Bagaimana Yunho menghadapi semua kenyataan yang ada? A Man In Love...
Ujian sekolah pun tiba. Yunho telah
mempersiapkan semua dengan baik. Hari ini hari terakhir ujian. Lembar jawaban
sudah hampir sepenuhnya terisi. Waktu yang tersisa hanya 5 menit. Dia mengecek
jawaban perlahan setelah itu mengangguk pelan. Dia merasa cukup puas dengan
jawabannya. Dia mulai merapikan alat tulis dan soal-soal ujian lalu menutup
lembar jawaban, memasukkan alat tulis ke dalam tas dan beranjak meninggalkan
tempat duduknya. Beberapa temannya juga melakukan hal yang sama. Dia keluar
dari kelas dan seseorang telah menunggunya.
“Ya, eottae? Kau bisa
mengerjakannya?” tanya temannya itu, Changmin.
“Bagaimana menurutmu?” Yunho balik
bertanya.
“Tunggu, kalau melihat raut
wajahmu, sepertinya kau bisa menanganinya dengan baik,” kata Changmin mencoba
menebak-nebak.
Yunho hanya tersenyum. “Kau
sendiri?”
“Kau tahu kan otakku ini seperti
kura-kura? Aku benar-benar butuh keajaiban untuk bisa lulus, kau sih enak, ah,
kenapa kau ini pintar sekali?” Changmin menunjukkan wajah iri.
“Kau ini bicara apa? Sepertinya
otakmu itu terlalu panas,”
“Geure, bahkan tadi kepalaku
berasap gara-gara soal ujian,”
Yunho hanya menggeleng-gelengkan
kepala.
“Kau mau pulang?” tanya Changmin.
Mereka duduk di sebuah bangku di taman.
“Molla, aku ingin pergi ke suatu
tempat, kepalaku benar-benar penuh saat ini, aku ingin mendinginkan kepalaku,”
jawab Yunho sambil menerawang.
“Ne, kau benar, kita memang butuh
penyegaran, sebaiknya kemana kita?”
“Ya, apa kita terlihat seperti
sedang merencanakan sebuah kencan?”
“Busun mariya? Ya, kapan pengumuman
penerimaan di Universitas Korea?”
“Ah, geure, aku hampir lupa,
pengumumannya hari senin,”
“Apa menurutmu kau akan lolos?”
“Entahlah, ini tidak seperti ujian
di sekolah, semua penuh ketidakpastian, tapi aku berharap bisa lolos, kalau
tidak maka aku akan pergi ke Mokpo dan menangkap ikan di sana,” kata Yunho.
“Apa maksudmu menangkap ikan? Kau
pikir kau ini nelayan? Sudahlah, yakinlah kau akan lolos, kecuali kalau kau ini
adalah aku, maka bersiaplah ke Mokpo, hahaha,”
“Kau sendiri, apa rencanamu selanjutnya?
Universitas mana yang kau pilih? Kau ini, seharusnya kau juga memikirkan masa
depanmu, apa selamanya kau akan seperti ini?”
“Geokjongmara, kau tahu aku ini Mazinga
Z, aku akan terus hidup,” kata Changmin.
“Itu bukan masalah kau akan terus
hidup atau tidak, tapi apa kau tidak ingin melanjutkan sekolahmu?” tanya Yunho.
“Ya, kau tidak peduli aku mati atau
hidup? Teman macam apa kau ini?” ujar Changmin. Dia terdiam sejenak. “Aku juga
masuk Universitas Korea,” ujarnya pelan.
“Mwo? Kau ini bicara apa?” tanya
Yunho heran.
“Aku juga mengikuti ujian masuk
Universitas Korea, hanya saja aku tidak ingin kau tahu, aku juga waktu itu satu
kelas denganmu, kau terlambat datang waktu itu, kau terlalu serius dan kau juga
bersama seorang yeoja, aku ingin menyapamu, tapi lebih baik aku membuat kejutan
kan?”
Yunho menoleh menatap Changmin
dalam-dalam.
“Kenapa melihatku seperti itu?”
Yunho tidak menjawab dia hanya
menatap Changmin.
“Aku ingin mengikutimu, kau
satu-satunya temanku, kalau tak ada kau, aku bisa apa, jadi aku putuskan masuk
Universitas Korea, sebenarnya aku sudah memikirkan ini sejak lama, maka dari
itu aku mendaftar kesana, lolos atau tidak aku hanya berusaha,” kata Changmin.
