Siapa pria itu? Kenapa Yunho menjadi sangat marah? A Man in Love akan menjawabnya...
……….
Sebuah rumah indah berdiri di
deretan rumah-rumah indah lainnya. Tak terlalu besar tapi terlihat begitu
nyaman dan bersih. Sang ibu selalu merawat taman mungil di depan rumah itu. Bisa
dilihat bunga-bunga kecil bermekaran di taman itu. Sebuah kolam kecil juga
menghiasi taman itu. Ada sebuah gazebo kecil di taman itu, dan empat orang
penghuninya sedang minum teh bersama sambil bercanda riang.
Yunho yang saat itu berusia enam
tahun berlari-lari kecil sambil memainkan mainan pesawatnya. Sang kakak bermain
kartu bersama sang ayah, sementara sang ibu merajut sebuah sweater, atu mungkin
syal, sesekali mengawasi Yunho yang berlarian ke sana kemari. Musim dingin akan
segera tiba.
Ditengah kebahagiaan keluarga kecil
itu, tibatiba pintu gerbang dibuka secara paksa. Terdengar pintu gerbang yang
digedor-gedor. Mereka semua menoleh. Sang ayah dan kakak berhenti memainkan
kartunya. Sang adik berhenti berlari dan segera memeluk ibunya. Sang ibu pun
menghentikan rajutannya dan menenangkan sang adik yang hampir menangis. Ayah berdiri
dan menghampiri pintu gerbang lalu membukanya. Tiba-tiba beberapa orang
menyeruak masuk. Ayah terkejut dan mundur beberapa langkah ke belakang. Ibu,
kakak, dan adik berpelukan satu sama lain.
“Kami sudah muak padamu, kenapa kau
tidak mau menjual tanah itu pada kami?” salah seorang dari mereka berbadan
besar berteriak ke arah ayah.
“Sampai kapanpun aku tidak akan
menjual tanah itu!” ujar ayah tegas.
“Kami akan bayar berapapun yang kau
minta, apa susahnya menjual tanah itu?” tanya orang berbadan besar yang
lainnya.
“Tanah itu adalah warisan keluarga,
tidak akan pernah aku menjualnya walau kau membayar dengan semua yang ada di
dunia ini,” kata ayah lagi.
“Apa katamu?” orang berbadan besar
lainnya kini menarik kerah baju ayah.
Ibu, kakak, dan adik malihat dengan
penuh ketakutan di beranda rumah mereka.
“Kau mau memukulku? Aku bisa saja
memanggil polisi dan melaporkan kalian,” kata ayah mulai gusar. Mendengar itu
lelaki berbadan besar itu melepaskan cengkramannya.
“Buatlah ini jadi mudah, juallah
tanah itu pada kami, dan kita selesaikan urusan kita,” kata lelaki berbadan
besar yang pertama.
“Tidak, sampai kapanpun tidak akan,”
kata ayah tegas.
“Arrgghh!!!! Kami harus minta
seperti apa lagi hah? Kau ini keras kepala sekali!” mereka mulai berteriak.
Tapi sang ayah masih tetap teguh
pada pendiriannya. Dia tidak akan pernah mau menjual tanah yang menjadi warisan
keluarga mereka. Apalagi saat dia mendengar kalau di tanah itu akan dibangun
kasino yang besar. Dia tidak rela tanah pemberian orang tuanya itu digunakan untuk
hal-hal yang tidak pada temptnya. Tanah itu memang sangat strategis dan
menjanjikan keuntungan yang sangat besar. Bisa saja dia menjual dengan harga
yang sangat tinggi, tapi dia mempunyai rencana lain, semua demi masa depan
kedua anaknya.
Saat hampir terjadi keributan,
seorang pria masuk. Dia memakai sebuah tongkat kayu, wajahnya tersenyum ramah. Para
pria berbadan besar cepat-cepat membungkukkan badan mereka dan mundur beberapa
langkah dan memberi jalan untuk pria bertongkat itu. Sang ayah memendangnya
tajam.
“Kau masih belum menyerah juga?”
tanya sang ayah sambil melepas cerutu dari mulutnya.
“AKu tidak akan menyerah, aku punya
penawaran baru,” kata pria bertongkat itu tenang.
“Aku tidak tertarik dengan apapun
penawaranmu,” ujar ayah ketus.
