Apa iya Dong Hae tidak bisa bernyanyi lagi?? In My Dream Part 6 for you...
“Ya, Ji Hyun-aa, kau lama sekali?
Kakimu tidak apa-apa kan?”
“Ah, Hye Ri-aa, mianhae, tadi Dokter
Ji Hoon sedang ada urusan, jadi aku menunggunya sebentar, nan gwaenchana,”
“Syukurlah. Apa kau sudah
dengar?”
“Mwo ya?”
“Kita akan melakukan pelatihan
khusus di luar selama tiga hari, bukankah itu sangat menyenangkan?”
“Jjinjja?”
“Jeongmal yo, kau ini kemana
saja? Kenapa kau selalu saja tidak tahu berita-berita penting? Latihan akan
dimulai hari senin, kita harus bersiap-siap,”
“Semua anggota tim basket akan
ikut?”
“Geurom, aku sudah tidak sabar,”
Aku hanya tersenyum. Pelatihan
khusus?
*************************************************************
Hari pelatihan khusus akhirnya tiba. Kami
pergi dengan naik bus sekolah. Ada 15 siswa dan Pelatih Kim, Dokter Ji Hoon,
serta Bu Guru Lee, wali kelasku, yang
pergi bersama kami. Kami memnyanyi bersama selama perjalan ke tempat latihan.
Ternyata kami akan latihan di alam terbuka. Kami akan mendirikan tenda,
memasak, dan tentu saja kami akan berlatih basket. Tempat ini sangat
menyenangkan, dan entah kenapa ada sebuah lapangan basket di perbukitan seperti
ini.
Aku menghirup udara pegunungan
yang sangat segar. Sudah lama sekali aku tidak pernah meghirup udara sesegar
ini. kami besama-sama mendirikan tenda. Aku satu tenda dengan Hye Ri. Ternyata
cukup susah mendirikan sebuah tenda. Kami sempat beberapa kali gagal sampai
Pelatih Kim membantu kami untuk mendirikan tenda. Hampir satu jam kami
mendirikan semua tenda yang ada. Kemudian ada pembagian tugas untuk hari itu.
Dan entah apa yang ada di pikiran Bu Guru Lee sehingga dia memilihku untuk
tugas memasak hari itu. Apa dia tidak tahu aku pernah hampir membakar dapur
rumahku? Ah, tentu saja dia tidak tahu.
Setelah pembagian tugas, Bu Guru
Lee langsung menyuruhku ke tenda memasak. Aku hampir saja menolaknya, tapi
karena semua orang sudah mulai melakukan tugasnya, aku hanya menurut dan ke
tenda memasak. Aku menatap bingung pada semua bahan masakan yang ada di sana.
Bagaimana aku bisa memasak? Untuk menyebutkan nama bahan masakan itu saja aku
tidak akan bisa. Ah, aku membuka ponselku dan mencari-cari resep di internet.
Apa yang harus kumasak? Aku mulai mengambil kentang dan berusaha memotongnya.
Kenapa sulit sekali.
“Apa kau mau makan kentang dengan
kulitnya? Minggir!”
Dong Hae datang dan merebut pisau
dariku.
“Kau seperti akan memotong
jari-jarimu,”
“Ya, apa kau tidak melakukan
tugasmu?”
“Tugasku cuci piring, dan kalau
kau tidak cepat menyiapkan makanan, apa yang bisa kucuci?”
Dia mulai mengupas ketang satu
per satu dan mencucinya.
“Ya, kau bisa masak?”
“Setidaknya lebih baik
dibandingkan kau,”
Dia mulai memotong semua bahan
masakan. Uwa, dia cekatan sekali.
“Wah, daebak, kau sangat cepat,
dimana kau belajar masak?”
“Saat SD aku selalu masak
sendiri, jadi aku sudah sangat hebat sejak SD,”
“Geure yo??”
“Aku bohong, aku bercanda,”
“Ya, kau bisa bercanda??”
Dia tidak menjawab dan terus
memanaskan kaldu. Memotong-motong daging dan tahu, mencampurkan bumbu-bumbu dan
mengolah kari.
“Wah, kau seperti koki. Koki!”
aku melakukan sikap hormat kepadanya.
“Kalau begitu kau asisten koki,
airnya sudah mendidih, cepat kau masukkan sayurannya,”
“Siap koki!”
