Hari itu, kita
berpisah tanpa mengucapkan janji untuk saling bertemu. Gue kira besok bakalan
tiba, tapi ternyata nggak pernah ada hari esok untuk kita… Adegan terakhir itu…
Memaksa air mata gue mengalir setiap kali gue mengingatnya…
2 Juni…
Pengumuman kelulusan…
Gue berdiri di halaman sekolah gue.
Orangtua gue baru aja pulang duluan. Ini bulan Juni, tapi mungkin inilah efek global warming, bahkan di bulan Juni,
hujan pun turun. Sempet hujan deres banget tadi, sekarang cuma tinggal rintik-rintik
kecil sisa-sia hujan. Udara menjadi dingin. Gue menatap kosong halaman sekolah.
Di tangan gue ada dua lembar ijazah.
Ijazah Kelulusan
Kinara Nasution
Pandangan gue beralih menatap ijazah
yang satunya.
Ijazah Kelulusan
Raditya Darma Satria
Nama itu, hati gue selalu sakit tiap
kali mengingatnya.
“Ya ampun, ni kok ya masih ujan aja sih,
ini kan udah bulan Juni?” ujar Niken sambil memakai jaketnya.
“Bener-bener, mana dingin banget lagi,”
tambah Laras.
‘Woy Nana, abis ini kita mau muter film di
hall lho,” seru Niken ke gue.
Gue menoleh pelan.
“Iya,” ujar gue tanpa semangat.
“Ayo dong, kita mau jalan-jalan dulu
bentar, lo mau ikut kita nggak?” tanya Niken.
Gue terdiam sejenak.
“Sorry
gue nggak ikut, gue mau nganter ijazah ini,” kata gue sambil menatap ijazah di
tangan gue.
“Oh, punya Radit ya?” tanya Niken sambil
mendekati gue.
Gue cuma ngangguk pelan.
“Rasanya gue masih belum bisa percaya,”
ujar gue pelan.
Temen-temen gue terdiam mendengar
kata-kata gue. Sepertinya mereka merasakan hal yang sama seperti yang gue
rasakan sekarang. Angin berhembus pelan, membawa ingatan gue beberapa saat
sebelum kelulusan.
Semuanya berawal dari tiga bulan lalu…
“Jadi tahun ini kelas kita mendapat
tugas untuk membuat buku tahunan dan video kegiatan sebagai kenang-kenangan,
jadi siapa saja yang ingin mengurus buku tahunan dan siapa saja yang ingin
bertanggung jawab dengan pembuatan video?” jelas Bu Desi panjang lebar.
Beberapa anak menawarkan diri untuk
mengurus buku tahunan. Gue malah lebih tertarik buat ngurus videonya. Akhirnya
gue dan lima anak lainnya yang bertanggung jawab mengurus video kegiatan itu.
Gue sama Niken, Laras, Sesa, Rio, dan Bama yang akan mengurusi video.
Sepulang sekolah kita pergi ke ruang
audio visual untuk menonton video yang dikasih pinjam sama Bu Desi sebagai
contoh. Ternyata itu adalah video saat ada pekan olahraga di sekolah beberapa
waktu yang lalu.
“Gyahahhaaha, eh liat deh tampang
anak-anak pas wasit ngasih keputusan, asli norak banget,” ujar Niken sambil
ketawa ngakak.
“Idih, muka gue kok ancur banget sih
ternyata pas lari marathon?” tanya Sesa.
“Tapi lucu kan?” kata Bama.
Kita semua tertawa melihat video itu.
Kenapa video ini semakin diliat semakin bagus ya? Nggak cuma bagus, tapi indah
banget. Semua terekam dengan begitu sempurna. Setiap ekspresi dan gerak telihat
begitu nyata, kuat, tapi menunjukkan sisi kelembutan yang sulit diungkapkan
dengan kata-kata. Sesa, Niken, Bama, Rio, dan Laras mulai ribut memikirkan
konsep video yang akan dibuat. Mereka juga sibuk nentuin siapa aja yang bisa
diajak gabung.
“Eh, Na, ada apaan sih? Kok ngeliatinnya
gitu banget?” tanya Rio.
‘Eh, enggak, tapi coba liat deh,
adegan-adegan di video ini tuh bagus banget ya?”
Mereka memperhatikan selama beberapa
saat.
“Hemm, iya bener bener,
kayak film komersial ya? Kayaknya yang ngambil bener-bener orang yang punya
pengalaman di dunia film,” kata Laras.
