Ternyata ayah Ji Hyun pulang... Bagaimana selanjutnya? In My Dream Part 8
Aku menatap paman itu takjub.
Lagi-lagi aku mendapatkan kejutan. Aku bertemu dengan ayah Dong Hae. Kalau
dipikir-pikir, kebetulan memang sedikit mengerikan. Untuk beberapa saat aku
tidak mengatakan apa-apa.
“Apa kau tahu dimana Dong Hae
sekarang?”
Aku masih belum mengatakan
apa-apa pada ayahnya Dong Hae. Haruskah aku memberitahunya kalau Dong Hae ada
di rumah sakit?
“Ah, mungkin kau juga tidak tahu,
mungkin juga dia tidak mau menemuiku, aku juga tidak ingin muncul di hadapannya
saat dia sudah menjadi artis seperti sekarang, mengingat dulu betapa aku
melarangnya menjadi penyanyi, tapi sekarang setiap melihatnya bernyanyi di
televisi, aku melihat betapa berbakatnya dia, dia benar-benar
bersungguh-sungguh mencintai pekerjaannya, aku hanya ingin meminta maaf dan
memperbaiki hubungan kami. Ah, kenapa aku ini, kau malah mendengar keluh
kesahku, maaf ya,”
“Gwaenchana ahjussi, sepertinya
aku mengerti perasaanmu, ingin memperbaiki sebuah kesalahpahaman tidak pernah
menjadi urusan yang mudah, benar kan paman?”
“Kau benar, aku masih belum tahu
samapi kapan aku harus menunggunya pulang, sepertinya masih harus menunggu
beberapa saat lagi,” dia tersenyum padaku. Tapi aku tahu itu adalah senyum yang
dipaksakan. Dia mencoba menyembunyikan kesedihannya. Dia berusaha sangat keras
untuk itu.
“Mungkin tidak akan lama lagi
paman, dia akan segera menyadari kalau keluarganya selalu menunggunya pulang,”
“Semoga saja begitu, terimakasih
ya, kau sudah menghiburku, ngomong-ngomong siapa namamu?”
“Aku Shin Ji Hyun paman, senang
bisa ngobrol dengan paman,”
“Shin Ji Hyun ya,”
Aku mengangguk. Dan kami
berduapun diam menatap ikan-ikan di kolam yang berenang kesana kemari. Apakah
ikan juga pernah salah paham satu sama lain? Apa mereka juga memendam perasaan
masing-masing? Tapi ikan tak bisa bicara, apa yang kita tahu?
*****************************************************************
Hari ini tidak ada latihan
basket. Aku belum punya rencana untuk melakukan sesuatu. Aku hanya tiduran di
tempat tidur tanpa melakukan apa-apa. Hyuk Jae harus berbelanja keperluan untuk
stand kami bersama Yong Hwa. Hye Ri juga sibuk dengan kegiatan kelasnya.
Sepertinya semua orang sedang sibuk, hanya aku yang mondar mandir seperti orang
bodoh. Apa yang harus kulakukan? Apa aku ke rumah sakit saja? Dong Hae belum
kembali ke sekolah sampai hari ini. Sekalian saja aku menjenguk Henry.
Aku bangun dan berganti baju. Aku
masih memakai seragamku. Setelah berganti baju aku keluar kamar dan berpapasan
dengan Se Na.
“Kau mau pergi?” tanya Se Na.
“Ne, temanku dirawat dan aku
ingin menjenguknya, kau tidak ada kegiatan?”
“Tidak, aku baru saja kembali
dari perpustakaan, yasudah, kau hati-hati ya,”
“Ne, aku pergi,”
Aku menunggu bus di halte seperti
biasa. Beberapa saat kemudian bus datang. Sepanjang perjalanan aku memikirkan
banyak hal. Kenapa banyak sekali yang terjadi padaku? Aku tidak pernah
merenanakan semua ini. Tapi semua terjadi begitu saja. Siapa aku ini? aku hanya
gadis biasa dengan kehidupan yang sangat biasa, tapi tiba-tiba aku dikelilingi
orang-orang ini, membayangkan saja aku tak pernah. Dan kenapa harus seorang
Dong Hae? Dia kan penyanyi yang terkenal. Semua orang mengenalnya, semua orang
mengidolakannya, semua orang ingin ada di dekatnya, dia kebanggaan negeri ini,
tapi kenapa aku? Aku yang bukan siapa-siapa dan bukan apapun ini bisa menjadi
bagian dari kehidupan seorang Dong Hae. Apa aku berlebihan?
Bus berhenti di halte dekat rumah
sakit. Aku terbangun dari lamunanku dan bangkit turun dari bus. Aku berjalan
kearah rumah sakit saat aku melihat Kim Ha Ra menuju tempat parkir rumah sakit.