Akhirnya kami berdua memasak
bersama. Ternyata dia cukup pandai memasak. Aku tidak pernah tahu kalau seorang
Lee Dong Hae bisa memasak. Aku bahkan berani bertaruh kalau dia hampir tidak
mengenal dapur. Tapi ternyata dia sangat cekatan mengolah semua bahan masakan.
Kenapa dia begitu banyak rahasia?
“Ya, apa kau sudah sangat lapar
dan ingin memakanku? Kenapa melotot padaku seperti itu?”
“Oh, aniyo,”
Ternyata aku terus-terusan
menatapnya. Ya, Ji Hyun-aa, kenapa kau tidak bisa menjaga sikapmu? Babo! Aku
memukul-mukul kepalaku pelan. Ssetelah hampir satu jam kami memasak, makanan
pun siap dihidangkan. Kami menata makaanan di meja panjang dan memanggil semua
orang untuk makan. Pelatih dan guru makan secara terpisah. Sepertinya mereka
makan makanan cepat saji. Disini kami memang harus mandiri. Tapi sebenarnya ini
tidak adil menurutku.
“Ya, Ji Hyun-aa, kau yang memasak
ini semua?” tanya Heechul Sunbae, dia adalah ketua tim kami.
Aku hanya tersenyum.
“Jjinjja? Tak kusangka kau bisa
masak,” kata Hyuk Jae.
“Aku benar-benar tidak tahu kau
bisa masak,” kata Hye Ri.
“Kau tidak menambahkan micin kan?
Atau jangan-jangan kau memakai bumbu ramen instant?” tanya Jong Hwa, dia memang
sangat menyebalkan.
“Sudahlah, manhi mokcha!” kata
Heechul sunbae.
Kami semua pun makan. Aku menoleh
pada Dong Hae dan tersenyum.
“Waa, massitta!! Kau benar-benar
berbakat!” kata Hyuk Jae.
“Benar Ji Hyun, ini enak sekali,”
tambah Hye Ri.
“Oh, ne??”
Aku mencoba masakannya. Benar,
ini benar-benar enak. Aku menoleh pada Dong Hae lagi. Aku membentuk kata enak
dan dia hanya tersenyum. Semua orang tampaknya senang dengan masakan buatan
kami, sebenarnya buatan Dong Hae, tapi kan aku juga membantu. Bagaimana dia
bisa membuat masakan seenak ini? Benar-benar mengejutkan. Untunglah dia bisa
masak jadi aku tertolong kali ini.
Setelah makan, kami mulai
melakukan latihan pemanasan. Kami lari mengelilingi tempat kemping selama
beberapa kali. Kami juga melakukan berbagai pemanasan dengan menggunakan bola
basket. Kami tidak bisa bersantai di sini. Jangan harap bisa bersantai di bawah
pelatihan Pelatih Kim. Dia adalah pelatih dari neraka. Kalau kau tidak ingin
kena api neraka, maka kau harus serius saat latihan.
Latihan berlangsung hingga malam.
Kami sempat bertanding bebrapa kali. Aku merasakan badanku remuk redam. Aku
sepertinya merasakan sedang menjalani pelatihan militer. Kami memang tidak
harus merangkak di tanah, tapi ini sama saja. Aku merasakan tubuhku terpisah
satu sama lain. Setelah latihan selesai, aku istirahat sebentar dan madi. Segar
sekali mandi setelah latihan, benar-benar seperti hidup kembali.
Setelah makan malam, aku menyusul
teman-temanku yang sedang menyalakan api unggun. Mereka sedang ngobrol dan
minum coklat panas. Ada yang membawa gitar dan beberapa dari mereka mulai
bernyanyi. Aku menikmati hangatnya api unggun. Udara malam dingin sekali.
“Ya, Dong Hae, bernyanyilah untuk
kami sebuah lagu,” kata Heechul sunbae.
Dong Hae yang sedang membuat
coklat panas, menoleh dan menggeleng.
“Ayolah, sebuah lagu saja, hibur
kami,”
Aku menatapnya dan dia akhirnya
mendekat ke api unggun. Jong Hwa memberikan gitar padanya dan dia mulai
bernyanyi. Kami semua diam mendengarkan dia bernyanyi. Bahkan pelatih Kim, Dokter ji Hoon, dan Bu Guru Lee ikut mendekat
dan mendengarkan dia bernyanyi. Dia selalu bernyanyi dengan sangat indah.