“Yup, semuanya terekam,
wali kelas kita juga kan? Lengkap banget,” sambung Sesa.
“Eh, bentar deh, tapi siapa sih yang
ngerekam video ini?” tanya Bama.
Bener juga, siapa yang ngerekam semua
ini?
‘Tunggu deh, siapa yang nggak kerekam di
sini?” tanya Niken.
‘Umm, kayaknya semua anak kelas kita ada
deh,” ujar Laras.
Heh, bentar ulang lagi deh, ada yang
nggak kerekam, itu tuh, si Raditya,” ujar gue.
Raditya… Dia murid yang pendiam banget
dan selalu menyendiri. Tiap hari telat masuk kelas, udah gitu sering banget
bolos. Dia cuma nontonin kita kalo sekolah ngadain lomba olahraga atau apapun.
“Pasti si Radit deh yang ngerekam semua
ini, dia kan kerjaannya nontonin kita kalo pas ada lomba,” kata Sesa.
“Eh, ini perasaan gue aja ato emang iya,
tapi gue nggak pernah sekalipun denger dia ngomong,” kata gue.
Semua orang saling pandang.
Dan tiba-tiba, gue nggak tahu apa yang
mendorong gue kayak gini. Besoknya waktu dikelas.
“Ra.. Radit,” panggil gue.
Raditya menoleh pelan. Mukanya muram.
“So..
Sorry… Lo yang ngerekam video pas pekan olahraga bukan?” tanya gue gugup.
“Iya, kenapa?” tanya Raditya datar.
“Gini, gue sama temen-temen ngehandle
video buat kenang-kenangan, lo mau gabung nggak?”
Tiba-tiba semuanya jadi sunyi. Raditya
cuma menatap gue kosong. Gue sendiri nggak nyangka bakalan ngomong kayak gini.
“Gue nggak tertarik,” jawab Raditya
masih dengan nada datar.
“Bo.. Bohong..” ujar gue.
“Hah? Bohong apanya?” tanya Raditya,
“Ta..Tapi…”
Gue yakin dia bener-bener suka sama
kelas kita. Makanya adegan yang dia rekam kelihatan indah banget dan lembut.
Kalau nggak tertarik, mana mungkin hasilnya bisa bagus gitu? Gue ngeliatin dia
dengan tatapan aneh.
“Sorry,
gue harus pergi” ujar Raditya sambil berbalik.
“Tunggu, abis ini kita mau rapat, mau
ikutan?” ujar gue.
Tapi Raditya nggak menoleh sama sekali.
“Hari ini jam empat, di kelas, dateng
aja kalo emang minat,” gue ngotot ngasih tahu dia. Dia tetep aja nggak noleh
dan ninggalin gue.
Ruang kelas. Pulang sekolah.
“Lo nekat banget sih?” tanya Rio.
“Habisnya gue kan pengen videonya jadi
bagus,” gue membela diri.
“Tapi kayaknya Radit bukan tipe orang
yang suka rame-rame gitu deh, lo maksa banget deh,” kata rio.
Gue diem aja.
“Udahlah, kita mo pulang, rapatnya besok
aja,” kata Bama sambil beranjak dari tempat duduknya.
“lho,
kok pada pulang?” tanya gue keheranan.
“Sorry
ya Na, kita ada janji,” kata Niken.
Akhirnya gue ditinggal sendirian di
kelas. Rese banget sih mereka, niat bikin video nggak sih? Gue pun memutuskan
untuk pulang. Pas gue berdiri, tiba-tiba Raditya masuk. Gue sempet kaget.
“Raditya lo dateng?” tanya gue girang.
“eh, enggak, cuma mampir, tadi abis
ketemu guru,” jawab Raditya datar.
“Gue seneng banget,” teriak gue.
“Eh lo jangan teriak-teriak dong,” kata
Raditya masih dengan nada yang datar.
“Eh sorry,
yang laen udah pada pulang, ini rencana lengkap yang udah kita susun, kalo bisa
gue pengen ngeliput banyak adegan kayak yang lo rekam, pasti hasilnya bagus,”
gue terus aja nyerocos sambil nunjukin kertas yang berisi rencana video.
“Liat nih,” lanjut gue sambil memutar kembali video rekaman kelas kita, “pas pekan
olahraga, lo bukannya ngerekam yang pada ikut lomba, tapi malah ngerekam yang
nonton, pas udah kelar, lo ngerekam kelas buat background nya, keren banget pokonya,”
Raditya ngeliatin gue dengan tatapan
heran.
