat mengajak mereka mengobrol untuk beberapa saat
sebelum meninggalkan kedua mempelai dan menikmati hidangan yang tersedia.
Para tamu yang sebagian besar
adalah para pengusaha dan pemilik perusahaan ternama dari seluruh negeri,
menikmati acara dengan penuh keceriaan. Mereka saling berbincang satu sama lain
tentang berbagai hal sambil menikmati sajian yang begitu mewah. Dekorasi yang
mewah dan suasana pesta yang elegan begitu indah dalam cahaya lampu yang terang
dan hangat. Pernikahan ini adalah sebuah pernikahan yang besar karena
melibatkan dua perusahaan besar dan ternama di negeri ini. Tentu saja dua
mempelai, kedua keluarga, dan seluruh tamu undangan hanyut dalam kebahagiaan
yang megah dan berlimpah.
Namun, tidak semua orang merasakan
kebahagiaan malam itu. Dia berdiri di sana. Di balik tirai yang memisahkan
antara ruang persiapan dan tempat acara. Seorang dengan pakaian pelayan.
Berdiri menatap kedua mempelai yang sedang berbahagia dengan senyum kepahitan. Hatinya pasti sakit sekali. Tapi harus
bagaimana lagi, orang yang dicintainya dengan sepenuh hati berdiri di sana
bersama orang lain, tanpa dia sadari bahwa sang mempelai wanita pun menatapnya
penuh kepiluan..
Tiga tahun kemudian…
Sebuah mobil memasuki rumah megah
dengan pekarangan yang luas itu. Penjaga pintu membungkuk sesaat saat mobil
melewati gerbang yang sangat tinggi itu. Rumah itu sangat besar, mungkin bisa
menampung beberapa ratus orang, sampai rumah itu hanya dihuni lima orang dengan
beberapa pembantu dan sopir serta para penjaga. Cucu keluarga kaya itu baru
berusia satu tahun. Dan kemarin sang menantu baru saja menerima jabatan
direktur menggantikan sang mertua. Kepala keluarga itu memang sudah terlalu tua
untuk menjabat sebagai direktur perusahaan sebesar itu. Makanya setelah
istrinya meninggal beberapa bulan, sang kepala keluargapun akhirnya menyusul
istrinya.
Maka tinggallah empat orang di
dalam rumah itu. Sang anak perempuan, sang menantu, sang anak, dan adik sang
menantu. Mereka hidup dalam kebahagiaan. Anak laki-laki mereka tumbuh dengan
sangat sehat dan aktif. Cukup pintar untuk anak seusianya. Dia sudah bisa
berjalan dan sedikit berbicara. Sang ayah sangat bangga pada anaknya dan juga
sangat menyayangi anaknya. Istrinya juga sangat baik. Dia sangat menyayangi
suami dan anaknya. Dia adalah istri yang satia, patuh da menjadi ibu yang baik
untuk putranya. Dia ramah terhadap siapa saja, terhadap tetangga sekitar,
kepada para pembantu, dan dia teramat sangat baik terhadap seorang pelayan.
Hampir setiap hari sang istri
menyempatkan diri untuk minum teh sambil mengobrol akrab dengan pelayan itu.
Mereka sering melakukan itu saat sang suami masih berada di kantornya.
“Ya, Jung Jin-ssi, kenapa teh ini
sangat enak?” tanya sang istri pada suatu pembicaraan di suatu sore yang sejuk
di musim semi.
“Teh ini dipetik dengan tangan oleh
para pemetik teh handal, semuanya diramu dan diproses dengan menggunakan cara
tradisional dan dilakukan dengan dedikasi yang tinggi oleh para pembuat teh di
negeri ini, itulah yang membuat kenapa teh ini sangat nikmat, Nyonya,” jelas
sang pelayan.
Nyonya itu hanya mengangguk-angguk
sambil menyesap pelan teh nya.