Suaranya begitu menyentuh dan dia selalu menghayati setiap lagu yang dia
nyanyikan. Sepertinya dia selalu bisa menyampaikan pesan kepada setiap pendengarnya
dengan lagu yang dia nyanyikan.
Sebuah lagu selesai dia
nyanyikan, dia terbatuk di akhir lagu. Dokter Ji Hoon langsung mendekatinya.
“Gwaenchana?” tanyanya panik.
“Nan gwaenchana,” Dong Hae
terlihat aneh sejenak.
Malam itu berlanjut. Semua orang
bernyanyi dan bersenang-senang. Sampai saatnya untuk tidur. Aku tidak bisa
tidur malam itu. Ini tidur di alam bebas pertama bagiku, sebelumnya aku tidak
pernah tidur ditanah, tidak pernah untuk hal sungguhan. Kulihat Hye Ri sudah
terlelap. Seharusnya aku seperti dia, tidur nyenyak karena kelelahan. Tapi aku
bahkan tidak merasa mengantuk sama sekali. Aku membuka tendaku. Di luar sangat
sepi. Aku keluar dari tendaku tanpa mengeluarkan suara.
Aku berjalan-jalan di sekitar
tempat perkemahan. Aku berjalan agak jauh dari tenda. Ada sebah pohon besar di
sana. Di bawah, ada aliran sungai dan aku bisa melihat seluruh kota dari sini.
Kenapa ada pemandangan seindah ini? Aku duduk diantara akar-akar pohon besar
yang menyembul dari dari tanah. Aku memandang langit.
“Uwaa, yeoputta!!”
Banyak sekali bintang di langit.
Tanpa ada awan sedikitpun.
“Kau bisa dihukum kalau ketahuan
ada di sini,”
Aku menoleh. Aku melihat Dong
Hae.
“Kau sendiri?”
Dia tidak menjawab. Dia berjalan
dan kemudian duduk tak jauh dari tempatku duduk. Kami diam memandang
pemandangan di bawah kami.
“Kenapa kau di sini?” tanya Dong
Hae.
“Aku tidak bisa tidur, sepertinya
aku tidak terbiasa tidur di tanah,”
Dia diam lagi. Aku ingin bertanya
banyak hal padanya. Dia sangat misterius. Sangat berbeda saat aku melihatnya di
televisi. Aku sangat menyukainya saat dia tersenyum menyapa para penggemar,
saat dia bernyanyi, saat dia menari, saat dia tertawa di depan penonton, aku
selalu membayangkan dia adalah orang yang sangat menyenangkan. Aku sangat
menyukai matanya saat dia bernyanyi di atas panggung. Aku memang belum pernah
melihat dia bernyanyi di atas panggung, aku selalu menonton di televisi atau di
internet. Aku sangat menyukai gayanya, aku, aku menyukainya? Aku menggelengkan
kepalaku. Aku suka dia karena dia artist berbakat. Wajar kan seperti itu?
Bukankah fans menyukai artist idolanya?
“Apa kau begitu suka menatapaku?”
“Oh!” aku terkejut mendengar
kata-katanya. Apa dari tadi aku menatapnya?
“Apa aku sangat menawan?”
“A.. Ani.. Apa maksudmu?”
Dia hanya tertawa kecil. Ah, dia
sangat tampan saat tertawa.
“Ya, Dong Hae-ssi, kau akan terus
bernyanyi kan?”
“Mworago?” dia menoleh padaku
penuh tanda tanya.
“Maksudku, kau tidak akan berhenti
bernyanyi kan?”
“Itu bukan urusanmu,” dia menatap
pemandangan dibawah.
“Tentu saja itu urusanku,”
aishhh, apa yang kukatakan?
“Mwo? Kau ini siapa berani
berkata seperti itu?” Dong Hae terdengar marah.
“Aku.. aku.. Aku adalah fans mu,
jadi apa yang terjadi padamu, itu penting untukku,” aku semakin ngelantur.
“Itu bukan urusanmu,”
“Tapi kau harus tetap bernyanyi,
bagaimanapun juga itu impianmu kan? Kau harus terus berusaha walaupun kau harus
menjalani operasi, kau tidak boleh berhenti,”
Kini Dong Hae menatapku tajam.
“Darimana kau tahu aku harus
operasi?”