Dia berjalan bersama Manager Hong. Apa yang mereka lakukan di sini? Ah itu
bukan urusanku. Aku memasuki rumah sakit dan menuju kamar Henry. Sepertinya
sebaiknya aku menjenguk Henry dulu. Namun aku menemukan kamar Henry kosong.
Kemana dia? Apa dia sudah dibawa pulang? Tapi katanya dia harus satu minggu
dirawat. Aku mencoba meneleponnya tapi tidak diangkat. Aku meninggalkan kamar
Henry dan menuju resepsionis.
“Permisi, pasien bernama Henry Lau, apa dia
masih di rawat di sini?”
“Tunggu sebentar nona, aku
periksa dulu,”
Aku mengangguk dan perawat itu
mencari data di computer.
“Pasien Henry Lau, kamar 2007,
sedang menjalani pemeriksaan bersama dokter, dia keluar beberapa saat yang
lalu, mungkin akan makan waktu untuk pemeriksaan,”
“Oh, begitu ya, baiklah aku akan
menunggu, khamsahamnida,”
“Ne,”
Aku berbalik dan duduk di ruang
tunggu lobi. Aku mengirim pesan ke Sulli kalau aku di rumah sakit. Tapi dia
tidak bisa datang karena harus mengikuti latihan cheerleader. Aku menghela nafas
panjang. Haruskah aku menunggu disini sendirian begini? Akhirnya aku memutuskan
untuk berjalan-jalan di taman rumah sakit. Aku duduk dibangku taman di dekat
kolam air mancur. Taman rumah sakit ini cukup indah dan terawat. Berbagai macam
bunga ditanam disini. Dan ada kolam air mancur ditengahnya. Beberapa pasien dan
perawat sedang jalan-jalan dan beberapa orang sedang ngobrol. Aku duduk tanpa
melakukan apa-apa. Dan saat itulah Dong Hae datang.
“Kenapa rajin sekali ke rumah
sakit?”
“Dong Hae-ssi, kau masih di
sini?”
“Kalaupun tidak ingin disini, aku
harus tetap disini, apa yang kau lakukan?”
“Aku menjenguk Henry, tapi dia
sedang menjalani pemeriksaan, jadi aku menunggu di sini sampai pemeriksaannya
selesai,”
Dong He duduk di sampingku.
“Kupikir kau menjengukku”
“Kau ini masih saja selalu
percaya diri,”
Dia hanya tersenyum.
“Kau sakit apa sebenarnya? Apa
soal tenggorokanmu?”
“Aku tidak sakit, hanya menjalani
serangkaian tes konyol yang menyebalkan,”
“Tapi sepertinya kau memang harus
dites, sepertinya ada yang tidak beres dengan kepalamu itu,”
“Mwo? Dibandingkan dengan kau,
kepalaku jauh lebih manusiawi, bagaimana bisa kau bilang tidak beres?”
“Jadi maksudmu kepalaku ini tidak
manusiawi?”
“Aku tidak mengatakannya,”
“Mwo ya? Menyebalkan!”
Kenapa dia masih saja
menyebalkan? Apa dia tidak sadar dia ini sedang dirumahsakitkan? Tapi entah aku
masih belum bisa menjawab, aku lega mendengar dia terus saja mengejekku.
“Ya, wajahmu merah,” kata Dong
Hae tiba-tiba.
“Itu karena aku marah,” aku
mendengus kesal. Apa benar wajahku merah? Apa ada yang merebus telur disana?
“Bagaimana di sekolah?”
“Kami sangat sibuk di sekolah,
kelas kita akan membuka stand jus buah saat pesta olahraga nanti, kita akan
sangat sibuk, hari ini Hyuk Jae dan beberapa teman belanja untuk keperluan
stand, kau juga harusnya membantu,”
“Bagaimana aku bisa membantu? Aku
kan disini?’
“Jangan-jangan kau disini hanya
beralasan untuk tidak membantu di kelas?”
“Kepalamu itu memang harus
diperiksa, sepertinya ada yang nyangkut disana, bagaiman kau bisa berpikir aku
hanya mencari alsan dengan tinggal disini?” dia mengetuk-ngetuk kepalaku dengan
jarinya. Aku segera menepis tangannya.
“Mwo ya??” aku mengusap-usap
kepalaku.
“Lalu bagimana dengan tim
basket?”
“Tim basket bak-baik saja, kami
masih terus berlatih, kau cepatlah kembali ke sekolah dan berlatih lagi, semua
orang menanyakanmu,”
Dong Hae tidak menjawab. Dia
hanya diam
‘Oh ya Dong Hae-ssi, umm..”
Dog Hae meatapku.
“Wae yo?”
“Apa kau merindukan ayahmu?”
Bukannya menjawab dia malah semakin
menatapku dalam-dalam.