Di sebuah sore yang lain, sang
pelayan dan nyonya rumah itu berada di taman belakang yang indah, mereka sedang
menanam beberapa bunga chamomile. Sang nyonya terlihat sangat bahagia menatap
bunga-bunga berwarna ungu itu. Sementara sang pelayan dengan sigap menanam
setiap tangkai chamomile itu.
“Bunga ini akan sangat indah bila
kutaruh di kamarku, aku suka wanginya, membawa ketenangan,” kata sang nyonya.
Tiba-tiba seorang anak kecil
berlari menghampirinya.
“Lee joon-aa, kau sudah bangun?”
sang nyonya memeluk anak kecil itu dan membelai lembut rambut anaknya.
Sang pelayan hanya menunduk sambil
terus memasukkan tanah dalam pot berisi bunga chamomile. Dia hanya berpikir, seharusnya
dia juga ikut membelai anak dalam pelukan sang nyonya.
Saat sore yang indah, sang nyonya
dan sang pelayan duduk di taman memandang tangkai-tangkai chamomile yang sedang
kuncup. Angin yang berhembus pelan, menggoyangkan kuncup-kuncup bunga chamomile
itu.
“Jung Jin-ssi, kenapa kau tidak
menikah?” tanya sang nyonya sambil menghirup aroma tehnya.
Sang pelayan terdiam. Hanya
menunduk. Tak berani menatap wajah sang nyonya. Dia hanya takut kalau dia
menatapa wajah wanita yang telah membuatnya bermimpi tentang cinta, tapi di
saat bersamaan dia harus mengubur rasa cintanya, dia takut rasa yang telah
dikuburnya dalam-dalam akan menyeruak ke permukaan, dan itu akan menjadi
masalah yang besar.
“Saya hanya mencintai satu wanita,
Nyonya, dan dia telah pergi berpaling dari saya, saya sudah tidak punya rasa
cinta untuk diberikan kepada wanita manapun,” kata sang pelayan pelan.
Air muka sang nyonya berubah
menjadi kesedihan saat mendengar jawaban sang pelayan. Mereka hanya diam tanpa
mengatakan apapun selama beberapa saat. Mereka hanya menatap rumpun chamomile
dalam diam sampai terdengar suara mobil dari kejauhan.
Beberapa bulan kemudian…
“Tuan.. Nyonya.. Saya ingin
mengatakan sesuatu,” kata sang pelaan suatu ketika.
“Tak usah sungkan Jung Jin, katakan
saja,” kata sang tuan.
“Kerabat jauh saya mengalami
kecelakaan, keduanya tak tertolong lagi, mereka meninggalkan seorang anak
laki-laki, saya ingin meminta izin, bolehkah saya mengasuhnya di sini?” pinta
sang pelayan.
“Apa kau harus minta izin dariku?
Kau adalah pelayan keluarga kami yang paling setia, kau sudah kuanggap keluarga
sendiri, tentu saja rawatlah anak itu,” kata sang tuan berbaik hati.
“Ah, khamsahamnida,” kata sang
pelayan.
Lalu hadirlah seorag anak lelaki
berusia tiga tahun di rumah itu. Kedatangannya membawa keceriaan baru bagi
beberapa penghuni rumah itu, termasuk sang nyonya. Sepertinya, sang nyonya
lebih sering menghabiskan waktu dengan anak yang dibawa oleh sang pelayan itu.
Sang nyonya masih tetap menyayangi putranya, bahkan sangat menyayanginya, tapi
putranya itu lebih sering bersama sang ayah, belajar menjadi pewaris tahta,
sehingga perhatian sang nyonya terlampiaskan ke anak itu.
“Kau sungguh lucu, Yunho-aa, kau
ingin jadi apa saat besar nanti?” tanya sang nyonya pada suatu sore di taman chamomile.
