Ayah Ji Hyun datang, apa yang akan terjadi? Here In My Dream Part 7...
Enjoy...
“Appa, kau datang?” tanyaku
pelan.
“Aku mengirimmu kesini bukan
untuk memberimu kesempatan membunuh dirimu sendiri, aku mengirimmu kesini untuk
belajar!” tiba- tiba appa berkata seperti itu.
“Apa maksudmu?”
“Kau dari mana? Kenapa kau tidak
ada di kelas yang seharusnya kau ikuti?”
“Aku.. aku, kami ada acara di
luar sekolah appa, ada guru yang ikut dengan kami,”
“Untuk berlatih basket?”
Aku terkejut appa sudah tahu kalau
aku bermain basket lagi.
“Appa, dengarkan penjelasanku
dulu, aku bisa menjelaskan semua, jeosonghamnida, aku belum menceritakan kepada
appa,”
“Apa yang bisa kau jelaskan?
Bukankah sudah jelas kau bermain basket lagi? Apa yang ingin kau jelaskan? Appa
melarangmu bermain basket, itu demi kebaikanmu, kenapa kau ini? Apa kau ingin
membuatku jantungan?” appa benar-benar marah kali ini.
“Appa, aku bisa menjelaskan
semuanya, aku hanya ingin bermain basket appa,”
“Kau ingin bermain permainan yang
hampir membunuhmu? Apa bisa aku menerima semua itu mengingat apa yang pernah
terjadi padamu?”
“Appa, aku hanya ingin bermain
basket, itu impianku appa, aku tidak punya hal lain, aku hanya bisa bermain
basket. Aku tahu, ini berbahaya, aku selalu ingat hal itu, tapi ini mimpiku
appa, ini cita-citaku, ini yang kuharapkan, appa, mengertilah, jebal,” aku
berusaha menjelaskan kepada appa.
“Apa tidak cukup kau membuat
seluruh keluargamu hampir mati karena khawatir? Berhentilah, atau terpaksa aku
memindahkanmu,”
“Mwo ya? Andwe, aku tidak mungkin
pindah, akan ada pertandingan penting appa,”
“Itu terserah kau,” appa beranjak
dari tempatnya.
Aku menatap appa penuh keputus
asaan. Kenapa jadi begini? Kenapa appa tiba-tiba datang seperti ini? Aku ingin
menjelaskan pada appa, tapi bukan seperti ini.
“Appa..” aku memanggil appa
pelan.
Tapi appa pergi begitu saja. Dia
masuk ke dalam mobilnya dan pergi meninggalkan sekolah. Aku berusaha mengejar
dan memanggilnya untuk kembali. Tapi mobil appa semakin jauh meninggalkan
sekolah. Aku berdiri terengah-engah di pinggir jalan. Apa yang harus aku
lakukan? Aku berjalan pelan ke halte bus dan duduk disana untuk beberapa saat.
Aku tidak tahu harus melakukan apa. Aku hanya diam di halte bus. Beberapa orang
melihatku heran karena aku hanya duduk di sana dan tidak naik ke setiap bus
yang datang.
Kepalaku sangat sakit sekarang
rasanya. Aku benar-benar bingung sekarang. Ponselku tiba-tiba berdering. Eonnie
meneleponku,
“Ne, eonnie,” jawabku serak. Aku
berusaha untuk tidak terlihat seperti habis menangis.
“Appa pulang sangat marah, dan
uring-uringan, dia dari sekolahmu kan?”
Aku mengangguk, “Ne, dan kau tahu
eonnie, appa sangat marah padaku, eohttoke?”
“Bagaimana ini? Kau, apa yang kau
lakukan sekarang? Gwaenchana?”
“Aku tidak tahu eonnie, aku
bingung, aku akan pulang dan menjelaskan,”
“Andwe, kau jangan pulang, appa
sangat marah, dia terus di kamar dan tak mau keluar, kalau kau pulang, semuanya
akan tambah kacau, ku telepon kau kalau appa sudah mereda,”
“Ne eonnie,”
“Kau baik-baiklah disana, jangan
berbuat yang aneh-aneh,”
“Ne,”
Saat aku menutup telepon hujan
turun. Awalnya hanya gerimis, lama-lama menjadi hujan deras. Orang-orang
berlarian mencari tempat untuk berteduh. Dan sebentar saja, halte tempatku
duduk penuh dengan orang berteduh. Aku tidak mempedulikan mereka. Beberapa dari
mereka membicarakn hujan yang tiba-tiba, beberapa menggerutu karena
barang-barang mereka basah, beberapa ada yang menyesal tidak membawa payung,
aku hanya diam menatap lurus.