“Maksudku.. Aku pernah mendengar
cerita tentang kau dan ayahmu, mianhae, aku hanya..”
“Itu bukan urusamu, kenapa kau
suka sekali mengurusi urusanku?”
“Aku tidak bermaksud seperti itu,
aku hanya.. aku kemarin bertemu dengan ayahmu,”
Dia menatapku lagi. Kenapa dia
sering sekali menatapku? Dan setiap kali dia menatapku, kenapa jantungku terus
menerus berdegup dengan sangat keras? Bagaimana kalau Dong Hae dengar?
“Kau bertemu ayahku? Dimana?”
“Di sekolah, dia mencarimu,”
“Apapun yang dia katakan, kau
tidak usah percaya, tak perlu kau dengarkan omongan orangtua seperti itu,”
“Apanya yang seperti itu? Dia itu
ayahmu, kenapa kau begitu padanya?”
“Orangtua yang menentang mimpi
anaknya, apa bisa disebut orangtua?”
“Apapun yang dilakukan orangtua,
tetap saja sampai kapanpun dia orang tuamu, sampai kapan kau akan terus
memusuhi orangtuamu sendiri? Kau tahu, bermusuhan dengan orangtua itu sangat
menyakitkan, semua hal menjadi sulit!”
“Kau tahu apa tentang perasaan
seperti itu? Kau tidak akan pernah mengerti,”
“Kau yang tidak mengerti, aku sangat
mengerti itu, bahkan kalau aku bisa memilih aku tidak ingin punya perasaan
seperti itu!”
Dong Hae diam dan terkejut
mendengar kata-kataku. Aku juga terkejut. Kenapa aku berteriak? Kenapa aku
tiba-tiba emosi seperti ini? tapi aku memang tahu perasaan itu, aku sangat
paham bagaimana mimpimu ditentang orang tua, dan aku tidak bisa berbuat
apa-apa.
“Mianhae, aku tidak bermaksud
berteriak, mianhae,”
Aku menunduk. Kenapa aku malah
bertindak seperti ini? Dong Hae masih belum mengatakan apa-apa. Untuk beberapa
saat kami tidak mengatakan apa-apa. Aku juga tidak tahu harus bagaimana. Aku
memang ceroboh memulai semua ini. seharusnya aku tadi tidak membicarakan ini.
“Mianhae, harusnya aku tidak
membicarakan ini, semua salahku, aku hanya ingin kau memikirkan ini,
bagaimanapun orangtua kita, mereka tetaplah orangtua yang telah membesarkan
kita, tidak seharusnya kita menganggapnya musuh,”
Aku berdiri.
“Sekali lagi maaf, aku tidak
bermaksud apa-apa, kau cepatlah sembuh, aku pulang dulu,” aku berjalan cepat
meninggalkan Dong Hae.
Aku tidak ingin membuat suasana
semakin kaku. Aku tidak menyangka akan mengatakan hal-hal yang aneh. Ada
denganku ini? Pasti Dong Hae berpikir aku terlalu mencampuri urusannya.
Sudahlah, aku tidak ingin memikirkan ini lagi.
***************************************************************
Aku
meraba-raba mencari ponselku. Siapa yang menelepon malam-malam begini? Apa dia
drakula? Aku menemukan ponselku dibawah bantal. Tanpa melihat siapa yang
menelepon aku mengangkat dan masih dengan mata tertutup.
“Yoboseyo? Nugu ya?”
“Ya, Ji
Hyun-aa. Kata suster kau tadi kerumah sakit, tapi kenapa tidak bertemu aku?” Suara
Henry terdengar sangat keras. Apa dia bicara di depan microphone?
“Ah, mian, aku tadi menunggumu,
tapi kau sangat lama, jadi aku pulang saja,” jawabku seadanya.
“Padahal
sebenarnya ada yang ingin kutunjukkan padamu, kau akan sangat terkejut kalau
melihatnya,” suaranya terdengar sangat bersemangat sekali. Ada
apa sebenarnya?
“Memangnya apa? Dokter tampan?”
“Ckckck..
Apa hanya dokter tampan yang ada di kepalamu? Tentu saja bukan, aku melihat
Dong Hae di rumah sakit, dan menurut suster dia akan menjalani operasi,”
Kali ini aku benar-benar
terbangun.
“Jjinjja?? Apa itu benar?”
“Benar
kan kau terkejut, benar, dia akan operasi, tapi harus ada persetujuan dari
pihak orangtua, dan anehnya dia menolak operasi saat mengetahui hal itu,”
“Mwo? Dia menolak? Wae?”
sebenarnya aku tidak perlu bertanya, tentu saja aku tahu alasannya.
“Entahlah,
padahal kata suster kalau dia tidak dioperasi dalam waktu dekat ini, sakitnya
akan bertambah parah, sakit apa dia sebenarnya?”