“Gue kebanyakan ngomong ya? Sorry gue emang suka begini, tapi gue
serius kok mau ngajak lo, gue ngerasa pengamatan lo lebih bagus dari yang lain,
banyak hal yang nggak kita perhatiin, tapi lo malah ngejadiin hal itu jadi
bagus, dan gue, cuma bisa teriak-teriak,”
“Nggak kok, malah bagus, lo yang ngasih
dukungan buat temen-temen lo, gue rasa lo udah ngasih semangat buat temen-temen,
bagus kan?”
Dan untuk pertama kalinya, gue malihat
Raditya tersenyum, dan melihat senyumnya, apa bisa dia lebih tampan dari ini?
“Makasih,” ujar gue gugup.
Mulai saat itulah kita jadi sering jalan
bareng. Kita mulai nyiapin semua hal yang berhubungan dengan video. Kita
ngerekam banyak adegan dan kegiatan di kelas, di lapangan, dan banyak lagi. Gue
seneng banget bisa kenal dia sebelum lulus. Tapi kalo dipikir-pikir, dia belum
pernah direkam, jadi, sore itu gue iseng-iseng ngambil gambar dia yang lagi
baca di kelas. Kalo diliat-liat, dia emang cakep banget. Tiba-tiba Raditya
menoleh ke arah kamera yang gue pegang sambil menutup lensa kamera.
“Jangan direkam,” katanya.
“Eh?” gue heran.
“Gue nggak suka disorot kamera,” katanya
sambil mengambil kamera dari tangan gue. “ini punya siapa?”
‘Oh ini punya Bu Desi, gue pinjem
soalnya gue pengen ngerekam pemandangan sekolah,” jawab gue.
“Biar gue yang rekam, kalo jam segini
pemandangannya bagus,” kata Raditya.
Kita merekam jalan setapak di taman
depan sekolah.
“wah iya bener, bagus banget,” kata gue
sambil melihat ke sekliling.
Sinar matahari menerobos ke pepohonan,
jendela, dan pintu-pintu kaca, bagus banget.
“Lo selalu mengamati setiap sudut
sekolah ini, walaopun lo sering bolos, sebenernya lo suka sekolah ini kan?”
tanya gue.
“Suka ato nggak, buat gue dunia ini
kayak film,”
“Maksud lo?”
“Iya, kayak film yang diputer di depan
kita, kita bisa ngeliat dengan seksama, semua adegan punya warnanya
sendiri-sendiri, di situ keindahannya, makanya jangan sampai melewatkan adegan
sekcil apapun,” kata Raditya pelan.
Gue terpana mendengar apa yang dia
bilang. Dia berdiri sambil merekam tiap sudut yang ada. Wajahnya terlihat
serius namun tenang. Jadi kalau gitu, cara gue memandang lo saat ini?? Gue
merasakan lensa kamera di depan gue, dengan reflex tangan gue munutup lensa
kamera.
“Jangan rekam gue,” ujar gue sambil
nyengir.
Nggak tahu kenapa Raditya jadi kaget dan
kamera di tangannya lepas dan jatuh di tanah.
“Waahhh!!!” gue teriak.
“Eh, sorry..
sorry..” kata Raditya.
“Gawat, bisa-bisa Bu Desi marah ni,
rusak ya?” gue panik.
“Wah, kasetnya nggak bisa masuk,”
katanya sambil memeriksa kamera.
“hah?” ujar gue denga tatapan horror.
Alamat dimarahi Bu Desi nih.
“Gyahahahaa..” tiba-tiba dia
ketawa. “Muka lo lucu banget,”
Dan melihat dia tertawa, jantung gue…
“Kok malah diketawain sih?” mau nggak
mau gue ikutan ketawa.
Ah, warna keemasan matahari, memantul di
pundak Raditya, di jam tangannya. Keindahan itu bisa gue saksikan di sini.
Ketika dia ada di depan gue…
*******************************************************************
“Nah tepat 40 menit 15 detik,” ujar Bama
saat mengecek video.
“Sipp deh,” kata Laras.
“Bu Desi bilang, selama ujian, ruang
audio visual nggak boleh dipake tuh,” kata Niken. “tapi cuma tinggal shoot adegan terakhir sih,”
“Oh, tinggal endingnya aja kan?” tanya Rio.