Yunho masih menatap Changmin
dalam-dalam.
“Ya, kau tidak naksir aku kan?”
Mata Changmin terbelalak.
“Mwo ya?? Kau pikir aku penyuka
sesama jenis?”
“Kau tahu, tiba-tiba aku jadi
merinding, tapi aku tetap berharap kau lolos,”
Yunho beranjak meninggalkan
Changmin yang masih terbengong-bengong. Yunho tersenyum kecil sambil berjalan,
Changmin beranjak menyusul Yunho.
**********************************************************************
Yunho berjalan pelan menyusuri
deretan pertokoan di salah satu sisi kota Seoul. Tidak ada yang ingin dia beli,
dia hanya ingin berjalan-jalan. Tiba-tiba langkahnya terhenti di depan sebuah
gedung yang menjulang tinggi di ujung jalan. tempat ini adalah pusat hiburan
terbesar di distrik ini. Dipenuhi fasilitas yang serba mewah dan berkelas.
Orang-orang yang masuk pun tidak sembarangan, mereka harus punya tanda khusus
agar bisa masuk.
Yunho menatap bangunan itu dengan
tatapan kosong. Tempat inilah dimana dia dulu sering meghabiskan kesehariannya
sepulang sekolah. Bermain bola, bermain bersama teman-temannya. Tempat ini dulu
adalah sebuah tanah lapang yang luas dengan taman kecil yang damai dan indah.
Ayahnya selalu bermimpi ingin membangun rumah sakit di tanah ini. Tapi impian
tinggallah impian, tanah itu terlanjur jatuh ke tangan orang lain dengan
berbagai kekejaman.
Sebuah ingatan melintas di kepala
Yunho. Saat itu dia masih kecil, masih sangat kecil. Dia baru berusia enam
tahun dan dia baru saja masuk sekolah dasar. Dia selalu pergi ke tempat ini
sepulang sekolah. Tempat ini cukup jauh dari rumahnya, tapi dia selalu
menyempatkan diri ke tempat itu. Dia punya tempat rahasia, sebuah lubang untuk
menyimpan uangnya. Uang saku yang selalu diberi ayahnya tiap pagi. Dia berniat
membeli sebuah sepeda dengan uangnya sendiri. Dia masih sangat kecil, terlalu
kecil untuk memiliki keinginan membeli sepeda dengan uangnya sendiri, tapi
itulah Yunho, selalu punya keinginan yang kuat untuk mewujudkan mimpinya.
Dengan memiliki sepeda, dia akan lebih mudah pergi kemanapun yang dia suka. Dia
memilih tempat itu untuk menyimpan uang karena dia merasa lebih aman menyimpan
di tempat itu dibandingkan menyimpannya di rumah. Kakaknya pasti akan mengambil
uang itu. Kakaknya Yunho adalah orang yang sangat meyebalkan versi Yunho.
Hari itu, saat dia selesai dengan
tabungan rahasianya, dia melihat seorang anak perempuan yang berlari dengan
wajah ketakutan. Yunho kecil tidak pernah menyukai anak perempuan, menurutnya
anak perempuan itu berisik. Tapi saat melihat wajahnya yang pucat ketakutan,
Yunho menghampirinya. Belum sempat Yunho bertanya, dia melihat tiga anak laki-laki
berari ke arah anak perempuan itu. Tanpa berpikir panjang Yunho berdiri di
depan anak perempuan itu dan melindunginya. Dia mengambil sebatang kayu di
sebelahnya dan berusaha mengusir anak-anak berandalan itu. Sempat terjadi
perkelahian kecil diantara mereka, tapi Yunho dengan gigih berusaha melawan
mereka. Tiga anak laki-laki itupun akhirnya menyerah dan meninggalkan Yunho beserta
anak perempuan itu.
Anak perempuan yang tak dikenalnya
itu terisak pelan di belakangnya. Yunho mendekatinya dan menatap anak perempuan
itu. Dia menunduk dan badannya gemetaran. Yunho mengambil sesuatu dari dalam
tasnya dan menyodorkannya ke anak perempuan itu.
“Minumlah,” kata Yunho riang.