“Jadi kau tidak tahu dia sakit
apa?”
“Molla,
suster itu sebenarnya tidak boleh menceritakan hal ini, saat menyadari dia
bercerita terlalu banyak, dia langsung pergi dan memintaku untuk tidak
menceritakan pada siapapun,” dia tertawa puas.
“Tapi kenapa kau menceritakan
padaku? Kasihan suster itu, pasti kau mengatakan hal-hal aneh padanya” aku
membayangkan Henry merayu suster itu dengan gayanya yang aneh itu. Sudah sangat
sering dia melakukan hal itu. Dasar Henry.
“Ya, kau
kan fansnya Dong Hae, kau wajib tahu, sudah ya, suster sudah berkali-kali
melotot padaku menyuruhku tidur, dah Ji Hyun,”
Teleponpun mati. Apa yang baru
saja kudengar? Apa semua itu benar? Dan sisa malam itu aku benar-benar tidak
bisa tidur.
***************************************************************
Sepertinya ada sesuatu di
wajahku. Hyuk Jae tak henti-hentinya menatapku.
“Ya, apa yang kau lihat??” aku
merasa aneh dipandangi seperti itu.
“Apa yang terjadi dengan matamu?
Kau terlihat seperti hantu. Hantu panda”
“Ya apa yang kau bicarakan?”
“Ya Ji Hyun-aa, hari ini kita
akan latihan basket lagi, pertandingan tinggal 3 minggu lagi, aku benar-benar
gugup dibuatnya, 3 minggu pasti sangat cepat,”
Aku diam. Pertandingan selalu
mengingatkanku pada Appa. Saat itu Dong Hae masuk ke kelas. Aku terkejut
bercampur senang melihatnya. Beberapa murid lain melihatnya, tapi mereka tidak
terlalu memperdulikannya. Mataku terus mengikutinya sampai dia duduk di bangku
belakangku.
“Ya, kau sudah kembali? Kau
baik-baik saja kan?”
“Seperti yang kau lihat,”
“Huh, dingin seklai,” kata Hyuk
Jae.
“Geurom!! Ini kan musim gugur,
hampir musim dingin sih,” timpalku.
Apa dia masih marah karena
kata-kataku kemarin? Lalu apa hasil tesnya? Aku sangat penasaran sekali. Apa
dia masih belum mau dioperasi? Apa sih sebenarnya yang dia mau? Apa susahnya
meminta ayahnya untuk menandatangani surat operasi? Dia benar-benar keras
kepala. Pikiran-pikiran it uterus saja memenuhi kepalaku selama pelajaran
berlangsung. Penjelasan Bu Guru Lee seperti angin lalu buatkuu, masuk telinga
kanan dan keluar telinga kiri. Bahkan sampai waktu latihan basket pun aku masih
terus memikirkan hal-hal itu.
“Ya, Ji Hyun-aa?!!!??? Apa
selamanya kau akan berlatih seperti itu??” Lagi-lagi Pelatih Kim berteriak
padaku.
“Jeoseonghamnida Pelatih, aku
tidak akan mengulanginya lagi,”
“Sebaiknya kali ini kau berkata
yang sesungguhnya,” sepertinya PElatih Kim serius kali ini.
Akupun mencoba untuk
berkonsentrasi berlatih. Aku coba mengusir pikiran-pikiran itu dari kepalaku.
Dan sedikit berhasil walaupun lemparanku masih sering meleset. Paling tidak
Pelatih Kim tidak lagi berteriak-teriak padaku. Latihan kali ini cukup
memuaskan kata Pelatih Kim. Kalau kami terus menerus seperti ini dan bisa lebih
baik lagi, kami akan siap untuk menghadapi pertandingan nanti. Setelah lebih
dari dua jam, latihanpun selesai. Aku duduk di pinggir lapangan dengan keringat
membasahi tubuhku. Nafasku naik turun tak beraturan.
“Kau melakukan yang terbaik hari
ini,” kata Hye Ri.
Aku hanya mengangguk. Aku tak
sanggup untuk bicara saat ini. Benar-benar sangat lelah, sepertinya semua
tenagaku terkuras habis. Aku meneguk minumanku. Sepertinya aku ingin berendam
di air panas.
“Ayo kembali,” ajak Hye Ri.
Aku lagi-lagi hanya mengangguk.
Kami berdiri dan berjalan ke ruang loker untuk berganti seragam, aku tak mungkin
keluar dengan baju olahraga yang basah oleh keringat. Namun saat membuka pintu
lokerku, aku terkejut stengah mati. Seragamku basah kuyub. Air menetes-netes
dari ujung seragamku. Siapa yang melakukan ini?
“Ya, mwo ya?” tanya Hye Ri.
“Ah aniyo, sepertinya aku akan
memakai baju ini saja, sekalian saja bajuku kotor,” jawabaku mencari alasan.