Saat sebuah bus datang, beberapa
dari orang-orang itu naik ke dalam bus. Menyisakan beberapa orang termasuk aku.
Aku masih belum bergeming dari dudukku. Beberapa saat kemudian bus lain datang.
Beberapa naik dan hanya tinggal 3 orang termasuk aku. Kedua orang itu akhirnya
menyetop sebuah taksi dan hanya tinggal aku disini. Aku tidak ingin beranjak
dari sini. Lagipula aku tidak membawa payung, jadi aku memutuskan untuk
menunggu hujan reda baru kembali ke sekolah. Aku memasang earphoneku dan
berusaha mendengarkan lagu. Pikiranku masih sangat kacau, mungkin lagu bisa
membantu. Aku memejamkan mataku mencoba menenangkan pikiranku. Kata-kata Appa
masih terngiang-ngiang di pikiranku.
Aku tidak meyadari seseorang
telah berdiri di depan halte, memmegang sebuah payung dan hanya diam melihatku.
Aku masih saja mencoba menenangkan pikiranku, mencari jalan untuk membuat Appa
mengerti dan memahami pilihanku. Suara hujan yang menetes di payung membuatku
sedikit terganggu. Aku membuka mata dan kulihat Sulli berdiri di depanku. Aku
melepas earphoneku cepat-cepat.
“Sulli-yaa,”
“Terus saja cari penyakit? Kau
pikir hujan akan memberi ampunan padamu?”
“Mwo ya? Ya, kau datang, apa itu
artinya kau memaafkanku?”
“Tidak semudah itu, aku tahu Kai
memang bersalah, entah apa yang ada dipikirannya, tapi harus bagaimana lagi,
dia tidak mau bicara padaku, tapi bukan berarti aku memaafkanmu begitu saja, kau
harus memberiku pelukan agar aku bisa memaafkanmu,”
Aku langsung memeluk Sulli. Dia
agak kaget namun segera membalas pelukanku. Kami berdua duduk bersebelahan.
Hujan masih sangat deras.
“Apa yang sebenarnya kau lakukan
disini? Kau dari mana memangnya?”
“Aku hanya berteduh, aku tidak
bawa payung,”
“Kotjimara, matamu bengkak
seperti bola pingpong, ya, ada masalah?”
Aku menatap Sulli beberapa saat,
ada sorot kekhawatiran di matanya.
“Tentang basket kan?”
“Ara?”
“Ara.. Eonnie cerita padaku, dan
paman tahu soal ini.”
Aku hanya mengangguk pelan.
“Ya, kau memang sudah kehilangan
pikiranmu, kau membuat banyak hal yang sulit kami mengerti, tapi aku memahami
perasaanmu, kau hanya ingin melakukan sesuatu yang kau suka, kau impikan, tak
ada yang salah dengan itu,”
“Tapi semua salah di mata Appa,
aku tidak tahu harus menjelaskan seperti apa lagi, sepertinya dia sangat sulit
menerima semua ini,”
“Ya, Ji Hyun-aa, apa pernah paman
tidak mengabulkan keinginanmu?”
“Mwo ya?”
“Aku ingat, saat kita kecil, aku
pernah sangat menginginkan sebuah boneka, aku minta pada Appa, tapi tidak
boleh, kemudian kau memaksa paman untuk membelikanku boneka yang aku inginkan,
tanpa kau perlu merengek pun, paman membelikanku boneka, aku sampai sekarang
masih menyimpan boneka itu. Jadi tidak ada alasan paman melarangmu bermain
basket, dia pasti mengabulkan keinginanmu,”
“Kunde.. Saat ini aku tidak minta
boneka, aku minta apa yang dilarang oleh Appa,”
“Aku bilang pasti akan
mengabulkannya, mungkin tidak sekarang, masa kau tidak tahu sifat paman? Dia
itu akan luluh kalau kau terus-menerus merayunya.”
“Geure?? Kau tidak lihat sih tadi
Appa sangat marah,”
“Semarah apapu dia, dia akan
mengizinkanmu.”
“Dia juga mengancam akan
memindahkanku, entah kemana”
“Jjinjja? Dia akan
memindahkanmu?”
“Geure.. Eohtokke?”
“Sudahlah, kalau kau menjelaskan
padanya pasti dia akan mengerti, percaya padaku,”
“Hhhh, entahlah.. melihat Appa
saja rasanya aku tak sanggup,”
“Aku akan menemanimu menemunya,
dia akan luluh saat melihatku,”
“Kau pikir Appa ku akan
melihatmu??”