“Kita nggak ada pidato nih?” tanya Sesa.
“Ah, nggak usah, kepanjangan. Eh Dit, lo ada ide
nggak buat terakhirannya?” tanya Rio.
“Ng, gimana kalo shoot jalan menuju sekolah aja?” jawab Raditya.
“Boleh juga tuh, kalo gitu lo aja Dit
yang ngerekam,” usul Bama.
Gue yang dari tadi diem aja langsung
berdiri.
“Kalo gitu gue ikut,”
“Boleh,” kata Raditya.
“Tolong ya bikin last scene yang bagus,” ujar Rio.
Last scene..?? Jadi kalo
video ini berakhir, semua juga berakhir?
Jalanan menuju sekolah...
“Sekalian tamannya juga, bunga lavender
di sini bagus lho kalo lagi pada mekar,” kata gue sambil menunjuk taman deket
sekolah.
“Iya, bener,” kata Raditya sambil
merekam taman.
Gue berdiri sambil memeprhatikan
Raditya.
“Tahun depan, gue nggak bakalan liat
bunga lavender ini lagi,” katanya pelan.
Gue diem sambil ngeliatin dia.
Bener juga. Tahun depan kita semua udah
pada lulus. Sebentar lagi semuanya bakalan berakhir. Tiba-tiba gue rasakan air
menetes. Gerimis.
“Eh, cepetan rekam bagus nih,” kata gue.
Gerimis turun kecil-kecil, kayak salju.
Gue selalu mimpi di sini bakalan turun salju.
“Ini, kayak salju ya?” ujar gue pelan.
Raditya diem sambil terus menatap
gerimis.
“Iya kan?” tanya gue.
Raditya menoleh ke arah gue. Ekspresinya
nggak bisa ditebak. Dia masih tetep aja misterius kayak biasanya. Walaupun gue
udah deket sama dia, tapi gue masih nggak bisa ngerti jalan pikiran dia.
“Iya kan Dit?” tanya gue lagi.
Bukannya menjawab Raditya malah
ngedeketin gue Dan menatap gue dalam-dalam. Dan semakin dekat. Wajah kita
bertemu dan apa yang terjadi selanjutnya bener-bener bikin gue terpana. Bibir
kita bertemu. Pelan. Kemudian dia menarik wajahnya. gue masih berdiri mematung.
“Sorry,
tadi gue lupa,’ ujar Raditya pelan.
“Kenapa dit?” tanya gue.
“Bukannya gue nggak suka sama lo,”
“Gu.. gue.. gue suka sama.. “
“Sorry..”
Raditya memotong perkataan gue. “Gue nggak ada maksud ngelakuin itu semua,”
Gue diem. Maksud dia apa? Gue mendorong
tubuh Raditya.
“Lo jahat!” ujar gue keras.
Gue berbalik ninggalin dia. Tapi dia
nggak bergeming. Pengen selalu bareng-bareng kayak sekarang ini… tetep bareng
walo kita udah lulus nanti… Tapi ternyata, cuma gue yang punya keinginan kayak
gitu… Gue pengen nangis…
***************************************************************
“Eh
Na, gimana kemaren? Kalian dapet scene yang bagus kan?” tanya Rio.
“Kemaren kan sempet ujan,” sambung
Niken.
“Ng.. Gue kurang tahu,’ jawab gue pelan.
“He? Kok gitu?” tanya Rio. “Trus Raditya
mana? Kok belum dateng?”
“Jangan-jangan dia bolos? Padahal
videonya kudu cepet diselesein nih,” kata Niken.
Gue duduk dengan kepala menelungkup di
atas meja. Gue udah nggak tahan. Gue pengen cepet-cepet lulus sekolah.
…
Akhirnya ujian akhirpun dimulai. Tapi
Raditya nggak pernah dateng ke sekolah lagi. Kemudian… Di bulan Mei, setelah
masa-masa ujian selesai, gue dapet telepon.
“Eh?”
‘Ya gitu ceritanya Na, Raditya udah
pergi jauh, dia sakit keras… Udah sejak dulu… Dia udah tahu soal sakitnya.
Umurnya emang nggak lama,”
Tiba-tiba semua kenangan tentang Raditya
muncul di depan gue. Layaknya sebuah film, semua adegan jelas terulang di depan
mata gue. Semua perkataannya kembali terngiang-ngiang di telinga gue.