“Oh.. itu.. ituu.. aku tadi tidak
sengaja mendengar kau berbicara dengan Dokter Ji Hoon, mianhae, tapi bukankah
itu tidak penting, operasimu lebih penting,”
“Tentu saja itu penting,
bagaimana kalau orang lain tahu?”
“Mianhae.. Jeongmal mianhae,
aku.. aku hanya..”
Tiba-tiba terdengar suara. Itu
suara Heechul sunbae. Kami berdua terkejut dan ketakutan. Dong Hae menarik
tanganku dan membawaku ke balik pohon besar itu. Ada celah untuk bersembunyi di
sana. Omo! Dia sangat dekat denganku dan kenapa aku berdebar-debar seperti ini?
dia melingkarkan tangannya di pundakku. Aku menahan napasku. Bukankah dulu kami
pernah berpelukan? Tapi kenapa sekarang aku merasa sangat gugup seperti ini? Suara
langkah kaki Heechul sunbae semakin dekat, aku bahkan bisa melihat cahaya
senternya. Aku merapatkan tubuhku dan memejamkan mataku. Debaran di dadaku
sangat mengganggu. Bagaimana kalau Dong Hae mendengarnya?
Setelah beberapa saat, Heechul
sunbae sepertinya sudah pergi. Aku dan Dong Hae keluar dari persembunyian kami.
Kami berdiri di sana tanpa mengatakan apapun. Aku memandang sekelilingku untuk
menghilangkan gugupku. Dong Hae mendekatiku, aku semakin gugup.
“Jangan sampai seorangpun tahu
tentang ini, dan jangan campuri urusanku,”
“Mwo ya? Tapi.. Kau..”
Dong Hae berbalik pergi sebelum
aku sempat berkata apa-apa.
“ya, Dong Hae-ssi, aku tak akan
membiarkannya, kau tidak boleh berhenti bernyanyi, kau harus tetap bernyanyi,
ya! Dong Hae-ssi, aiiisshh” aku berteriak padanya.
Aku menghela nafas panjang.
Kenapa jadi seperti ini? aku harusnya tidak berkata apapun. Aisshh, aku ini
bodoh sekali. Aku terus berada di tempat itu untuk beberapa saat.
Pagi-pagi sekali kami dibangunkan
dan harus melakukan lari keliling area perkemahan sebanyak sepuluh kali. Aku
masih sangat mengantuk, sepertinya aku hanya tidur selama beberapa menit. Dan
aku harus bangun di pagi sedingin ini? Kami juga harus keluar masuk hutan. Kami
berhenti untuk sarapan. Setelah itu kami melanjutkan latihan kami. Pelatih Kim
benar-benar memberikan pelatihan khusus dari neraka. Kami harus benar-benar
mngeluarkan seluruh tenaga kami hari itu. Pelatih Kim memberikan banyak
strategi baru kepada kami. Dia terus saja berteriak kepada kami agar kami tetap
bersemangat. Sebenarnya dia tidak perlu berteriak. Kami sudah sangat
bersemangat hari itu. Tapi itulah Pelatih Kim, pelatih dari neraka.
Setelah beberapa set
pertandingan, kami beristirahat untuk sesaat. Aku merasa badan dan
tulang-tulangku terpisah. Keringat membasahi sekujur tubuhku. Kami semua
seperti sudah kehilangan nyawa. Tapi sebenarnya latihan ini sangat
menyenangkan. Pelatih Kim selalu membiarkan kami melakukan apa yang kami mau.
Pelatih Kim selalu memberikan ruang untuk kami mengembangkan kemampuan kami.
“Apa kalian lelah?”
Apa pertanyaan itu perlu? Tentu
saja, aku bahkan sudah hampir mati.
“Neee…” jawab kami bersama-sama.
Aku tidak ikut menjawab.
Bu Guru Lee membagikan minuman
dingin kepada kami. Aku langsung meneguknya hingga hampir habis.
“Kalian harus meningkatkan
kemampuan kalian, jangan pernah takut dengan lawan kalian, kalian bermain dalam
tim, teman kalian adalah nadi kalian, nadi tidak berdiri sendiri, nadi saling
berhubungan untuk bisa memompa darah ke jantung, kalian harus bisa menjaga kerja
sama tim, kalian adalah satu, araji??”
“Ne, aigesemnida!!!” jawab kami
bersamaan.