“Tapi kan baju mu ini basah oleh
keringat, apa nyaman pakai baju seperti itu?” Hye Ri mengerutkan keningnya.
“Ne. Gwaenchana, pallee kaja!”
Aku menarik Hye Ri untuk meninggalkan
ruang loker. Apa lagi ini? siapa yang melakukannya? Apa seseorang dendam
padaku? Tapi kalau kupikir-pikir aku tdak pernah menyakiti orang lain. Aku
mandi dan berganti pakaian. Ah segar sekali. Aku masih mengeringkan rambutku
saat ponselku berbunyi.
Ayo
bertemu. Di gedung tambahan. Di ruang seni. Sekarang.
Lee Dong
Hae
Aku terbelalak melihat
pengirimnya. Apa ini benar Dong Hae? Selama ini aku tidak punya nomor
ponselnya. Aku ragu untuk beberapa saat, tapi kupikir ini memang dia. Kira-kira
apa yang ingin dia bicarakan ya? Apa tentang waktu itu? Aku melempar handukku
ke tempat tidurku dan menyisir rambutku apa adanya lalu keluar dari kamar.
Diluar sudah gelap. Namun beberapa murid masih melakukan berbagai aktifitas.
Aku pergi kearah belakang sekolah dimana gedung tambahan berada. Kabarnya
gedung ini akan dirobohkan karena jarang dipakai dan akan dibangun gedung baru.
Aku sampai di depan gedung. Tiba-tiba
ponselku bordering. Ada pesan dari Hyuk Jae.
Ya, ayo
makan malam. Ibuku mengirimku makanan enak. Ketemu di lapangan sepak bola.
Aku membalasnya.
Mian. Aku
ada di gedung tambahan sekarang, aku ada urusan.
Saat itu baterei ponselku habis
dan ponselku mati. Kenapa disaat seperti ini? Aku memasukkan ponselku ke saku
baju dan menuju pintu masuk gedung tambahan. Ada beberapa tempelan yang berisi
larangan untuk masuk. Aku sempat ragu, tapi saat ku dorong pintu kaca dan
terbuka, aku memutuskan untuk masuk. Di dalam cukup gelap. Hanya beberapa lampu
bohlam yang menyala. Aku mencari ruang seni. Ada di latai 2. Aku segera naik
dan melihat ruang seni ada di sebelah tangga. Aku membuka pintu dan masuk ke
sana.
“Ya, Dong Hae-ssi, aku sudah
datang, apa yang ingin kau bicarakan?” aku celingukan mencari Dong HAe.
Sepertinya dia belum datang.
Tapi apa yang terjadi kemudian
sangat mengejutkan. Kejadiannya sangat cepat. Pintu di belakangku tiba-tiba
tertutup dan lampu ruangan itu mati. Ya, mwo ya??? Apa ini gurauan? Karena ini
menurutku sangat tidak lucu. Dan yang lebih buruk lagi, aku phobia pada
kegelapan. Aku segera berbalik dan berlari ke pintu. Aku sempat menabrak dan
menginjak beberapa barang di sana. Aku menggedor-gedor pintu dan beteriak
memanggil bantuan.
“Ya!!!!! Ada orang disana?
Dowajuseyo!!! Aku terkunci disini, siapa saja, tolong buka pintunya!!!”
Ini buruk. Ini sangat buruk. Aku
tidak tahu harus melakukan apa. Aku terus menggedor-gedor pintu dan
memanggil-manggil siapapun. Aku mengambil ponselku dan baru kuingat kalau
baterei ponselku habis. Pikiranku semakin kalut. Aku harus bagaimana? Aku tidak
bisa melihat apapun dalam ruangan segelap ini. aku terus menggedor-gedor pintu
dan berusaha untuk membukanya. Aku meraba-raba dan mencari apapun yang bisa
kugunakan untuk membuka pintu. Tapi tak kutemukan apapun. Malahan tiba-tiba
sebuah balok kayu jatuh dan menimpa kakiku. Aku berteriak kesakitan. Aku hampir
menangis sekarang. Siapa yang melakukan ini? Jahat sekali. Akhirnya, aku hanya
duduk bersandar di depan pintu dan menangis. Aku terus menangis dan menangis.
Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Entah berapa lama aku disini. Sepertinya
sangat lama sampai seseorang menggedor-gedor pintu dan memanggil-manggil
namaku.
“Ya!! Ji Hyun-aa!! Apa kau di
dalam?? Ya Ji hyun-aa, jawab aku!!”
Siapa itu?? Tapi siapapun itu,
aku bangun dan menggedor pintu dari dalam.
“Ne, ini aku, keluarkan aku dari
sini,” sepertinya suaraku hampir hilang.