Anak perempuan itu menoleh. Yunho
tersenyum lebar, wajahnya sedikit memar di sana sini, tanganya yang tergores di beberapa tempat
menyodorkan sekotak susu strawberry ke arah anak perempuan itu. Perlahan tangan
anak perempuan itu meraih kotak susu yang diberikan kepadanya dan mengambilnya.
Dia membuka pelan kotak susu itu dan meminumnya perlahan.
“Enak? Kau suka?” tanya Yunho.
Anak perempuan itu mengangguk dan
perlahan senyumnya mengembang. Yunho senang melihat senyum anak itu.
“Gomawo,”
Hanya itu yang diucapkan anak
perempuan itu dan mereka hanya duduk di rerumputan tanpa mengatakan apa-apa
lagi.
Keesokan harinya, Yunho kembali ke
tempat itu, kali ini ada tujuan lain selain menyimpan uangnya. Dia ingin bertemu
dengan anak perempuan itu. Entah kenapa dia ingin bertemu dengannya lagi, dia
ingin berkenalan dan berteman dengan anak perempuan itu. Mereka tidak sempat
berkenalan kemarin. Tapi hampir seharian dia menunggu anak perempuan itu tidak
datang lagi. Hari berikutnya dia ingin menunggu anak perempuan itu lagi, tapi
seorang yang jahat datang dan mengacaukan rumahnya. Dia tidak pernah bertemu
lagi dengan anak perempuan itu. Bahkan sampai saat ini tempat itu telah menjadi
tempat yang asing untuk Yunho, anak perempuan itu tak pernah datang. Yunho
tersenyum kecil mengingat kenangan yang hanya setitik kecil itu. Perlahan dia
berbalik meninggalkan tempat itu.
Sejenak setelah Yunho meninggalkan
tempat itu, bahkan punggung Yunho masih telihat, sebuah mobil datang. Chae Rin
turun dari mobil itu dan memandangi gedung itu selama beberapa saat. Ayahnya
menyuruhnya untuk menunggunya agar bisa pulang bersama. Chae Rin duduk di taman
depan gedung itu.
Dia membuka tasnya dan mengambil
sebuah buku yang belum selesai dia baca. Dia membuka pembatas dan melanjutkan
membaca, baru beberapa saat dia membaca, dia kembali membuka tasnya dan
mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sekotak susu strawberry. Chae Rin
membuka kotak susu itu dan meminumnya perlahan. Dia tidak melanjutkan membaca,
tapi menerawang menatap langit. Sebuah kenangan tiba-tiba memaksanya untuk
kembali ke ingatan beberapa tahun silam.
Saat itu dia berdiri di depan
gerbang sekolahnya. Dia sedang menunggu supir yang menjemputnnya. Entah kenapa
hari itu supirnya sangat terlambat, sekolah sudah sepi dan dia masih belum
dijemput. Saat sedang menunggu, tiba-tiba tiga anak laki-laki menghampirinya
dan memaksa Chae Rin untuk memberi mereka uang. Chae Rin yang ketakutan dengan
ulah tiga anak itu segera berlari untuk menghindari mereka. Dia terus berlari,
dia sangat ketakutan. Dia berlari tak tentu arah. Dia hanya ingin terbebas dari
ketiga anak nakal itu. Dia melihat sebuah tanah lapang dengan taman kecil di
dalamnya. Dia berlari kesana dan mencoba mencari tempat sembunyi. Saat itulah
seorang anak laki-laki berdiri di depannya.
Anak laki-laki itu mengambil
sebatang kayu di sebelahnya dan berusaha mengusir anak-anak berandalan itu.
Sempat terjadi perkelahian kecil diantara mereka, tapi anak laki-laki itu
dengan gigih berusaha melawan mereka. Tiga anak laki-laki itupun akhirnya
menyerah dan meninggalkan Chae Rin beserta anak laki-laki itu.
Chae Rin terisak pelan di belakang
anak laki-laki yang tak dikenalnya itu. Dia mendekatinya dan menatap Chae Rin.
Cha Rin menunduk dan badannya gemetaran. Anak laki-laki itu mengambil sesuatu
dari dalam tasnya dan menyodorkannya ke arah Chae Rin.
“Minumlah,” katanya riang.
Chae Rin menoleh. Anak laki-laki
tersenyum lebar, wajahnya sedikit memar di sana sini, tangannya yang tergores di beberapa tempat menyodorkan
sekotak susu strawberry ke arahnya. Perlahan tangan Chae Rin meraih kotak susu
yang diberikan kepadanya dan mengambilnya. Dia membuka pelan kotak susu itu dan
meminumnya perlahan.