Pelatih menyuruh kami untuk
bertanding sekali lagi sebelum latihan diakhiri siang itu. Aku benar-benar
sudah tidak punya tenaga. Aku menyesal hanya makan sedikit saat sarapan,
sekarang aku merasa sangat lelah. Aku hanya berlari kesana kemari dan beberapa
kali memegang bola. Tiba-tiba seseorang menendang kakiku. Aku limbung dan
terjatuh. Aku merasa kakiku sangat sakit. Aku terbaring di lapangan, aku tidak
berusaha untuk bangun, aku tak punya kekuatan bahkan untuk membuka mata.
Nafasku naik turun.
“Ya, Ji Hyun-aa, gwaenchana??”
Aku sedikit membuka mataku.
Pelatih Kim, Hye Ri, Heechul sunbae, dan Hyuk Jae mengerumuniku.
‘Hhh.. hhh.. ne, gwaenchana,”
kataku sambil terengah-engah.
“Apa kau merasa ada yang sakit?”
tanya Pelatih Kim.
Aku mengangguk dan tangan lemasku
menunjuk mata kakiku. Kurasakan sakit mulai menjalar ke seluruh kakiku. Pelatih
Kim memeriksa pergelangan kakiku.
“Kau terkilir, kau bisa bangun?
Pergilah ke tempat Dokter Ji Hoon, dia akan merawatmu, yang lain kembali ke
permainan, ”
Aku mencoba untuk bangun. Aku memang
bisa bangun, tapi sangat sakit untuk berjalan. Aku berjalan terpincang-pincang
menuju tenda kesehatan. Sakit sekali. Tiba-tiba pelatih Kim sudah disampingku
dan memapahku. Dia membawaku ke tenda kesehatan dan Dokter Ji Hoon dengan sigap
melihat lukaku. Kakiku terlihat membiru saat kaos kakiku di lepas.
“Lukamu tidak terlalu serius,
hanya terkilir ringan, aku akan memberi krim dan membungkusnya dengan perban,
dua hari pasti sembuh, bagaimana kau bisa jatuh?”
“Entahlah, sepertinya aku tidak
berkonsentrasi sehingga aku terpeleset,” aku tidak mungkin mengatakan seseorang
sengaja menendangku. Pelatih Kim akan sangat marah.
“Berhati-hatilah lain kali,
kakimu adalah asset terbesarmu saat ini,” kata Dokter Ji Hoon terus saja mengoceh sambil membungkus kakiku dengan
perban.
“Jadi aku tidak bisa mengikuti
latihan?”
“Kau ini bicara apa? Kau
mengigau? Apa kau pernah melihat sesorang dengan kaki dibungkus perban seperti
mumi berlarian memasukkan bola dalam ring?” Pelatih Kim mulai mengoceh.
Aku menggeleng pelan.
“Sudahlah, kau istirahat saja,
biarkan kakimu istirahat, sehingga kau bisa ikut dalam pertandingan,” kata
Dokter Ji Hoon bersamaan dengan dia membungkus kakiku.
“Ne, araso,”
“Kau tinggallah dengan Dokter Ji
Hoon, dengarkan setiap kata-katanya,”
Lalu Pelatih Kim keluar dan
menghilang di balik tenda. Aku mendengus kesal
“Kenapa dia suka sekali
teriak-teriak? Apa dulu dia besar di hutan?”
“Tepatnya hutan belantara,”
“Tidak heran kalu sifatnya
seperti gorilla, harusnya dia jadi pelatih singa sirkus saja, mereka pasti jadi
sahabat baik,”
Doter Ji Hoon hanya tersenyum
mendengar celotehanku.
“Nah, sudah selesai, kau
istirahatlah, jangan terlalu banyak gerak,”
Aku mengangguk. Aku tiduran di
tempat tidur tenda kesehatan. Badanku terasa sakit semua. Aku menatap
langit-langit tenda. Dokter Ji Hoon terlihat sedang membuat teh. Aku mengambil
ponsel di sakuku dan mulai membuka internet. Ada beberapa berita tentang Dong
Hae yang terancam gagal kontrak dengan label internasional.
“Kau mau teh?” Dokter Ji Hoon menyodorkan
secangkir teh padaku.
“Ah, khamsahamnida,” aku
meyeruput teh panas itu. “Uwaa, enak sekali,”
Dokter Ji Hoon hanya tersenyum.