"kayak film yang
diputer di depan kita, kita bisa ngeliat dengan seksama, semua adegan punya
warnanya sendiri-sendiri, di situ keindahannya, makanya jangan sampai
melewatkan adegan sekcil apapun,"
Semuanya. Semuanya menyeruak kembali ke
permukaan. Wajahnya, senyumnya, tawanya. Semua apa yang dia katakan di hari
gerimis sore itu. Semua sangat jelas ada di hadapan gue. Hari itu, kita
berpisah tanpa sempat mengucapkan janji untuk bertemu. Hari itu… menjadi last scene bersama lo, Raditya.
Setelah telepon itu, gue mengahadiri
upacara pemakaman Raditya. Kata ibunya, dia bilang dia pengen bertahan sampe
upacara kelulusan, tapi siapa sangka keadaannya makin memburuk. Dia menitipkan
kamera dan kaset yang sudah siap untuk di putar.
Sejak saat itu sampai hari ini, gue
nggak inget lagi gimana gue melewati hari-hari gue. Gue cuma bisa memutar hasil
rekaman itu berulang kali.
Hall sekolah.
“Nah, ayo kita rayain kelulusan
kita!!!!” teriak Bama.
Teriakan Bama disambut riuh teriakan
temen-temen yang lain.
“Ayo puter videonya,” kata Niken.
“Lo nggak papa? Muka lo pucet,” tanya
Rio.
“Gue nggak papa,”
Video di putar di layar putih besar.
“Wah, adegan ini keren banget,” kata
salah seorang dari mereka.
Gue Cuma bisa menatap nanar video di
depan gue.
“Gue akui, cara dia ngambil gambar-gambar
itu emang bagus banget, sebenernya dia selalu ngamati kita,” kata Rio sambil
terus melihat video itu.
“Tapi, dia malah nggak ada dalam video,
gue sama sekali nggak tahu musti gimana lagi, gue udah maksa dia, sampe capek
gue ngambil gambar dia,” gue menunduk. Gue terisak, gue udah nggak tahan lagi
nahan air mata gue.
“Nana..” ujar Rio pelan.
Tiba-tiba videonya buram dan
bergetar-getar. Semua orang jadi ribut. Gue masih menunduk nggak peduli. Dada
gue nyesek banget rasanya.
“Na,.. Nana..”
Gue mendongak menatap layar, eh ini kan?
Dalam video itu tampak wajah Raditya.
Dia sedang membetulkan posisi kamera. Waktu kamera udah pas, dia mulai bicara.
“sebenernya
gue nggak mau ninggalin apa-apa, sama kayak burung yang terbang tanpa ninggalin
jejak kaki… Tapi, ada sesuatu yang harus gue katakan sebelum gue pergi, jadi sorry, gue pinjem videonya bentar.”
Raditya diem selama beberapa saat.
”Nana..
gue.. gue menarik ucapan gue waktu itu, waktu gerimis itu, lo inget kan? Gue
nyium lo bukan karena pengaruh suasana, tapi karena gue emang terpikat sama
pribadi lo. Sebenernya gue pengen liat lebih banyak warna-warni sama lo, tapi
sepertinya nggak mungkin. Cuma ada satu hal, gue mohon lo jangan pergi sama
orang lain ngeliat bunga lavender di taman itu ya? Gue pengen lo janji sama
gue, walaopun kita udah lulus.”
Raditya diem lagi. Lalu dia tersenyum.
Senyum yang nggak bakal bisa gue lupa.
“Sekian
pesan dari Raditya Darma satria untuk Kinara Nasution. Lo ngerti kan maksud
gue? Ini pengakuan cinta,”
Setelah itu dia tertawa lembut. Manis,
sangat manis. Dia emang muncul pada adegan terakhir. Saat itulah air mata gue
mengalir deras. Lo jahat Dit, nggak
bilang langsung sama gue.
“Nana, pulang yuk?” ajak Niken.
Gue mendongak. Hati gue emang perih.
Perih banget malah. Setiap gue inget, sakitnya terus membekas. Itu sebabnya gue nggak akan pernah ngelupain
lo, Radit. Lo ninggalin perasaan lo yang ke indah ke gue lewat adegan terakhir
itu. Gue bakalan peluk perasaan itu, bersama langkah gue di adegan gue
berikutnya.
Gue lari menghampiri temen-temen gue. Bye Radit.
0 komentar:
Posting Komentar