“Oh, kau jangan salah, paman
sangat mengidolaka aku, kau saja yang tidak tahu,”
“Mwo ya?? Sadarlah!!”
Kami berdua tertawa.
“Sulli-aa, gumapta, aku senang
kau datang,”
“Gumapta?? Kau seharusnya
mentraktirku sesuatu, kau pikir aku datang kesini dengan cuma-cuma?”
“Kau ini,”
Kami memandang hujan yang semakin
deras. Ini kan musim gugur, kenapa hujan sudah sangat deras seperti ini? tiba-tiba
ponselku bordering, ada pesan dari Hye Ri,
Ya,
odiga? Aku mencarimu di kamar, tapi kau tidak ada.
Aku masih
ada diluar, mwo ya?
Aniyo,
aku hanya ingin menemuimu.
Akan
kuberitahu saat aku kembali.
“Kau mau pergi ke suatu tempat?”
“Mwo?” Sulli memainkan payungnya
yang basah. “Ani, aku hanya ingin menemuimu, kau sibuk?”
“Aniyo. Hari ini aku tidak punya
pekerjaan. Tapi aku mungkin akan mengerjakan beberapa PR. Kau sendiri, bukankah
harusnya kau di sekolah?”
“Aku senang tidak ingin
mendengarkan penjelasan guru,”
“Jadi kau bolos?”
Sulli mengangguk ringan.
“Kau ini, tidak pernah berubah,
lalu Henry bagaimana?”
“Dia sangat sibuk bermain bola,
katanya dia ingin masuk timnas Korea, tapi kalau dengan tingkahnya yang seperti
itu, kurasa dia tidak akan diterima,”
“Wae? Menurutku dia sangat bagus
saat bermain sepak bola, dia sering membawa sekolah kita di pertandingan
bergengsi, kau harusnya mendukungnya,”
“Tentu saja aku mendukungnya, aku
adalah pendukungnya yang paling setia.”
“Araso, hhahaha,”
“Ah, Ji Hyun-aa, apa aku bisa
ketemu Dong Hae sekarang?”
“Mwo? Tentu saja tidak bisa, ini
masih jam sekolah, tidak bisa menemuinya begitu saja,” sebenarnya aku bisa saja
menemuinya sekarang, tapi mengingat kejadian kemarin, rasanya mustahil bisa
berbaikan dengannya.
“Ah, mengecewakan,” Sulli
terlihat kecewa dibuat-buat.
“Sudahlah, kau masih bisa bertemu
dengan suatu saat, akan kubilang padanya bahwa kau adalah fan terbesarnya,
pasti dia akan mau menemuimu,”
“Fan besar apanya? Bukankah kau
yang tergila-gila padanya?”
“Ani!!!”
Kami berdua terus ngobrol dan
tertawa sambil enunggu hujan reda. Entah apa yang bisa kulakukan sekarang. Yang
pasti aku harus menghadapi Appa.
**************************************************************
Aku menghempaskan diriku di
kasur. Akhirnya kurasakan juga empuknya kasurku. Tak ada seorangpun di kamarku.
Mereka pasti sedang di kelas. Apa tidak apa-apa aku bolos? Pintu diketuk. Aku
malas sekali turun dan membuka pintu. Tapi belum sempat aku bangun, pintu sudah
terbuka dan seseorag masuk.
“Aku masuk ya,” itu suara Hye Ri.
“Ne, aku lupa mengirimmu pesan,”
aku bangun dari tempat tidur saat Hye Ri sudah naik ke tempat tidurku.
“Gwaenchana, aku melihatmu dari
atas, makanya aku kesini, sangat bosan di kamr sendirian, kau dari mana?”
“Aku hanya bertemu seorang
teman,”
“Namja?” dia tersenyum penuh curiga.
“Ani, dia temanku saat SMP, dia
bolos sekolah dan bingung mengerjakan apa, makanya menemuiku,”
Dia menyerngitkan dahi. Aku hanya
tersenyum melihat ekspresi wajahnya.
“Kau sudah makan? Aku bawa
makanan, kau mau?”