Sekarang waktu minum tehnya tak
hanya ditemani oleh sang pelayan yang setia, sekarang betambah satu teman minum
tehnya, seorang anak kecil yang selalu tertawa senang saat melihat sang paman
yang melakuka kesalahan karena harus menghadapi sang nyonya. Mungkin sang
nyonya tak bisa melihat, tapi si anak kecil bisa melihat sikap gugup sang paman
yang selalu muncul bila berhadapan dengan sang nyonya.
“Aku ingin jadi pilot, aku ingin terbang
seperti burung,” kata anak kecil itu dengan polosnya.
Sang nyonya tertawa kecil mendengar
jawaban si anak kecil. Sang pelayan hanya tersenyum mendengarnya. Sementara
dari pitu ruang tengah, sang tuan menatap kosong pemandangan di taman chamomile
itu. Sepertinya dia bisa membaca sesuatu.
Mulai saat itu, setiap sore tak
pernah menjadi hari yang sama. Setiap sore sang nyonya harus menjemput sang
tuan di kantornya. Entah kenapa tiba-tiba sang tuan bersikap seperti itu. Sang nyonya
tidak tahu kalau sang tuan hanya ingin menjauhkan sang istri dengan sang
pelayan. Tapi sang nyonya hanya menurut saja. Setiap sore dia bersama sang
supir akan pergi ke kantor suaminya dan menjemputnya. Sang pelayan dan si anak
kecil masih tetap setia merawat lading chamomile. Mereka sudah terbiasa,
sehingga walaupun tanpa sang nyonya mereka tetap merawat ladang itu. Mulai saat
itu pula acara minum teh di kala sore tak akan pernah ada lagi untuk selamanya.
Sang pelayan bahkan tak penah bertemu dengan sang nyonya. Sang nyonya tiba-tiba
menjadi sangat sibuk dan sering keluar rumah. Tapi sang pelayan tetap saja
setia melayani keluarga itu dengan sepenuh hati.
Suatu sore, sang tuan dan sang
nyonya sedang dalam perjalanan pulang ke rumah. Hujan turun dengan sangat
derasnya. Ini hampir musim dingin, hujan turun hampir setiap hari. Terkadang
hujan membawa sebuah nasib untuk beberapa manusia. Saat itu sang tuan dan sang
nyonya harus menemui nasib yang kurang baik. Hujan membawanya pada sebuah
kecelakaan. Sang tuan mengalami luka yang sangat parah yang menyebabkan cacat
di kakinya, sementara sang istri harus rela menerima nasib yang lebih buruk,
nyawanya tak tertolong..
Seisi rumah diselimuti kesedihan
yang mendalam. Kehilangan istri, ibu, dan nyonya yang selalu membawa
kebahagiaan untuk mereka, meninggalkan luka yang sangat dalam. Sang kepala
pelayan yang setia hanya terdiam, namun di dalam hatinya dia menangis begitu
kerasnya, dia merasa sesuatu yang berharga telah hilang dari dirinya, bahkan
sebelum dia sempat mengutarakan semuanya…
**********************************************************************
Lima belas tahun kemudian…
Rumah itu memang sedikit berubah setelah
sepeninggalan sang nyonya. Tuan Lee, sang tuan, mengalami luka parah di kaki
kanannya. Tidak harus membuatnya diamputasi, tapi cukup untuk membuatnya menggunakan
tongkat selama sisa hidupnya. Dia terus menjalankan bisnisnya dan tahun
berganti tahun, bisnisnya semakin sukses saja. Jung Jin, sang pelayan masih
tetap menjadi pelayan yang setia dan tetap melayani keluarga Lee dengan
dedikasi tinggi.