Terdengar pintu yang didorong
beberapa kali dari luar. Kemudian terdengar pintu yang dipukul-pukul dengan
benda yang keras. Dan entah keajaiban apa yang ada dihadapanku sekarang, tapi pintu
terbuka dan kulihat Dong Hae berdiri disana, terengah-engah sambil memegang
sebuah pemukul baseball. Dan tanpa pikir panjang aku berlari kearahnya da
memeluknya. Aku menangis sesenggukan dalam pelukannya.
“Ya, Ji Hyun-aa, gwaenchana?”
suara terdengar bergetar.
Aku menangguk. Tapi badanku terus
menerus gemetaran. Segala sesuatu yang baru saja terjadi terlihat sangat
menakutkan. Pelan-pelan, tangan Dong Hae membelai rambutku pelan. Dan saat
itulah aku merasa terlindungi, perasaan takutku perlahan-lahan hilang.
“Bagaimana kau tahu aku disini?”
Kami berdua duduk di depan ruang
seni. Aku sangat lemas untuk berjalan. Maka kami memutuskan untuk duduk
sejenak.
“Hyuk Jae kembali ke kamar dengan
makanan yang utuh. Sebelumnya dia bilang akan makan denganmu, tapi kau tidak
bisa karena kau pergi kesini. Saat itu tidak ada hal yang aneh. Tapi dua jam
kemudian, ponsel Hyuk Jae bunyi. Dia mendapat telepon dari Hye Ri. Karena Hyuk
Jae sudah tidur aku yang mengangkatnya. Hye Ri bilang kau belum kembali ke
kamarmu. Dia berkali-kali ke kamarmu dan menghubungimu, tapi katanya kau susah
sekali dihubungi. Ponselmu bahkan tidak aktif. Dia memintaku untuk mencarimu,
lalu aku teringat kau yang pergi ke gedung tambahan. Saat aku sampai disini,
pintu depan terkunci, aku harus memecahkan kaca untuk bisa masuk. Dan
begitulah, aku menemukanmu hampir mati disini,” dia menatapku. “Ya, kau ini
mikir apa sih? Kenapa malam-malam kesini?” tiba-tiba dia berteriak.
Aku diam beberapa saat. Jadi
bukan Dong Hae yang memanggilku kemari?
“Geureso… Kau tidak ingin bertemu
denganku?”
“Apa lagi yang kau bicarakan?”
“Aku kesini.. aku kesini karena
kau yang memintaku, kau ingin membicarakan sesuatu, jadi aku kesini,” aku ingin
menunjukkan pesannya, tapi ponselku mati.
“Ya, babo ya?? Siapa yang memintamu
kesini?”
“geurende, tadi aku mendapat
pesan darimu, makanya aku kesini,”
“Pesan apa? Nomor ponselmu saja aku tidak tahu,” dia
mendengus kesal.
“Jadi siapa yang mengirimku
pesan?”
“Molla, sekarang kembalilah ke
kamarmu, kau terlihat sangat menyedihkan,”
Aku hanya mengangguk. Namun saat
kucoba berdiri, kakiku terasa sangat nyeri. Aku teringat kakiku yang tertimpa
balok tadi. Tulangnya sepertinya tidak apa-apa, tapi ada luka goressan cukup
panjang di kakiku dan mengeluarkan darah. Darah sudah mengalir hingga mata kaki
dan masuk ke dalam sepatuku. Perih sekali. Tadi tidak terasa karena aku terlalu
takut, tapi sekarang terasa perih sekali. Aku mencoba untuk berdiri lagi tapi
terasa semakin perih. Sepertinya tidak mungkin untukku berjalan.
“Wae yo?” tanya Dong Hae.
Aku menunjukkan kakiku yang
berdarah. Dia menatapku untuk beberapa saat. Tiba-tiba dia jongkok di depanku.
“Naik,” katanya.
“Ne???”
“Kubilang, naiklah, kau tidak
akan bisa berjalan dengan luka dikakimu itu,”
Aku diam untuk beberapa saat dan
pelan-pelan melingkarkan tanganku dileher Dong Hae dan naik ke punggungnya. Dia
berdiri dan menggendongku keluar dari gedung tambahan. Dia berjalan pelan
menyusuri jalan setapak menuju gedung utama.
“Ya, aku berat kan?”
“Geure, kau sangat berat, kau
makan apa sih bisa sampai berat begini?”
“Aku akan turun kalau begitu,”
“Apa kau mau merangkak sampai
kamarmu?”
Aku hanya nyengir mendengar
kata-katanya.
“Ya, Dong Hae-ssi, kadang-kadang
aku penasaran, bagaimana perasaanmu saat kau bernyanyi?”
Bukannya menjawab Dong Hae malah
diam.
“Apa aku mengatakan hal yang
salah lagi?”