“Ne, gumawo, aku memang lapar
sekali,”
Kami berdua makan kimbab yang
dibawa oleh Hye Ri sambil ngobrol. Seandainya saja aku sekamar dengan Hye Ri,
pasti akan sangat mnyenangkan. Teman-teman sekamarku selalu melakukan apapun
tanpaku. Mereka sangat baik sebenarnya, tapi entah kenapa kami tidak bisa
dekat. Kami tidak pernh mengobrol satu sama lain, kami bahkan jarang bertemu,
kadang mereka sudah pergi saat pagi, atau pulang saat aku tidur, sebenarnya aku
tidak terlalu ambil pusing, tapi kami kan sekamar.
“Saat pesta olahraga nanti,
kelasmu akan mengadakan apa?”
“Mengadakan apa memangnya?”
Ya, apa sih yang kau tahu? Saat
pesta olahraga nanti, setiap kelas harus mempunyai stand masing-masing, kelasku
mengadakan stand ramal, kau datanglah nanti,”
“Stand ramal? Kau percaya hal-hal
seperti itu?”
“Aku sih percaya tidak percaya,
tap seorang chingu di kelasku sangat ahli dalm hal itu, dia bisa meramal dengan
apa saja, garis tanga, kartu tarot, membaca wajah, apa saja, kau harus datang
kesana nanti,” jelas Hye Ri dengan semangat.
“Untuk apa aku kesana? Aku tidak
percaya hal-hal seperti itu,”
“Tidak ada salahnya kan dicoba,
aku akan menemanimu, oke?”
Aku hanya mengangkat pundakku.
Kenapa harus percaya hal-hal seperti itu?
*******************************************************************
Aku kembali mengikuti pelajaran
seperti biasanya. Aku masih memakan sandwichku saat memasuki kelas. Tiba-tiba
Hyuk Jae merangkulku dari belakang. Aku tersedak sedikit.
“Ya, mwo haeyo?? Kau
mengagetkanku,”
“Hahha, ani, bagaimana tidurmu?”
“Tentu saja dengan mata tertutup,
memangnya bagaimana?”
“Huwaa, kau bisa bercanda
rupanya, hari ini tidak ada jadwal latihan basket, apa yang akan kau lakukan?”
“Mollaseo, mungkin aku akan
menonton latihan sepak bola, entahlah, aku tidak ada rencana,”
“Sepertinya kau orang yang sama
sekali tidak punya kerjaan,”
“Memangnya kenapa? Tidak boleh?”
“Kau ini, kau dengar kelas kita
akan membuat stand kopi untuk acara pesta olahraga nanti, kita akan jadi
pelayan,” Hyuk Jae meletakkan tasnya diatas meja lalu duduk di kursinya.
“Mwo? Kenapa stand kopi? Kupikir
lebih baik stand jus buah saja, sepertinya lebih menyenangkan,” aku duduk dan
meminum susuku.
“menurutmu begitu? Kau usul saja
pada Bu Guru Lee, jus buah akan terlihat lebih berwarna, geure?”
Aku mengangguk dan tersenyum. Bel
berbunyi. Bu guru Lee masuk.
“Annyeonghaseyo,”
“Annyeonghaseyo Seongnim,”
“Oh ya, sebelum memulai
pelajaran, ada pengumuman sebentar, kelas kita akan membuka stand kopi untuk
pesta olahraga nanti, kalian setuju?”
Langsung terdengar keributan dari
murid-murid di kelasku. Ada yang senang, ada yang mengeluh, ada yang mengajukan
usul lain, beberapa hanya diam saja.
“Seongnim, bagaimana kalau kita
membuka stand jus buah saja? Kata Ji Hyun itu terlihat lebih berwarna,”
Aku menatap Hyuk Jae.
“ah, jus buah, geure, itu lebih
segar dan menyenangkan, baiklah, kita akan membuka stand jus buah, semua
setuju? “
Semua murid sepertinya setuju.
Kemudia dipilihlah beberapa siswa yang akan menjaga stand jus buah. Aku tidak
mau berjaga. Lagipula akukan ada pertandingan basket. Pasti akan sangat repot
berjaga sambil ada pertandingan. Untung saja Bu Guru Lee memberikan keringanan
bagi kami yang mengikuti lomba. Murid yang tidak mengikuti lomba akan
bergantian menjaga stand jus buah kami.
Kamipun melanjutkan pelajaran.
Aku berusaha konsentrasi pada pelajaranku. Aku menyapu pandanganku ke seluruh
kelas. Dan aku baru menyadari kalau Dong Hae tidak ada di kelas. Kemana dia?
Aku memberi isyarat kepada Hyuk Jae dan bertanya diaman Dong Hae. Tapi Hyuk Jae
hanya mengangkat bahu. Jadi sebenarnya kemana Dong Hae. Setelah beberapa saat
dan beberapa tugas yang diberikan oleh Bu Guru Lee, kelas kami pun berakhir.