Namun kehidupan tetap berjalan
seperti pada biasanya. Keceriaan kembali muncul karena Yunho, sang anak yang
diasuh pelayan Jung Jin selalu menebar kebahagiaan di seluruh rumah. Dia selalu
menghibur para pelayan lainnya, menemani Lee Joon, sang putra, bermain dan
belajar, dan juga sesekali mendengarkan rencana-rencana bisnis Tuan Lee. Yunho sangat
pintar dan cerdas. Dia juga sangat baik hati. Dia selalu menjadi juara di
kelasnya dan sering ditunjuk untuk mengikuti perlombaan di sekolahnya. Sekarang,
dia akan menempuh ujian kelulusan SMA, semua orang sangat mengharapkan Yunho
bisa lulus dengan nilai terbaik dan masuk ke
universitas unggulan. Tapi bukankah dia hanya anak asuh seorang kepala
pelayan?
Lee Joon sedikit berbeda, dia
tumbuh menjadi remaja yang sedikit bandel, mungkin dia tak sepintar Yunho, tapi
dia selalu masuk lima besar di kelasnya. Mungkin karena terlalu dimanja sang
ayah, dan kurangnya kasih sayang dari ibu, dia menjadi sedikit suka
memberontak. Dia sering telat ke sekolah, dia kadang dihukum karena tidur di
kelas, walau begitu dia tidak pernah melakukan kesalahan yang berat. Lee Joon
bersekolah di sebuah sekolah elit dengan reputasi yang sangat baik, dan
walaupun dia anak seorang pengusaha dan bersekolah di sebuah sekolah mentereng,
tetap saja dia harus mengikuti ujian agar bisa lulus.
Suatu hari, Lee Joon sedang
memainkan PSP nya di taman belakang. Sementara Yunho dengan hati-hati merawat
taman chamomile. Beberapa bulan setelah sang nyonya meninggal, taman itu
dirawat oleh Yunho, Pelayan Jung Jin tak pernah sedikitpun menyentuh kembali
bunga-bunga itu.
“Apa kau akan melanjutkan sekolah?”
tanya Lee Joon di sela permainannya.
“Entahlah Tuan Muda, aku belum
memikirkan itu.” Jawab Yunho pelan.
“Ya, bagaimana bisa kau tidak
memikirkan itu? Ujian sebentar lagi dan kau sudah harus mempersiapakan dirimu
mengikuti ujian masuk, aku saja sudah mendaftar,” kata Lee Joon sambil
mendekati Yunho.
“Entahlah, aku akan minta saran
Paman Jung Jin dulu,” kata Yunho sambil terus memotong dun-daun chamomile yang mengering.
“Pikirkanlah baik-baik,” kata Lee Joon menepuk
pundak Yunho.
Yunho mengangguk pelan.
“Ya, apa kau begitu suka dengan
bunga-bunga ini? Kau seperti perempuan saja,” kata Lee Joon sambil kembali ke tempat duduknya dan memainkan PSP nya
lagi.
“Sayang kalau membiarkannya,” kata
Yunho.
Saat itulah seorang yeoja datang
menghampiri mereka.
“Annyeonghaseyo,” sapanya ramah.
“Oh, Chae Rin, apa kau datang bersama
ayahmu?” tanya Lee Joon senang.
“Ne, appa memaksaku ikut, oh dia
siapa?” tanya Chae Rin saat melihat Yunho.
“Dia anak Paman Jung Jin, Yunho,”
jawab Lee Joon.
“Annyeonghasyo Yunho-ssi,” sapa
Chae Rin ramah.
“Annyeonghaseyo Nona,” sapa Yunho
sambil membungkuk.
Lee Joon dan Chae Rin ngobrol dan
terlibat dalam obrolan yang seru. Sementara itu Yunho sesekali mencuri pandang
menatap Chae Rin yang tertawa riang. Semakin Yunho melihat tawa Chae Rin,
semakin dia kagum dengan kecantikannya. Yunho melarang dirinya untuk melakukan
sesuatu yang lebih jauh, tapi hatinya berkata lain, sejak saat itu seiring
angin berhembus membawa wangi chamomile, melihat tawa Chae Rin, Yunho telah
jatuh cinta..
to be continued....