“Tapi kali ini kau pasti akan
menyetujuinya,” kata sang pria bertongkat tenang. “Juallah tanah itu padaku,
dan aku akan membangunkan kau sebuah rumah sakit impianmu, dimanapun kau mau,
aku bisa membuatnya untukmu, kau tinggal sebut tempat dan kapan aku harus
menyelesaikannya, dan sebuah rumah sakit impian akan segera berdiri untukmu,
anggap saja ini hadiah dari seorang teman lama,”
Ayah diam menatap pria bertongkat
itu. Sepertinya dia mulai berpikirkan. Akankah pendiriannya goyah? Rumah sakit
memang impiannya sejak masih kuliah di universitas kedokteran dulu. Sekarang dia
sudah menjadi dokter dengan predikat yang baik, tapi dia masih belum mampu
membangun rumah sakit impiannya itu. Masih banyak yang perlu dilakukan untuk membuat
sebuah rumah sakit berdedikasi tinggi. Ini adalah kesempatan untuknya, dia bisa
membangun sebuah rumah sakit pada akhirnya, tapi dia tidak ingin rumah sakitnya
ini adalah sebuah bayaran untuk sebuah warisan. Dia tidak ingin mengotori rumah
sakit dengan hal-hal seperti ini. pria bertongkat tersenyum melihat ayah yang
mulai ragu memikirkan tawaran ini. Namun, tiba-tiba ayah tersenyum.
“Kalau kau ingin memberiku hadiah,
bangunkan aku sebuah rumah sakit di tanah warisan orang tuaku itu, di tanah
yang ingin kau beli, bagaimana kau berminat?” tanya sang ayah tenang.
“Apa katamu?” pria bertongkat mulai
geram.
“Kenapa? Bukankah kau yang menawarkan padaku?”
“Kau ini benar-benar keras kepala! Sombong
sekali kau ini, hanya menjual tanah siala itu saja kau tidak mau, kau mau
sesuatu yang buruk terjadi padamu?” ancam pria bertongkat.
“Aku tidak takut pada semua
ancamanmu, tanah itu milikku, milik keluargaku, aku punya hak untuk melakukan
apapun dengan tanah itu,” kata ayah keras.
“Kalian, buat dia mengatakan iya,”
perintah pria bertongkat pada pengawalnya.
Mereka mengangguk lalu mencengkeram
baju ayah. mereka mulai memukuli ayah. Ibu, kakak, ddan adik berteriak histeris
melihat ayah dipukuli. Sang adik mulai menangis keras melihat semua pemandangan
itu. Dia menatap sang pria bertongkat yang tersenyum licik melihat ayah
dipukuli. Mulai saat itulah timbul kebencian di dalam hati sang adik.
Beberapa hari kemudian, masih
terlihat beberapa luka memar di wajah sang ayah. Ayah tetap tidak menyetujui
tanahnya dijual. Orang-orang itu pergi meninggalkan ayah yang luka parah, ibu
segera menghampiri ayah dan membawa ayah masuk dan merawat luka ayah. sang adik
menangis tersedu-sedu, sementara kakak menenangkan adik. Ayah sudah siap akan berangkat
ke rumah sakit saat pintu diketuk dari luar. Ibu berlari dari dapur dan membuka
pintu. Lalu semua hal itu terjadi, tanpa alasan yang pasti, ayah dipecat dari
rumah sakit, rumah mereka di sita oleh bank, dan mereka harus meninggalkan rumah hari ini juga. Semua orang terkejut dan terpukul.
Mereka tidak mengerti apa yang
terjadi, terutama sang adik, sampai akhirnya pria bertongkat datang dan
menawarka kebaikannya asal mereka mau menjual tanah itu. Mereka menyadari kalau
semua ini adalah trik dari pria bertongkat. Pria bertongkat itu adalah orang
yang memiliki kuasa dan wewenang yang besar di negeri ini. akan mudah untuknya
membuat semua ini terjadi. Namun ayah masih tetap teguh pada pendiriannya. Mereka
lebih memilih tinggal di apartemen kecil di pinggir kota dan memulai kehidupan
baru. Sang ayah dan ibu harus bekerja keras untuk menghidupi keluarga, terutam
kedua anak mereka. Kehidupan mereka yang nyaman dan bahagia, kini hanya tinggal
kenangan, mereka harus melakukan segala hal untuk bertahan hidup.
Lalu terjadilah kecelakaan itu. Semua
keluarga sedang dalam perjalanan hendak ke sekolah sang adik untuk melihat
pertunjukan music sekolah. Tiba-tiba sebuah mobil menabrak mobil mereka. Ayah yang
sedang menyetir terkejut dan tidak sempat melakukan apa-apa. Mobil mereka
terguling ke samping dan berputar-putar di jalan beberapa kali. Bersamaan dengan
itu ada sekawanan polisi yang sedang mengejar penjahat. Adik yang masih
tersadar berusaha keluar dari mobil. Dilihatnya sang ibu juga keluar dari
mobil. Tapi ibu luka parah. Ayah bahkan tak bisa tertolong lagi. Sang ayah
menghembuskan nafas terakhirnya di tempat kejadian. Jalanan ramai dan macet
tiba-tiba.