“Jangan lupa kalian persiapkan
stand jus kalian, kalau kalian ingin berbelanja, datanglah pada ibu, ibu akan
memberikan uangnya, belajar dengan rajin, araji?”
“Ne, aigesemnida,” kami menjawab
seperti paduan suara.
“Huh, janji palsu, baiklah,
annyeong!”
Bu Guru Lee meninggalkan kelas.
Beberapa siswa juga meninggalkan kelas. Aku merapikan bukuku dan memasukkannya
ke dalam tas. Hyuk Jae masih mencatat tulisan di papan tulis. Dia selalu
melakukan itu di akhir pelajaran. Aku menempelkan wajahku di meja dan
menunggunya selesai menulis. Aku harus pulang atau bagaimana ya? Tapi aku belum
berani ketemu Appa.
“Ya, wajahmu seperti ubur-ubur,”
Hyuk Jae menoleh padaku.
“Apanya yang ubur-ubur?”
“Gidariyo, sebentar lagi aku
selesai,”
Aku hanya mengangguk.
“Ah, kau benar-benar tidak tahu
dimana Dong Hae?”
Hyuk jae menggeleng.
“Aku tidak melihatnya tadi pagi,
sepertinya semalaman dia tidak kembali ke kamar, kemarin kulihat dia bersama
Dokter Ji Hoon, aku tidak melihatnya lagi setelah itu,”
“Dokter Ji Hoon?”
“Ne, mereka pergi dengan mobil,”
Mobil? Apa mereka ke rumah sakit?
Apa yang terjadi? Entah kenapa tiba-tiba aku merasa bingung, bagaimana kalau
terjadi sesuatu?
“Wae yo? Kau semakin terlihat
seperti ubur-ubur.” Hyuk Jae mulai merapikan buku-bukunya dan bersiap pergi.
“Oh, aniyo, aku lapar, kau mau
makan?”
“Ne, aku sudah sangat lapar, kau
mau makan apa?”
Kami meninggalkan kelas yang
mulai sepi. Kami membicarakan pertandingan yang akan berlangsung satu bulan
lagi. Masih ada waktu untuk menjelaskan pada Appa tentang semua ini. Saat
hendak ke kantin, langkah kami dihentikan oleh seorang yeoja. Sepertinya aku
tidak asing dengan wajah yeoja ini.
“Kalian tahu dimana Dong
Hae-oppa??” tanyanya. Nadanya sangat tidak sopan.
“Molla,” jawab Hyuk Jae seadanya.
Ah, geure, dia kan yang mengekor
Dong Hae waktu itu. Siapa sih sebenarnya dia ini? Kenapa selalu saja mencari
Dong Hae?
“Kenapa semua orang tidak tahu
dimana dia? Dia kan sangat terkenal, kenapa tak ada yang tahu dia pergi?”
“Disini kami tidak peduli kau
artis atau anak perdana menteri sekalipun, kau sama saja dengan yang lain, jadi
apa kegiatan Dong Hae, itu bukan hal yang harus dibesar-besarkan,” jelas Hyuk
Jae.
“Tapi kan, ahh.. Dimana dia? Di
rumah tidak ada, di akntor tidak ada, bahkan di sekolahpun aku tidak bisa
menemukan dia,”
“Apa ada masalah?”
“Geure!! Ada masalah yang sangat
besar, dia akan dikeluarkan dari manajement jika tidak menemui direktur, tapi
sekarang dia dan Manajer Hong malah menghilang, ini tidak benar,”
“Dikeluarkan?”
“Ne, akhir-akhir ini dia jarang
bernyanyi dan sibuk dengan kegiatan sekolah, beberapa kontrak yang harus
ditandatangani batal karena dia terus daja menghilang, aku sangat khawatir
padanya, dia bisa benar-benar dikeluarkan,”
Aku dan Hyuk Jae saling pandang.
Tanpa mengatakan apa-apa dia
meninggalkan kami. Kami melihatnya menjauh dengan penuh keheranan. Tiba-tiba
ponselku bordering, saat kulihat Sulli yang meneleponku.
“Ne, Sulli-aa, wae yo?”
“Ya, Ji Hyun-aa, kau harus cepat
ke rumah sakit, Henry harus di operasi!” suara Sulli terdengar sangat panic.
“MWO??”
Aku berdiri dengan perasaan
sangat kaget. Apa yang terjadi.
“Pallee, kau harus segera
kesini,” Sulli menutup teleponnya.