“Ani, aku hanya teringat ayahku
pernah bertanya hal yang sama, dia bertanya apa aku senang saat bernyanyi, belum
sempat aku menjawab, dia mengatakan aku hanya main-main dengan menjadi pemain,”
dia diam lagi. “tapi dia salah, saat bernyanyi, aku seperti menyentuh langit,
dan dia tidak akan pernah mengerti itu,”
Aku menatapnya dari belakang.
“Mianhae, aku berkata yang aneh-aneh
lagi,”
“Geure, kau selalu saja bodoh
seperti biasanya,”
“Mwo??”
Akhirnya kami sampai di halaman
sekolah. Dia berhenti sebentar dan menaikkan posisiku.
“Aku tidak mungkin mengantarmu
sampai kamar, kuantar saja kau ke klinik, hyung mungkin masih ada di sana,”
Aku hanya mengangguk. Lagipula
sepertinya memang kakiku harus mendapat pertolongan, sekarang rasanya seperti
terbakar. Dan dia membawaku kesana. Dokter Ji Hoon memang masih ada disana. Dia
hampir saja pergi saat kami dengan wajah meringis masuk ke ruangan klinik.
“Ya, apa-apaan kalian ini??” dia
sudah bersiap akan pergi. Dia bahkan sudah membawa tasnya.
Dong Hae membawaku masuk dan
menurunkanku di salah satu tempat tidur.
“Aku menemukannya hampir
kehabisan darah , sepertinya dia jatuh dari pohon atau semacamnya, benar-benar
ceroboh,” Dong Hae duduk di kursi di depan meja Dokter Ji Hoon.
Dong Hae tidak mengatakan yang
sebenarnya. Tentu saja tidak mungkin mengatakan kalau seseorang mengurungku di
ruang seni. Lagi pula kami akan kena kena marah besar karena memasuki gedung
tambahan. Dokter Ji Hoon meletakkan tasnya lagi dan memeriksa keadaan kakiku.
“Kau ini, selalu saja terluka,
kau mudah sekali mendapatkan luka. Lukamu cukup dalam, tapi tidak parah, hanya
tergores benda tajam, akan kubersihkan dan kuberi obat lalu kuperban,”
Aku meringis kesakitan saat
Dokter Ji Hoon membersihkan dan mengobati lukaku. Beberapa saat kemudian lukaku
selesai diobati dan kami mengucapkan terimakasih pada Dokter Ji Hoon lalu kami
pamit. Aku sudah bisa berjalan pelan-pelan setelahnya. Dong Hae mengantarku
hingga gerbang asrama perempuan.
“Pergilah dan beristirahatlah,
sepertinya kau bisa tumbang kapanpun,”
Aku mengangguk pelan dan
tersenyum.
“Gomawoyo, entah apa yang akan
terjadi kalau tidak datang, jeongmal gomawoyo,”
Dia hanya diam dan mengulurkan
ponselnya.
“Mwo?”
“Berikan nomormu,”
“Oh, baiklah,”
Aku menerima ponselnya dan memberikan
nomorku padanya.
“Jangan sampai salah orang lagi, aku pergi,”
Dia berbalik dan meninggalkanku
dengan jantungku yang berdegup sangat kencang. Sepertinya jantungku akhir-akhir
ini jantungku tidak berdegup pada tempatnya.
****************************************************************
“Ya, Ji hyun-aa, gwaenchana?
Semalamn kau tidak bisa dihubungi, apa yang terjadi? Bagaimana kau dapat luka
di kakimu itu?” Hye Ri sampai datang ke kelasku pagi ini dan menanyaiku
macam-macam.
“Geokjeonghajima, gwaenchana,
semalam aku hanya jalan-jalan dan ponselku mati, lalu aku tersandung dan jatuh,
itu saja,” aku beralasan untuk tidak mengatakan bahwa aku dikurung.
“Syukurlah, aku lega kau
baik-baik saja, lain kali jangan diulangi lagi ya, aku akan kembali ke kelasku,
sampai nanti,”
“Ne, sampai nanti,”
Hye Ri pergi meninggalkan
kelasku. Kemudian aku memikirkan kejadian-kejadian yang menimpaku. Saat camp latihan,
seseorang menendang kakiku, seragamku ada yang membuatnya basah, dan kali ini
aku bahkan dikurung. Siapa yang melakukan semua ini? Apa yang kulakukan sampai
ada orang yang melakukan ini semua? Apa ada orang yang dendam padaku? Tapi aku
ka tidak pernah menyakiti orang lain. Apa aku tanpa sengaja menyakiti perasaan
orang lain? Aku masih terus memikirkan kemungkinan saat Hyuj Jae memukul kepalaku. Aku mengaduh pelan. Lamunanku
buyar seketika.
“Ya, apa hidupmu habis untuk
melamun?” tanya sambil mengeluarkan beberapa buku dari dalam tas.