“Aku akan keluar sebentar, kau
tetaplah di sini,”
“Ah, ne, araso,”
Dokter Ji Hoon keluar dari tenda
dan aku sendirian di tenda. Aku harus bagaimana ya? Lalu aku hanya berbaring
menatap langit-langit tenda sampai seseorang masuk.
Ya, hyung, aku merasakan
tenggorokanku..”
Katak-kata Dong Hae terhenti saat
menyadari Dokter Ji Hoon tak ada dan hanya melihatku dengan wajah terkejut. Aku
lebih terkejut lagi.
“Hyung? Jadi dokter Ji Hoon
adalah kakakmu?”
“Apa kau pikir semua orang yang
kupanggil hyung adalah kakakku?”
“Tapi, tapi…”
“Sudahlah Dong Hae, kenapa harus
disembunyikan?”
Tiba-tiba Dokter Ji Hoon masuk ke
dalam tenda. Aku menatap dua namja di hadapanku. Kejutan apa lagi ini? kenapa
harus aku yag menerima semua kejutan ini? bukankah di berita Dong Hae anak
tunggal? Tapi bukankah memang harus menghormati yang lebih tua? Wajar kan Dong
Hae memanggilnya hyung? Dokter Ji Hoon lebih tua darinya.
“Kami memang saudara, tapi
memiliki saudara yang tidak popular bagi seorang artis tidak terlalu baik untuk
sang artis kan?” kata Dokter Ji Hoon dengan santai.
Dong Hae mendengus.
“Jjinjja?? Jadi kalian saudara?”
Bukannya menjawan, Dong Hae
beringsut meninggalkan tenda. Aku hendak mengejarnya tapi ternyata kakiku
sangat sakit untuk bergerak.
“Dia memang seperti itu, sangat
pemarah dan kekanak-kanakan, jangan beritahu siapapun kalau kau tidak ingin
melihatnya mengamuk. Dia akan sangat tidak suka kalau orang lain tahu aku
adalah hyungnya,” kata Dokter ji Hoon sambil memeriksa kertas-kertas di
mejanya. “Sebenarnya dia tadi mau apa? Apa dia tadi mengatakan tentang
tenggorokan?”
Aku benar-benar di antah berantah
sekarang. Dokter Ji Hoon berbicara seolah-olah dia mengatakan “Hei, jangan
makan permen, nanti gigimu sakit,” padahal dia melarangku untuk mengatakan
rahasia besar. Tapi kenapa dia bisa sesantai itu? Kalau aku tidak dianggap
saudara oleh eonnieku sendiri, aku pasti akan marah. Aku ingin bertanya, tapi
entah kenapa aku sangat sungkan pada Dokter Ji Hoon.
“Apa yang ingin kau tanyakan?”
Aku terkejut. Apa keluarga mereka
bisa membaca pikiran?
“Kau melihatku seperti ingin
menelanku bulat-bulat, sangat jelas kau ingin mengetahui sesuatu kan?”
Aku mengangguk pelan.
“Apa yang ingin kau ketahui dari
dua orang kakak beradik yang tidak akur? Bukankah hal biasa kalau ternyata dua
orang memiliki hubungan darah? Setidaknya aku berpikiran seperti itu,” kata
Dokter Ji Hoon duduk di sampingku.
“Kenapa kau berpikiran seperti
itu, ini memang tidak aneh, hanya saja..”
“Hanya saja dia seorang artis
kan?” Dokter Ji Hoon memotong perkataanku. Dan memang itulah yang ingin
kukatakkan. Aku mengangguk pelan.
“Hanya karena dia artis, kenapa
tidak mengakui sebuah keluarga? Aku sedikit kecewa padanya. Hubungan kami
sebenarnya tidak buruk. Hanya kami tidak punya waktu untuk memahami satu sama
lain. Aku adalah aturan ayah, dan dia adalah anak yang melanggar semua aturan
ayah. Aku menjadi dokter adalah keinginan ayah, mungkin dia sedikit beruntung
karena memiliki keberanian melawan ayah. Seharusnya aku yang membencinya. Dia
membuat kekacauan dan pergi dari rumah. Ayah sangat marah. Dan setelah itu
eomma menjadi sakit-sakitan. Ayah menginginkan Dong Hae menjadi sepertinya,
diplomat, pengacara, atau apapun itu. Menjadi penyanyi tidak pernah ada di
daftar ayah. tapi dia melawan dan pergi dari rumah. Sampai saat ini pun Dong
Hae tidak pernah pulang ke rumah. Kami sangat merindukannya. Terutama eomma.