Polisi itu berlari melewati
kecelakaan yang terjadi. Adik menggenggam tangan ibunya yang sudah setengah
sadar. Luka di kepalanya sangat parah. Dia harus segera di tolong. Polisi itu
menatap sang adik sejenak.
“Ahjussi, tolong kami, ibuku luka
sangat parah,” kata adik terisak pelan.
“Sebentar lagi ada ambulan,
tunggulah,” kata polisi itu sambil melihat sekitar, mencari penjahat yang kabur
tadi.
“Tapi ibuku harus segera ditolong,”
kata adik memohon.
“Berisik, kau ini mengganggu saja,”
Lalu pergilah polisi itu. Polisi
berwajah seram itu meninggalkan adik yang menaingis tersedu-sedu. Lalu saat
itulah genggaman sang ibu mengendur. Dan sejak saat itulah sang adik kehilangan
orang tuanya untuk selama-lamanya. Suara sirine terdengar dari kejauhan. Sang adik
memandang sekelilingnya. Orang-orang ramai berkumpul di tempat itu. Lalu disana,
adik melihat pria itu, memakai kacamata hitam dan berdiri dalam diam dengan
tongkat kayunya. Saat itulah kobara dendam menyala di dalam dada sang adik, dia
bersumpah suatu saat akan membalaskan dendam orangtuanya pada pria itu. Pria yang
telah mengambil semua yang dia punya, pria dengan tongkat kayu. Seseorang berlari
ke arah sang adik, seorang pria setengah baya, seorang pelayan keluarga, Pak
Jungjin.
“Yunho-aa,” teriak pria itu.
Lalu semua menjadi gelap untuk sang
adik, Yunho..
……..
“Wah
kalian sedang apa?” tanya pria bertongkat itu ramah.
“Kami
sedang membicarakan soal ujian masuk universitas Paman,” jawab Yunho.
“Benar, sebentar lagi kalian akan
masuk perguruan tinggi, kalian sudah besar ternyata,” kata pria itu.
Yunho menelan ludah menatap pria
itu. Pria kejam yang mengambil semua yang dia punya. Sampai kapanpun Yunho tidak
aka pernah memaafkan pria itu.
“Siapa ini?” tanya pria bertongkat
sambil menatap Yunho.
“Dia keponakan saya Tuan,” jawab
Paman Jungjin.
Yunho hanya diam. Bahkan saat pria
itu tersenyum padanya, dia memalingkan wajahnya. tidak seperti biasanya Yunho
seperti itu. Biasanya dia akan menyapa orang dengan ramah, bahkan terkadag dia
kan memberi gurauan. Tapi mengingat pria ini adalah penyebab hidupnya
berantakan, apa bisa dia bersikap ramah penuh kelembutan pada pria itu. Paman Jungjin
menatap Yunho yang berbeda dari bisanya, namun dia segera mengalihkan
pandangannya pada teh yang sedang dia buat.
“Paman tidak tahu kan? Paman kan
lama di luar negeri, jadi tidak tahu apa yag terjadi, kapan Paman pulang?”
tanya Lee Joon.
‘Beberapa bulan yang lalu, tapi
Paman harus menjalani pengobatan, jadi baru bisa kemari sekarang, mana ayahmu?”
ujar pria itu.
“Dia sedang menerima tamu,
tunggulah sebentar,” kata Lee Joon.
“Baiklah,” pria itu duduk bergabung
bersama mereka. Kenapa kau diam saja
anak cantik?” tanya pria itu pada Chae Rin.
“Tidak apa-apa,” jawab Chae Rin.
“Apa kau masih marah?” tanya pria
itu lagi.
“Aku tidak marah,” ujar Chae Rin.
“Memangnya dia kenapa Paman?” tanya
Lee Joon.
“Kau tahu, masa sudah sebesar ini
masih mengajak ke taman bermain,” ujar pria itu berkelakar.
“Appa!!!!” Chae Rin berteriak
merajuk. Wajahnya merah.
Appa?? Yunho menoleh penuh
keterkejutan. Appa?? Jadi pria ini ayah Chae Rin? Yunho menatap keduanya
bergantian. Apa ini sebuah kebetulan? Tapi kenapa kebetulan seperti ini
terlihat sangat tidak adil bagi Yunho? Kenapa Chae Rin harus menjadi anak pria
itu? Kenapa Chae rin yang selama ini dikenalnya baik dan ramah itu anak pria
kejam ini? Pikiran-pikiran itu berkecamuk di kepala Yunho. Tiba-tiba Yunho
berdiri dan memohon diri untuk keluar. Lee Joon sempat bertanya tapi tak
dihiraukan Yunho. Dia pergi meninggalka ruang makan menuju kamarnya. Paman Jungjin
menatapnya sedih. Kebetulan memang terkadang terlihat mengerikan…
to be continued...
**********************************************************************
0 komentar:
Posting Komentar