“Kau ini bicara apa?” aku
mengalihkan pandangan dan mencoret-coret bukuku.
Saat itu Dong Hae masuk ke kelas.
Dia hanya melewatiku tanpa mengatakan apa-apa dan duduk di bangkunya. Aku
menoleh padanya sekilas, tapi dia sibuk dengan bukunya. Kenapa dia cepat sekali
berubah? Bu Guru Lee masuk sambil membawa sebuah tas.
“Annyeonghaseyo,” sapanya.
“Annyeonghaseyo, songsengnim,”
jawab kami serempak.
“Bagaimana kabar kalian hari
ini?”
“Baik!!!!” sepertinya kami harus
ikut paduan suara.
“Hari ini, Ibu membawa kabar
gembira untuk kalian, ibu akan membagikan undangan untuk orangtua kalian agar
datang ke acara pesta olahraga, kalian harus memberikan undangan ini pada
orangtua kalian, dan pastikan orangtua kalian datang dan menyaksikan kalian,
araji??”
“Araseo, sengnim,” jawab kami
serempak.
Hanya aku yang tidak menjawab.
Sebaliknya aku sangat terkejut kalau hari ini kami akan mendapatkan undangan
untuk orangtua. Bagaimana ini? Itu artinya aku harus menemui Appa untuk
memberikan undangan ini. Bu Guru Lee mulai membagikan undangan sesuai dengan
nama kami. Saat aku menerima undangan tersebut aku hanya bisa menatap undangan
itu. Apa yang harus kulakukan? Aku menoleh dan melihat Hyuk Jae sangat senang
melihat undangan itu. Lalu aku menoleh ke belakang, kulihat Dong Hae sibuk
menulis dibukunya, undangannya hanya tergeletak di atas meja. Sepertinya Dong
Hae bahkan tak menyentuhnya.
Setelah membagikan undangan itu,
kami memulai pelajaran seperti biasa dan seperti biasa pula aku tidak
konsentrasi pada pelajaran. Mataku hanya tertuju pada undangan di atas mejaku.
*****************************************************************
Dan disinilah aku. Entah apa yang
kupikirkan. Entah bagaimana dengan tanpa sadar aku sampai disini. Di depan
pintu rumahku. Dan aku sudah berdiri disini kurang lebih setengah jam. Aku
tidak mengentuk pintu atau membunyikan bel sampai pintu tiba-tiba terbuka dan
eomma muncul dari dalam rumah. Eomma terbelalak melihatku.
“Ji Hyun-aa!!!”
“Eomma!”
Eomma keluar dari pintu depan dan
memelukku. Aku balas memeluk eomma.
“Ya, kenapa kau baru pulang
sekarang, kau tahu aku sangat rindu padamu,”
“Nado, eomma,”
Eomma melepas pelukannya dan memandangku
dari atas sampai bawah.
“Apa kau sehat? Sepertinya kau
tambah kurus. Ya, kakimu kenapa? Kenapa dibebat seperti iytu?”
“Eomma, naneun gwaenchana,
jeongmal,”
Eomma menatap sebentar.
“Ya, kenapa kau diam saja seperti
manusia yang diawetkan? Ayo pallee deurowa,”
Eomma menarikku masuk dan
menyuruhku duduk di ruang tamu. Sementara dia ke dapur. Aku clingukan melihat
isi rumah. Tepatnya aku mencari Appa.
“Eomma, kemana Appa?”
“Tentu saja ayahmu itu bekerja,”
“Oh,”
Sepertinya ini kesempatanku.
Kuberikan saja undangannya pada eomma dan segera pergi. Pasti Appa akan marah
nanti, tapi paling tidak aku tidak akan bertemu dengannya. Aku baru saja
berdiri dan akan mengahmpiri eomma di dapur saat pintu dibuka dan appa masuk.
Mwo??? Kenapa begini??
“Ah, yobo, kau sudah pulang,
lihatlah, Ji Hyun juga pulang, menyenangkan sekali kan?”
Appa menoleh ke arahku dan
tatapannya berubah menjadi tajam. Aku hanya menunduk. Aku tak berani menatap
appa. Eomma kembali ke dapur dan appa menghampiriku.
“Apa kau pulang karena sesuatu?”
“Apa maksud Appa?”
“Sudahlah, berikan undangan itu,
tapi perlu kau ketahui, aku tidak akan datang ke acara itu, selama kau tidak
mengundurkan diri dari tim basket itu,”
“Tapi..”
“Cepat berikan, dan terserah kau
mau melakuka apa,”
Dari mana appa tahu? Dan kenapa
appa masih saja maah aku mengambil undangan dari dalam tasku dan menyerahkannya
pada appa. Appa mengambilnya dan pergi ke ruang kerjanya begitu saja.
“Appa..”
To be continued...