Dia sangat ingin Dong Hae pulang. Aku mencoba berdamai dengannya, tapi
sepertinya dia menjaga jarak denganku. Aku sengaja menjadi dokter pribadinya,
tapi sepertinya dia tak tergoyahkan. Dia tidak mau public tahu karena dia tidak
ingin keadaan keluarganya menjadi sorotan. Ah, kenapa kau harus mendengarkan
kisah keluargaku? Mianhae.” Kata Dokter Ji Hoon tiba-tiba serba salah.
“Ani, gwaenchana, aku senang kau
mau menceritakan itu padaku, setidaknya aku berguna di sini,” aku tersenyum dan
dia menatapku dengan tatapan aneh. Entah kenapa sepertinya Dokter Ji Hoon
menatapku dalam-dalam. Lalu dia tersenyum.
“Gumapta, kau ternyata cukup
berguna,”
“Mwo ya…”
Kami tertawa. Bagaimana semua ini
bisa terjadi? Aku yang remaja biasa ini bisa mengalami banyak hal-hal yang tak
terduga.
Malam ini Pelatih Kim memberi
kami banyak sekali penjelasan. Aku bahkan tidak bisa mengingat semua kata- kata
Pelatih. Dia bersemangat sekali. Bukankah dia memang sealu seperti itu? Malam ini
malam terakhir kami di camp. Besok kami sudah kembali ke sekolah. Lagipula apa
yang bisa kulakukan untuk tinggal di sini lebih lama? Aku juga tidak bisa ikut
latihan. Aku tidak tahu pertandingan seperti apa yang akan kami hadapi kelak,
apa sangat besar sehingga kami harus terus berlatih? Entahlah, aku masih harus
memikirkan undangan untuk orang tuaku. Aku harus mengatakan apa pada mereka?
Apa tidak kuberitahu saja mereka?
Sama seperti malam sebelumnya,
aku tidak bisa tidur. Jadi aku hanya duduk di depan api unggun sambil memainkan
ponselku. Aku rindu Henry dan Sulli. Sulli masih tidak mengangkat teleponku.
Apa dia sangat marah? Henry juga tidak menghubungiku. Aku hanya memainkan layar
ponselku tanpa tujuan. Sampai seseorang mendatangiku.
“Bukankah ponsel dilarang saat
latihan?”
“Pelatih Kim??? Tapi bukankah
sekarang kita sedang tidak latihan? Geurigo, apa bisa aku latihan dengan kaki
terbebat seperti mumi?”
“Geure, apa yang bisa kau
lakukan?” Pelatih Kim duduk di sebelahku dan menghangatkan tangannya di atas
api unggun. “Kenapa tidak tidur?”
“Entahlah, sepertinya aku tidak
bisa tidur di tanah,” jawabku seadanya.
“Ne, anak sepertimu, apa yang kau
bisa?”
Aku mendengus. Dia memang suka
sekali mengejekku.
“Apa yang kau pikirkan?”
“Mwo? Memang apa yang
kupikirkan?”
“Kenapa tanya aku? Kau pikir aku
bisa membaca pikiran? Yang kubisa hanya membaca gerak lawan,”
“Geure, kau sangat berbakat untuk
itu,”
“Anak ini,” Pelatih Kim memukul
kepalaku pelan.
Aku meringis. Kemudian keheningan
menyelimuti kami.
“Pelatih, apa kami harus menang
saat bertanding nanti?” tanyaku pelan. Mataku terus menatap nyala api unggun.
“Apa aku pernah menyuruh
murid-muridku untuk menang?”
Geure, Pelatih Kim tidak pernah
menyuruh kami untuk menang. Dia tidak pernah meminta kami untuk memenangkan
pertandingan.
“Kau hanya perlu melakukan yang
terbaik,” kata Pelatih Kim. Itulah yang selalu dikatakan Pelatih Kim. “Saat
sebuah tim bekerja sama melakukan yang terbaik, bahu-membahu dan berjuang
hingga akhir, kenapa mengharapkan kemenangan? Kalianlah pemenang itu, bukan
angka-angka di papan skor. Kenapa kau tidak mengerti juga?”