“Wae yo?”
“Aku harus segera ke rumah sakit,
mian Hyuk Jae, aku harus pergi,”
“Ya Ji Hyun-aa!!”
Aku berlari meninggalkan Hyuk Jae
yang memanggilku. Apa yang terjadi dengan Henry? Kenapa tiba-tiba harus di
operasi? Aku sempat menabrak beberapa siswa yang sedang berjalan, tak ada waktu
untuk minta maaf. Aku terus berlari. Aku harap-harap cemas saat menunggu bus di
halte. Kenapa lama sekali? Kenapa apapun lama saat aku ingin apapun cepat? Akhirnya
bus datang. Aku semakin merasa khawatir. Sepertinya rumah sakit menjadi sangat
jauh. Sebenarnya hanya buutuh waktu satu jam untuk sampai sana, tapi entah
kenapa sepertinya ini makan waktu hampir selamanya.
Dan apa lagi ini? kenapa macet
sekali? Sepertinya aku harus naik kereta bawah tanah. Aku turun di halte dekat
stasiun dan berlari menuruni tangga stasiun. Aku terus berlari. Setelah
perjalanan yang entah kenapa sangat lama. Aku sampai juga di rumah sakit. Aku
berlarian mencari kamar Henry. Aku berlari ke ruag operasi tapi ternyata
operasi sudah selesai. Aku menelepon Sulli dan menanyakan kamar. Akhirnya aku
sampai juga di depan kamar Henry. Aku membuka pintu dengan tergesa-gesa. Dan
kulihat Sulli sedang membaca komik dan Henry sedang memainkan ponselnya. Mereka
menoleh melihat kedatanganku.
“Ya, Ji hyun-aa, kau sudah
datang?” kata Sulli smabil membuang komiknya begitu saja.
“Ne, senang melihatmu,” Henry
nyengir lebar ke arahku.
“Ne, apa yang terjadi?”
“Aku bosan sedangkan Henry tidak
boleh tertawa, geureso, aku memanggilmu,” kata Sulli sambil tersenyum jahil.
“MWO??” aku membentaknya. “Kau
tahu betapa aku sangat khawatir hampir mati???”
“Mian,” Sulli menarikku ke tempat
tidur Henry. “Lihatlah dia, sangat mengenaskan”
Henry masih saja nyengir.
Wajahnya benar-benar menyebalkan. Dan dia sama sekali tidak telihat sakit.
Wajahnya sangat ceria.
“Apanya yang mengenaskan? Dia
terlihat sanggup berlari seratus kali putaran! Aku sudah membayangkan kau
hampir menemui ajalmu, dengan malaikat maut disampingmu, apanya yang operasi?”
“Ya, kau berharap aku cepat mati?
Aku benar-benar operasi, kau bisa melihatnya, sekarang aku sudah tidak punya
usus buntu, kau tahu rasanya, benar-benar sakit,”
“Cih, kau pasti terlalu banyak
tertawa,”
“Benar, dia tertawa sangat keras,
usus buntunya benar-benar keluar,”
“Terus saja mengejekku,” Henry
terlihat sebal.
Kami berdua tertawa
terbahak-bahak. Lega rasanya melihat Henry baik-baik saja.
“Ya, kalian jangan tertawa,
jangan membuatku tertawa,” Henry kesakitan menahan tawa. Kami tertawa semakin
keras. Sementara Henry harus menahan tawanya agar bekas operasinya tidak
mengalami getaran.
Kami menghabiskan beberapa saat
untuk membuat Henry tertawa. Kami membuat banyak lelucon dan mengejeknya terus
menerus. Tapi sepertinya Henry benar-benar tidak boleh tertawa, melihatnya
menahan tawa sepertinya sangat menyiksa dirinya. Orang tua Henry datang dan
setelah berbincang beberapa saat, aku dan Sulli pamit.
“Kau mau kuantar? Aku diantar
supir tadi,”
“Tidak perlu, aku bisa pulang
sendiri, lagipula arah kita berlawanan, aku akan naik kereta saja,”
“Benar tidak apa-apa?”
Tiba-tiba aku melihat Dokter Ji
Hoon. Dan ada Dong Hae di belakangnya, dia mengenakan baju pasien. Ada apa?
“Ya, Ji Hyun-aa, wae yo?”