“Enak? Kau suka?” tanya anak
laki-laki itu.
Chae Rin mengangguk dan perlahan
senyumnya mengembang. Anak laki-laki itu terlihat senang melihat senyum Chae
Rin.
“Gomawo,”
Hanya itu yang diucapkan Chae Rin
dan mereka hanya duduk di rerumputan tanpa mengatakan apa-apa lagi.
Keesokan harinya Chae Rin pindah ke
luar negeri. Ayahnya memaksa mereka untuk tinggl di luar negeri dengaan alasan
perusahaan mereka sedang mengalami masa kritis. Sejak saat itu, Chae Rin tidak
pernah melihat anak laki-laki itu, dia hanya terus meminum susu strawberry
untuk mengingat anak laki-laki itu.
“Apa kau akan terus minum susu
itu?”
Chae Rin kembali ke masa kini,
suara ayahnya menarikknya kembali ke dunia nyata.
“Susu ini tidak pernah meracuniku,
kenapa aku harus berhenti meminumnya?” ujar Chae Rin.
“Terserah kau saja, ayo pulang,”
kata ayah Chae Rin.
Chae Rin hanya mengangguk, dia
memasukkan kembali bukunya, dan beranjak menggandeng tangan ayahnya
meninggalkan gedung megah itu. Gedung yang tidak tahu apa-apa, tidak pernah
mengerti arti sebuah kenangan. Tapi tempat itu, tempat itu menyimpan sebuah
kenangan, mungkin untuk beberapa orang, termasuk anak laki-laki yang gigih dan
anak perempuan dengan senyumnya yang selalu mengembang. Tanpa tahu bahwa jarak
mereka tidak pernah sejauh yang mereka kira…
**********************************************************************
1.
Jung Yun Ho 0101300876
Yunho tersenyum di depan papan
pengumuman, namanya tertera di peringkat pertama. Itu artinya dia akan kuliah
di Universitas Korea dan tanpa biaya. Itu sudah cukup baginya. Sementara itu,
Changmin masih sibuk mencari namanya di ratusan daftar nama yang diterima.
Matanya terus mengamati tiap nama yang tertulis di papan itu. Lalu sampailah
dia pada nomor 247.
247. Shim Chang Min 0101307889
Mata Changmin terbelalak tak
percaya saat menemukan namanya ada di deretan nama-nama yang diterima di
Universitas Korea. Yunho menghampiri Changmin yang masih berdiri mematung di
depan papan pengumuman sambil terbelalak dan mulut yang sedikit terbuka.
“Ya, kau di terima?” tanya Yunho.
Changmin tidak menjawab. Dia masih
saja berdiri mematung.
“Ya, gwaenchana? Kau diterima
tidak?” tanya Yunho lagi keheranan dengan sikap Changmin.
Changmin menoleh kaku, lalu
menunjuk ke papan pengumuman. Yunho mengikuti arah telunjuk Changmin dan
melihat nama Changmin tertera di sana. Air mukanya berubah senang.
“Ya, kau di terima, kau benar-benar
lolos,” ujar Yunho sambil menepuk pundak Changmin dengan perasaan senang.
Changmin hanya menunduk.
“Ya, kau diterima, kau seharusnya
senang kan?”
Changmin mengangkat wajahnya, air
matanya sudah mengalir seperti air hujan. Yunho kaget melihat tingkah Changmin.
“Yunho!!!!” teriak Changmin sambil
memeluk Yunho.
Beberapa orang menoleh ke arah
mereka. Yunho langsung malu dengan tingkah Yunho. Tapi Changmin mennagis
semakin keras. Yunho hanya bisa menepuk-nepuk pundak Changmin. Kehidupan baru
mereka pun akan segera dimulai…
**********************************************************************
“Jadi kalian berdua diterima di
Universitas Korea?” tanya Paman Jungjin saat Yunho dan Changmin memberitahu
Paman Jungjin.
“Geure, benar-benar kejaiban aku
bisa masuk kesana paman, kalau Yunho tak perlu kaget begitu Paman,” ujar
Changmin.
“Kau benar, aku masih belum percaya
kau bisa diterima”
“Mwo ya? Apa aku sebodoh itu?”
tanya Changmin.