“Tapi tidak semua orang memahami
itu Pelatih, tidak semua orang berpikir bahwa yang perlu kita lakukan adalah
melakukan yang terbaik, tidak semua orang Pelatih, tidak ayahku,” aku berbicara
sedikit keras. Entah kenapa aku ingin berteriak.
Pelatih Kim diam, kini dia
menatapku. Aku masih terus menatap api unggun sambil menahan tangisku. Air
mata, kenapa selalu saja memaksa keluar dari mataku ini?
“Ara, aku masih sangat ingat
kemarahan ayahmu padaku, dia memukulku sangat keras waktu itu, aku sampai
jatuh, ayahmu benar-benar sangat kuat,”
“Appa memukul Pelatih?” ku tidak
pernah tahu itu.
“Tidak hanya memukul, dia terus
berteriak padaku selama kau dioperasi, dia mengancamku akan melaporkanku ke
polisi, dan dia terus mengomeliku, aku harus berterimakasih pada ibumu karena
membawanya pergi dari rumah sakit, aku tidak bisa melupakan kemarahan ayahmu
saat itu, ayahmu benar-benar menakutkan,”
“Jjinjja?”
“Ne, sepertinya dia akan
memakanku hidup-hidup,”
Aku tersenyum kecil.
“Apa dia akan marah kalau tahu
aku bermain basket lagi?”
“Dia tidak akan marah,”
“Bagiamana kau yakin itu?”
“Tapi dia akan mengamuk seperti
raksasa, hahahha”
“Mwo ya??? Kenapa bercanda terus?”
“Araso, araso, beritahu saja
dia,”
“Kalau dia marah?”
“Apa dia akan memakanmu? Tidak
kan? Sudahlah, bilang saja padanya, dia pasti akan marah, tapi dia juga akan
mengerti, mungkin akan makan waktu, tapi itu lebih baik kan?” kata Pelatih Kim
sambil menepuk pundakku.
“Begitu ya?”
“Apanya yang begitu ya? Tentu
saja, makanya cobalah,”
Aku menghela napas. Mungkin benar
apa yang dikatakan Pelatih Kim. Appa pasti akan marah, tapi aku bisa
menjelaskan, aku akan mengatakannya, mungkin semua akan baik-baik saja.
“Ne, aku akan mengatakannya,
besok saat kembali ke Seoul aku akan pulang dan mengatakan pada Appa,
khamsahamnida Pelatih Kim,”
Pelatih Kim memukul kepalaku
pelan.
“Kenapa suka sekali memukul
kepalaku?” aku mengusap kepalaku pelan.
“Memangnya tidak boleh? Tidurlah,
kita akan berkemas besok pagi”
Aku mengangguk dan pergi
meninggalkan Pelatih Kim menuju tendaku. Kulihat Pelatih Kim masih menatap
nyala api yang kian mengecil, terima kasih Pelatih Kim.
Keesokan harinya kami berkemas.
Kami membongkar tenda, membersihkan sampah, dan mendengarkan penjelasan Pelatih
Kim untuk yang terakhir. Kakiku sudah lumayan baik, aku sudah bisa berjalan
dengan baik. Hebat sekali Dokter Ji Hoon. Kami naik bus dan meninggalkan tempat
camp. Semua orang sepertinya sangat lelah, mereka tertidur selama 3 jam
perjalanan ke sekolah. Aku hanya diam menatap ke luar jendela. Hye Ri tertidur
lelap di sebelahku. Tapi pada akhirnya akupun tertidur.
Suara berisik orang-orang yang
akan turun dari bus membangunkanku. Kulihat Hye Ri sedang membetulkan resleting
jaketnya.
“Ya, ireona, kita sudah sampai,”
kata Hye Ri.
“ah, iya..” aku bangun dan segera
turun dari bus.
Kami saling bercanda saat
berjalan menuju asrama. Tapi tiba-tiba langkahku terhenti saat kulihat
seseorang berdiri tak jauh dari lapangan bola. Aku menahan napasku. Hye Ri
menengok padaku,
“Ya, kenapa berhenti? Pallee..!!”
“Kau pergilah dulu, aku ada
urusan,” aku berlari menghampiri sesorang itu. Kurasakan pandangan Pelatih Kim
mengekorku.
“Appa,” aku terengah-engah saat
kulihat appa di depanku.
Appa tidak menjawab. Dia hanya
menatapku tajam.
to be continued...
0 komentar:
Posting Komentar