“Ah, ani, kau pulanglah dulu, aku
ketinggalan sesuatu di kamar Henry, aku akan pergi mengambilnya, kau
pulanglah,”
“Ne? ne, araseo, kau hati-hati ya
saat pulang, annyeong,”
“Nodo, annyeong,”
Aku melambaikan tangan dan Sulli
pergi meninggalkaku. Saat kulihat Sulli sudah keluar dari rumah sakit aku
berlari kearah Dokter Ji Hoon dan Dong Hae pergi. Mereka berbincang di depan
sebuah ruangan dengan seorang dokter. Aku menghentikan langkahku dan
bersembunyi di balik tembok. Aku mengintip mereka, tapi aku tidak bisa
mendengarkan percakapan mereka. Beberapa saat kemudian mereka masuk ke dalam
ruangan. Aku keluar dari persembunyianku dan menuju ruangan dimana mereka
masuk.
“RUANG TERAPI”
Terulis di kaca pintu. Aku
mengintip dari celah kaca. Aku bisa melihat Dong Hae duduk di sebuah kursi,
Dokter Ji Hoon dan dokter lainnya sedang mengamatinya dan memberi beberapa pertanyaan.
Seorang perawat datang dan menanyaiku.
“Ada yang bisa kami bantu nona?”
“Ah, aniyo, aku hanya sedang
mencari pamanku, sepertinya dia tadi kesini, permisi,” aku pergi meninggalkan
perawat itu. Dia hanya mengangguk dan masuk ke dalam ruang terapi.
Aku memutuskan untuk tinggal di
rumah sakit dan menunggu Dong Hae. Entah kenapa aku sangat ingin melihatnya.
Sebenarnya apa yang terjadi? Apa dia akan benar-benar operasi? Dia tadi terapi
apa? Aku menunggu di lobi rumah sakit. Beberapa perawat dan pasien serta
orang-orang yang datang menjenguk lalu lalang di sekitarku. Aku memainkan
ponselku, mencoba mendengarkan lagu melalui earphone, bermain games, waktu
terasa sangat lam berjalan.
Satu jam kemudian, aku sudah
hampir tertidur. Saat kulihat Dong Hae dan Dokter Ji Hoon melewati lobi.
Tiba-tiba aku gugup dan langsung saja aku pura-pura bertanya pada resepsionis.
“Permisi, aku mau menjenguk Henry
Lau, dimana kamarnya?”
“Maaf nona, waktu besuk sudah
habis, datanglah besok pagi,”
“Oh, ne araso, khamsahamnida,”
Aku meninggalkan meja resepsionis
dan berjalan ke arah Dong Hae dan Dokter Ji Hoon. Aku pura-pura tidak melihat
mereka. Kulihat Dokter Ji Hoon masuk ke sebuah ruangan. Dong Hae melihat ke
arahku dan aku segera memalingkan wajahku ke tempat lain.
“Ya!”
Aku menoleh.
“Dong Hae-ssi, kau di sini?” aku
pura-pura terkejut dan menghampiri Dong Hae. Aku tidak tahu kenapa aku sangat
senang melihatnya.
“Apa yang kau lakukan disini? Kau
mau menjengukku?” Dong Hae balik bertanya padaku.
“Sebenarnya tidak juga, aku
menengok temanku yang baru saja dioperasi, tapi kata petugas resepsionis waktu
besuk sudah habis, tapi kalau begitu aku menjenguk kau saja, siapa sangka kau
dirawat disini, kau kenapa?” aku menjelaskan padanya.
“Geure yo? Hanya melakukan
serangkaian tes tidak penting,”
“Kau tidak masuk hari ini, tidak
ada kabar, dan seseorang mencarimu tadi,”
“Nugu yeyo?”
“Seorang yeoja, yang mencarimu
waktu dulu itu, dia menanyakanmu, katanya dia disuruh untuk mencarimu,
memangnya kau tidak memberitahu pihak kantormu?”
“Hanya akan menambah masalah
saja,”
“Kenapa begitu?”
“Sudahlah, kau tidak tahu
apa-apa,”
Aku mendengus pelan.
“Geurende, gwaenchana?”
“Gwaencahana, geokjeongmara,
tidak ada yang serius,”
“Sampai kapan kau di sini?”
“Molla, sampai hasil tes keluar
mungkin,”
“Kalau begitu besok aku akan
datang melihatmu,”
“Kau tidak perlu datang, aku akan
pulang secepatnya, berkonsentrasilah pada pertadingan,”
Aku diam. Pertandingan selalu
mengingatkanku pada kemarahan Appa. Aku hanya mengangguk pelan.
“Baiklah, aku harus pulang, aku
bisa ketinggalan bus kalau terlalu lama di sini, cepatlah sembuh dan kembali ke
sekolah,”
Dia hanya mengangguk.