“Kau sendiri yang selalu bilang
otakmu itu lambat, tapi aku senang kalian bisa masuk, kuliahlah dengan baik,
jangan permalukan orang-orang yang sudah menerima kalian,”
“Paman ini bicara apa sih?” tanya
Changmin.
Mereka bertiga tertawa.
“Lalu apa kau masih akan tinggal di
sini?” tanya Changmin.
“Busun?”
“Aku akan menyewa flat, aku ingin
hidup mandiri, apa kau masih mau merepotkan Paman?” jelas Changmin.
Paman Jungjin menatap Yunho. Yunho berpikir
untuk beberapa saat.
“Ya, kau tahu seberapa besar jasa
Paman padaku, apa boleh aku meninggalkannya? Aku akan tetap tinggal di sini dan
membantu Paman, kau juga harus membantunya,” ujar Yunho.
“Kau boleh saja pergi kalau kau
mau,” kata Paman Jungjin.
“Ani, aku ingin tetap di sini,
bagaimanapun juga, Paman sudah merawatku, sekarang giliranku yang menjaga
Paman,” kata Yunho ringan.
“Kau pikir aku ini anak kecil yang harus kau
jaga?” tanya Paman Jungjin.
Mereka bertiga tertawa. Tiba-tiba
terdengar seseorang masuk ke dapur. Chae Rin datang dengan wajah berseri-seri. Tanpa
mengucapkan salam atau apapun dia duduk di sebelah Yunho.
“Bagaimana hasil pengumumanmu?”
tanya Chae Rin bersemangat.
“Kami berdua diterima,” jawab
Yunho.
“Berdua,” tanya Chae Rin.
“Denganku tentu saja, aku Changmin,
annyeong,” jawab Changmin riang.
“Oh, ne, aku Chae Rin,” ujar Chae
Rin.
“Kau sendiri?” Yunho balik
bertanya.
“Kau tidak akan percaya ini, tapi
aku benar-benar di terima, ah, aku benar-benar senang, mulai saat ini kita akan
satu universitas, pasti menyenangkan,” kata Chae Rin.
“Geure,” ujar Yunho singkat. Entah
kenapa sejak mengetahui tentang ayah Chae Rin, sikap Yunho perlahan berubah
terhadap Chae Rin. Dia merasa harus menjaga jarak dengan gadis itu. Mengetahui
semua hal itu membuat kepala Yunho sakit.
“Ya, jadi kalian bersenang-senang
tanpaku?”
Lee Joon masuk dan bergabung dengan
mereka.
“Busun ya?” tanya Chae Rin. “Kami
sedang membicarakan tentang pengumuman Universitas Korea,”
“Jadi kau kesini untuk
memberitahuku?” tanya Lee Joon.
“Begitulah, sekaligus aku ingin
mengejekmu, apa kau tidak ingin kuliah?” tanya Chae Rin.
Yunho beranjak dan membantu Paman
jungjin menyiapkan makan malam.
“Apa hidup ini hanya tentang
kuliah?” Lee Joon balik bertanya.
“Kalaupun bukan tentang kuliah, apa
iya kau akan terus bermalas-malasan?” Chae Rin balik bertanya.
“Apa aku semalas itu? Aku juga
sedang memikirkan hal ini, mungkin aku akan ikut pendaftaran gelombang kedua,
tunggulah aku pasti akan menyusulmu,” kata Lee Joon.
“Baguslah kalau begitu, sebaiknya
kau diterima,” kata Chae Rin. “Jadi kau teman Yunho?” Chae Rin menoleh ke
Changmin.
“Ne, kami sangat dekat,” ujar
Changmin.
“Ya, kalau kau terus saja bicara
seperti itu, aku akan benar-benar menendangmu keluar,” ujar Yunho.
“Wae? Dia sepertinya sangat manis,”
kata Chae Rin.
“Geure, ya Yunho, dengar itu? Aku
in sangat manis, aku juga heran kenapa kau selalu mengejekku, “
“Mwo ya? Aku benar-benar takut
padamu sekarang,”
Mereka semua tertawa. Pembicaraan
kecil itu berlangsung sampai beberapa saat kemudian. Tanpa saling menegtahui,
setiapa dari mereka memperhatikan satu sama lain. Beberapa sempat mencuri
pandang dan memperhatikan.
to be continued....
0 komentar:
Posting Komentar