“Aku pergi,”
Aku berbalik meninggalkannya.
Sebenarnya aku masih sangat ingin mengobrol dengannya. Aku menoleh sekali lagi
padanya, dia sudah berhadapan dengan Dokter Ji Hoon. Memang sebaiknya aku
pulang saja.
******************************************************************
Aku tidak berkonsentrasi latihan
hari ini. Berkali-kali tembakanku meleset dan aku tidak bisa menerima operan
dengan benar. Beberapa kali Pelatih Kim memperingatkanku. Aku hanya mengangguk
setiap kali dia berteriak padaku. Akhirnya setelah dua jam latihan basket sore
ini selesai. Aku, Hye Ri dan Hyuk Jae berjalan bersama di taman. Keringat masih
membasahi seluruh badanku.
“Kau sepertinya kurang
konsentrasi hari ini?” tanya Hye Ri.
“Geure, kau juga sangat lemas,
beberapa kali pelatih memarahimu, wae yo?”
“Tidak ada apa-apa, mungkin aku hanya
lapar dan mengantuk, aku kurang tidur semalam,”
“Apa yang membuatmu tidak tidur
semalaman?” tanya Hyuk Jae.
Kami duduk di bawah pohon
ditengah taman.
“Entahlah, aku hanya tidak bisa
tidur, itu saja,”
“Fokuslah, kita tidak boleh
santai-santai, pertandingan sudah semakin dekat, kita harus melakukan yang
terbaik,” kata Hyuk Jae, seperti biasa dia selalu penuh semangat.
“Ne, Hyuk Jae benar, kau harus
menjaga kondisimu, beberapa kali kulihat keseimbanganmu kacau hari ini, kau
harus makan yang benar dan istirahat yang cukup, araji?” Hye Ri terus saja
memberiku ceramah.
“Araseo, araseo, kalian ini
seperti orangtuaku saja, cerewet sekali,”
“Apanya yang cerewet, kau itu
yang kepala batu,” Hyuk Jae memukul kepalaku. “Huwaa, keras sekali!!”
“Mwo ya, apa yo!!”
Tiba-tiba seorang laki-laki
sekitar 50 tahun mendekati kami.
“Permisi, apa kalian kenal Lee
Dong Hae? Dia bersekolah di sini,”
Kami saling pandang beberapa
saat.
“Ne, ahjussi, aku sekelas
dengannya,” jawab Hyuk Jae.
“Jeongmal yo? Kalau begitu, kau
tahu dimana dia?”
“Jeseonghamnida ahjussi, tapi
sudah dua hari ini dia tidak masuk sekolah, dia juga tidak pulang ke asrama,
sepertinya dia sedang ada show atau semacamnya,”
Siapa ahjussi ini?
“Oh, begitu ya? Baiklah, gomawoyo,
maaf mengganggu waktu kalian,”
Paman itu berlaik dan pergi
meninggalkan kami. Siapa dia? Kenapa mencari Dong Hae? Beberapa saat kemudian
kami bertiga berpisah. Mereka berdua punya urusan masing-masing, sementara aku
masih seperti biasa tidak punya pekerjaan. Aku berjalan ke taman utama. Ada
sebuah kolam ikan kecil ditaman ini, aku suka duduk disini dan melihat
ikan-ikan. Saat sampai di kolam, aku melihat seseorang duduk di bangku dekat
kolam. Aku mendekatinya.
“Jogiyo ahjussi, kau yang mencari
Dong Hae tadi?”
“Ah, kau benar,”
“Apa yang paman lakukan di sini?”
aku duduk di samping paman itu.
“Ah tidak, aku hanya ingi duduk
disini, suasana di sini menyenangkan,”
“Ne, aku juga suka di sini,”
“Kau sekelas dengan Dong Hae?”
“Ne, kami teman satu kelas,”
“Bagaimana dia di kelas”
“Bagaimana ya? Dia cukup pintar
dan bisa diandalkan, dia juga jago basket, dan tentu saja dia menyanyi dengan
sangat baik,”
“Benarkah? Apa dia pernah nakal?”
“Sepertinya tidak, terkadang
memang dia sedikit menyebalkan, tapi sebenarnya dia sangat baik,”
“Begitu ya?” paman itu menatap
kolam, entah apa yang dipikirkannya.
“Maaf, tapi paman ini siapa?”
“Maaf, aku belum memperkenalkan
diri, aku ayahnya Dong Hae,”
To be continued...
0 komentar:
Posting Komentar